Ini pertama kalinya Morgan bicara terbuka tentang pekerjaan, jadi Sydney ingin mencoba menggali sejauh apa pria itu akan bicara. Morgan menatap lekat manik cokelat Sydney. “Kau tidak perlu tahu,” jawab Morgan akhirnya. Sydney mendesah dan membuang wajah untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menatap pria itu. “Ya, lagipula barang yang diantar dan dikirim oleh Poseidon Exports pasti sangat banyak. Pemerintah saja sampai tidak pernah memeriksa barang-barangmu,” sahut Sydney sedikit menyindir. Dan Morgan dapat merasakan sindirian itu walaupun Sydney menggunakan bahasa isyarat, gerakan tangan wanita itu lebih cepat dari biasanya. Namun Morgan tidak begitu tersinggung, justru sedikit terhibur. Pria itu bangkit dan mengusap lembut puncak kepala Sydney. “Mereka akan sangat kerepotan jika memutuskan untuk memeriksa barang-barang itu. Distribusinya juga akan lebih lama karena pemerintah tidak bisa bergerak cepat,” tukas Morgan juga penuh sindiran untuk pemerintah. “Aku pergi dulu
Morgan melangkah masuk ke dalam gedung, diikuti oleh Ronald. “Kami ingin bertemu dengan Nyonya Vienna Ryder,” ucap Ronald saat berhenti di meja resepsionis. “Anda dari mana? Apa sudah membuat janji sebelumnya?” tanya resepsionis wanita dengan tanda nama Riana di atas dadanya. “Tuan saya, Tuan Morgan Draxus. Sebut saja nama Tuan saya pada Nyonya Vienna, kami seharusnya bisa menemui beliau tanpa membuat janji,” jawab Ronald mewakili Morgan. Riana menoleh pada Morgan. Dan pria itu membalasnya dengan menatap tajam, tidak menunjukkan keramahannya sedikit pun. Riana menelan ludah, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Kemudian dia menatap layar komputer dan menekan tetikus beberapa kali. “Maaf, untuk saat ini jadwal Nyonya Vienna penuh sampai sore. Beliau tidak bisa–” “Kita langsung saja. Aku sudah tahu di mana ruangannya,” tukas Morgan memotong ucapan resepsionis yang dinilai menghambatnya itu. Pria itu segera melangkah lebar. Diikuti oleh Ronald yang langsung mengangguk tan
“Aku tidak pernah mencampuradukkan urusan bisnis dengan pribadi.” Morgan menatap tajam Vienna dan menjawabnya dengan dingin. Vienna memaksakan senyum, walaupun dalam hati dia ketakutan setengah mati. “Ehem!” Lucas berdeham, membuat Vienna menoleh padanya. Pria itu menggeleng pelan, memberi isyarat supaya sang istri tidak melanjutkan ucapannya. Sementara Vienna menatap Lucas tidak suka. Namun Vienna tetap menuruti sang suami. “Kalau begitu apa yang akan perusahaan saya dapatkan dari proyek ini, Tuan Morgan?” tanya Vienna berusaha memberanikan diri sekaligus mengalihkan topik. Morgan semakin memberi Vienna tatapan yang mengintimidasi. Pria itu tidak suka harus menjelaskan sesuatu yang sudah jelas di dalam proposal itu. Pertanyaan Vienna hanya salah satu bukti bahwa wanita itu tidak membaca dan mencerna dengan baik setiap kalimat yang ada dalam proposal. Lucas berusaha menahan desahan napasnya yang merasa kesal dengan pertanyaan sang istri. “Izinkan saya yang menjelaskan, Tuan.”
“Mmh … Mmh ….” Morgan keluar dari ruangan Vienna sambil bersenandung samar. Suaranya hampir tidak terdengar, tetapi Ronald yang memiliki indra pendengaran tajam mampu mendengarnya. “Apa berhasil, Tuan?” tanya Ronald dengan tetap menjaga sopan santun. “Bagaimana kelihatannya?” Morgan balik bertanya seraya mengangkat salah satu alis dan mengamati wajah anak buah kepercayaannya itu. Ronald tersenyum samar. Dilihat dari mana pun, raut wajah dan senandung Morgan yang jarang terdengar itu sudah menjawab semuanya. “Saya akan segera menghubungi tim untuk mengawasi jalannya proyek ini,” ujar Ronald berinisiatif. Pria itu segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Kau harus. Kita memilih jalan yang sangat berisiko, tapi ganjarannya akan sangat menyenangkan. Mereka juga sudah menandatangani kontrak kerja sama,” perintah Morgan sedikit berbisik. Kemudian Morgan melangkah menjauh, berjalan di depan Ronald. “Aku akan ke toilet. Kau pergilah lebih dulu,” perintah Morgan lagi tanpa men
Morgan mengepalkan tangan. Kenangan buruk tentang wanita itu langsung berkelebat dalam kepalanya. “Bagaimana bisa kau muncul di hadapanku dengan percaya diri, Bella?!” geram Morgan. Morgan tidak mengindahkan peringatan wanita itu dan tetap memanggilnya Bella. Entah Veronica atau Bella, wanita di depannya adalah orang yang sama. Nama lengkapnya, Veronica Bella Pillpel. Dia adalah wanita yang memiliki banyak masa lalu dan rahasia dengan Morgan. Dulu Morgan lebih suka memanggilnya Bella. Tidak banyak yang tahu nama tengah model terkenal itu, hanya segelintir orang terdekat, termasuk Morgan. Terlalu menyukainya, Morgan bahkan sampai mengukir tato berinisial BP–yang berarti Bella Pillpel di dada pria itu. Tato yang sempat dipertanyakan oleh Sydney, tetapi kini sudah Morgan hapus. Menghapus nama itu seutuhnya dari tubuh dan hati Morgan. Sementara nama panggungnya adalah Veronica Pillpel. Model terkenal yang vakum selama dua tahun terakhir dengan alasan yang tidak pernah diketahui den
“Apa?!” pekik Ghina.Wanita itu membelalak dan mulutnya terbuka. Dia segera menutupnya dengan tangan beberapa saat kemudian.Sementara Morgan tetap memasang raut wajah datar, walaupun dia sama terkejutnya dengan Ghina. Pria itu tidak menyangka Bella akan begitu blak-blakan.“Bella!” geram Morgan pelan sambil mengepalkan tangan.Bella hanya mengangkat kedua alis.“Aku hanya bicara apa adanya,” sahut Bella tidak merasa bersalah.Wanita itu mengibaskan rambut ke belakang dengan angkuh. Persetan dengan alasan kejujuran, Bella hanya ingin pamer.Morgan adalah pria paling berkuasa di Highvale. Semua orang harus tahu bahwa Morgan pernah bertekuk lutut di kaki Bella untuk mendapatkan dirinya.“Mantan suami?” pekik Ghina lagi.Bella menoleh pada Ghina sambil tersenyum lebar.“Apa … apa mungkin kalian memiliki anak?” Ghina melanjutkan dengan agak gugup, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.Perusahaan sudah mengeluarkan uang cukup besar untuk menarik Bella ke perusahaan ini. Ghina tidak bi
Lemari koleksi parfum yang Sydney minta dari Morgan baru saja tiba. Barang penyimpanan yang terbuat dari kayu kualitas terbaik itu diletakkan di salah satu sudut kamar Sydney. Saat melihat ke ujung kanan lemari, Sydney dapat melihat ukiran namanya di sana. Wanita itu mengangkat tangan dan mencoba merabanya. “Lemarinya bagus sekali!” puji Celia yang berdiri di belakang Sydney. “Melihat Nona sekarang bersama Tuan, aku jadi termotivasi untuk mencari pasangan yang seperti Tuan Morgan.” Sydney tersenyum tanpa menoleh. Dia masih asyik menatap lekat setiap inchi lemari. Wanita itu sudah bisa membayangkan berapa banyak parfum yang bisa dia koleksi dengan lemari sebesar ini. Ada beberapa merek parfum mewah yang sudah masuk ke dalam daftarnya untuk dibeli, tetapi sepertinya itu semua tidak bisa membuat lemari ini penuh. Miran yang bagaikan satu paket dengan Celia ikut bicara, “Jika ingin pasangan seperti Tuan Morgan, kau harus menjadi Nona Sydney yang cantik, pintar, tenang, pandai mengur
Morgan pulang saat hari sudah malam. Dia cukup terkejut karena Sydney menyiapkan banyak makanan. Selain itu, tidak biasanya Sydney mengenakan baju rajut model turtleneck yang menutupi hampir seluruh kulitnya. Beberapa saat kemudian, barulah Morgan sadar bahwa itu akibat ulahnya. Sydney sedang menyembunyikan bekas-bekas kemerahan yang pria itu tinggalkan di tubuhnya. “Kau sudah lebih baik?” Morgan bertanya saat Sydney membawakan semangkuk besar sup ayam dari arah dapur. Sydney menaruh sup ayam tersebut di atas meja makan lebih dulu. Setelah itu dia baru menoleh ke arah Morgan dan mengangguk. “Hanya tersisa kemerahan samar di sekujur tubuhku!” jawab Sydney dengan bahasa isyarat. Wanita itu melipat tangan di depan dada dan mengerucutkan bibir. Morgan tahu sang kekasih kesal, tetapi dia justru tidak bisa menahan tawa melihat sisi Sydney yang kekanak-kanakan seperti ini. Pria itu menepuk pelan pahanya, meminta Sydney duduk di sana. Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, Sydney segera
“Timothy Zahlee? Itu nama mahasiswa yang tinggal di sini sebelum aku. Sekarang aku yang menempati kamar ini, Kak,” ucap seorang pria muda berkacamata yang Vienna temui setelah mengetuk sebuah pintu kamar asrama mahasiswa Universitas Highvale. Vienna mengernyitkan dahi. Dia ingat betul, hampir empat tahun lalu ikut mengantar Timothy ke tempat ini. Wanita itu pergi dengan langkah lebar dan menahan perasaan malu. Lalu Vienna juga mengirim pesan pada Timothy, “Kau tinggal di mana sekarang, Bajingan Kecil?!” Tidak lama kemudian, pesan yang sangat panjang dari Timothy masuk ke ponsel Vienna. Wanita itu sampai harus menghentikan langkah demi membaca satu paragraf penuh dari sang adik. [Kakak mengerti sekarang, kenapa aku lebih menyukai Kak Sydney daripada keluargaku sendiri? Baik Kak Vienna, Mama, dan Papa tidak pernah peduli aku tinggal di mana dan bagaimana kehidupanku. Kalian bahkan tidak tahu kalau aku sudah pindah ke tempat l
Bella tengah menikmati pijatan di bahu selagi kuku-kukunya dirapikan oleh nail artist di sebuah salon ternama Highvale. Salah satu fasilitas yang dia dapatkan setelah bergabung dengan Zahlee Entertainment. Sementara Vienna duduk di sebelahnya dengan wajah masam. Wanita itu ditemani oleh sekretarisnya yang siap sedia mencatat segala permintaan Bella untuk persiapan pengumuman comeback pada tablet. Sudah satu jam berlalu, dan Vienna sangat jenuh. Ini bukan jenis pekerjaan yang dia sukai, jadi biasanya Ghina atau Fred yang melakukan ini. Namun, kedua orang tuanya itu sedang tidak bisa diandalkan. “Itu beberapa media yang wajib hadir. Reporter mereka bisa diajak kerjasama dan sangat pro padaku,” tukas Bella sambil memejamkan mata, menikmati pelayanan eksklusif yang hanya didapatkan oleh artis kelas A. Vienna melirik sang sekretaris, memastikan dia sudah mencatat beberapa nama media yang sudah disebutkan oleh Bell
Sydney spontan membelalak dan segera turun dari meja. Hidung wanita itu kembang kempis ketika menyadari ada bau gosong yang menguar di sekitar mereka. ‘Ikan salmonnya!’ Sydney memekik dalam hati. Tangan Sydney dengan cekatan mematikan api pada kompor. Dan seperti yang Sydney duga, ikan salmon itu sudah hangus menghitam. Sydney mendengkus, membayangkan dia harus mengulang langkah masak dari awal lagi. Sementara pelaku utama yang membuatnya melupakan ikan salmon itu justru tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Morgan menarik dan mengangkat salah satu tangan Sydney. Dia mencium punggung tangannya penuh cinta, seolah dunia pria itu ada di sana. “Sekarang, mari kita urus yang basah di sini,” tukas Morgan sambil mengusap sisa air mata di pipi Sydney. Sydney membeku. Daripada berhubungan seks, tindakan-tindakan manis seperti ini cenderung meluluhkan hati wanita lebih cepat. “Apa karena itu kau menghindariku semalam?” tanya Morgan menatap lekat Sydney. Sydney menghela napas
Sydney baru saja menaruh ikan salmon di atas wajan saat tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. Tanpa menoleh, Sydney sangat mengenali aroma yang hanya dimiliki oleh Morgan ada di belakangnya. Pria itu menarik kerah pakaian Sydney ke bawah dan mengecup tengkuknya yang indah. Sydney meremang, tetapi dia tetap memilih untuk fokus pada masakannya. “Mengapa semalam tidak datang ke kamarku? Bukankah aku sudah memberitahu kalau semalam jadwalnya di kamarku?” bisik Morgan dengan suara khas bangun tidur. Sydney menghela napas dan akhirnya memutar tubuh menghadap Morgan. Pria itu sama sekali tidak melonggarkan pelukannya dan Sydney agak terkejut ketika mendapati Morgan bertelanjang dada, padahal musim dingin sudah datang. “Aku sedang halangan,” jawab Sydney dengan bahasa isyarat dan wajah yang datar. Morgan menaikkan salah satu alis, mencoba membaca raut wajah Sydney yang tidak biasa itu.
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Lucas, setengah tertarik dan setengah tidak. Namun demi kedamaian hidupnya, pria itu tetap menjaga nada suaranya. Naik satu oktaf saja, Vienna akan protes. “Berita baik,” jawab Vienna. Wanita itu menegakkan punggung dan bertemu tatap dengan Lucas. “Kau tahu Veronica Pillpel yang bekerja sama dengan kita?” tanya Vienna dengan antusias. Jauh sebelum bekerja sama dengan Zahlee Entertainment, Veronica Pillpel sudah sangat terkenal. Wajahnya menghiasi segala media pemasaran. Brand-brand berlomba untuk menjadikan Veronica model eksklusif merek mereka. Namun tidak ada yang pernah berhasil mencapai kesepakatan dengan model itu. “Ya, yang sebentar lagi akan kita publikasikan comeback-nya ke publik,” jawab Lucas mengernyitkan dahi semakin dalam. “Ada apa dengannya?” Jarang sekali Vienna sesenang ini saat membicarakan wanita lain. Dia bahkan tampak malas setiap kali Lucas mengungkit soal Nirina. Vienna mengangguk cepat dan senyum terukir lebar di bibir
Beberapa saat kemudian, Morgan sudah duduk di ranjang rumah sakit seorang diri dengan telapak tangan sebelah kanan dibalut perban. Sementara tangan kirinya digunakan untuk mengangkat ponsel ke telinga. Pria itu sedang menelepon seseorang. “Kau bisa mengurus secepatnya?” tanya Morgan dengan tegas. “Bisa, Tuan. Tuan ingin saya mengirimnya ke mana?” tanya pria di seberang telepon yang adalah anak buahnya. “Kirim saja ke Agnado dan minta yang ada di sana mengurusnya,” jawab Morgan tanpa banyak berpikir. “Baik, Tuan. Dalam waktu kurang dari 24 jam, saya akan membereskan semuanya,” jawab anak buah Morgan dengan percaya diri. Morgan tersenyum miring. Pelatihan dan pengalaman yang sudah ditempuh oleh para anak buahnya telah menghasilkan mental percaya diri. “Akan aku berikan bonus jika kau berhasil melakukannya,” desak Morgan dengan cara yang tidak bisa ditolak. Panggilan telepon itu berakhir bertepatan dengan Sydney yang masuk ke ruangan dengan raut wajah khawatir. Dahinya berkerut d
‘Dari mana mereka tahu? Apa sejelas itu perubahan pakaian yang aku kenakan?’ batin Sydney dengan pipi memerah. Sebelum Morgan menyentuhnya, Sydney memang lebih sering memakai gaun yang memperlihatkan leher jenjang dan tulang selangkanya yang cantik. Namun, akhir-akhir ini dia hanya memakai kaus-kaus berlengan panjang yang menutup leher. Sydney spontan menaikkan kain yang menutup lehernya ke atas, memastikan tidak ada bekas merah yang nampak dari sana. Ghina mengernyit dan menaikkan salah satu sudut bibirnya, terlihat jijik dengan kedua pelayan Sydney yang dia anggap tidak beradab. Kedua pelayan yang menjadi benteng terluar Sydney. Namun walaupun memiliki hal seperti itu, Sydney masih terngiang dengan ucapan Ghina. ‘Morgan bertemu dan bermesraan dengan mantan istrinya?’ batin Sydney menahan gumpalan emosi yang mulai mengetuk hatinya. “Pemuas nafsu sesaat tidak sama dengan wanita yang pernah dicintai sepenuh hati hingga berakhir menikah,” tukas Ghina akhirnya seraya menekan
“Biar aku yang dorong, Nona.” Celia dengan semangat menarik salah satu troli belanja yang ada di supermarket, lalu mendorongnya. Sydney mengangguk dengan anggun. Sementara Miran yang berdiri di sebelahnya melirik tajam. Celia menjulurkan lidah untuk mengejek Miran yang kalah cepat darinya. Hari ini Sydney pergi ke supermarket, ditemani oleh Celia dan Miran. Tentu sudah atas izin Morgan. Kali ini syarat pria itu tidak terlalu banyak, seperti waktu lalu saat acara makan malam di rumah keluarga Sydney. Oleh sebab itu, si kembar tetap berada di rumah dalam pengawasan Layla. Setelah Sydney menyediakan beberapa kantung ASI untuk mereka. “Nona ingin membeli apa?” tanya Miran sambil menyamai langkah Sydney, membiarkan Celia sendirian di belakang. “Aku hafal letak barang-barang di supermarket ini.” Sydney mengetik sesuatu di ponsel, lalu menunjukkannya pada sang pelayan. “Kebutuhan pribadiku, lalu ada beberapa untuk si kembar. Kalian ada yang ingin dibeli? Katakan saja. Aku juga akan m
“Mami. Mereka memanggilku Mami,” jawab Sydney sambil menggerakkan tangan dengan penuh penekanan. Napasnya sedikit terengah-engah karena baru saja mengejar Morgan dan hampir dikuasai emosi. Morgan melebarkan kedua bola matanya selama beberapa detik, lalu kembali memasang wajah datar. Sydney masih diam. Dia dengan sabar menunggu respons Morgan. Keterkejutan Morgan–walaupun hanya beberapa saat, mampu sedikit meredam emosi Sydney. ‘Bagaimana bisa seorang ayah bersikap cuek pada anaknya seperti ini?’ batin Sydney. Sydney mengamati Morgan dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Itu bagus,” sahut Morgan singkat, senyum tipis terukir di bibirnya. Jade dan Jane mulai bicara memang bagus, tetapi sepertinya masih ada yang tidak Morgan sadari. Sydney sampai tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya di hadapan pria itu. “Bukankah seharusnya kau memperbaiki cara mereka memanggilku?” tanya Sydney, kali ini gerakan tangannya lebih pelan. “Mereka tidak seharusnya memanggilku seperti itu. Bi