Morgan berdiri di depan Sydney dan memegang kedua tangan wanita itu. “Sarapan bersama,” jawab Morgan sambil mengedipkan sebelah matanya. “Ayo duduk!” Pria itu menarik salah satu kursi dan mempersilakan Sydney duduk di sana. Sydney sedikit mengangguk dan tersenyum tipis untuk membalas perlakuan manis Morgan. Setelah memastikan Sydney duduk dengan nyaman, Morgan duduk di hadapan wanita itu. Sementara si kembar berada di kursi bayi yang ada di sisi kanan dan kiri mereka. “Sebenarnya aku lebih senang kau duduk di pangkuanku, tapi untuk pagi ini aku akan izinkan kau duduk di sana,” ucap Morgan lagi, sengaja membuat pipi Sydney semakin merona. Jantung Sydney berdebar lebih cepat. Untuk sesaat dia menundukkan wajahnya, sebelum kembali menatap Morgan. “Dalam rangka apa sarapan bersama jadi seistimewa ini?” tanya Sydney menggerakan tangan dengan lebih tenang setelah menghela napas panjang. Sydney memperhatikan berbagai menu yang ada di meja yang sangat lengkap, mulai dari makanan pembuk
“Nona Sydney, cobalah. Tadi aku membuat kue!” seru seorang pelayan muda sambil menyodorkan setoples kue kering pada Sydney. Sydney tertegun. Selain karena pelayan itu datang saat dirinya tengah menjemur baju si kembar, wanita muda di hadapannya tidak pernah berbuat sebaik ini sebelumnya. “Biar aku saja yang menjemur pakaian Tuan Jade dan Nona Jane, Nona Sydney!” sahut pelayan lain yang tiba-tiba sudah ada di dekat Sydney. Namun, Sydney tidak membiarkan pelayan itu menjemur baju si kembar. Ini adalah salah satu tugas yang paling Sydney senangi saat merawat bayi. Setelah pagi kemarin–saat sarapan bersama Morgan dan si kembar di halaman belakang, hidup Sydney berubah. Para pelayan berlomba-lomba bersikap baik dan manis padanya. “Nona baru selesai menyusui?!” Sydney baru saja keluar dari kamar si kembar saat kembali mendengar suara pelayan mendekatinya. “Mau ke kamar? Saya bisa memijat, Nona!” Sydney menggeleng dan berjalan cepat ke kamarnya untuk sembunyi. Tawaran bantuan dari oran
‘Morgan benar-benar binatang buas!’ batin Sydney sambil meringis menahan ngilu di beberapa bagian tubuhnya. Wanita itu mengubah posisi tidur, berusaha membuat dirinya nyaman. Sudah seminggu Sydney tinggal di ranjang Morgan, di kamar pria itu. Rupanya Morgan tidak bohong tentang menahan Sydney di sini selama satu minggu. Sydney menggeleng pelan. Bukan hanya karena mereka menghabiskan sepanjang hari dengan permainan ranjang, melainkan karena Sydney juga jatuh sakit tepat setelah malam pertama mereka bercinta. ‘Padahal aku bukan seorang perawan, tapi dia membuatku merasa seperti itu!’ batin Sydney lagi sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tidak cukup dengan kedua tangan, wanita itu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh dan wajahnya yang mulai terasa panas lagi setiap kali dia mengingat cara Morgan menyentuh setiap inci kulitnya. Tatapan pria itu seperti predator yang tidak akan memberi mangsanya celah untuk kabur. Namun tidak bisa dimungkiri bahwa Sydney menikmati i
Ini pertama kalinya Morgan bicara terbuka tentang pekerjaan, jadi Sydney ingin mencoba menggali sejauh apa pria itu akan bicara. Morgan menatap lekat manik cokelat Sydney. “Kau tidak perlu tahu,” jawab Morgan akhirnya. Sydney mendesah dan membuang wajah untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menatap pria itu. “Ya, lagipula barang yang diantar dan dikirim oleh Poseidon Exports pasti sangat banyak. Pemerintah saja sampai tidak pernah memeriksa barang-barangmu,” sahut Sydney sedikit menyindir. Dan Morgan dapat merasakan sindirian itu walaupun Sydney menggunakan bahasa isyarat, gerakan tangan wanita itu lebih cepat dari biasanya. Namun Morgan tidak begitu tersinggung, justru sedikit terhibur. Pria itu bangkit dan mengusap lembut puncak kepala Sydney. “Mereka akan sangat kerepotan jika memutuskan untuk memeriksa barang-barang itu. Distribusinya juga akan lebih lama karena pemerintah tidak bisa bergerak cepat,” tukas Morgan juga penuh sindiran untuk pemerintah. “Aku pergi dulu
Morgan melangkah masuk ke dalam gedung, diikuti oleh Ronald. “Kami ingin bertemu dengan Nyonya Vienna Ryder,” ucap Ronald saat berhenti di meja resepsionis. “Anda dari mana? Apa sudah membuat janji sebelumnya?” tanya resepsionis wanita dengan tanda nama Riana di atas dadanya. “Tuan saya, Tuan Morgan Draxus. Sebut saja nama Tuan saya pada Nyonya Vienna, kami seharusnya bisa menemui beliau tanpa membuat janji,” jawab Ronald mewakili Morgan. Riana menoleh pada Morgan. Dan pria itu membalasnya dengan menatap tajam, tidak menunjukkan keramahannya sedikit pun. Riana menelan ludah, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Kemudian dia menatap layar komputer dan menekan tetikus beberapa kali. “Maaf, untuk saat ini jadwal Nyonya Vienna penuh sampai sore. Beliau tidak bisa–” “Kita langsung saja. Aku sudah tahu di mana ruangannya,” tukas Morgan memotong ucapan resepsionis yang dinilai menghambatnya itu. Pria itu segera melangkah lebar. Diikuti oleh Ronald yang langsung mengangguk tan
“Aku tidak pernah mencampuradukkan urusan bisnis dengan pribadi.” Morgan menatap tajam Vienna dan menjawabnya dengan dingin. Vienna memaksakan senyum, walaupun dalam hati dia ketakutan setengah mati. “Ehem!” Lucas berdeham, membuat Vienna menoleh padanya. Pria itu menggeleng pelan, memberi isyarat supaya sang istri tidak melanjutkan ucapannya. Sementara Vienna menatap Lucas tidak suka. Namun Vienna tetap menuruti sang suami. “Kalau begitu apa yang akan perusahaan saya dapatkan dari proyek ini, Tuan Morgan?” tanya Vienna berusaha memberanikan diri sekaligus mengalihkan topik. Morgan semakin memberi Vienna tatapan yang mengintimidasi. Pria itu tidak suka harus menjelaskan sesuatu yang sudah jelas di dalam proposal itu. Pertanyaan Vienna hanya salah satu bukti bahwa wanita itu tidak membaca dan mencerna dengan baik setiap kalimat yang ada dalam proposal. Lucas berusaha menahan desahan napasnya yang merasa kesal dengan pertanyaan sang istri. “Izinkan saya yang menjelaskan, Tuan.”
“Mmh … Mmh ….” Morgan keluar dari ruangan Vienna sambil bersenandung samar. Suaranya hampir tidak terdengar, tetapi Ronald yang memiliki indra pendengaran tajam mampu mendengarnya. “Apa berhasil, Tuan?” tanya Ronald dengan tetap menjaga sopan santun. “Bagaimana kelihatannya?” Morgan balik bertanya seraya mengangkat salah satu alis dan mengamati wajah anak buah kepercayaannya itu. Ronald tersenyum samar. Dilihat dari mana pun, raut wajah dan senandung Morgan yang jarang terdengar itu sudah menjawab semuanya. “Saya akan segera menghubungi tim untuk mengawasi jalannya proyek ini,” ujar Ronald berinisiatif. Pria itu segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Kau harus. Kita memilih jalan yang sangat berisiko, tapi ganjarannya akan sangat menyenangkan. Mereka juga sudah menandatangani kontrak kerja sama,” perintah Morgan sedikit berbisik. Kemudian Morgan melangkah menjauh, berjalan di depan Ronald. “Aku akan ke toilet. Kau pergilah lebih dulu,” perintah Morgan lagi tanpa men
Morgan mengepalkan tangan. Kenangan buruk tentang wanita itu langsung berkelebat dalam kepalanya. “Bagaimana bisa kau muncul di hadapanku dengan percaya diri, Bella?!” geram Morgan. Morgan tidak mengindahkan peringatan wanita itu dan tetap memanggilnya Bella. Entah Veronica atau Bella, wanita di depannya adalah orang yang sama. Nama lengkapnya, Veronica Bella Pillpel. Dia adalah wanita yang memiliki banyak masa lalu dan rahasia dengan Morgan. Dulu Morgan lebih suka memanggilnya Bella. Tidak banyak yang tahu nama tengah model terkenal itu, hanya segelintir orang terdekat, termasuk Morgan. Terlalu menyukainya, Morgan bahkan sampai mengukir tato berinisial BP–yang berarti Bella Pillpel di dada pria itu. Tato yang sempat dipertanyakan oleh Sydney, tetapi kini sudah Morgan hapus. Menghapus nama itu seutuhnya dari tubuh dan hati Morgan. Sementara nama panggungnya adalah Veronica Pillpel. Model terkenal yang vakum selama dua tahun terakhir dengan alasan yang tidak pernah diketahui den
Sydney ingin mengejar Esther, tetapi cengkeraman Celia dan Miran pada kedua tangannya mengerat. “Ampuni kami, Nona. Tolong, jangan kejar dia!” Celia memohon dengan suara bergetar menahan tangis. “Kalau Nona terluka, semua perjuangan Esther akan sia-sia,” sambungnya sambil meneteskan air mata. Di balkon lantai dua mansion, Sydney menoleh pada Celia dan Miran bergantian dengan wajah basah. Napasnya memburu dan matanya menatap tajam ke bawah—ke arah taman yang kini kosong. Hanya suara angin dan helaan napas tertahan kedua pelayan Sydney yang terdengar. Sementara itu, si kembar sedang beristirahat di atas playmate. Mereka pasti lelah karena ikut merasakan energi negatif dari orang dewasa di sekitarnya. Sydney berontak dan berusaha menarik lengannya. Namun, cengkeraman pelayan-pelayannya terlalu kuat. “Jangan seperti ini, Nona. Kami mohon. Kami mohon demi Esther,” bisik Celia dengan s
Sydney berusaha menyentuh bahu Esther walaupun tangannya sedang penuh. Esther menoleh dan Sydney langsung memberi gadis itu tatapan meminta kejujuran dengan mata cokelatnya yang bergetar. Esther menarik napas dalam dan mengangguk kecil, lalu menatap mata Sydney dengan penuh rasa bersalah. “Maaf, Nona,” bisik Esther. “Seharusnya aku jujur sejak awal. Hari itu aku bertemu dengan Nona Bella. Aku … akulah yang memprovokasi beliau untuk mengambil si kembar dari Nona Sydney.” Mata Sydney langsung melebar. Kedua alisnya terangkat tinggi dan refleks menatap Esther seperti baru mengenalnya. Esther menunduk. “Tapi setelah melihat sendiri hati Nona Sydney, cara Nona memperlakukan mereka, cinta yang Nona berikan tanpa pamrih, saya sadar saya salah. Saya segera memutuskan hubungan dengan Nona Bella setelahnya. Saya kira, dengan begitu beliau kehilangan akses masuk ke mansion.” Suara Esther terdengar serak. “Saya benar-benar tidak menyangka kalau dia bekerja sama dengan Ronald. Padahal Ronald
Sementara itu beberapa menit sebelumnya. [Bagian depan sudah aman. Nona bisa masuk, mereka ada di taman sebelah gerbang.] Pesan dari Ronald itu muncul di layar ponsel Bella tepat saat sopirnya menghentikan mobil di balik dinding gerbang utama mansion. “Sempurna!” puji Bella atas pekerjaan salah satu orang kepercayaannya itu. Bibir wanita berambut hitam legam itu melengkung, memperlihatkan senyum licik yang bahkan membuat pengemudinya diam-diam merinding. Bella turun dari mobil tanpa banyak bicara. Dia melangkah masuk ke dalam mansion, tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Saat kakinya menapaki jalan setapak menuju taman, mata Bella langsung menangkap sosok Sydney yang duduk di atas alas piknik. Rambut panjang bergelombang warna cokelat milik wanita itu terlihat sangat mencolok. Namun langkah Bella terhenti ketika jarak di antara mereka kian dekat. “Mamiii!”
“Jangan keluar dulu, Sayang. Kita belum selesai,” pinta Morgan sambil menarik pinggang Sydney yang nyaris bangkit dari bathtub. Sydney menggigit bibir dan menoleh dengan napas terengah. Kulit wanita itu masih mengilap oleh air dan uap panas, sementara lehernya penuh bekas ciuman dari Morgan. Dengan kedua tangan yang gemetar ringan, Sydney menyentuh bahu Morgan dan mengangkat jemari untuk berbicara dalam bahasa isyarat. “Aku sudah berjanji pada para pelayan untuk berkeliling. Sebentar lagi mereka selesai menyiapkan si kembar.” Morgan mendesah panjang, lalu menyandarkan punggungnya di sisi bathtub. “Kenapa rasanya kau selalu mencuri napasku tapi tak pernah mengembalikannya, hmm?” tanya Morgan beretorika sambil mengelus lembut garis rahang Sydney. Sydney hanya tersenyum kecil. Pria itu kembali menarik tubuh Sydney dan menenggelamkan wajahnya ke lekukan leher sang kekasih. "Aku belum puas denganmu," bisik Morgan penuh bujuk rayu, padahal mereka baru saja bercinta selama dua jam leb
“Ayo, kita keluar. Mereka sudah tertidur,” ketik Sydney di ponsel dan menunjukkannya pada Esther. Esther melirik dua bayi mungil yang sudah tertidur pulas di boks. Dada Jade dan Jane naik turun perlahan dan terlihat sangat damai. Pelayan itu mengangguk kaku, lalu berjalan mengikuti langkah ringan Sydney ke luar kamar si kembar. Di depan pintu, Sydney kembali mengetik sesuatu di layar ponselnya. Dia menyodorkannya sebelum berpisah. “Aku titip salam untuk adikmu. Jika kau ingin bertemu lagi dengannya, beri tahu aku.” Esther mengatup bibirnya erat. Dada kirinya mendadak terasa sesak. “Baik, Nona,” jawab Esther seraya menunduk sopan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Esther membungkuk dan buru-buru pergi. Dia melangkah tergesa-gesa seolah takut tubuhnya akan runtuh jika terlalu lama berdiri di sana. Sydney diam di depan pintu sambil terus memandang punggung Esther yang semakin menjauh. Senyum wanita itu memudar dan berubah datar penuh waspada. Sesaat Sydney menoleh pada pintu k
“Bisakah Bibi pergi lebih dulu? Aku ingin bicara dengan Esther.” Layla mengernyit ketika membaca pesan di layar ponsel Sydney. Sekilas, Layla menatap wanita muda yang tengah menyusui bayi susu laki-lakinya dengan tenang itu. Sementara Jane tengah berbaring di sisi sofa Sydney, mengantre. Tubuh kedua bayi itu semakin besar. Sydney kesulitan jika harus menyusui mereka bersamaan. “Perlu aku panggilkan Celia dan Miran, Nona?” tanya Layla sambil menaikkan kedua alisnya. Sydney hanya menggeleng dan kembali mengetik. “Mereka sedang sibuk menata koleksi parfumku yang baru datang. Bibi istirahat saja dulu.” Esther yang berdiri di belakang Layla terlihat menegang. Dia meremas kedua jarinya tanpa sadar. Detak jantung Esther berdetak dua kali lebih cepat. Tubuhnya juga mulai terasa panas meski pendingin udara di kamar si kembar menyala. Kenapa Sydney mendadak in
“Ibu kandung?” Bella mengulang kalimat itu sambil terkekeh lirih. “Ternyata gelar itu berguna juga.” Gelar yang Bella buang begitu saja setelah melahirkan si kembar. Gelar yang membuat hidupnya sebagai Veronica Pillpel selesai, merusak tubuhnya, dan mengambil segala waktunya yang berharga. Esther mengangkat wajah. Tatapan penuh harapnya bersambut. Dia tersenyum senang, seperti seorang murid yang akhirnya mendapat pujian dari guru yang paling ditakutinya. Bella bangkit dari duduknya, lalu melangkah pelan ke arah cermin besar di tengah ruang tamunya. Dia mengetuk pelan bingkai kaca dua kali, lalu wanita itu berbalik. “Aku ingin tahu jadwal mereka dan siapa saja yang ikut mengawasi,” tukas Bella tegas. “Ronald masih bekerja di sana, bukan? Kau bisa bekerja sama dengannya untuk membuka jalan masuk untukku ke mansion.” Nama pria itu membuat senyum licik mengembang di wajah Bella. Dia menunduk sedikit sambil memainkan cincin di jari manisnya. Ronald adalah salah satu kerabat jauhnya y
“Tentu saja Nona Be—maksud saya, Nona Veronica lebih cantik!” Esther menjawab tanpa banyak berpikir, seakan kata-kata itu sudah lama tertahan di ujung lidahnya. Bella tersenyum puas. Dia mengangkat kedua tangan dan menyibak rambut panjangnya ke belakang telinga seperti sedang bersiap difoto. Mata wanita itu menyipit lembut, padahal beberapa saat lalu dia menatap pelayan setianya seperti harimau lapar hanya karena mendengar panggilan Nona yang disematkan pada Sydney. “Lanjutkan,” perintah Bella datar. Esther mengangguk cepat. “Saya tidak tahu di mana Tuan Morgan menemukan Sydney, Nona. Tapi sebenarnya … wanita itu awalnya bekerja di mansion,” lanjut Esther penuh keyakinan. Saat-saat seperti ini adalah saat yang sudah ditunggu oleh Esther. Setelah Bella menempatkannya di mansion Morgan dan menjadikan wanita muda itu mata-mata. Pada dasarnya
“S-saya tidak bekerja untuk Tuan Morgan, Nyonya,” sahut Esther terbata-bata. Wanita itu kelewatan meninggikan nada bicaranya karena gugup. Hal itu langsung memicu atmosfer kaku yang menyebar ke seluruh ruangan. Bella sontak membuang wajah ke arah lain sambil mendengkus. Dia tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya karena Esther terlalu reaktif. Jawaban seperti itu sudah pasti akan memancing pertanyaan menusuk lainnya. Seharusnya Esther cukup dengan berpura-pura tidak mengenal Morgan. Vienna menyunggingkan senyum sinis. Dia bangkit dan melangkah santai mendekati Esther yang masih berdiri canggung di tengah ruangan dengan kedua tangan mengepal gugup di depan tubuhnya. “Bukankah Tuan Morgan adalah orang yang sangat … tegas?” tanya Vienna seraya menekankan setiap kata yang diucapkan. “Terutama terhadap pengkhianat. Berani sekali kau mengaku tidak bekerja dengannya saat masih memakai seragam pelayan dari mansion p