Bab 22Mobil yang ditumpangi Ayleen dan Abraham berhenti tak jauh dari rumah Erwin."Saya harus bagaimana ini, Pak?" Tanya Ayleen bingung."Kamu harus tenang dulu, jangan turun sebelum kamu merasa tenang!" Sahut Abraham.Ayleen tampak menghembuskan nafas."Saya nggak bi—""Kamu bisa! Nggak usah takut, nggak usah khawatir, saya ada di sini untuk membantu kamu. Sekarang kamu minum ini, lalu atur nafas kamu sampai tenang," tutur Abraham perhatian. Tangannya bergerak memutar tutup botol air mineral yang masih tersegel dan menyerahkannya kepada Ayleen.Ayleen menerima botol tersebut, "terima kasih, Pak," ucapnya kemudian segera meneguknya sampai sedikit tumpah-tumpah karena tangannya gemetaran dan dia melakukannya dengan buru-buru."Pelan-pelan saja, Ayleen." Abraham memperingati."Maaf, Pak," sahut Ayleen, mengusap ujung bibirnya yang basah."Tutupnya!" Ucap Abraham menyerahkan tutup botol yang masih digenggamnya.Ayleen segera meraihnya, lalu menutup botol yang dibawanya."Sekarang atur
Bab 23"Lepaskan Ayleen!" Titah Abraham sekali lagi, tanpa memperdulikan pertanyaan Surya tentang siapa dirinya.Surya tersenyum sinis, "kau tak bisa seenaknya meminta seorang Ayah melepaskan putrinya." Surya berucap tak gentar, walau dalam hati ia penasaran, siapa gerangan lelaki tampan yang memberikan perlindungan untuk Ayleen itu.Daddy Sam itu tersenyum sinis. "Ayah mana yang tega mengorbankan kebahagiaan putrinya dengan membiarkannya berada di lembah kesengsaraan? Anda mengaku seorang Ayah tapi tak memiliki kasih sayang di hati Anda, apakah pantas disebut Ayah?" Sahut Abraham tenang, namun berhasil menohok relung hati terdalam ayah Ayleen."Kurang ajar!" Sentak Surya bersiap memberikan bogeman untuk Abraham. Namun Ayleen segera mencegah."Jangan, Yah!" Teriak Ayleen.Abraham hanya tersenyum tipis. "Lepaskan Ayleen untukku. Akan kukabulkan apapun permintaanmu!" Ucap Abraham menarik perhatian Surya."Pak, tidak perlu, sebaiknya kita pergi saja dari sini," cegah Ayleen, tak ingin le
Bab 24"Mas Arsya kerja di sini?" Ayleen bertanya setelah beberapa saat terkejut. Senyumnya tampak lebar menyambut pertemuan dengan lelaki bernama Arsya tersebut."Iya. Elite ya kamu sekarang, makannya di restoran, nggak di warteg Mak Dah lagi," canda Arsya menyebut warteg yang terkenal di kampung mereka.Benar, kampung mereka. Arsya dan Ayleen, keduanya adalah muda mudi yang cukup aktif berinteraksi, berasal dari kampung yang sama, namun terpisah karena Arsya memilih jalan hidup di perantauan, walau ternyata hanya di kecamatan sebelah saja.Ayleen hanya tersenyum canggung, "diajak majikan, Mas ... kalau nggak mana mungkin aku bisa makan di tempat kayak gini? Beliau Pak Abra, majikan aku." Ayleen mengarahkan pandangannya ke arah Abraham.Lelaki dewasa itu hanya tersenyum tipis ke arah Arsya."Mas Arsya ini tetangga saya di kampung, Pak," tutur Ayleen menjelaskan."Lebih tepatnya salah satu pengagum Ayleen yang terpaksa harus patah hati ditinggal nikah, Pak," sambung Arsya SKSD."Apa s
Bab 25Belum sempat satpam menjawab, tiba-tiba, tamu yang dimaksud itu nongol di belakangnya."Aku yang datang, Ayleen!" Suara lelaki dewasa itu mengejutkan Ayleen."Ayah?" Gumam Ayleen pelan.Bu Emil mengerutkan kening, "Ayah, dia ayah kamu?" Tanyanya pada Ayleen.Ayleen hanya mengangguk kecil.Bu Emil memandang lelaki di hadapannya dari atas ke bawah, kemudian beralih memandang Ayleen. Hati kecilnya menemukan aura negatif dari sosok yang mengaku ayah Ayleen itu, berbeda saat ia memandang Ayleen.Tanpa menunggu dipersilakan, Ayah Ayleen nyelonong masuk begitu saja. Tentu hal itu semakin membuat Bu Emil merasa tak suka."Wah, enak juga ya tempat tinggal kamu sekarang, Ayleen! Pantas kamu betah tinggal di sini, sampai ninggalin Juragan Erwin." Surya berjalan mendekati Ayleen, dan perlahan Ayleen mundur menjauh dari jangkauan ayahnya."Ayah ngapain ke sini?" Tegur Ayleen tak suka."Tentu Ayah mau menemuimu, Nak ...," ucap Surya berdrama.Hati Ayleen tak tenang, ia terlihat gelisah dan k
Bab 26"Terima kasih banyak ya, Pak ... Bapak benar-benar telah banyak membantu saya," ucap Ayleen pada daddy Sam yang baru saja memasuki kamar putranya.Sebelum itu, melalui jendela kamar Sam, Ayleen menyaksikan ayahnya pergi dari rumah ini. Rasa syukur menjalari hati, ia pun bisa bernafas lega melihatnya, walau ia belum tahu, apa yang telah dilakukan Abraham sehingga ayahnya itu bersedia pergi."Sama-sama." Abraham menjawab singkat. Pandangannya kemudian beralih pada Sam."Dia sudah minum penurun demamnya?" Tanya Abraham."Sudah, Pak," jawab Ayleen."Syukurlah.""Pak ....""Ya?""Dengan apa saya bisa membalas jasa Bapak?" Tanya Ayleen."Dengan menjadi ibu yang baik untuk Sam." Jawaban mengalir begitu saja dari bibir Sam."Ma-maksud, Bapak?" Tanya Ayleen terbata. Seketika membuat Abraham tersadar bahwa ia telah salah memilih kosa kata dalam menjawab pertanyaan Ayleen."Maksud saya jadi ibu susu yang baik untuk Sam, masa begitu saja nggak paham?!" Ketus Abraham demi menutupi salah tin
Bab 27"Weekand ini ada acara apa, Abra?" Tanya Bu Emil pada Putra semata wayangnya saat mereka sedang sarapan bersama."Ngajak Sam dan Ayleen jalan aja, Ma," sahut Abraham sembari melirik Ayleen. Seketika Ayleen yang tengah menikmati sarapannya tersedak."Hati-hati dong, Ay!" Ucap Abraham mengingatkan."Maaf, Pak, saya terlalu terkejut mendengar Bapak bilang mau ajak saya dan Sam jalan-jalan," sahut Ayleen apa adanya."Loh memangnya Abra belum ngasih tahu kalau mau ngajak jalan?" Tanya Bu Emil.Ayleen menggeleng pelan, "tidak, Bu," cicitnya."Abra nih kebiasaan deh, Mama kan bilang, kalau mau ngajak cewek jalan itu dikasih tau dulu. Cewek itu butuh persiapan banyak hal, jadi nggak bisa dadakan," tutur Bu Emil."Ini kan Abra bilang, Ma ...," sahut Abraham santai, sementara Bu Emil hanya memutar mata malas."Ya sudah, Ayleen ... kamu siap-siap gih, nanti Sam biar Ibu yang siapkan," ucap Bu Emil.Ayleen tersenyum, "tidak usah, Bu ... saya tinggal ganti baju saja kok, tadi sudah mandi,"
Bab 28Ayleen dan Abraham sampai di pusat belanja terbesar di kota Surabaya. Sebuah gedung dengan ukuran besar dan dilapisi kaca di setiap sisi dindingnya membuat Ayleen terkagum. Pandangannya tak lepas dari bangunan megah di hadapannya."Kenapa, Ay?" Tanya Abraham."MasyaAllah ... ini pertama kali saya datang ke Mall, Pak ... ternyata beda banget sama pasar ya? Bener-bener elite," sahut Ayleen.Abraham menahan senyum, "ya begitulah, di sini belanja terasa lebih nyaman menurut saya, lebih bersih dan tidak berdesak-desakan." "Iya sih, Pak ... tapi pastinya harganya mahal-mahal ya?" Celetuk Ayleen."Dibilang mahal sih tidak, karena kualitas yang kita dapat sesuai dengan jumlah uang yang kita bayar."Ayleen manggut-manggut, kemudian keduanya segera masuk ke dalam Mall. Ayleen dengan Sam di dalam gendongannya berjalan di sisi Abra. Sebelum berangkat, Abra menyarankan agar Ayleen menggunakan stroller untuk membawa Sam, namun wanita itu menolak dengan alasan lebih nyaman menggendong Sam de
Bab 29"Sudah kamu nggak usah banyak tanya, sekarang ikuti saya." Abraham mengalihkan pembicaraan. Kemudian berjalan meninggalkan Ayleen. Mau tidak mau, Ayleen pun mengekorinya, bisa bahaya jika ia terlepas dari Abraham di tengah keramaian seperti ini."Pak, kenapa buru-buru sekali? Ini Sam jadi nggak nyaman karena saya jalannya terlalu cepat." Ayleen memprotes Abra, lelaki itu seenaknya saja berjalan cepat tanpa memikirkan Ayleen yang tengah kesulitan dengan Sam di dalam gendongannya.Abra pun memelankan langkahnya, menyesuaikan ritme dengan langkah Ayleen.Hingga akhirnya sampailah mereka di sebuah klinik kecantikan yang dimaksud.Di sana Abra terlihat bercengkrama dengan pegawai dalam beberapa saat, dan meminta Ayleen menunggu.Tak lama berselang, Abraham kembali bersama seorang berseragam klinik."Ay, siniin Samnya, kamu ikut sama Mbak ini ya?" Ucap Abraham mengambil alih Sam."Saya ikut ke mana, Pak?" Tanya Ayleen bingung."Udah ikut aja, kamu akan di-treatment," jawab Abraham se
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara