“Selamat malam, Tuan. Mau kutemani?” sapa wanita cantik berpakaian seksi sambil mengusap bahu Morgan. Pria itu baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam klub. Namun beberapa wanita sudah mendekatinya untuk menawarkan diri. Morgan menggeleng dengan sopan dan duduk di salah satu sofa khusus tamu VIP. Dia menyalakan rokoknya setelah memesan whiskey pada seorang pelayan. Menahan diri setelah melihat tubuh polos Sydney adalah hal sulit bagi Morgan. Padahal setelah pernikahan pertamanya yang gagal, Morgan yakin tidak akan pernah tertarik lagi pada seorang wanita. “Sial,” umpat Morgan, lalu megisap rokoknya dalam. Pandangannya beralih pada sosok yang Morgan kenal di dalam klub, yaitu Olive. Wanita itu sedang berjalan ke arahnya. “Hai, Tampan! Mau pesan yang biasa?” tanya Olive yang ternyata membawakan whiskey pesanan Morgan. Olive menaruh whiskey itu di meja. Lalu, duduk di sebelah Morgan dan bergelayut manja di lengan pria itu. “Aku hanya ingin minum saja,” jawab Morgan tanpa me
Morgan berdiri di depan Sydney dan memegang kedua tangan wanita itu. “Sarapan bersama,” jawab Morgan sambil mengedipkan sebelah matanya. “Ayo duduk!” Pria itu menarik salah satu kursi dan mempersilakan Sydney duduk di sana. Sydney sedikit mengangguk dan tersenyum tipis untuk membalas perlakuan manis Morgan. Setelah memastikan Sydney duduk dengan nyaman, Morgan duduk di hadapan wanita itu. Sementara si kembar berada di kursi bayi yang ada di sisi kanan dan kiri mereka. “Sebenarnya aku lebih senang kau duduk di pangkuanku, tapi untuk pagi ini aku akan izinkan kau duduk di sana,” ucap Morgan lagi, sengaja membuat pipi Sydney semakin merona. Jantung Sydney berdebar lebih cepat. Untuk sesaat dia menundukkan wajahnya, sebelum kembali menatap Morgan. “Dalam rangka apa sarapan bersama jadi seistimewa ini?” tanya Sydney menggerakan tangan dengan lebih tenang setelah menghela napas panjang. Sydney memperhatikan berbagai menu yang ada di meja yang sangat lengkap, mulai dari makanan pembuk
“Nona Sydney, cobalah. Tadi aku membuat kue!” seru seorang pelayan muda sambil menyodorkan setoples kue kering pada Sydney. Sydney tertegun. Selain karena pelayan itu datang saat dirinya tengah menjemur baju si kembar, wanita muda di hadapannya tidak pernah berbuat sebaik ini sebelumnya. “Biar aku saja yang menjemur pakaian Tuan Jade dan Nona Jane, Nona Sydney!” sahut pelayan lain yang tiba-tiba sudah ada di dekat Sydney. Namun, Sydney tidak membiarkan pelayan itu menjemur baju si kembar. Ini adalah salah satu tugas yang paling Sydney senangi saat merawat bayi. Setelah pagi kemarin–saat sarapan bersama Morgan dan si kembar di halaman belakang, hidup Sydney berubah. Para pelayan berlomba-lomba bersikap baik dan manis padanya. “Nona baru selesai menyusui?!” Sydney baru saja keluar dari kamar si kembar saat kembali mendengar suara pelayan mendekatinya. “Mau ke kamar? Saya bisa memijat, Nona!” Sydney menggeleng dan berjalan cepat ke kamarnya untuk sembunyi. Tawaran bantuan dari oran
‘Morgan benar-benar binatang buas!’ batin Sydney sambil meringis menahan ngilu di beberapa bagian tubuhnya. Wanita itu mengubah posisi tidur, berusaha membuat dirinya nyaman. Sudah seminggu Sydney tinggal di ranjang Morgan, di kamar pria itu. Rupanya Morgan tidak bohong tentang menahan Sydney di sini selama satu minggu. Sydney menggeleng pelan. Bukan hanya karena mereka menghabiskan sepanjang hari dengan permainan ranjang, melainkan karena Sydney juga jatuh sakit tepat setelah malam pertama mereka bercinta. ‘Padahal aku bukan seorang perawan, tapi dia membuatku merasa seperti itu!’ batin Sydney lagi sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tidak cukup dengan kedua tangan, wanita itu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh dan wajahnya yang mulai terasa panas lagi setiap kali dia mengingat cara Morgan menyentuh setiap inci kulitnya. Tatapan pria itu seperti predator yang tidak akan memberi mangsanya celah untuk kabur. Namun tidak bisa dimungkiri bahwa Sydney menikmati i
Ini pertama kalinya Morgan bicara terbuka tentang pekerjaan, jadi Sydney ingin mencoba menggali sejauh apa pria itu akan bicara. Morgan menatap lekat manik cokelat Sydney. “Kau tidak perlu tahu,” jawab Morgan akhirnya. Sydney mendesah dan membuang wajah untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menatap pria itu. “Ya, lagipula barang yang diantar dan dikirim oleh Poseidon Exports pasti sangat banyak. Pemerintah saja sampai tidak pernah memeriksa barang-barangmu,” sahut Sydney sedikit menyindir. Dan Morgan dapat merasakan sindirian itu walaupun Sydney menggunakan bahasa isyarat, gerakan tangan wanita itu lebih cepat dari biasanya. Namun Morgan tidak begitu tersinggung, justru sedikit terhibur. Pria itu bangkit dan mengusap lembut puncak kepala Sydney. “Mereka akan sangat kerepotan jika memutuskan untuk memeriksa barang-barang itu. Distribusinya juga akan lebih lama karena pemerintah tidak bisa bergerak cepat,” tukas Morgan juga penuh sindiran untuk pemerintah. “Aku pergi dulu
Morgan melangkah masuk ke dalam gedung, diikuti oleh Ronald. “Kami ingin bertemu dengan Nyonya Vienna Ryder,” ucap Ronald saat berhenti di meja resepsionis. “Anda dari mana? Apa sudah membuat janji sebelumnya?” tanya resepsionis wanita dengan tanda nama Riana di atas dadanya. “Tuan saya, Tuan Morgan Draxus. Sebut saja nama Tuan saya pada Nyonya Vienna, kami seharusnya bisa menemui beliau tanpa membuat janji,” jawab Ronald mewakili Morgan. Riana menoleh pada Morgan. Dan pria itu membalasnya dengan menatap tajam, tidak menunjukkan keramahannya sedikit pun. Riana menelan ludah, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Kemudian dia menatap layar komputer dan menekan tetikus beberapa kali. “Maaf, untuk saat ini jadwal Nyonya Vienna penuh sampai sore. Beliau tidak bisa–” “Kita langsung saja. Aku sudah tahu di mana ruangannya,” tukas Morgan memotong ucapan resepsionis yang dinilai menghambatnya itu. Pria itu segera melangkah lebar. Diikuti oleh Ronald yang langsung mengangguk tan
“Aku tidak pernah mencampuradukkan urusan bisnis dengan pribadi.” Morgan menatap tajam Vienna dan menjawabnya dengan dingin. Vienna memaksakan senyum, walaupun dalam hati dia ketakutan setengah mati. “Ehem!” Lucas berdeham, membuat Vienna menoleh padanya. Pria itu menggeleng pelan, memberi isyarat supaya sang istri tidak melanjutkan ucapannya. Sementara Vienna menatap Lucas tidak suka. Namun Vienna tetap menuruti sang suami. “Kalau begitu apa yang akan perusahaan saya dapatkan dari proyek ini, Tuan Morgan?” tanya Vienna berusaha memberanikan diri sekaligus mengalihkan topik. Morgan semakin memberi Vienna tatapan yang mengintimidasi. Pria itu tidak suka harus menjelaskan sesuatu yang sudah jelas di dalam proposal itu. Pertanyaan Vienna hanya salah satu bukti bahwa wanita itu tidak membaca dan mencerna dengan baik setiap kalimat yang ada dalam proposal. Lucas berusaha menahan desahan napasnya yang merasa kesal dengan pertanyaan sang istri. “Izinkan saya yang menjelaskan, Tuan.”
“Mmh … Mmh ….” Morgan keluar dari ruangan Vienna sambil bersenandung samar. Suaranya hampir tidak terdengar, tetapi Ronald yang memiliki indra pendengaran tajam mampu mendengarnya. “Apa berhasil, Tuan?” tanya Ronald dengan tetap menjaga sopan santun. “Bagaimana kelihatannya?” Morgan balik bertanya seraya mengangkat salah satu alis dan mengamati wajah anak buah kepercayaannya itu. Ronald tersenyum samar. Dilihat dari mana pun, raut wajah dan senandung Morgan yang jarang terdengar itu sudah menjawab semuanya. “Saya akan segera menghubungi tim untuk mengawasi jalannya proyek ini,” ujar Ronald berinisiatif. Pria itu segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Kau harus. Kita memilih jalan yang sangat berisiko, tapi ganjarannya akan sangat menyenangkan. Mereka juga sudah menandatangani kontrak kerja sama,” perintah Morgan sedikit berbisik. Kemudian Morgan melangkah menjauh, berjalan di depan Ronald. “Aku akan ke toilet. Kau pergilah lebih dulu,” perintah Morgan lagi tanpa men
“Kalian mendiskriminasiku,” protes Timothy, satu-satunya orang di antara mereka yang tidak bisa berbahasa isyarat.Timothy mencondongkan tubuh dan berbisik, “Apa yang kalian bicarakan? Sudah 10 menit kalian terus berinteraksi memakai bahasa isyarat. Aku merasa seperti patung.”Sydney tersenyum sambil menoleh. Dia mengetik sesuatu di ponselnya.“Maaf, Tim. Chester sedang membahas tentang kehadiran Vienna sebagai saksi, dan—tentu saja—tentang rasa jengkelnya pada Lucas.”Rasanya, Timothy masih seperti adik kecilnya yang dulu. Hanya sekarang pria itu lebih tinggi darinya.Timothy mengangkat kedua alis. Kemudian dia mengangguk-angguk pelan.Sementara Chester mengedikkan bahu dan melihat ke depan sambil menyilangkan tangan di depan dada.“Aku berniat meninju Lucas,” tukas Chester tanpa menoleh. “Kau akan melakukan apa padanya, Tim?”Timothy terkekeh. “Melihatmu. Aku tidak jago bela diri, Kak.”Chester sempat
“Apa kau benar-benar harus pergi sekarang?” tanya Sydney sambil menggerakan tangan. Hari di mana Morgan harus pergi cukup lama akhirnya tiba. Pria itu menghentikan langkahnya di depan pintu mansion. Angin pagi yang berembus pelan mengibaskan helaian rambutnya, sementara mata Sydney sudah berkaca-kaca. Sudah beberapa lama Sydney bersama Morgan, dia baru merasa kehilangan setelah pria itu berniat dinas panjang. Morgan menoleh dan melangkah mendekat. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap mata Sydney dari jarak dekat. Pria itu mengangkat tangan dan mengusap pelan air mata yang mulai turun di pipi kekasihnya. “Dengar aku baik-baik,” bisik Morgan lembut. “Kau baru boleh pergi keluar sendiri setelah pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk Bella, Vienna, dan Lucas. Mengerti?” Sydney mengangguk, cepat-cepat menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangan. Wanita itu tampak marah pada dirinya sendiri karena terlalu lemah. Morgan mendekatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku jug
Lucas melangkah keluar dari mansion Morgan dengan langkah berat dan bahunya jatuh. Dia mengepalkan tangan erat-erat, seperti hendak meninju siapa pun yang berani menghiburnya saat itu.Udara pagi yang dingin menusuk tulang, tetapi amarah di dalam diri Lucas lebih membakar dari apa pun.Setelah Lucas menghilang di balik pintu utama, Ken berdeham.“Jika ini semua untuk membalas dendam Sydney,” ucap Ken membuka obrolan sambil menyilangkan kaki dan melirik Morgan, “mengapa kau memberi mereka jalan untuk kabur?”Morgan menyesap kopinya perlahan. Asap tipis mengepul dari permukaan cairan pekat itu.“Akan lebih menyenangkan jika mereka kalah karena rasa putus asanya setelah terluka cukup parah,” jawab Morgan sambil menaruh cangkir di atas meja. “Aku ingin melihat mereka kejang-kejang sebelum mati.”Ken tertawa kecil. Bukan tawa lepas, melainkan semacam menahan geli yang menggelitik perutnya.Dia seperti sedang menyaksikan sebua
“Kau melakukan itu untukku?” tanya Sydney seraya menaikkan kedua alis dan membentuk bahasa isyarat dengan kedua tangannya. Sydney merasa tenggorokanya kering, dan matanya belum beranjak dari milik Morgan—berusaha mencari jawaban lain, jika memang ada. Morgan mengangguk pelan. “Untuk siapa lagi?” tanya Morgan datar. “Dia mengganggumu dan hampir melukaimu. Aku tidak akan bisa memaafkannya. Lalu aku hanya memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Bella. Kedua wanita itu berkomplotan.” Sydney menyipitkan mata, tubuhnya seketika kaku. “Berkomplotan?” tanya Sydney mengulang ucapan Morgan sambil menggerakan tangan perlahan. “Apa maksudmu mereka bekerja sama dalam kasus pemerkosaan itu?” “Ya,” jawab Morgan tanpa ragu. “Bella butuh pelampiasan. Olive butuh pelindung. Mereka memanfaatkan satu sama lain seperti memperdagangkan bencana. Apa kau marah padaku?” Seketika, dunia dalam kepala Sy
"Saya butuh waktu untuk berpikir beberapa menit." Suara Lucas akhirnya pecah di antara deru napas beratnya.Tangan Lucas yang masih menggenggam kemudi, kini mulai gemetar. Di luar sana, malam begitu hening. Namun di dadanya, badai bergemuruh tanpa henti.Terdengar tawa Morgan dari seberang telepon, nyaring dan penuh ejekan.“Mengapa jadi kau yang perlu waktu untuk berpikir?” tanya Morgan penuh sarkas. “Kau yang membutuhkanku, Lucas. Jika tidak mau, silakan pergi dan jangan mengotori pemandangan dimansion-ku.”Lucas menutup mata sejenak. Dia mengangkat tangan dan menyugar rambutnya ke belakang, menahan agar kepalanya tidak meledak karena frustrasi.Seluruh tubuh Lucas terasa seperti terbakar oleh amarah dan kekalahan sekaligus.Selama ini, Lucas pikir proyek pengawalan eksklusif itu adalah peluang besar. Kerja sama dengan Morgan akan membuat nama Zahlee Entertainment dan Monarch Legal Group naik kelas.‘Sejak awal Tuan Morgan memang hanya ingin menjebakku dan Vienna,’ ucap Lucas dalam
Setelah berita beralih ke topik lain, Sydney melangkah cepat menuju ruang kerja Morgan. Dia meninggalkan Layla yang masih terpaku di sana.Namun, ada dua anak buah yang berjaga di depan ruang kerjanya. Saat melihat Sydney mendekat, keduanya membungkuk hormat.“Maaf, Nona. Tuan Morgan sedang mengadakan rapat daring dengan Menteri Perdagangan,” ujar salah satunya memberi tahu.Sydney menautkan alisnya, padahal ada banyak hal yang ingin di tanyakan.Wanita itu mengetik cepat di layar ponsel, lalu memperlihatkannya pada mereka berdua.“Beri tahu Morgan jika aku menunggu di kamarku.”“Akan kami sampaikan, Nona.” Salah satu dari mereka mengangguk.Sydney tidak berkata apa-apa lagi. Dia mencengkram ponsel dengan erat saat berjalan menjauh dengan langkah yang semakin cepat.Sesampainya di kamar, Sydney langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Rambut panjangnya menjuntai ke sisi wajah, menutupi ekspresi muram yang mulai mengendap di sana.Sydney menarik napas panjang, lalu membuka portal ber
"Apa yang baru saja kulakukan ...." desah Bella lirih dan suaranya bergetar. Begitu pula dengan tangannya yang gemetar. Pistol yang masih mengepul itu jatuh dari genggamannya dan menghantam lantai dengan dentingan logam yang keras. Pandangan Bella mengabur dan napasnya tercekat. Di hadapannya, tubuh Olive terbujur kaku di lantai kafe. Darah mengalir dari dada wanita itu, membentuk genangan yang perlahan meluas. Yang membuat Bella ketakutan, mata Olive masih terbuka dan menatapnya penuh amarah. Sunyi mendadak mengurung ruangan. “P-Pembunuh! Dia membunuhnya!” teriak seseorang di sudut ruangan. Teriakan itu membangunkan semua orang dari keterpakuan mereka. Beberapa pengunjung memekik, sebagian lainnya merunduk ketakutan. Bella menoleh cepat dengan wajah yang memucat. Bola matanya bergerak liar, seperti rusa yang terjebak dalam jerat. Wanita itu berbalik. Dengan sorot mata penuh amarah, Bella menatap tajam kedua pengawalnya yang berdiri di belakangnya tanpa melakukan apa-apa. “B
“Pergilah!” geram Bella dengan wajah memerah. “Kau sudah cukup beruntung masih selamat dari amukan Morgan. Jangan mencari masalah denganku!”Alih-alih mundur atau gentar, Olive justru menanggapi dengan tawa lebar, keras, dan penuh ejekan.Suaranya menggema di dalam kafe, membuat beberapa pasang mata yang semula hanya mengintip mulai terang-terangan menoleh.“Jangan seperti itu pada teman lamamu, Veronica,” ujar Olive berpura-pura sedih sambil memegang dadanya.Bella mengernyitkan dahi. Olive tidak biasanya memanggil Bella dengan nama panggung.“Veronica Pillpel kecil yang menggemaskan dan polos,” lanjut Olive sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi, matanya bersinar penuh kemenangan.“Kau ingat? Kita sudah berteman sejak aku menemukan bakat luar biasamu di usia 17 tahun. Ya ampun, betapa cepat waktu berlalu.” Olive mengibaskan rambutnya ke belakang.Genggaman Bella pada gelas es kop
Bella menyandarkan punggungnya di kursi belakang mobil. Dia menatap layar ponsel tanpa benar-benar membaca apa pun. Wanita itu hanya menggulir layar ponsel ke atas dan ke bawah.Nina, sang manajer, baru saja membuka pintu mobil.“Kau mau beristirahat di mana?” tanya Nina sembari melirik ke arah kursi penumpang.“Bawa aku ke kafe,” desah Bella tanpa menoleh. “Aku butuh es kopi.”Tanpa bertanya lagi, Nina masuk ke kursi kemudi dan langsung menyalakan mesin. Mobil melaju perlahan menjauh dari lokasi syuting.Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan Pop Cafe, sebuah tempat kecil yang sering mereka datangi untuk kabur sejenak dari hiruk-pikuk dunia selebriti.“Kau ingin pesan apa? Yang biasa?” tanya Nina sambil menoleh ke belakang, bersiap keluar.Bella menghela napas panjang, kemudian melihat sekeliling. Keramaian kafe itu seperti magnet baginya kali ini.“Aku akan ikut kau turun,” jawab Bella sambil merapikan rambut dan memeriksa riasannya di spion tengah.Nina menaikkan k