Bab 18 Rencana Lusiana"Apa gak bisa, kalian nginep di sini sampai satu minggu ke depan?" Heru menatap sendu pada anak, menantu, serta cucunya yang sudah siap pulang ke Jakarta pagi ini."Nanti saya usahakan, Yah. Mungkin akhir tahun, atau libur lebaran kami ke sini lagi." Bastian berusaha menenangkan. "Atau Ayah aja yang datang ke Jakarta? Soal kendaraan, akan saya siapkan semuanya."Heru malah menggeleng. Ia tak mau pergi ke mana pun. Lagipula, Jakarta pasti akan membosankan. Di sana, ia tak punya teman yang bisa diajak bersenda gurau."Kemi pamit dulu ya, Yah." Sudah lebih dari tiga kali Aruna mengucapkan hal serupa."Ya sudah, hati-hati di jalan." Akhirnya, Heru mencoba lapang. Ia membiarkan tiga orang itu masuk ke dalam mobil, usai memeluk Fathan lebih dulu.Sungguh, Heru merasa sangat bahagia bisa mendapatkan seorang cucu sebaik Fathan. Anak itu sangat ceria dan pintar. Jika saja mereka mau tinggal di kampung lebih lama, pastilah Heru akan mengenalkan Fathan pada semua teman-tem
Bab 19 Liburan Ke ParisButuh sekitar satu minggu untuk mempersiapkan keberangkatan menuju ke Paris. Lusiana adalah orang yang paling bersemangat. Sementara Aruna? Ia memang senang, tetapi masih bingung dan takut.Bagaimana jika ia mengalami kendala di sana? Tak mungkin jika Aruna merepotkan Lusiana. Terlebih, bagaimana kalau teman-teman Lusiana tak suka padanya, dan merasa keberatan dengan kehadirannya di acara liburan kali ini? Ia takut menjadi bahan hinaan seperti beberapa waktu yang lalu.Aruna mencoba menepis itu semua saat ia, Lusiana, dan Fathan sudah sampai di bandara. Bastian tak ikut, karena lelaki itu punya pertemuan di luar kota sejak kemarin sore.Melihat sekumpulan ibu-ibu dengan penampilan yang tentunya bersahaja, berhasil membuat ketakutan di dalam diri Aruna bertambah."Jadi ini istrinya Bastian?" Merry bertanya lebih dulu."Iya, Jeng. Gimana, cantik nggak mantuku ini?""Cantik, Jeng! Keliatannya pintar, terus keibuan juga."Aruna sungguh terperangah. Untuk pertama ka
Bab 20 Hardikan Bastian"Kamu jangan bohong sama aku, Mas!" Aruna memiliki niat menghardik, tapi suaranya yang serak, malah membuatnya terlihat menyedihkan."Bohong bagaimana maksud kamu?" tanya Bastian sambil beranjak. Ia mengambil ponsel Aruna di atas nakas, lantas melemparkannya ke tengah tempat tidur. "Coba kamu lihat, sekarang tanggal berapa!" titahnya galak.Menelan ludah, Aruna mengikuti titah dari sang suami. Sontak ia menutup mulut usai melemparkan ponsel. Sekarang tanggal tujuh Januari. Aruna ingat betul, kalau ia dan yang lain sampai di kota Paris tanggal lima Januari. Rupanya Bastian benar. Tak ada kebohongan dari mulut lelaki itu."Kamu tau, gara-gara kamu, Fathan sampai batal pergi sama temen-temennya Mami. Dia diem aja di hotel demi jagain kamu yang sakit. Sejak awal, harusnya kamu sadar diri. Lebih baik gak ikut sekalian, daripada merepotkan anak saya seperti ini!"Aruna hanya diam. Ia tahu, bahwa dirinya bersalah karena sudah menggagalkan rencana liburan Fathan. Terin
Bab 21 Pertolongan "Mas!" panggil Aruna. Melihat sekeliling yang begitu asing, ditambah banyak sekali orang-orang yang tingginya menjulang, membuat jantung Aruna berdebar kencang."Mas Bastian!" panggilnya lagi, berharap Bastian akan mendengar dan mau menoleh padanya.Aruna berjalan tergesa. Ia yakin bisa menyusul Bastian yang tak lagi terlihat. Namun, saat mendapati persimpangan jalan, Aruna sontak menggigit bibirnya kuat-kuat.Rasa dingin yang menusuk kulit, serta ketakutan akan posisinya saat ini, membuat Aruna memutuskan menyingkir dari jalan setapak. Ia jatuh terduduk di atas rerumputan yang tak lagi terlihat, karena terhalang tumpukan salju.Perempuan itu menelan ludah. "Kamu di mana, Mas?" tanyanya pilu, dengan air mata yang perlahan turun.Aruna merogoh saku mantel, tetapi ia begitu nelangsa, karena alat untuk berkomunikasinya tertinggal di hotel. Akhirnya, Aruna menangis lebih keras. Tatapan dari orang-orang yang berlalu lalang di depannya sama sekali tak ia hiraukan."Kenap
Bab 22 Hari Terakhir Di ParisPerempuan itu menggeliat di atas tempat tidur. Baru membuka mata, ia terperanjat saat menyadari apa yang terjadi padanya kemarin malam. Aruna ingat, jika ia pingsan saat hendak masuk ke kamar, gara-gara kondisinya yang menurun setelah menangis di tempat bersuhu rendah.Ditatapnya sekeliling yang sepi, lantas ia bertanya, "apa Mas Bastian yang mindahin aku ke sini?"Memegang kepala, Aruna tak lagi merasakan pusing di sana. Ia menghela napas lega, karena tahu kondisinya sudah mulai membaik. Aruna hendak turun, tetapi pintu kamar terbuka. Fathan masuk seraya membawa nampan berisi makanan."Mama udah bangun," gumamnya dengan senyum. "Aku bawain Mama sup ayam. Barusan Papa beli ini di restoran Indonesia."Aruna tertegun mendengar itu. Ia juga menatap sup ayam yang dibawa Fathan. Aroma yang khas tercium hidung. Perlahan tapi pasti, Aruna mengangguk karena perkataan Fathan adalah sebuah kebenaran. Sup ayam yang dibawanya memang asli makanan khas Indonesia."Maka
Bab 23 Kesalahan Besar?"Jangan coba-coba bohong di depan Fathan!" ucap Bastian dengan raut tak suka.Ya, ia menganggap kalau Aruna sengaja berkata demikian untuk memancing keributan dengannya. Bastian yakin sekali, kalau kemarin malam Aruna bisa pulang ke hotel, lantaran istrinya itu hafal jalan. Selain itu, Bastian juga menegaskan dalam hati kalau kekesalan yang timbul di hatinya bukan karena cemburu. Ia hanya tak suka Aruna bicara omong kosong di depan Fathan."Nggak, kok," timpal Aruna enteng. Raut wajahnya yang terlihat polos menambah kekesalan dalam diri Bastian. "Kemarin aku memang dianter sama laki-laki.""Siapa itu, Ma? Apa dia orang Paris?" Fathan mulai tertarik. Jelas ingin tahu siapa gerangan yang sudah menolong ibunya saat mengalami kesusahan."Bukan, Sayang. Om itu orang Indonesia. Cuma ... Mama lupa siapa namanya."Seketika saja Bastian langsung berdecak, kemudian senyum penuh ejekan tercipta di bibirnya. "Udahlah, kamu ini jangan mengada-ada. Mana bisa kamu ketemu sama
Bab 1"Saya terima nikah dan kawinnya, Aruna Rumaisha binti Heru Muchtar dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!" Suara Bastian Widjaya menggema melalui pengeras suara.Penghulu menatap para saksi. "Sah?""Sah!" Serempak semua orang mengucap kata serupa, diakhiri kalimat hamdalah sebagai pertanda syukur atas halalnya hubungan Aruna dan Bastian.Aruna mencium tangan lelaki gagah yang telah menjadi suaminya. Jepretan kamera dinyalakan. Senyum salah tingkahnya tercipta, saat Bastian memegang kedua pundaknya, kemudian melabuhkan satu ciuman di kening."Emang bener, ya, suaminya si Aruna itu orang kaya?" Perempuan seumuran Aruna yang duduk tak jauh dari meja pelaminan, mencolek lengan temannya yang tengah terharu. "Apa jangan-jangan Aruna bohong, ya?""Ah, gak mungkin! Emangnya kamu gak bisa liat, gimana dekorasi pernikahannya Aruna? Kalau suaminya itu gak kaya raya, mustahil dia bisa sewa MUA terkenal di kota kita!""Dia pasti main pelet!" tuduh Evi yang langsung mendapatkan pelototan d
Bab 2Matahari telah muncul di ufuk timur, membuat Aruna dilanda gelisah. Semalaman tadi ia tak bisa tenang. Aruna sadar diri, jika lelaki kaya seperti Bastian yang kerap bersinggungan dengan perempuan cantik dan berpenampilan menarik, jelas tak akan sudi menyentuh perempuan kampung sekaligus pekerja paruh waktu di banyak tempat seperti Aruna."Kami berbeda," gumamnya mengulang kalimat serupa. "Aku gak boleh menyesal sama pernikahan ini. Apa pun yang dilakukan sama Mas Bastian, harus aku terima. Toh, aku yang mau nikah sama dia."Aruna mengangguk. Lantas ia beranjak dari tempat tidur dan membuka lemari. Aruna hendak mengambil pakaian, kemudian mandi pagi. Ketika ia keluar kamar, matanya tertuju pada Bastian dan Heru yang tengah bicara di kursi tua ruang tengah."Sejak kapan Mas Bastian pulang?" tanya Aruna dalam hati.Segera ia meleburkan wajah bingungnya dan melanjutkan langkah ke kamar mandi. Akan Aruna coba untuk bersikap biasa saja. Seolah ia dan Bastian berada di kamar pengantin
Bab 23 Kesalahan Besar?"Jangan coba-coba bohong di depan Fathan!" ucap Bastian dengan raut tak suka.Ya, ia menganggap kalau Aruna sengaja berkata demikian untuk memancing keributan dengannya. Bastian yakin sekali, kalau kemarin malam Aruna bisa pulang ke hotel, lantaran istrinya itu hafal jalan. Selain itu, Bastian juga menegaskan dalam hati kalau kekesalan yang timbul di hatinya bukan karena cemburu. Ia hanya tak suka Aruna bicara omong kosong di depan Fathan."Nggak, kok," timpal Aruna enteng. Raut wajahnya yang terlihat polos menambah kekesalan dalam diri Bastian. "Kemarin aku memang dianter sama laki-laki.""Siapa itu, Ma? Apa dia orang Paris?" Fathan mulai tertarik. Jelas ingin tahu siapa gerangan yang sudah menolong ibunya saat mengalami kesusahan."Bukan, Sayang. Om itu orang Indonesia. Cuma ... Mama lupa siapa namanya."Seketika saja Bastian langsung berdecak, kemudian senyum penuh ejekan tercipta di bibirnya. "Udahlah, kamu ini jangan mengada-ada. Mana bisa kamu ketemu sama
Bab 22 Hari Terakhir Di ParisPerempuan itu menggeliat di atas tempat tidur. Baru membuka mata, ia terperanjat saat menyadari apa yang terjadi padanya kemarin malam. Aruna ingat, jika ia pingsan saat hendak masuk ke kamar, gara-gara kondisinya yang menurun setelah menangis di tempat bersuhu rendah.Ditatapnya sekeliling yang sepi, lantas ia bertanya, "apa Mas Bastian yang mindahin aku ke sini?"Memegang kepala, Aruna tak lagi merasakan pusing di sana. Ia menghela napas lega, karena tahu kondisinya sudah mulai membaik. Aruna hendak turun, tetapi pintu kamar terbuka. Fathan masuk seraya membawa nampan berisi makanan."Mama udah bangun," gumamnya dengan senyum. "Aku bawain Mama sup ayam. Barusan Papa beli ini di restoran Indonesia."Aruna tertegun mendengar itu. Ia juga menatap sup ayam yang dibawa Fathan. Aroma yang khas tercium hidung. Perlahan tapi pasti, Aruna mengangguk karena perkataan Fathan adalah sebuah kebenaran. Sup ayam yang dibawanya memang asli makanan khas Indonesia."Maka
Bab 21 Pertolongan "Mas!" panggil Aruna. Melihat sekeliling yang begitu asing, ditambah banyak sekali orang-orang yang tingginya menjulang, membuat jantung Aruna berdebar kencang."Mas Bastian!" panggilnya lagi, berharap Bastian akan mendengar dan mau menoleh padanya.Aruna berjalan tergesa. Ia yakin bisa menyusul Bastian yang tak lagi terlihat. Namun, saat mendapati persimpangan jalan, Aruna sontak menggigit bibirnya kuat-kuat.Rasa dingin yang menusuk kulit, serta ketakutan akan posisinya saat ini, membuat Aruna memutuskan menyingkir dari jalan setapak. Ia jatuh terduduk di atas rerumputan yang tak lagi terlihat, karena terhalang tumpukan salju.Perempuan itu menelan ludah. "Kamu di mana, Mas?" tanyanya pilu, dengan air mata yang perlahan turun.Aruna merogoh saku mantel, tetapi ia begitu nelangsa, karena alat untuk berkomunikasinya tertinggal di hotel. Akhirnya, Aruna menangis lebih keras. Tatapan dari orang-orang yang berlalu lalang di depannya sama sekali tak ia hiraukan."Kenap
Bab 20 Hardikan Bastian"Kamu jangan bohong sama aku, Mas!" Aruna memiliki niat menghardik, tapi suaranya yang serak, malah membuatnya terlihat menyedihkan."Bohong bagaimana maksud kamu?" tanya Bastian sambil beranjak. Ia mengambil ponsel Aruna di atas nakas, lantas melemparkannya ke tengah tempat tidur. "Coba kamu lihat, sekarang tanggal berapa!" titahnya galak.Menelan ludah, Aruna mengikuti titah dari sang suami. Sontak ia menutup mulut usai melemparkan ponsel. Sekarang tanggal tujuh Januari. Aruna ingat betul, kalau ia dan yang lain sampai di kota Paris tanggal lima Januari. Rupanya Bastian benar. Tak ada kebohongan dari mulut lelaki itu."Kamu tau, gara-gara kamu, Fathan sampai batal pergi sama temen-temennya Mami. Dia diem aja di hotel demi jagain kamu yang sakit. Sejak awal, harusnya kamu sadar diri. Lebih baik gak ikut sekalian, daripada merepotkan anak saya seperti ini!"Aruna hanya diam. Ia tahu, bahwa dirinya bersalah karena sudah menggagalkan rencana liburan Fathan. Terin
Bab 19 Liburan Ke ParisButuh sekitar satu minggu untuk mempersiapkan keberangkatan menuju ke Paris. Lusiana adalah orang yang paling bersemangat. Sementara Aruna? Ia memang senang, tetapi masih bingung dan takut.Bagaimana jika ia mengalami kendala di sana? Tak mungkin jika Aruna merepotkan Lusiana. Terlebih, bagaimana kalau teman-teman Lusiana tak suka padanya, dan merasa keberatan dengan kehadirannya di acara liburan kali ini? Ia takut menjadi bahan hinaan seperti beberapa waktu yang lalu.Aruna mencoba menepis itu semua saat ia, Lusiana, dan Fathan sudah sampai di bandara. Bastian tak ikut, karena lelaki itu punya pertemuan di luar kota sejak kemarin sore.Melihat sekumpulan ibu-ibu dengan penampilan yang tentunya bersahaja, berhasil membuat ketakutan di dalam diri Aruna bertambah."Jadi ini istrinya Bastian?" Merry bertanya lebih dulu."Iya, Jeng. Gimana, cantik nggak mantuku ini?""Cantik, Jeng! Keliatannya pintar, terus keibuan juga."Aruna sungguh terperangah. Untuk pertama ka
Bab 18 Rencana Lusiana"Apa gak bisa, kalian nginep di sini sampai satu minggu ke depan?" Heru menatap sendu pada anak, menantu, serta cucunya yang sudah siap pulang ke Jakarta pagi ini."Nanti saya usahakan, Yah. Mungkin akhir tahun, atau libur lebaran kami ke sini lagi." Bastian berusaha menenangkan. "Atau Ayah aja yang datang ke Jakarta? Soal kendaraan, akan saya siapkan semuanya."Heru malah menggeleng. Ia tak mau pergi ke mana pun. Lagipula, Jakarta pasti akan membosankan. Di sana, ia tak punya teman yang bisa diajak bersenda gurau."Kemi pamit dulu ya, Yah." Sudah lebih dari tiga kali Aruna mengucapkan hal serupa."Ya sudah, hati-hati di jalan." Akhirnya, Heru mencoba lapang. Ia membiarkan tiga orang itu masuk ke dalam mobil, usai memeluk Fathan lebih dulu.Sungguh, Heru merasa sangat bahagia bisa mendapatkan seorang cucu sebaik Fathan. Anak itu sangat ceria dan pintar. Jika saja mereka mau tinggal di kampung lebih lama, pastilah Heru akan mengenalkan Fathan pada semua teman-tem
Bab 17 Sisi LainSalah satu rumah kecil di perkampungan itu tampak sepi. Hanya ada Aruna yang sibuk memasak di dapur, sebab satu jam lalu, Heru mengajak Fathan dan Bastian pergi memancing di sungai."Aku pikir, laki-laki kayak Mas Bastian gak pernah mau diajak pergi ke sungai," ucap Aruna sambil berkacak pinggang. Teringat lagi bagaimana dinginnya wajah Bastian kemarin malam, yang sudah siap mengomelinya karena datang ke kampung tanpa izin.Aruna memindahkan semua masakannya ke dalam rantang. Sebelum menyusun rantang-rantang itu, ia melihat lebih dulu hasil masakannya. Ayam goreng, telur balado, tempe, dan tentunya tahu goreng. Hanya menu sederhana itu yang ia buat. Satu pertanyaannya, apakah Bastian dan Fathan akan suka?"Gimana kalau mereka gak suka?" tanya Aruna was-was. Ia ingin pergi ke pasar Subuh tadi, tetapi jarak antara rumah dan pasar yang jauh, serta minimnya kendaraan umum yang beroperasi di pagi hari, membuat Aruna terpaksa memasak menu seadanya."Kita liat aja nanti." Ar
Bab 16"Mama!" Fathan berlari menghampiri Aruna, melewati semua perempuan paruh baya bermulut julid. Anak lelaki itu memeluk sang ibu sangat erat.Sementara Aruna terkesiap. Sungguh, ia tak menyangka kalau Bastian dan Fathan akan menyusulnya ke kampung! Perasaan Aruna sudah tak karuan, takut sekali jika Bastian akan bicara macam-macam di depan semua orang."Ini cucu Kakek?!" Heru yang baru saja keluar dari rumah pun memekik bahagia. Kedua kakinya yang sedikit ringkih makin giat melangkah. Ia memeluk Fathan dan mengusap puncak kepalanya.Sementara Bastian malah tersenyum. Ia bukan senang karena melihat Aruna, tetapi senang lantaran putranya tak lagi menangis histeris seperti saat berada di rumah mereka. Bastian berjalan lurus, menyalami sang ayah mertua dengan sangat khidmat.Semua orang yang melihat itu pun kontan merasa tertampar. Padahal mereka sudah mengatakan yang tidak-tidak tentang Bastian, tetapi lelaki yang menjadi buah bibir itu malah datang dan bersikap sangat baik pada Heru
Bab 15Aruna tertegun mendapatkan pernyataan semacam itu. Jantungnya seakan berhenti berdetak, apalagi ketika Yanti menatapnya seraya memicingkan mata."Soalnya aneh lho, Run. Suami kamu itu kaya raya, dia punya perusahaan besar di Jakarta. Tapi kenapa dia malah biarin istrinya pulang kampung naik bus travel? Kalau memang suami kamu itu sibuk, harusnya dia tetep ngasih kamu mobil sama sopir, supaya kamu aman selama perjalanan." Yanti benar-benar menumpahkan semua keanehannya.Awalnya ia ingin menahan itu semua. Namun, Yanti yang terbiasa bicara ceplas-ceplos dengan Aruna pun tak bisa tinggal diam. Hatinya resah karena Aruna malah dibiarkan pergi sendiri. Lantas apa gunanya Bastian kalau begitu?"Mas Bastian udah maksa aku, Bi. Tapi aku nolak semua fasilitas yang udah disiapin sama Mas Bas." Lagi-lagi Aruna harus berbohong. "Selama di Jakarta, aku ini gak bisa bebas pergi kemanapun sendirian, selalu ada aja orang yang disuruh sama Mas Bas buat ngikutin aku. Kalau aturan itu dibawa ke k