Bella tengah menikmati pijatan di bahu selagi kuku-kukunya dirapikan oleh nail artist di sebuah salon ternama Highvale. Salah satu fasilitas yang dia dapatkan setelah bergabung dengan Zahlee Entertainment.
Sementara Vienna duduk di sebelahnya dengan wajah masam. Wanita itu ditemani oleh sekretarisnya yang siap sedia mencatat segala permintaan Bella untuk persiapan pengumuman comeback pada tablet. Sudah satu jam berlalu, dan Vienna sangat jenuh. Ini bukan jenis pekerjaan yang dia sukai, jadi biasanya Ghina atau Fred yang melakukan ini. Namun, kedua orang tuanya itu sedang tidak bisa diandalkan. “Itu beberapa media yang wajib hadir. Reporter mereka bisa diajak kerjasama dan sangat pro padaku,” tukas Bella sambil memejamkan mata, menikmati pelayanan eksklusif yang hanya didapatkan oleh artis kelas A. Vienna melirik sang sekretaris, memastikan dia sudah mencatat beberapa nama media yang sudah disebutkan oleh Bell“Timothy Zahlee? Itu nama mahasiswa yang tinggal di sini sebelum aku. Sekarang aku yang menempati kamar ini, Kak,” ucap seorang pria muda berkacamata yang Vienna temui setelah mengetuk sebuah pintu kamar asrama mahasiswa Universitas Highvale. Vienna mengernyitkan dahi. Dia ingat betul, hampir empat tahun lalu ikut mengantar Timothy ke tempat ini. Wanita itu pergi dengan langkah lebar dan menahan perasaan malu. Lalu Vienna juga mengirim pesan pada Timothy, “Kau tinggal di mana sekarang, Bajingan Kecil?!” Tidak lama kemudian, pesan yang sangat panjang dari Timothy masuk ke ponsel Vienna. Wanita itu sampai harus menghentikan langkah demi membaca satu paragraf penuh dari sang adik. [Kakak mengerti sekarang, kenapa aku lebih menyukai Kak Sydney daripada keluargaku sendiri? Baik Kak Vienna, Mama, dan Papa tidak pernah peduli aku tinggal di mana dan bagaimana kehidupanku. Kalian bahkan tidak tahu kalau aku sudah pindah ke tempat l
Sydney mendekat. Morgan segera memalingkan wajah supaya wanita itu tidak bisa membaca gerakan bibir atau mendengar suaranya. “Jaga dia, sampai aku memberi perintah lebih lanjut. Jika tidak ada perintah datang, berarti biarkan saja dia mati menua di sana,” jawab Morgan berbisik. Sekali lagi dia melirik sudah sedekat apa Sydney. “Singkirkan benda apa pun yang bisa dia pakai untuk bunuh diri. Orang seperti dia tidak boleh cepat mati,” lanjut Morgan masih dengan berbisik. Saat Sydney sudah tiba di hadapannya, Morgan buru-buru mematikan telepon. Lalu dia menatap wanita itu, siap membaca bahasa isyarat Sydney. “Timothy bilang Tante Ghina menikah lagi. Sekarang keluarganya agak … berantakan,” ujar Sydney seraya menghela napas pelan. Kedua alis Morgan terangkat. “Lalu?” tanya pria itu. “Aku pikir … ini agak aneh. Kita baru saja bertemu dengan Tante Ghina dan pertemuan itu sangat buruk. Apa mungkin kau–” Morgan menangkap kedua tangan Sydney dan meletakannya di belakang tubuh wanita i
“Apa?!” tanya Bella mengernyitkan dahi. Wanita itu segera melepaskan diri dari dua pria sewaannya. “Menarilah. Tapi jangan menyentuhku dulu,” perintah Bella dingin pada pria-pria itu. Setelah melepaskan ciuman di kedua pipi Bella, mereka berdiri di depan meja dan mulai melakukan gerakan seksi diiringi dengan musik yang sensual. Bella beralih pada Olive yang sibuk menuangkan bir ke gelasnya yang kosong. “Kau tadi bilang apa?! Morgan punya wanita di rumahnya? Dia … membawa pulang wanita malam?” tebak Bella, kernyitan di dahinya semakin dalam. Wanita itu tampak sangat antusias membicarakan topik ini. Olive tertawa sumbang. “Sudah pasti, iya. Paling tidak, dia adalah wanita muda yang biasanya menjajakan diri menjadi simpanan para pria kaya,” jawab Olive dengan yakin. Wanita itu menuangkan bir ke gelas lain dan menggesernya ke dekat Bella.
“Dia sangat cantik dan seksi, bukan?” tanya Sydney dengan bahasa isyarat. Pertanyaan memancing yang Sydney sengaja lontarkan untuk menggali siapa sebenarnya model terkenal itu dalam kehidupan Morgan. Morgan mengernyitkan dahi, tampak sekali tidak menyukai pendapat Sydney. “Kamu? Jelas!” Pria itu mengalihkan topik seraya memuji Sydney. “Maksudku, Veronica Pillpel. Kau mengoleksi majalah dengan covernya.” desak Sydney sambil menggerakan tangan lagi. Morgan mendengkus kesal dan tiba-tiba membuang es krimnya ke tempat sampah terdekat. Sydney melebarkan mata, tidak menyangka dengan reaksi pria itu. “Es krimku jadi tidak enak setelah melihatnya. Lagipula kau seharusnya memeriksa rak bukuku lagi, majalah-majalah itu sudah tidak ada di sana,” sahut Morgan sambil melipat tangan di depan dada dan bersandar pada kursi. Tepat setelah bertemu Bella di kantor Zahlee Entertainment, Morgan sudah meminta para pelayan untuk membakar majalah itu. Bahkan Morgan melarang para pelayan menyimpannya
Wajah Sydney berkerut dan tatapannya kosong. Morgan segera memegang tangan wanita itu untuk mendapatkan kembali kekasihnya. “Wanita itu tidak benar-benar mencintaiku, apalagi menginginkan si kembar. Jika saja kehamilannya tidak lemah, mungkin dia akan pergi diam-diam menggugurkan mereka,” jelas Morgan. Pria itu berusaha membuat Sydney sedikit lebih tenang, walaupun harus membuka luka lamanya. Sydney melebarkan mata dan kehilangan kata-kata. Menggugurkan bayi yang masih ada di dalam kandungan tidak pernah ada di kamusnya. Lebih dari itu, dada Sydney menjadi semakin sesak. Ternyata si kembar adalah bayi-bayi lucu yang tidak diinginkan oleh sang ibu. Saat banyak wanita di luar sana melakukan segala cara untuk mendapatkan anak, seseorang yang dipilih semesta untuk mengandung dengan mudah justru tidak menginginkannya. Sydney tidak habis pikir. “Jika aku bilang dia seperti sampah jalanan, begitulah dia, Darling. Berlian sepertimu tidak pantas merasa rendah diri hanya karena sampa
Beberapa saat kemudian, pria yang hampir memperkosa Sydney sudah tergeletak tidak sadarkan diri. Dengan amarah yang masih di puncak, Morgan mendekati Sydney yang ternyata juga tidak sadarkan diri sejak tadi. Gaun Sydney tersingkap ke atas, tetapi pakaian dalamnya masih lengkap. Meskipun begitu, Morgan masih merasa sangat geram. “Sydney, bangun,” ucap Morgan sambil menepuk pelan pipi Sydney setelah merapikan gaun wanita itu. Wanita itu bergeming. Hati Morgan teriris. Hanya beberapa menit Sydney hilang dari pandangannya, hal buruk kembali menimpa wanita itu. Mata pria itu pun masih menyorot marah saat Morgan akhirnya membawa tubuh Sydney ke dalam mobil. Morgan menyandarkan kepala Sydney pada pahanya. Lalu dia memeriksa bola mata Sydney, memeriksa kesadaran wanita itu dan juga deru napasnya. “Dia dibius.” Morgan berucap pelan tepat setelah Ronald masuk.
“Apa kau pikir aku akan mengampuni pengkhianat yang mencoba mengusik wanitaku, Olive?” Suara Morgan menggema, menusuk jantung Olive yang kini bergetar hebat di hadapannya. Wajah wanita itu memucat. Sisa make-up di pipinya sudah bercampur peluh dan air mata. Dia mendongak dan menatap Morgan dengan sorot mata penuh kecemasan. “Aku ... aku bisa menjelaskan semuanya, Morgan. Sungguh!” ucap Olive lirih, napasnya memburu. Morgan bangkit perlahan, seperti singa yang baru saja mencabik musuhnya dan bersiap melahap mangsa berikutnya. Pria itu menyentakkan jarinya ke udara “Bakar tempat ini sampai habis!” perintah Morgan tajam dan tidak terbantahkan. Seketika, suasana klub malam berubah. Para pengunjung yang masih menikmati musik dan lampu gemerlap mendadak terdiam. Mereka saling menatap bingung, tidak yakin apakah yang mereka dengar barusan adalah lelucon atau kenyataan. Namun ketika pintu utama terbuka lebar dan beberapa pria bertubuh besar masuk sambil membawa galon berisi bensin dan
“Jalang sialan! Kau cuci tangan, hah?!” teriak Olive histeris dan melengking hingga memantul di antara dinding beton klub yang mulai sepi. Bibir wanita itu bergetar dan matanya membelalak tidak percaya. Urat-urat di leher Olive menegang hingga napasnya tercekat. Olive mencengkeram ponsel sekuat tenaga dengan tangannya yang terluka. Air mata membasahi pipi Olive, bercampur dengan sisa maskara yang mengalir seperti tinta bocor. Namun, suara Bella di ujung telepon tetap tenang seolah tidak terjadi apa pun. “Maaf, Olive. Aku sedang tidak ada waktu untuk meladenimu,” tukas Bella sedikit sinis. “Pergilah ke psikiater, mungkin mereka bisa membantumu berhenti. Aku akan mengunjungimu kapan-kapan. Dah!” Sambungan terputus. Olive membeku. Seharusnya Olive sadar bahwa Bella adalah seorang artis. Selain pandai berpose, wanita itu juga pandai bermain peran. Sejenak dunia Olive terasa hampa. Jeritan orang-orang yang panik, aroma bensin, bahkan suara langkah anak buah Morgan yang bersiap meng
Sydney ingin mengejar Esther, tetapi cengkeraman Celia dan Miran pada kedua tangannya mengerat. “Ampuni kami, Nona. Tolong, jangan kejar dia!” Celia memohon dengan suara bergetar menahan tangis. “Kalau Nona terluka, semua perjuangan Esther akan sia-sia,” sambungnya sambil meneteskan air mata. Di balkon lantai dua mansion, Sydney menoleh pada Celia dan Miran bergantian dengan wajah basah. Napasnya memburu dan matanya menatap tajam ke bawah—ke arah taman yang kini kosong. Hanya suara angin dan helaan napas tertahan kedua pelayan Sydney yang terdengar. Sementara itu, si kembar sedang beristirahat di atas playmate. Mereka pasti lelah karena ikut merasakan energi negatif dari orang dewasa di sekitarnya. Sydney berontak dan berusaha menarik lengannya. Namun, cengkeraman pelayan-pelayannya terlalu kuat. “Jangan seperti ini, Nona. Kami mohon. Kami mohon demi Esther,” bisik Celia dengan s
Sydney berusaha menyentuh bahu Esther walaupun tangannya sedang penuh. Esther menoleh dan Sydney langsung memberi gadis itu tatapan meminta kejujuran dengan mata cokelatnya yang bergetar. Esther menarik napas dalam dan mengangguk kecil, lalu menatap mata Sydney dengan penuh rasa bersalah. “Maaf, Nona,” bisik Esther. “Seharusnya aku jujur sejak awal. Hari itu aku bertemu dengan Nona Bella. Aku … akulah yang memprovokasi beliau untuk mengambil si kembar dari Nona Sydney.” Mata Sydney langsung melebar. Kedua alisnya terangkat tinggi dan refleks menatap Esther seperti baru mengenalnya. Esther menunduk. “Tapi setelah melihat sendiri hati Nona Sydney, cara Nona memperlakukan mereka, cinta yang Nona berikan tanpa pamrih, saya sadar saya salah. Saya segera memutuskan hubungan dengan Nona Bella setelahnya. Saya kira, dengan begitu beliau kehilangan akses masuk ke mansion.” Suara Esther terdengar serak. “Saya benar-benar tidak menyangka kalau dia bekerja sama dengan Ronald. Padahal Ronald
Sementara itu beberapa menit sebelumnya. [Bagian depan sudah aman. Nona bisa masuk, mereka ada di taman sebelah gerbang.] Pesan dari Ronald itu muncul di layar ponsel Bella tepat saat sopirnya menghentikan mobil di balik dinding gerbang utama mansion. “Sempurna!” puji Bella atas pekerjaan salah satu orang kepercayaannya itu. Bibir wanita berambut hitam legam itu melengkung, memperlihatkan senyum licik yang bahkan membuat pengemudinya diam-diam merinding. Bella turun dari mobil tanpa banyak bicara. Dia melangkah masuk ke dalam mansion, tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Saat kakinya menapaki jalan setapak menuju taman, mata Bella langsung menangkap sosok Sydney yang duduk di atas alas piknik. Rambut panjang bergelombang warna cokelat milik wanita itu terlihat sangat mencolok. Namun langkah Bella terhenti ketika jarak di antara mereka kian dekat. “Mamiii!”
“Jangan keluar dulu, Sayang. Kita belum selesai,” pinta Morgan sambil menarik pinggang Sydney yang nyaris bangkit dari bathtub. Sydney menggigit bibir dan menoleh dengan napas terengah. Kulit wanita itu masih mengilap oleh air dan uap panas, sementara lehernya penuh bekas ciuman dari Morgan. Dengan kedua tangan yang gemetar ringan, Sydney menyentuh bahu Morgan dan mengangkat jemari untuk berbicara dalam bahasa isyarat. “Aku sudah berjanji pada para pelayan untuk berkeliling. Sebentar lagi mereka selesai menyiapkan si kembar.” Morgan mendesah panjang, lalu menyandarkan punggungnya di sisi bathtub. “Kenapa rasanya kau selalu mencuri napasku tapi tak pernah mengembalikannya, hmm?” tanya Morgan beretorika sambil mengelus lembut garis rahang Sydney. Sydney hanya tersenyum kecil. Pria itu kembali menarik tubuh Sydney dan menenggelamkan wajahnya ke lekukan leher sang kekasih. "Aku belum puas denganmu," bisik Morgan penuh bujuk rayu, padahal mereka baru saja bercinta selama dua jam leb
“Ayo, kita keluar. Mereka sudah tertidur,” ketik Sydney di ponsel dan menunjukkannya pada Esther. Esther melirik dua bayi mungil yang sudah tertidur pulas di boks. Dada Jade dan Jane naik turun perlahan dan terlihat sangat damai. Pelayan itu mengangguk kaku, lalu berjalan mengikuti langkah ringan Sydney ke luar kamar si kembar. Di depan pintu, Sydney kembali mengetik sesuatu di layar ponselnya. Dia menyodorkannya sebelum berpisah. “Aku titip salam untuk adikmu. Jika kau ingin bertemu lagi dengannya, beri tahu aku.” Esther mengatup bibirnya erat. Dada kirinya mendadak terasa sesak. “Baik, Nona,” jawab Esther seraya menunduk sopan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Esther membungkuk dan buru-buru pergi. Dia melangkah tergesa-gesa seolah takut tubuhnya akan runtuh jika terlalu lama berdiri di sana. Sydney diam di depan pintu sambil terus memandang punggung Esther yang semakin menjauh. Senyum wanita itu memudar dan berubah datar penuh waspada. Sesaat Sydney menoleh pada pintu k
“Bisakah Bibi pergi lebih dulu? Aku ingin bicara dengan Esther.” Layla mengernyit ketika membaca pesan di layar ponsel Sydney. Sekilas, Layla menatap wanita muda yang tengah menyusui bayi susu laki-lakinya dengan tenang itu. Sementara Jane tengah berbaring di sisi sofa Sydney, mengantre. Tubuh kedua bayi itu semakin besar. Sydney kesulitan jika harus menyusui mereka bersamaan. “Perlu aku panggilkan Celia dan Miran, Nona?” tanya Layla sambil menaikkan kedua alisnya. Sydney hanya menggeleng dan kembali mengetik. “Mereka sedang sibuk menata koleksi parfumku yang baru datang. Bibi istirahat saja dulu.” Esther yang berdiri di belakang Layla terlihat menegang. Dia meremas kedua jarinya tanpa sadar. Detak jantung Esther berdetak dua kali lebih cepat. Tubuhnya juga mulai terasa panas meski pendingin udara di kamar si kembar menyala. Kenapa Sydney mendadak in
“Ibu kandung?” Bella mengulang kalimat itu sambil terkekeh lirih. “Ternyata gelar itu berguna juga.” Gelar yang Bella buang begitu saja setelah melahirkan si kembar. Gelar yang membuat hidupnya sebagai Veronica Pillpel selesai, merusak tubuhnya, dan mengambil segala waktunya yang berharga. Esther mengangkat wajah. Tatapan penuh harapnya bersambut. Dia tersenyum senang, seperti seorang murid yang akhirnya mendapat pujian dari guru yang paling ditakutinya. Bella bangkit dari duduknya, lalu melangkah pelan ke arah cermin besar di tengah ruang tamunya. Dia mengetuk pelan bingkai kaca dua kali, lalu wanita itu berbalik. “Aku ingin tahu jadwal mereka dan siapa saja yang ikut mengawasi,” tukas Bella tegas. “Ronald masih bekerja di sana, bukan? Kau bisa bekerja sama dengannya untuk membuka jalan masuk untukku ke mansion.” Nama pria itu membuat senyum licik mengembang di wajah Bella. Dia menunduk sedikit sambil memainkan cincin di jari manisnya. Ronald adalah salah satu kerabat jauhnya y
“Tentu saja Nona Be—maksud saya, Nona Veronica lebih cantik!” Esther menjawab tanpa banyak berpikir, seakan kata-kata itu sudah lama tertahan di ujung lidahnya. Bella tersenyum puas. Dia mengangkat kedua tangan dan menyibak rambut panjangnya ke belakang telinga seperti sedang bersiap difoto. Mata wanita itu menyipit lembut, padahal beberapa saat lalu dia menatap pelayan setianya seperti harimau lapar hanya karena mendengar panggilan Nona yang disematkan pada Sydney. “Lanjutkan,” perintah Bella datar. Esther mengangguk cepat. “Saya tidak tahu di mana Tuan Morgan menemukan Sydney, Nona. Tapi sebenarnya … wanita itu awalnya bekerja di mansion,” lanjut Esther penuh keyakinan. Saat-saat seperti ini adalah saat yang sudah ditunggu oleh Esther. Setelah Bella menempatkannya di mansion Morgan dan menjadikan wanita muda itu mata-mata. Pada dasarnya
“S-saya tidak bekerja untuk Tuan Morgan, Nyonya,” sahut Esther terbata-bata. Wanita itu kelewatan meninggikan nada bicaranya karena gugup. Hal itu langsung memicu atmosfer kaku yang menyebar ke seluruh ruangan. Bella sontak membuang wajah ke arah lain sambil mendengkus. Dia tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya karena Esther terlalu reaktif. Jawaban seperti itu sudah pasti akan memancing pertanyaan menusuk lainnya. Seharusnya Esther cukup dengan berpura-pura tidak mengenal Morgan. Vienna menyunggingkan senyum sinis. Dia bangkit dan melangkah santai mendekati Esther yang masih berdiri canggung di tengah ruangan dengan kedua tangan mengepal gugup di depan tubuhnya. “Bukankah Tuan Morgan adalah orang yang sangat … tegas?” tanya Vienna seraya menekankan setiap kata yang diucapkan. “Terutama terhadap pengkhianat. Berani sekali kau mengaku tidak bekerja dengannya saat masih memakai seragam pelayan dari mansion p