Sydney ingin mengejar Esther, tetapi cengkeraman Celia dan Miran pada kedua tangannya mengerat.
“Ampuni kami, Nona. Tolong, jangan kejar dia!” Celia memohon dengan suara bergetar menahan tangis. “Kalau Nona terluka, semua perjuangan Esther akan sia-sia,” sambungnya sambil meneteskan air mata. Di balkon lantai dua mansion, Sydney menoleh pada Celia dan Miran bergantian dengan wajah basah. Napasnya memburu dan matanya menatap tajam ke bawah—ke arah taman yang kini kosong. Hanya suara angin dan helaan napas tertahan kedua pelayan Sydney yang terdengar. Sementara itu, si kembar sedang beristirahat di atas playmate. Mereka pasti lelah karena ikut merasakan energi negatif dari orang dewasa di sekitarnya. Sydney berontak dan berusaha menarik lengannya. Namun, cengkeraman pelayan-pelayannya terlalu kuat. “Jangan seperti ini, Nona. Kami mohon. Kami mohon demi Esther,” bisik Celia dengan s"Sangat memuakkan!” tukas Morgan dingin setelah memastikan Sydney masuk kembali ke dalam mansion dengan aman. Ronald menatap tuannya dengan wajah yang datar. Namun, sebelum dia sempat berkata apa pun, Morgan melayangkan pukulan keras ke rahangnya. Bughh! Ronald terhuyung dan jatuh tersungkur di atas tanah kerikil. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Namun, dia sama sekali tidak berusaha melawan. Morgan langsung berjongkok dan menarik kerah baju Ronald dengan kasar. “Brengsek!” maki Morgan menatap Ronald dengan tatapan siap membunuh. “Berapa banyak anak buah yang mengikutimu?!” Ronald mengatupkan rahangnya yang ngilu. “Hanya ada saya, Tuan,” jawab Ronald dengan napas berat. Bughh! Morgan kembali memukul Ronald, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Mendadak Morgan tidak sudi mendengar pengawal itu memanggil dirinya–sekalipun dengan sapa
“Papiii!” Suara Jade kembali menggema di dalam kamar. Kali ini lebih keras dari sebelumnya dan disertai tawa ceria yang sangat menggemaskan. Morgan menatap putranya sejenak. Lalu, dia tertawa lepas dan kencang. Tawa yang tidak biasa keluar dari mulut seorang pria seperti dirinya. Ada sedikit rasa getir, lega, dan banyak kebanggaan yang bercampur jadi satu. Di tengah rumitnya pengkhianatan, ancaman, dan darah yang belum kering di buku jarinya, Jade seperti sedang menghibur Morgan. Bayi itu menyelipkan cahaya di balik awan kelam yang menggantung sejak Bella menampakkan diri kembali. “Jade akhirnya memanggilku Papi, Darling!” seru Morgan bangga seraya meminta validasi dari sang kekasih. Sydney yang sedari tadi hanya menatap dalam diam akhirnya tersenyum. Matanya berkaca-kaca dan Sydney bertepuk tangan pelan. Morgan duduk di playmate, lalu memeluk Jade yang masih terkikik di pelukannya. “Good boy!” puji Morgan sambil mengacak rambut lembut putranya. “Kau akan menjadi penerusku. B
Keesokan paginya, Sydney mengantar Morgan yang akan pergi bekerja sambil menggendong Jade ke teras depan.Sementara Jane digendong oleh Miran. Beberapa kali bayi itu tersenyum menatap Morgan.“Pikirkan baik-baik kau akan meminta apa. Jangan ragu, kekasihmu ini kaya raya,” pesan Morgan mengingatkan Sydney bahwa wanita itu masih memiliki permintaan.Morgan mengangkat dagu dan menyeringai penuh percaya diri.Sydney menahan senyum geli. Tentu saja dia tahu Morgan kaya raya, mengingat beberapa waktu lalu pria itu dapat dengan melunasi dengan mudah utangnya yang berjumlah ratusan triliun.Kemudian pria itu menatap ke arah bayi dalam gendongan Sydney yang baru saja menguap kecil. Dia mengecup pelipis Jade dengan lembut, lalu beralih pada Jane yang berada dalam pelukan Miran.“Bagaimana dengan Esther? Apa sudah ada kabar?” Sydney mengangkat alis sambil menggerakan tangan.Pertanyaan itu membuat
Layla berusaha menghindari kontak langsung dengan mata Sydney yang cantik dan mengintimidasi tanpa disadari oleh pemiliknya itu. Pelayan senior itu mengaduk saus dalam panci yang sebenarnya sudah tidak butuh diaduk lagi. Uap panas dari masakan mengabur bersama ketegangan yang memenuhi udara di dapur itu. Sydney mencondongkan tubuhnya sedikit, lalu menyentuh pelan bahu Layla. Wanita itu menunjukkan hasil ketikan barunya di layar ponsel. “Ngomong-ngomong, aku tidak melihat Ronald pagi ini. Apa Morgan sudah memberhentikannya?” Jantung Layla berdetak cepat. Sydney bisa melihat jelas bagaimana wajah wanita paruh baya itu berubah semakin pucat dalam waktu singkat. Layla memejamkan mata sejenak seraya menelan ludah dengan susah payah. Lalu dia berbalik perlahan dan menatap Sydney dengan tegas yang sopan. "Aku pernah mengatakan sesuatu pada Nona saat Nona masuk ke mansion ini," ungkap La
Sydney menepuk pelan punggung tangan Miran sebelum menyerahkan dua wadah kecil berisi makanan lembut yang masih mengepulkan uap. Dia juga menunjukkan layar ponselnya pada pengasuh itu. “Aku titip MPASI-nya, Miran. Suapi mereka perlahan sambil membuat lelucon.” “Baik, Nona.” Miran menerima dengan anggukan dan senyum penuh tanggung jawab. Sebelum Sydney sempat berbalik, jemari kuat Morgan menggenggam tangannya. Morgan menarik tangan Sydney pelan. Dia menuntun wanita itu menuju pintu utama. “Kuatkan dirimu. Aku ada di sampingmu,” tukas Morgan tepat sebelum mereka melangkah melewati ambang pintu. Sydney mengernyit. Dahi wanita itu berkerut seolah ingin bertanya, tetapi tangannya tidak tergerak untuk menjawab lewat isyarat. Wanita itu hanya menatap Morgan dalam diam sambil menunggu apa yang akan terjadi. ‘Sebenarnya ada apa?’ tanya Sydney dalam hati. Udara luar yang dingin dan sejuk menyambut mereka. Langit tampak mendung, dan suasana di depan teras mansion benar-benar tidak bia
“Walaupun aku tidak terlalu dekat dengan Esther, ini tetap menyesakkan,” ucap Sydney dengan gerakan tangan pelan. Sementara mata wanita itu menatap lubang makam yang masih basah di hadapannya. Beberapa anak buah Morgan bertugas di sana. Morgan menunduk dan merangkul tubuh Sydney lebih erat. Hembusan angin siang berdesir pelan dan menyentuh daun-daun pohon tinggi di sekitar hutan belakang mansion. Tempat itu sunyi, tenang, dan sedikit menyeramkan, tetapi justru menjadi pilihan terbaik untuk peristirahatan terakhir seseorang yang telah menyerahkan diri untuk bekerja dengan Morgan. Sydney baru tahu bahwa di belakang mansion, ada area pemakaman milik Keluarga Draxus yang diperuntukkan khusus untuk pekerja. “Berdukalah sampai kau lega,” ujar Morgan menenangkan. Beberapa pelayan dan anak buah Morgan yang ikut hadir berdiri dalam diam. Wajah-wajah mereka muram dan sebagian bahkan memegang tisu atau me
“Astaga, telingaku panas,” gerutu Vienna sambil mengusap telinganya pelan. Wanita itu tengah duduk bersandar di kursi tunggu rumah sakit yang didominasi warna putih dan abu-abu. Aroma antiseptik khas rumah sakit menusuk hidung dan membuatnya sedikit mual. Vienna menoleh ke kiri dan kanan sejenak sebelum berbisik, “Sepertinya ada yang sedang membicarakanku.” Tidak lama kemudian, Vienna mengedikkan bahu kecilnya dan memutuskan untuk tidak ambil pusing. Dia terlalu lelah hari ini, apalagi dengan drama si Ratu Masalah, Veronica Bella Pillpel. Ponselnya berdenting, membuat Vienna spontan menoleh dan meraih benda mungil itu dari pangkuannya. “Apakah ini balasan dari si drama queen?” tebak Vienna pelan sambil mengetuk layar. Namun alisnya naik ketika melihat nama pengirimnya. “Oh, Lucas.” Vienna menjawab sendiri tebakannya, lalu membaca pesan dari sang suami. [Poli kandun
‘Aku tidak tahu bagian mana yang lebih mengejutkan. Gaun ini yang terlalu ketat atau tatapan Morgan yang seakan siap menelanku,’ ucap Sydney dalam hati sambil menahan napas karena korset gaun. “Sedikit lagi, Nona,” ucap Celia dengan gugup sambil menarik resleting belakang gaun berwarna biru gelap yang membalut tubuh ramping Sydney. Miran yang berdiri di sisi lain sibuk menyempurnakan lipatan gaun di bagian dada. Dia tampak lebih kaku dari biasanya. Baik Celia maupun Miran, keduanya sesekali melirik ke arah ranjang Sydney di mana Morgan duduk dengan tatapan tajam. “Kau yakin Tuan Morgan tidak akan menyuruh kita mengganti gaun ini lima menit lagi?” bisik Miran pelan ke Celia. “Sssst … Tuan bisa mendengar segalanya,” balas Celia setengah berbisik. Pelayan itu tampak berani seperti biasanya, tetapi sejak tadi bulu tipis di tubuhnya sudah meremang. “Celia, Miran,” panggil Morgan berhasil membuat kedua pelayan itu menegang. “Lebih baik kalian menyiapkan si kembar. Aku akan mengajak
“Kalian mendiskriminasiku,” protes Timothy, satu-satunya orang di antara mereka yang tidak bisa berbahasa isyarat.Timothy mencondongkan tubuh dan berbisik, “Apa yang kalian bicarakan? Sudah 10 menit kalian terus berinteraksi memakai bahasa isyarat. Aku merasa seperti patung.”Sydney tersenyum sambil menoleh. Dia mengetik sesuatu di ponselnya.“Maaf, Tim. Chester sedang membahas tentang kehadiran Vienna sebagai saksi, dan—tentu saja—tentang rasa jengkelnya pada Lucas.”Rasanya, Timothy masih seperti adik kecilnya yang dulu. Hanya sekarang pria itu lebih tinggi darinya.Timothy mengangkat kedua alis. Kemudian dia mengangguk-angguk pelan.Sementara Chester mengedikkan bahu dan melihat ke depan sambil menyilangkan tangan di depan dada.“Aku berniat meninju Lucas,” tukas Chester tanpa menoleh. “Kau akan melakukan apa padanya, Tim?”Timothy terkekeh. “Melihatmu. Aku tidak jago bela diri, Kak.”Chester sempat
“Apa kau benar-benar harus pergi sekarang?” tanya Sydney sambil menggerakan tangan. Hari di mana Morgan harus pergi cukup lama akhirnya tiba. Pria itu menghentikan langkahnya di depan pintu mansion. Angin pagi yang berembus pelan mengibaskan helaian rambutnya, sementara mata Sydney sudah berkaca-kaca. Sudah beberapa lama Sydney bersama Morgan, dia baru merasa kehilangan setelah pria itu berniat dinas panjang. Morgan menoleh dan melangkah mendekat. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap mata Sydney dari jarak dekat. Pria itu mengangkat tangan dan mengusap pelan air mata yang mulai turun di pipi kekasihnya. “Dengar aku baik-baik,” bisik Morgan lembut. “Kau baru boleh pergi keluar sendiri setelah pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk Bella, Vienna, dan Lucas. Mengerti?” Sydney mengangguk, cepat-cepat menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangan. Wanita itu tampak marah pada dirinya sendiri karena terlalu lemah. Morgan mendekatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku jug
Lucas melangkah keluar dari mansion Morgan dengan langkah berat dan bahunya jatuh. Dia mengepalkan tangan erat-erat, seperti hendak meninju siapa pun yang berani menghiburnya saat itu.Udara pagi yang dingin menusuk tulang, tetapi amarah di dalam diri Lucas lebih membakar dari apa pun.Setelah Lucas menghilang di balik pintu utama, Ken berdeham.“Jika ini semua untuk membalas dendam Sydney,” ucap Ken membuka obrolan sambil menyilangkan kaki dan melirik Morgan, “mengapa kau memberi mereka jalan untuk kabur?”Morgan menyesap kopinya perlahan. Asap tipis mengepul dari permukaan cairan pekat itu.“Akan lebih menyenangkan jika mereka kalah karena rasa putus asanya setelah terluka cukup parah,” jawab Morgan sambil menaruh cangkir di atas meja. “Aku ingin melihat mereka kejang-kejang sebelum mati.”Ken tertawa kecil. Bukan tawa lepas, melainkan semacam menahan geli yang menggelitik perutnya.Dia seperti sedang menyaksikan sebua
“Kau melakukan itu untukku?” tanya Sydney seraya menaikkan kedua alis dan membentuk bahasa isyarat dengan kedua tangannya. Sydney merasa tenggorokanya kering, dan matanya belum beranjak dari milik Morgan—berusaha mencari jawaban lain, jika memang ada. Morgan mengangguk pelan. “Untuk siapa lagi?” tanya Morgan datar. “Dia mengganggumu dan hampir melukaimu. Aku tidak akan bisa memaafkannya. Lalu aku hanya memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Bella. Kedua wanita itu berkomplotan.” Sydney menyipitkan mata, tubuhnya seketika kaku. “Berkomplotan?” tanya Sydney mengulang ucapan Morgan sambil menggerakan tangan perlahan. “Apa maksudmu mereka bekerja sama dalam kasus pemerkosaan itu?” “Ya,” jawab Morgan tanpa ragu. “Bella butuh pelampiasan. Olive butuh pelindung. Mereka memanfaatkan satu sama lain seperti memperdagangkan bencana. Apa kau marah padaku?” Seketika, dunia dalam kepala Sy
"Saya butuh waktu untuk berpikir beberapa menit." Suara Lucas akhirnya pecah di antara deru napas beratnya.Tangan Lucas yang masih menggenggam kemudi, kini mulai gemetar. Di luar sana, malam begitu hening. Namun di dadanya, badai bergemuruh tanpa henti.Terdengar tawa Morgan dari seberang telepon, nyaring dan penuh ejekan.“Mengapa jadi kau yang perlu waktu untuk berpikir?” tanya Morgan penuh sarkas. “Kau yang membutuhkanku, Lucas. Jika tidak mau, silakan pergi dan jangan mengotori pemandangan dimansion-ku.”Lucas menutup mata sejenak. Dia mengangkat tangan dan menyugar rambutnya ke belakang, menahan agar kepalanya tidak meledak karena frustrasi.Seluruh tubuh Lucas terasa seperti terbakar oleh amarah dan kekalahan sekaligus.Selama ini, Lucas pikir proyek pengawalan eksklusif itu adalah peluang besar. Kerja sama dengan Morgan akan membuat nama Zahlee Entertainment dan Monarch Legal Group naik kelas.‘Sejak awal Tuan Morgan memang hanya ingin menjebakku dan Vienna,’ ucap Lucas dalam
Setelah berita beralih ke topik lain, Sydney melangkah cepat menuju ruang kerja Morgan. Dia meninggalkan Layla yang masih terpaku di sana.Namun, ada dua anak buah yang berjaga di depan ruang kerjanya. Saat melihat Sydney mendekat, keduanya membungkuk hormat.“Maaf, Nona. Tuan Morgan sedang mengadakan rapat daring dengan Menteri Perdagangan,” ujar salah satunya memberi tahu.Sydney menautkan alisnya, padahal ada banyak hal yang ingin di tanyakan.Wanita itu mengetik cepat di layar ponsel, lalu memperlihatkannya pada mereka berdua.“Beri tahu Morgan jika aku menunggu di kamarku.”“Akan kami sampaikan, Nona.” Salah satu dari mereka mengangguk.Sydney tidak berkata apa-apa lagi. Dia mencengkram ponsel dengan erat saat berjalan menjauh dengan langkah yang semakin cepat.Sesampainya di kamar, Sydney langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Rambut panjangnya menjuntai ke sisi wajah, menutupi ekspresi muram yang mulai mengendap di sana.Sydney menarik napas panjang, lalu membuka portal ber
"Apa yang baru saja kulakukan ...." desah Bella lirih dan suaranya bergetar. Begitu pula dengan tangannya yang gemetar. Pistol yang masih mengepul itu jatuh dari genggamannya dan menghantam lantai dengan dentingan logam yang keras. Pandangan Bella mengabur dan napasnya tercekat. Di hadapannya, tubuh Olive terbujur kaku di lantai kafe. Darah mengalir dari dada wanita itu, membentuk genangan yang perlahan meluas. Yang membuat Bella ketakutan, mata Olive masih terbuka dan menatapnya penuh amarah. Sunyi mendadak mengurung ruangan. “P-Pembunuh! Dia membunuhnya!” teriak seseorang di sudut ruangan. Teriakan itu membangunkan semua orang dari keterpakuan mereka. Beberapa pengunjung memekik, sebagian lainnya merunduk ketakutan. Bella menoleh cepat dengan wajah yang memucat. Bola matanya bergerak liar, seperti rusa yang terjebak dalam jerat. Wanita itu berbalik. Dengan sorot mata penuh amarah, Bella menatap tajam kedua pengawalnya yang berdiri di belakangnya tanpa melakukan apa-apa. “B
“Pergilah!” geram Bella dengan wajah memerah. “Kau sudah cukup beruntung masih selamat dari amukan Morgan. Jangan mencari masalah denganku!”Alih-alih mundur atau gentar, Olive justru menanggapi dengan tawa lebar, keras, dan penuh ejekan.Suaranya menggema di dalam kafe, membuat beberapa pasang mata yang semula hanya mengintip mulai terang-terangan menoleh.“Jangan seperti itu pada teman lamamu, Veronica,” ujar Olive berpura-pura sedih sambil memegang dadanya.Bella mengernyitkan dahi. Olive tidak biasanya memanggil Bella dengan nama panggung.“Veronica Pillpel kecil yang menggemaskan dan polos,” lanjut Olive sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi, matanya bersinar penuh kemenangan.“Kau ingat? Kita sudah berteman sejak aku menemukan bakat luar biasamu di usia 17 tahun. Ya ampun, betapa cepat waktu berlalu.” Olive mengibaskan rambutnya ke belakang.Genggaman Bella pada gelas es kop
Bella menyandarkan punggungnya di kursi belakang mobil. Dia menatap layar ponsel tanpa benar-benar membaca apa pun. Wanita itu hanya menggulir layar ponsel ke atas dan ke bawah.Nina, sang manajer, baru saja membuka pintu mobil.“Kau mau beristirahat di mana?” tanya Nina sembari melirik ke arah kursi penumpang.“Bawa aku ke kafe,” desah Bella tanpa menoleh. “Aku butuh es kopi.”Tanpa bertanya lagi, Nina masuk ke kursi kemudi dan langsung menyalakan mesin. Mobil melaju perlahan menjauh dari lokasi syuting.Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan Pop Cafe, sebuah tempat kecil yang sering mereka datangi untuk kabur sejenak dari hiruk-pikuk dunia selebriti.“Kau ingin pesan apa? Yang biasa?” tanya Nina sambil menoleh ke belakang, bersiap keluar.Bella menghela napas panjang, kemudian melihat sekeliling. Keramaian kafe itu seperti magnet baginya kali ini.“Aku akan ikut kau turun,” jawab Bella sambil merapikan rambut dan memeriksa riasannya di spion tengah.Nina menaikkan k