Lemari koleksi parfum yang Sydney minta dari Morgan baru saja tiba. Barang penyimpanan yang terbuat dari kayu kualitas terbaik itu diletakkan di salah satu sudut kamar Sydney. Saat melihat ke ujung kanan lemari, Sydney dapat melihat ukiran namanya di sana. Wanita itu mengangkat tangan dan mencoba merabanya. “Lemarinya bagus sekali!” puji Celia yang berdiri di belakang Sydney. “Melihat Nona sekarang bersama Tuan, aku jadi termotivasi untuk mencari pasangan yang seperti Tuan Morgan.” Sydney tersenyum tanpa menoleh. Dia masih asyik menatap lekat setiap inchi lemari. Wanita itu sudah bisa membayangkan berapa banyak parfum yang bisa dia koleksi dengan lemari sebesar ini. Ada beberapa merek parfum mewah yang sudah masuk ke dalam daftarnya untuk dibeli, tetapi sepertinya itu semua tidak bisa membuat lemari ini penuh. Miran yang bagaikan satu paket dengan Celia ikut bicara, “Jika ingin pasangan seperti Tuan Morgan, kau harus menjadi Nona Sydney yang cantik, pintar, tenang, pandai mengur
Morgan pulang saat hari sudah malam. Dia cukup terkejut karena Sydney menyiapkan banyak makanan. Selain itu, tidak biasanya Sydney mengenakan baju rajut model turtleneck yang menutupi hampir seluruh kulitnya. Beberapa saat kemudian, barulah Morgan sadar bahwa itu akibat ulahnya. Sydney sedang menyembunyikan bekas-bekas kemerahan yang pria itu tinggalkan di tubuhnya. “Kau sudah lebih baik?” Morgan bertanya saat Sydney membawakan semangkuk besar sup ayam dari arah dapur. Sydney menaruh sup ayam tersebut di atas meja makan lebih dulu. Setelah itu dia baru menoleh ke arah Morgan dan mengangguk. “Hanya tersisa kemerahan samar di sekujur tubuhku!” jawab Sydney dengan bahasa isyarat. Wanita itu melipat tangan di depan dada dan mengerucutkan bibir. Morgan tahu sang kekasih kesal, tetapi dia justru tidak bisa menahan tawa melihat sisi Sydney yang kekanak-kanakan seperti ini. Pria itu menepuk pelan pahanya, meminta Sydney duduk di sana. Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, Sydney segera
Keesokan pagi tepat pada pukul sembilan, Sydney menyuapi Jade dan Jane di teras belakang mansion. Sinar matahari bersinar terang menerpa mereka, Sydney memanfaatkan itu supaya si kembar sedikit hangat saat musim dingin datang. Si kembar yang duduk di kursi bayi khusus makan terus tertawa riang dan saling meraba wajah masing-masing. ‘Oh, lucu sekali!’ puji Sydney dalam hati sambil menyuap sesendok kecil makanan ke mulut Jane. Walaupun malam panasnya bersama Morgan sudah berlalu beberapa hari dan semalam pria itu benar-benar menepati janjinya untuk tidak meninggalkan bekas, Sydney masih belum bisa mengenakan pakaian jenis lain selain yang menutup hampir seluruh kulitnya. Bahkan jika stok baju panjangnya habis, Sydney akan meminta dicarikan yang baru. Beberapa pelayan terlihat sedang berjalan menuju paviliun belakang. Fokus Sydney teralihkan ke sana. Sampai tiba-tiba, Sydney mendengar suara bayi kecil yang berbicara. “Ma … mi!” Sydney menoleh tajam dan menajamkan indra pendengar
“Mami. Mereka memanggilku Mami,” jawab Sydney sambil menggerakkan tangan dengan penuh penekanan. Napasnya sedikit terengah-engah karena baru saja mengejar Morgan dan hampir dikuasai emosi. Morgan melebarkan kedua bola matanya selama beberapa detik, lalu kembali memasang wajah datar. Sydney masih diam. Dia dengan sabar menunggu respons Morgan. Keterkejutan Morgan–walaupun hanya beberapa saat, mampu sedikit meredam emosi Sydney. ‘Bagaimana bisa seorang ayah bersikap cuek pada anaknya seperti ini?’ batin Sydney. Sydney mengamati Morgan dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Itu bagus,” sahut Morgan singkat, senyum tipis terukir di bibirnya. Jade dan Jane mulai bicara memang bagus, tetapi sepertinya masih ada yang tidak Morgan sadari. Sydney sampai tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya di hadapan pria itu. “Bukankah seharusnya kau memperbaiki cara mereka memanggilku?” tanya Sydney, kali ini gerakan tangannya lebih pelan. “Mereka tidak seharusnya memanggilku seperti itu. Bi
“Biar aku yang dorong, Nona.” Celia dengan semangat menarik salah satu troli belanja yang ada di supermarket, lalu mendorongnya. Sydney mengangguk dengan anggun. Sementara Miran yang berdiri di sebelahnya melirik tajam. Celia menjulurkan lidah untuk mengejek Miran yang kalah cepat darinya. Hari ini Sydney pergi ke supermarket, ditemani oleh Celia dan Miran. Tentu sudah atas izin Morgan. Kali ini syarat pria itu tidak terlalu banyak, seperti waktu lalu saat acara makan malam di rumah keluarga Sydney. Oleh sebab itu, si kembar tetap berada di rumah dalam pengawasan Layla. Setelah Sydney menyediakan beberapa kantung ASI untuk mereka. “Nona ingin membeli apa?” tanya Miran sambil menyamai langkah Sydney, membiarkan Celia sendirian di belakang. “Aku hafal letak barang-barang di supermarket ini.” Sydney mengetik sesuatu di ponsel, lalu menunjukkannya pada sang pelayan. “Kebutuhan pribadiku, lalu ada beberapa untuk si kembar. Kalian ada yang ingin dibeli? Katakan saja. Aku juga akan m
‘Dari mana mereka tahu? Apa sejelas itu perubahan pakaian yang aku kenakan?’ batin Sydney dengan pipi memerah. Sebelum Morgan menyentuhnya, Sydney memang lebih sering memakai gaun yang memperlihatkan leher jenjang dan tulang selangkanya yang cantik. Namun, akhir-akhir ini dia hanya memakai kaus-kaus berlengan panjang yang menutup leher. Sydney spontan menaikkan kain yang menutup lehernya ke atas, memastikan tidak ada bekas merah yang nampak dari sana. Ghina mengernyit dan menaikkan salah satu sudut bibirnya, terlihat jijik dengan kedua pelayan Sydney yang dia anggap tidak beradab. Kedua pelayan yang menjadi benteng terluar Sydney. Namun walaupun memiliki hal seperti itu, Sydney masih terngiang dengan ucapan Ghina. ‘Morgan bertemu dan bermesraan dengan mantan istrinya?’ batin Sydney menahan gumpalan emosi yang mulai mengetuk hatinya. “Pemuas nafsu sesaat tidak sama dengan wanita yang pernah dicintai sepenuh hati hingga berakhir menikah,” tukas Ghina akhirnya seraya menekan
Beberapa saat kemudian, Morgan sudah duduk di ranjang rumah sakit seorang diri dengan telapak tangan sebelah kanan dibalut perban. Sementara tangan kirinya digunakan untuk mengangkat ponsel ke telinga. Pria itu sedang menelepon seseorang. “Kau bisa mengurus secepatnya?” tanya Morgan dengan tegas. “Bisa, Tuan. Tuan ingin saya mengirimnya ke mana?” tanya pria di seberang telepon yang adalah anak buahnya. “Kirim saja ke Agnado dan minta yang ada di sana mengurusnya,” jawab Morgan tanpa banyak berpikir. “Baik, Tuan. Dalam waktu kurang dari 24 jam, saya akan membereskan semuanya,” jawab anak buah Morgan dengan percaya diri. Morgan tersenyum miring. Pelatihan dan pengalaman yang sudah ditempuh oleh para anak buahnya telah menghasilkan mental percaya diri. “Akan aku berikan bonus jika kau berhasil melakukannya,” desak Morgan dengan cara yang tidak bisa ditolak. Panggilan telepon itu berakhir bertepatan dengan Sydney yang masuk ke ruangan dengan raut wajah khawatir. Dahinya berkerut d
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Lucas, setengah tertarik dan setengah tidak. Namun demi kedamaian hidupnya, pria itu tetap menjaga nada suaranya. Naik satu oktaf saja, Vienna akan protes. “Berita baik,” jawab Vienna. Wanita itu menegakkan punggung dan bertemu tatap dengan Lucas. “Kau tahu Veronica Pillpel yang bekerja sama dengan kita?” tanya Vienna dengan antusias. Jauh sebelum bekerja sama dengan Zahlee Entertainment, Veronica Pillpel sudah sangat terkenal. Wajahnya menghiasi segala media pemasaran. Brand-brand berlomba untuk menjadikan Veronica model eksklusif merek mereka. Namun tidak ada yang pernah berhasil mencapai kesepakatan dengan model itu. “Ya, yang sebentar lagi akan kita publikasikan comeback-nya ke publik,” jawab Lucas mengernyitkan dahi semakin dalam. “Ada apa dengannya?” Jarang sekali Vienna sesenang ini saat membicarakan wanita lain. Dia bahkan tampak malas setiap kali Lucas mengungkit soal Nirina. Vienna mengangguk cepat dan senyum terukir lebar di bibir
Sydney ingin mengejar Esther, tetapi cengkeraman Celia dan Miran pada kedua tangannya mengerat. “Ampuni kami, Nona. Tolong, jangan kejar dia!” Celia memohon dengan suara bergetar menahan tangis. “Kalau Nona terluka, semua perjuangan Esther akan sia-sia,” sambungnya sambil meneteskan air mata. Di balkon lantai dua mansion, Sydney menoleh pada Celia dan Miran bergantian dengan wajah basah. Napasnya memburu dan matanya menatap tajam ke bawah—ke arah taman yang kini kosong. Hanya suara angin dan helaan napas tertahan kedua pelayan Sydney yang terdengar. Sementara itu, si kembar sedang beristirahat di atas playmate. Mereka pasti lelah karena ikut merasakan energi negatif dari orang dewasa di sekitarnya. Sydney berontak dan berusaha menarik lengannya. Namun, cengkeraman pelayan-pelayannya terlalu kuat. “Jangan seperti ini, Nona. Kami mohon. Kami mohon demi Esther,” bisik Celia dengan s
Sydney berusaha menyentuh bahu Esther walaupun tangannya sedang penuh. Esther menoleh dan Sydney langsung memberi gadis itu tatapan meminta kejujuran dengan mata cokelatnya yang bergetar. Esther menarik napas dalam dan mengangguk kecil, lalu menatap mata Sydney dengan penuh rasa bersalah. “Maaf, Nona,” bisik Esther. “Seharusnya aku jujur sejak awal. Hari itu aku bertemu dengan Nona Bella. Aku … akulah yang memprovokasi beliau untuk mengambil si kembar dari Nona Sydney.” Mata Sydney langsung melebar. Kedua alisnya terangkat tinggi dan refleks menatap Esther seperti baru mengenalnya. Esther menunduk. “Tapi setelah melihat sendiri hati Nona Sydney, cara Nona memperlakukan mereka, cinta yang Nona berikan tanpa pamrih, saya sadar saya salah. Saya segera memutuskan hubungan dengan Nona Bella setelahnya. Saya kira, dengan begitu beliau kehilangan akses masuk ke mansion.” Suara Esther terdengar serak. “Saya benar-benar tidak menyangka kalau dia bekerja sama dengan Ronald. Padahal Ronald
Sementara itu beberapa menit sebelumnya. [Bagian depan sudah aman. Nona bisa masuk, mereka ada di taman sebelah gerbang.] Pesan dari Ronald itu muncul di layar ponsel Bella tepat saat sopirnya menghentikan mobil di balik dinding gerbang utama mansion. “Sempurna!” puji Bella atas pekerjaan salah satu orang kepercayaannya itu. Bibir wanita berambut hitam legam itu melengkung, memperlihatkan senyum licik yang bahkan membuat pengemudinya diam-diam merinding. Bella turun dari mobil tanpa banyak bicara. Dia melangkah masuk ke dalam mansion, tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Saat kakinya menapaki jalan setapak menuju taman, mata Bella langsung menangkap sosok Sydney yang duduk di atas alas piknik. Rambut panjang bergelombang warna cokelat milik wanita itu terlihat sangat mencolok. Namun langkah Bella terhenti ketika jarak di antara mereka kian dekat. “Mamiii!”
“Jangan keluar dulu, Sayang. Kita belum selesai,” pinta Morgan sambil menarik pinggang Sydney yang nyaris bangkit dari bathtub. Sydney menggigit bibir dan menoleh dengan napas terengah. Kulit wanita itu masih mengilap oleh air dan uap panas, sementara lehernya penuh bekas ciuman dari Morgan. Dengan kedua tangan yang gemetar ringan, Sydney menyentuh bahu Morgan dan mengangkat jemari untuk berbicara dalam bahasa isyarat. “Aku sudah berjanji pada para pelayan untuk berkeliling. Sebentar lagi mereka selesai menyiapkan si kembar.” Morgan mendesah panjang, lalu menyandarkan punggungnya di sisi bathtub. “Kenapa rasanya kau selalu mencuri napasku tapi tak pernah mengembalikannya, hmm?” tanya Morgan beretorika sambil mengelus lembut garis rahang Sydney. Sydney hanya tersenyum kecil. Pria itu kembali menarik tubuh Sydney dan menenggelamkan wajahnya ke lekukan leher sang kekasih. "Aku belum puas denganmu," bisik Morgan penuh bujuk rayu, padahal mereka baru saja bercinta selama dua jam leb
“Ayo, kita keluar. Mereka sudah tertidur,” ketik Sydney di ponsel dan menunjukkannya pada Esther. Esther melirik dua bayi mungil yang sudah tertidur pulas di boks. Dada Jade dan Jane naik turun perlahan dan terlihat sangat damai. Pelayan itu mengangguk kaku, lalu berjalan mengikuti langkah ringan Sydney ke luar kamar si kembar. Di depan pintu, Sydney kembali mengetik sesuatu di layar ponselnya. Dia menyodorkannya sebelum berpisah. “Aku titip salam untuk adikmu. Jika kau ingin bertemu lagi dengannya, beri tahu aku.” Esther mengatup bibirnya erat. Dada kirinya mendadak terasa sesak. “Baik, Nona,” jawab Esther seraya menunduk sopan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Esther membungkuk dan buru-buru pergi. Dia melangkah tergesa-gesa seolah takut tubuhnya akan runtuh jika terlalu lama berdiri di sana. Sydney diam di depan pintu sambil terus memandang punggung Esther yang semakin menjauh. Senyum wanita itu memudar dan berubah datar penuh waspada. Sesaat Sydney menoleh pada pintu k
“Bisakah Bibi pergi lebih dulu? Aku ingin bicara dengan Esther.” Layla mengernyit ketika membaca pesan di layar ponsel Sydney. Sekilas, Layla menatap wanita muda yang tengah menyusui bayi susu laki-lakinya dengan tenang itu. Sementara Jane tengah berbaring di sisi sofa Sydney, mengantre. Tubuh kedua bayi itu semakin besar. Sydney kesulitan jika harus menyusui mereka bersamaan. “Perlu aku panggilkan Celia dan Miran, Nona?” tanya Layla sambil menaikkan kedua alisnya. Sydney hanya menggeleng dan kembali mengetik. “Mereka sedang sibuk menata koleksi parfumku yang baru datang. Bibi istirahat saja dulu.” Esther yang berdiri di belakang Layla terlihat menegang. Dia meremas kedua jarinya tanpa sadar. Detak jantung Esther berdetak dua kali lebih cepat. Tubuhnya juga mulai terasa panas meski pendingin udara di kamar si kembar menyala. Kenapa Sydney mendadak in
“Ibu kandung?” Bella mengulang kalimat itu sambil terkekeh lirih. “Ternyata gelar itu berguna juga.” Gelar yang Bella buang begitu saja setelah melahirkan si kembar. Gelar yang membuat hidupnya sebagai Veronica Pillpel selesai, merusak tubuhnya, dan mengambil segala waktunya yang berharga. Esther mengangkat wajah. Tatapan penuh harapnya bersambut. Dia tersenyum senang, seperti seorang murid yang akhirnya mendapat pujian dari guru yang paling ditakutinya. Bella bangkit dari duduknya, lalu melangkah pelan ke arah cermin besar di tengah ruang tamunya. Dia mengetuk pelan bingkai kaca dua kali, lalu wanita itu berbalik. “Aku ingin tahu jadwal mereka dan siapa saja yang ikut mengawasi,” tukas Bella tegas. “Ronald masih bekerja di sana, bukan? Kau bisa bekerja sama dengannya untuk membuka jalan masuk untukku ke mansion.” Nama pria itu membuat senyum licik mengembang di wajah Bella. Dia menunduk sedikit sambil memainkan cincin di jari manisnya. Ronald adalah salah satu kerabat jauhnya y
“Tentu saja Nona Be—maksud saya, Nona Veronica lebih cantik!” Esther menjawab tanpa banyak berpikir, seakan kata-kata itu sudah lama tertahan di ujung lidahnya. Bella tersenyum puas. Dia mengangkat kedua tangan dan menyibak rambut panjangnya ke belakang telinga seperti sedang bersiap difoto. Mata wanita itu menyipit lembut, padahal beberapa saat lalu dia menatap pelayan setianya seperti harimau lapar hanya karena mendengar panggilan Nona yang disematkan pada Sydney. “Lanjutkan,” perintah Bella datar. Esther mengangguk cepat. “Saya tidak tahu di mana Tuan Morgan menemukan Sydney, Nona. Tapi sebenarnya … wanita itu awalnya bekerja di mansion,” lanjut Esther penuh keyakinan. Saat-saat seperti ini adalah saat yang sudah ditunggu oleh Esther. Setelah Bella menempatkannya di mansion Morgan dan menjadikan wanita muda itu mata-mata. Pada dasarnya
“S-saya tidak bekerja untuk Tuan Morgan, Nyonya,” sahut Esther terbata-bata. Wanita itu kelewatan meninggikan nada bicaranya karena gugup. Hal itu langsung memicu atmosfer kaku yang menyebar ke seluruh ruangan. Bella sontak membuang wajah ke arah lain sambil mendengkus. Dia tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya karena Esther terlalu reaktif. Jawaban seperti itu sudah pasti akan memancing pertanyaan menusuk lainnya. Seharusnya Esther cukup dengan berpura-pura tidak mengenal Morgan. Vienna menyunggingkan senyum sinis. Dia bangkit dan melangkah santai mendekati Esther yang masih berdiri canggung di tengah ruangan dengan kedua tangan mengepal gugup di depan tubuhnya. “Bukankah Tuan Morgan adalah orang yang sangat … tegas?” tanya Vienna seraya menekankan setiap kata yang diucapkan. “Terutama terhadap pengkhianat. Berani sekali kau mengaku tidak bekerja dengannya saat masih memakai seragam pelayan dari mansion p