Takut keberadaannya diketahui oleh Ayleen, Airin pun buru-buru pergi meninggalkan rumah sakit itu. Airin berlari kecil menuju ke tempat parkir untuk mengemudikan mobilnya.Dengan napas terengah-engah Airin pun akhirnya sampai juga di tempat parkiran, bergegas dia masuk ke dalam mobilnya lalu segera menyalakan mesin mobilnya dengan kecepatan tinggi."Huh, sialan! Gara-gara Ayleen semua rencanaku gagal. Aku hampir saja ketahuan olehnya. Kalau Ayleen sampai tahu aku ada di rumah sakit, bisa-bisa dia akan curiga dan berpikiran buruk padaku. Aku nggak mau kehamilanku ini sampai diketahui oleh semua orang termasuk Papa," gumam Airin.Kini Airin sedikit mengurangi kecepatan laju mobilnya sambil memikirkan sesuatu yang sejak tadi membuatnya merasa penasaran. "Sebenarnya siapa yang dijenguk oleh Papa barusan ya? Aku jadi penasaran deh," gumam Airin."Apa mungkin Abra yang sakit? Atau bisa jadi mantan ibu mertuaku. Atau mungkin … Sam yang sakit?" Beribu pertanyaan muncul di benak Airin. "Ah, s
Setelah kedatangannya diterima baik oleh Bu Emil dan juga Abraham, kini Pak Hartawan meminta izin kepada keduanya ingin berbicara empat mata dengan Ayleen. "Bolehkah?""Silakan saja, Pak. Lagipula Ayleen adalah putri Anda. Kami nggak bisa melarang Ayleen untuk bertemu Papanya. Seharusnya kalian bisa bertemu lebih awal kemarin, tapi karena baby Sam mendadak sakit membuat kalian harus menunda pertemuan itu. Saya jadi merasa nggak enak," sahut Bu Emil."Terima kasih Bu Emil. Karena sekarang Ayleen tinggal bersama kalian, jadi sudah sepantasnya saya minta izin dulu kepada kalian berdua. Saya dan Ayleen belum bisa tinggal bersama dalam satu rumah. Maklum hubungan kami belum bisa dibilang membaik, karena Ayleen sendiri masih butuh waktu untuk bisa menerima semua ini. Soal penundaan itu lupakan saja. Baby Sam memang sedang sakit dan apa yang dilakukan oleh Ayleen itu benar adanya. Jadi buat saya itu bukan masalah, Bu. Lagipula saya sudah menyusul ke sini jadi sama saja," sahut Pak Hartawan.
Pak Hartawan mendengarkan perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut putrinya yang sudah lama terpisah itu. Pria paruh baya itu merasa senang saat Ayleen bercerita jika orang-orang di tempat ia bekerja sangat baik dan memperlakukannya Ayleen dengan baik juga. Pak Hartawan percaya jika orang-orang sekeliling Ayleen pasti akan memperlakukan putrinya itu dengan baik, karena ia tahu Ayleen adalah pribadi yang lembut dan juga baik hati. Maka tak heran jika mereka pun memperlakukan Ayleen seperti itu. "Papa senang dan sangat bersyukur kepada Tuhan karena kamu sekarang dikelilingi oleh orang-orang baik, Ayleen," ucap Pak Hartawan lagi. Kedua netranya terus saja memandang wajah cantik putrinya. Jelas terpancar dari sorot mata tuanya itu, jika Pak Hartawan teramat sangat merindukan putrinya yang sudah lebih dari sepuluh tahun terpisah itu. Tak hanya memendam kerinduan yang teramat dalam, Pak Hartawan pun sangat menyesal karena dulu tak membawa Ayleen bersama dengan dirinya. Namun penyesa
Setelah adegan mengharukan itu, keduanya saling diam, seakan tengah menata hati. Ayleen dan Pak Hartawan sesekali saling bersitatap. "Pak, eh, maksud saya … Papa, bagaimana kabar Bu Airin saat ini?" tanya Ayleen. Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir tipisnya. Terakhir kali mereka bertemu, Ayleen bahkan belum sempat bicara dan mengobrol dengan saudara kembarnya."Dia baik-baik saja kok, Ayleen. Lain waktu, Papa akan mengajaknya untuk bertemu kamu. Bertiga saja sebagai keluarga," sahut Pak Hartawan. Namun, sebelum itu tentu saja Pak Hartawan harus memastikan sikap Airin pada Ayleen agar tidak menyakiti hati Ayleen lagi. "Apa Bu Airin mau bertemu dengan saya?" tanya Ayleen sedikit lirih, namun masih dapat didengar oleh Pak Hartawan."Tentu saja, Ayleen. Dia itu kakakmu, saudara kembarmu. Sudah sepatutnya dia menerimamu sebagai bagian keluarga ini," ujar Pak Hartawan yakin.Hening menyapa kembali. Mereka seolah kehilangan topik pembicaraan. Saat itu, Pak Hartawan akhirnya inga
Lama ditunggu-tunggu, akhirnya tepat pukul tujuh malam pak Hartawan pulang juga. Airin yang sudah merasa bosan karena menunggu sang papa terlalu lama, kini emosinya mulai meledak-ledak.Terdengar suara deru mobil di luar sana, bergegas Airin berlari kecil menuju ke balkon kamarnya. Disana Airin bisa melihat mobil sang papa terparkir dengan rapi di depan rumahnya. Pak Hartawan keluar dari mobil sambil menjinjing jas berwarna hitam."Akhirnya pulang juga, huh! Padahal aku sudah terlalu lama menunggunya. Entah apa yang dia lakukan di rumah sakit itu sampai-sampai lupa waktu. Padahal yang sakit cuma mantan mertuaku, tapi Papaku bisa segitu perhatiannya. Sampai-sampai lupa pulang," gerutu Airin.Tak butuh waktu lama Airin pun beranjak menghampiri papanya. Baru saja pak Hartawan masuk ke dalam rumah namun sudah disambut dengan wajah kesal oleh Airin."Papa, ke mana aja sih?" tanya Airin dengan nada jengkel. "Airin, kamu sudah dirumah? Kenapa belum tidur?" tanya Pak Hartawan, malah balik
Keesokan harinya …."Bagaimana keadaan cucu saya, Dok? Apakah sudah mulai membaik?" tanya Bu Emil pada dokter laki-laki yang sedang melakukan kunjungan untuk memeriksa keadaan pasiennya."Cucu Ibu sudah boleh pulang sekarang juga. Kondisinya sudah mulai stabil," jawab Dokter spesialis anak yang menangani keadaan Baby Sam.Saat ini, Dokter yang memakai kacamata itu sedang melakukan kunjungan ke kamar Baby Sam, dan setelah diperiksa semuanya, keadaan bayi laki-laki itu sudah mulai membaik dan boleh untuk pulang."Alhamdulillah. Saya takut banget waktu cucu saya kejang-kejang di rumah kemarin. Saya benar-benar panik, Dok. Takut terjadi sesuatu yang membahayakan pada cucu saya." Bu Emil mengungkapkan ketakutannya saat Baby Sam mengalami kejang waktu di rumahnya. "Ibu tenang saja. Karena kejang yang disebabkan oleh imunisasi tadi tidak berakibat fatal pada tubuh cucu Ibu. Hanya butuh penyesuaian saja. Jadi semuanya aman." Dokter berkacamata itu pun menjelaskan. Bu Emil tersenyum lega men
"Mama, Abra, kenapa pada bengong gitu sih? Kenapa sekaget itu ngeliat aku di sini?" Airin bertanya seraya menyapa mantan mertua dan mantan suaminya."Ada apa kamu ke mari, hm?" Bu Emil tanpa babibu langsung menunjukkan wajah tak bersahabat pada Airin. Airin menyapa Bu Emil dan Abraham sekali lagi dengan senyum ramah di wajahnya, namun saat bersitatap dengan Ayleen, wajah Airin langsung berubah masam. Ayleen merasa tak enak hati melihat perubahan wajah sang kakak, namun dia hanya diam dan tak bisa berbuat banyak. Airin memutar bola matanya. "Wajarlah aku di sini, Ma, aku kan ibu kandungnya Sam. Lagipula, kenapa nggak ada yang ngasih tau aku kondisi anak aku?" Airin justru menyalahkan Abraham yang tidak mengabarinya tentang kondisi Sam."Memangnya apa pedulimu, Airin. Bukannya selama ini kamu bahkan nggak pernah peduli sama keadaan anakmu?" Abraham berkata dingin. "Sekarang kamu udah melihat kondisi Sam, dia baik-baik saja sekarang, jadi menyingkirlah," lanjut Abraham penuh penekanan d
Meskipun sempat gelisah, namun semangat Airin untuk mendapatkan Abraham semakin menggebu-gebu lantaran masih berangan ingin bersatu kembali dengan mantan suaminya itu. Seribu cara akan coba Airin lakukan untuk bisa menggaet hati sang mantan suami. Namun, entah kenapa semakin Airin mencoba dia merasa semakin susah untuk mendapatkan hati Abraham lagi. Bukan karena ada orang ketiga, melainkan Abraham sendiri membatasi untuk sekedar berkomunikasi dengan Airin.Belum lagi Bu Emil yang sudah lama menutup hati untuk mantan menantunya itu. Walau seribu alasan sedang Airin rencanakan, Bu Emil dan Abraham tidak mungkin mau membuka hati lagi seperti yang diangan-angankannya. Karena keduanya sudah sangat sakit hati atas apa yang Airin lakukan selama ini."Sial*n! Rencana yang sudah aku rancang ternyata nggak berhasil sama sekali. Bahkan sikap Abra kepadaku benar-benar sangat dingin. Aku nggak bisa berdiam diri seperti ini. Karena aku nggak mau kehamilanku sampai diketahui
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara