"Sepertinya Bella memiliki kecurigaan terhadap hubungan kita." Lela mengeryit, "Lalu?" "Ini bahaya karena aturan baku di kantor ini, tidak ada hubungan percintaan yang boleh ditunjukkansecara berlebihan." Lela tamah bingung dengan jawaban itu, "Loh, Pak. Sebentar, ada yang aneh... kan kita juga gak ada hubungan apa-apa. Kalaupun nanti Kak Bella tau, yah bilang aja saya pengasuhnya Baby Dam dan mantan mahasiswi bimbingan Bapak. Kita gak ada hubungan romantis apa-apa sehingga, rasanya kita gak ada ngelanggar SOP di kantor Bapak." Deg! Bara seolah di-skakmat oleh Lela, apa sih yang ia pikirkan sampai merasa romantis sendiri? Lihatlah, Lela bahkan tidak menganggap hubungan mereka serius. "Oh iya sih... tapi maksud saya karena interaksi kita lebih intens dari yang lain jadi takutnya 'dikira' ada hubungan romantis." "Oh... haha! Masuk akal sih," balas Lela terkekeh. Bara ikut tersenyum setelah tadi kebingungan meluruskan pernyataannya. "Tenang aja deh, pokoknya gak akan
"Gue gak tau apa yang dibilangin temen-temen gue ke elo, tapi awas aja kalo lo macem-macem sama Bara!" peringatan Alex pada Dena. "Maksud lo apa, Kak?" "Udahlah, gua ada kerjaan lagi. Awas ya kalau lu macam-macam!" ujar Alex tegas sebelum pergi meninggalkan Dena. Kini Dena ada di kamar Bara yang masih dalam keadaan teler dan tertidur, bahkan Alex tidak menemukan Lela di sekitar mansion. Di sana hanya ada para Bodyguard yang berjaga malam, sementara Lela mungkin ada di kamar Baby Dam. Alex ingat cerita Bara tentang dirinya yang salah mengajaknya masuk ke kamar Baby Dam, itu lucu tapi ia masih khawatir. Bagaimana ia tidak khawatir kalau sekarang Dena ada di kamar yang sama dengan Bara. Semoga saja tidak terjadi apa-apa, ia ingin tetap di sana menjaga Bara tetapi ia harus pergi sekarang. ••• Pagi harinya, Bara seperti biasa meminum sup untuk menghilangkan mabuk sebelum berangkat kerja. "Makasih Bi," ujarnya pada Bi Hera. "Iya, Tuan. Tapi kenapa yah akhir-akhir ini
Apa yang dikatakan oleh Bara kemarin, kini dilakukan oleh Pak Jamal--sopir Bara. Sebab ternyata Lela memang tidak mau membawa pulang motor baru yang diberikan oleh Bara. Alasannya karena tidak enak hati menerima banyak hal dari Bara. Alhasil Pak Jamal meninggalkan Lela di dealer motor, sebenarnta ia tidak tega tapi atas perintah Bara ia melaksanakannya. Kini Lela bingung hars bagaimana, tetapi kalau tidak naik motor kata Bara--dari telpon, motor itu akan dihancurkan. Sifat pemaksa Bara tak bisa hilang, sayang sekali jika motor sebagus itu dibuang. Motor itu afalah motor terbaru yang nilainya 35jt, tentu Bara membayarnya dengan Cash. Dari sudut pandang Bara, harga motor setara harga seblak untuk rakyat jelata, ibaratnya hanya uang jajan. Lela pun membawa motor itu pulang. Hal yang mengejutkan lagi adalah di sana sudah berkumpul pegawai mansion yang memberinya buket bunga dan selamat atas ulang tahunnya. "Selamat ulang tahun, La!" ujar Bara dari dalam membawa kue. Lela terke
Lela memikirkan pertanyaan itu sejenak tapi ia tidak berpikir bahwa Reza menyukainya. Baginya itu tidak mungkin itu terjadi. "Semoga sih nggak ya, Dok. Tapi aku bakal nolak kalau itu terjadi." "Kenapa, kalian udah temenan kan, maksudnya udah tau satu sama lain, kayak aku dan Greg dulu. Temenan jadi pasangan," ujar Blenda antusias. "Hem, aku sih gak masalah kalo memang takdirnya, tapi kenapa aku nolak... karena aku nggak pengen pertemanan kita yang udah berjalan lama akhirnya kandas gara-gara perasaan cinta. Bagiku dia temanku dan inginnya selalu begitu. Lagian, tanpa hubungan spesial, kita masih bisa temenan." "Oh gitu? Tipe idealmu kayak apa?" Lela agak bingung kenapa dokter Blenda menanyakan hal-hal yang spesifik seperti hal pribadi tentang percintaannya. Padahal biasanya ia orang yang paling toleran dan selalu menjaga privasi orang lain. "Em... tipe ya?" Lela membuat pose berpikir yang membuat Bara merasa lucu, Lela punya sisi imut ternyata. "Tipe yang sholeh, yang
Lela dan Hendra ada di kantin kantor, ditemani oleh Sekretaris Hendra. Bagaimana itu terjadi? Sebelumnya saat Hendra keluar dari ruangan Bara, ia langsung mengajak Lela untuk pergi bersamanya. Lela kira Hendra ingin memintanya untuk melakukan sesuatu sebagai karyawan di sana, tetapi tidak. Hendra malah mengajaknya untuk makan di kantin. Ini agak aneh untuk Lela, Hendra bahkan tidak memesan apapun kecuali air putih kemasan. Namun melihat dari kondisi fisiknya yang sepertinya memiliki penyakit dalam, Lela pun mengerti. Mungkin Hendra harus menjaga pola makannya dan tidak makan di luar. Mereka terdiam sejenak setelah basa-basi sebelumnya. Kemudian Hendra pun berkata."Sebenarnya, saya mengajak kamu makan karena ingin menyampaikan suatu hal.""Baik Pak, silahkan.""Ya... sebelum itu saya ingin bertanya agar saya bisa menyampaikan ini untuk selanjutnya.""Baik, Pak." "Saya mengerti kamu hanyalah karyawan dari anak saya, tapi mendengar dari orang-orang di Mansion kamu memang orang y
Lela pulang dalam keadaan lesu. Hari pertama terasa melelahkan sekali baginya, ia ada di lingkungan baru. Rasanya seperti agak dicuekin, tetapi ia memahami bahwa semua orang punya pekerjaannya masing-masing. Ketika ia bertanya hanya dijawab singkat, padat, tetapi tidak jelas, dan ia akan dimarahi kalau salah. Ia pun mengerti bahwa itu konsekuensinya, tetapi masih saja membebani hatinya. Itu manusiawi kan? Setelah bersih-bersih, ia menyusui baby Dam. Saat ia pulang, bayi itu masih saja terbangun dan bermain membuat Bi Tati tidak bisa pulang cepat. Syukurlah, kini anak bungsu Bi Tati sudah SMP dan mulai mandiri sehingga tidak perlu dipantau secara intens. Namun, Bara tetap memberi keringanan bahwa Bi Tati bisa datang jam 8 pagi. Kata Bi Tati, Baby Dam sekarang sudah tidak bisa tidur cepat karena menunggu Ibu asinya pulang. Hal itu membuat Lela semakin merasa bersalah. Apakah tindakan itu sudah tepat? Apa harusnya ia tidak bekerja saja? Tapi Bara bahkan mengizinkannya untuk
Bukannya menjawab, Bara malah hanya tertawa dan pergi sambil membawa barangnya. "Apaan sih gak jelas," gumam Lela kesal. ••• Pagi harinya seperti biasa, Lela menyusui Baby Dam terlebih dahulu dan segera menitipkan Baby Dam pada Bi Hera sebelum Bi Tati datang. "Baby sama Bi Hera dulu ya Sayang," ujar Lela. "Iya Mama!" Bukan Baby Dam atau Bi Hera, tapi suara Bara yang entah datang dari mana tiba-tiba mendekati mereka dan menggendong Baby Dam. Awalnya Lela akan menyerahkan Baby Dam pada Bi Tati, tetapi malah diambil Bara terlebih dahulu. Bara pun menciumi pipi Baby Dam, membuat batita itu tertawa karena kegelian. Lela selalu terpesona melihat bagaimana hubungan keduanya sangat harmonis, sungguh ia ingin melihat pemandangan itu setiap hari selamanya.Namun, ia pun sadar dirinya siapa di sana? Ia hanyalah ibu Asi yang hanya dibutuhkan sampai Batita itu berusia 2 tahun.Setelah Bara selesai bersenang-senang dengan Baby Dam, ia pun mengajak Lela untuk berangkat bareng."Ay
Bara menghela napas melihat kedatangan sang ayah, entah kenapa ayahnya masih di Jakarta dan mengganggu pekerjaannya. "Apa yang membuat Pak Hendra ke sini dan memotong meeting kami?" tanyanya menekan kata 'Pak Hendra' padanya. Hendra pun mendekat dengan tongkatnya, ia berjalan dengan anggun selayaknya orang yang berkuasa. "Saya hanya ingin mengonfirmasi apa yang disampaikan Pak Budi, bahwa itu benar." "Pak, maksudnya apa?" tanya Bara mulai curiga dengan persekongkolan itu. "Semua itu terjadi karena ada sebab akibat, kalau bisa memanfaatkan kedekatan kamu sama Dena yang memiliki banyak fans, kenapa tidak? Lagipula kamu tahu kan bagaimana psikologisnya orang yang sudah sangat ngefans dengan seseorang? Mereka akan menganggap semua yang dilakukan oleh idolanya adalah benar, jadi kamu tahu kan apa yang akan terjadi?"Bara menahan diri untuk tidak emosi pada saat itu juga, ia membiarkan ayahnya mengoceh sampai batas tertentu."Apa yang dikonsumsi idolanya, yang berhubungan dengan i