Video itu memperlihatkan Alea yang menangis di sebuah kamar yang asing, suasana sepi dan dingin, dan Alea tampak begitu rapuh, sendirian dalam kesedihan yang mendalam. Melody tak kuasa menahan tangis saat melihat putri kecilnya yang selama ini ia jaga dengan penuh kasih sayang, kini terkurung dalam kesedihan yang begitu nyata. Setiap tetes air mata yang jatuh dari wajah Alea seperti menghantam hati Melody, seolah dunia mereka terbalik. Hati Melody remuk, teriris-iris melihat anaknya berada dalam penderitaan yang begitu besar.Namun, tak lama setelah video itu berakhir, ponsel Melody berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor yang baru saja mengirimkan video Alea."Bagaimana, Melody? Sudahkah kamu melihat video putrimu?" suara asing itu terdengar di ujung telepon, dingin dan penuh tantangan.Melody mencoba menahan amarah yang menggelora, suaranya sedikit meninggi, "Siapa kamu? Apa tujuanmu menyekap Alea?" tanyanya, dengan nada yang penuh perasaan dan ketegasan.Di sisi lain, tawa p
"H-halo..." Suara Arumi terdengar gemetar, terbata-bata, seolah-olah mencoba menyembunyikan rasa takut yang menggerogoti dirinya. Namun, sebelum Arjuna sempat mendengar kata-kata Arumi lebih jauh, ponsel di tangannya berdering keras, memecah keheningan yang menegangkan.Arjuna merogoh ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar, rasa cemas mulai merayapi dirinya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengangkat telepon itu."Halo Tuan, kami ingin menginformasikan bahwa Nona Melody tidak ada di ruangannya," ujar suara perempuan di ujung telepon, dengan nada yang agak panik.Wajah Arjuna langsung memucat, seluruh tubuhnya seolah membeku mendengar kabar itu. Ia hampir tidak bisa mempercayainya. "Kenapa bisa begitu, Suster? Apakah tidak ada satu pun perawat yang menjaga Melody?" tanyanya dengan suara bergetar, rasa cemasnya kian membesar."Maaf Tuan, Nona Melody menghilang saat saya pergi mengambil infusan yang baru," jawab suster itu dengan gugup, suara paniknya semakin jelas terdengar.A
"Alea, kemari sayang, maafkan ibu yang akhir-akhir ini jarang ada untukmu," suara Melody terputus oleh isakan tangisnya, air mata yang tak bisa lagi ia bendung jatuh membasahi pipinya.Setiap tetesnya adalah penyesalan yang begitu mendalam, dan hati ibu itu terasa hancur, tertusuk oleh rasa bersalah yang tak terungkapkan.Alea, si bocah kecil yang selama ini disayanginya, bangkit dari kursinya dengan ragu, namun langkahnya terhenti. Tangan mungilnya masih terikat erat dalam genggaman Barata, yang seolah tak akan membiarkan gadis kecil itu lepas. Wajah Barata begitu dingin, penuh ancaman yang tak bisa disembunyikan, dan suara bisiknya penuh penekanan, seolah mencoba mengendalikan setiap gerakan Alea."Masih ingat apa yang Om katakan?" bisiknya, seolah ingin memastikan bahwa kekuasaan dan kendali atas gadis kecil itu masih utuh.Alea, meskipun ragu, seketika teringat akan apa yang telah dikatakan Barata sebelumnya, saat Melody belum tiba. Kata-kata Barata seperti racun yang perlahan me
Arjuna, yang sudah berada di rumah sakit, tampak seperti kehilangan harapan. Di balik tatapan kosongnya, ada gejolak emosi yang membuncah. Wajahnya yang pucat tak mampu menyembunyikan kepedihan yang meronta. "Bi," suara Arjuna serak, seolah dipenuhi rasa putus asa, "Katakan sesuatu... Bibi pasti tahu kan? Keberadaan Melody, dan juga Alea, Apa yang Bibi ketahui?" Arjuna menatap tajam Arumi, matanya penuh dengan amarah yang tak terkendali, seolah mencari jawaban yang dapat meruntuhkan kebisuan yang menyelimuti semuanya.Arumi, yang biasanya tenang, kini terlihat gugup. Wajahnya memucat, seolah sebuah rahasia yang berat tersembunyi di balik matanya. Ia mencoba menyembunyikan rasa takut yang menghantui dirinya, namun tubuhnya bergetar hebat, tak bisa menutupi kecemasannya."Saya... saya tidak tahu apa-apa, Tuan. Saya berani bersumpah," kata Arumi dengan suara gemetar, mencoba meyakinkan Arjuna, meskipun hatinya sendiri tak yakin.Namun, Arjuna tak mau menerima begitu saja. Rasa frustasin
Dalam kesunyian yang mencekam, Melody masih terjaga, menahan rasa sakit yang menyiksa tubuhnya. Mentari perlahan mulai terbit, namun tak ada kehangatan yang bisa menyentuh hatinya. Setiap gerakan terasa seperti siksaan, perutnya masih berdenyut penuh rasa nyeri yang tak kunjung reda. Ia ingin melarikan diri, tapi ada satu hal yang menghantui pikirannya yakni Alea. Putri kecilnya itu masih dalam kendali Barata, dan Melody tak bisa meninggalkannya begitu saja.Dengan susah payah, Melody mencoba bangkit. Tubuhnya limbung, seolah tak memiliki kekuatan sama sekali. Setiap gerakan hanya menambah rasa sakit yang teramat dalam, membuatnya harus membungkuk untuk menahan agar tak jatuh. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, terdengar suara pintu yang terbuka perlahan, disusul langkah kaki yang menghampiri."Selamat pagi, Nona," suara itu terdengar datar dan tanpa emosi, namun ada sesuatu yang mencurigakan dalam nada suara itu.Melody tersentak, kebingungan. "Ibu siapa?" tanyanya denga
Arjuna kini telah sampai di kediaman Barata. Langkahnya terburu-buru, seolah waktu sedang mengejarnya, ingin segera membawa pulang Melody dan Alea yang entah di mana. Di belakangnya, Alex mengikutinya dengan cermat, matanya tak pernah lepas mengawasi Arumi, memastikan wanita itu tak akan sempat kabur."Melody! Alea!" Teriakan Arjuna membelah kesunyian saat ia mendobrak pintu rumah Barata dengan tangan yang gemetar, hatinya dipenuhi kegelisahan yang memuncak.Namun, rumah Barata tampak sunyi, sepi. Teriakannya hanya bergema, menggantung tanpa ada balasan, seperti tak ada yang mendengarnya. Arjuna melangkah lebih dalam, menyusuri setiap sudut rumah yang hening."Alea! Melody! Dimana kalian?!" Teriak Arjuna sekali lagi, suaranya mulai serak, penuh cemas."Tuan, sepertinya rumah ini sudah kosong," ujar Alex dengan nada datar, namun matanya tajam, mengawasi setiap gerak gerik Arumi yang ada di dekatnya.Arjuna, yang semakin gelisah, mendekatkan diri kepada Arumi dengan tatapan yang membaka
Barata akhirnya tiba di Rumah Sakit Kencana, suasana tegang langsung menyelimuti udara saat Suripto membuka pintu mobil dan membantunya mengangkat Melody yang terkapar lemas. Melody meronta, tubuhnya berusaha menolak, namun tak ada yang bisa menahan kekuatan dua pria yang kini memaksanya berjalan dengan paksa."Lepaskan saya... saya tidak mau kehilangan bayi saya... tindakan Tuan sudah melanggar batas!" teriak Melody, suara tenggelam dalam isak tangis yang tak tertahankan.Barata menatapnya, wajahnya penuh dengan tekad yang dingin. "Justru aku sedang menyelamatkan hidupmu, Melody. Bersamaku, kamu akan bahagia. Tidak ada lagi yang menghalangi kita. Kamu satu-satunya di hidupku. Bukan seperti Arjuna yang sudah punya istri," ucapnya dengan suara serak, penuh pengaruh.Melody menatap Barata dengan tatapan penuh kebencian, namun tubuhnya terasa lemah dan tak mampu melawan lagi. Langkahnya dipaksa menuju ruang dokter kandungan, dan sekelompok perawat serta dokter yang ada di dalam ruangan i
Dokter dan perawat di rumah sakit itu seolah membeku, terpaku dalam ketegangan mendalam mendengar ancaman yang keluar dari mulut Arjuna. Di sudut ruang yang sunyi itu, suasana menjadi sangat berat, setiap kata yang diucapkan menggantung di udara. Barata menggenggam erat pergelangan tangannya, napasnya tersengal. Wajahnya tampak berwarna merah marah. Sementara Arjuna, dengan wajah dingin, membantu Melody untuk duduk di kursi roda, perlahan-lahan."Barata, dengar baik-baik. Aku peringatkan, jangan ganggu Melody lagi. Kalau kau sekali lagi bertindak gila seperti ini, hidupmu akan hancur," ancam Arjuna, suaranya penuh ketegasan. Setelah berkata demikian, dia segera mendorong kursi roda dengan langkah cepat, meninggalkan ruang yang semula penuh amarah itu.Suripto, yang sejak tadi terdiam, maju perlahan, berusaha menahan Arjuna. Namun, Barata dengan gerakan cepat menarik pundak Suripto, menghentikan langkahnya."Tuan, kenapa Tuan biarkan Arjuna membawa Melody pergi?" tanya Suripto."Arju
Akhir pekan yang telah dinanti akhirnya tiba. Suasana rumah terasa riuh oleh suara koper yang ditutup, tawa kecil, dan percakapan ringan. Melody, Arjuna, dan Alea tengah bersiap untuk penerbangan menuju Jepang. Arjuna memilih kota Sakura—bukan tanpa alasan. Musim salju baru saja tiba, dan ia ingin keluarganya merasakan keajaiban yang belum pernah mereka alami.“Bu, emang dingin banget ya di sana? Lebih dingin mana sama Puncak, Bu?” tanya Alea dengan mata berbinar, membayangkan butiran salju jatuh dari langit.Melody tersenyum sambil merapikan resleting koper. “Ibu juga belum pernah ke Jepang, Nak… Jadi ibu nggak tahu. Tapi ibu rasa… udara dinginnya pasti punya rasa yang berbeda.”Alea terkikik pelan, lalu menarik kopernya keluar kamar. Di depan, Arjuna sudah menunggu. Tapi kali ini ada yang lain—auranya berbeda. Bukan lagi sosok CEO tegas dan kaku yang biasa ia lihat.“Tuan Papah? Kayaknya salah pakai baju, deh?” komentar Alea polos, menatap ayahnya yang mengenakan kaus putih berlogo
“Kamu bisa pulang sekarang.”Suara dingin itu datang dari Arjuna. Lima pria bertubuh kekar yang menjaga Leo selama dua hari terakhir akhirnya mundur, melepaskan cengkeraman mereka. Tubuh Leo terhuyung sedikit, lututnya nyaris lemas, tapi ia menegakkan dirinya, berusaha tetap tenang meski di dalam hatinya penuh amarah dan kelelahan.“Aku sudah bilang dari awal…” suara Leo serak, menahan emosi. “Tidak ada gunanya kalian menyekapku. Musuh Tuan kalian itu Sasha, bukan aku. Aku cuma… seorang fotografer.”Matanya menatap satu per satu pria di depannya, penuh amarah dan kecewa.“Dua hari waktuku terbuang sia-sia,” gumamnya kesal, lalu berbalik dan pergi tanpa menoleh lagi.Ia menyusuri jalan setapak dengan langkah berat. Angin malam terasa menusuk kulitnya, tapi yang paling menusuk adalah kenyataan bahwa Sasha—wanita yang seharusnya satu pihak dengannya—telah menghilang begitu saja. Meninggalkannya.“Kemana wanita itu? Harusnya dia tidak pergi tanpa aku…” gumamnya penuh geram.Langkahnya sam
"Ibu....!" teriak Alea sambil berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Kaki-kakinya kecilnya menghentak lantai dengan penuh semangat, napasnya tersengal tapi wajahnya berseri, memancarkan kebahagiaan yang tulus. Ia tak peduli pada pandangan orang-orang—yang ia tahu, ibunya akan pulang hari ini.Melody menahan air mata ketika melihat putri kecilnya berlari menghampiri. Senyum yang lama menghilang akhirnya kembali terukir di wajahnya, senyum yang lahir dari luka-luka yang perlahan mulai sembuh. Hari itu bukan sekadar hari biasa—itu adalah awal dari kehidupan baru. Kehidupan yang akhirnya terasa damai setelah dilanda badai panjang.Tak jauh dari sana, Arjuna berdiri memperhatikan keduanya. Lelaki yang dulu dikenal dingin dan tak tersentuh itu, kini wajahnya lebih lembut, sering kali tersenyum meski dalam diam. Sejak Melody dan Alea hadir, hidupnya tak lagi hampa. Mereka adalah warna yang mewarnai kanvas hidupnya yang dulu kelabu."Tuan, mobil sudah siap. Saya juga sudah mengurus semua r
Dokter terus memantau perkembangan kondisi Melody pasca operasi pengangkatan janin. Selain memeriksa luka operasi, dokter juga memastikan kesehatan rahim serta kondisi saluran tuba falopi dan sel telur Melody tetap terjaga.“Dok, bagaimana kondisi istri saya? Apakah... sudah bisa pulang hari ini?” tanya Arjuna dengan suara pelan namun penuh harap.Dokter mengangguk pelan, memberi sedikit senyum, “Sore ini Ibu Melody sudah boleh pulang. Tapi, mohon diingat, harus istirahat total. Kami ingin memberi waktu bagi tubuh Ibu untuk benar-benar pulih, terutama bagian tuba falopi. Selama satu bulan ini, sebaiknya hindari dulu berhubungan suami istri, ya.”Melody, yang sejak tadi hanya diam menatap lantai, akhirnya membuka suara. Ada kegelisahan yang jelas terdengar dalam suaranya.“Dok… saya masih bisa hamil normal, kan? Maksud saya… apakah kemungkinan hamil di luar kandungan itu bisa terjadi lagi?”Dokter menarik napas sejenak, seperti memilih kata-kata terbaik untuk tidak menyakiti, namun tet
Waktu terus berjalan. Jarum jam dinding di ruang tunggu seolah bergerak lambat, mengulur setiap detik jadi menit, setiap menit jadi penyiksaan. Arjuna duduk di kursi tunggu dengan kedua tangan mengepal di pangkuan, wajahnya tegang, matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang kini tertutup rapat.Alea telah tertidur dalam pelukan salah satu perawat, boneka kesayangannya masih erat di tangan. Napasnya teratur, tapi wajahnya masih menyimpan jejak kekhawatiran.Arjuna melirik anaknya sejenak, lalu kembali menatap ke depan. Dalam hati, ia bergumul dengan penyesalan, kemarahan, dan ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui."Melody... Bertahanlah..." bisiknya nyaris tak terdengar, seperti doa yang ditelan sunyi.Tak lama kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar, wajahnya tenang namun lelah. Arjuna langsung berdiri."Dokter... bagaimana istri saya?" tanyanya, nada suaranya lebih mirip permohonan daripada pertanyaan.Dokter itu mengangguk pelan. “Operasinya berjalan
Sasha terus berlari dengan napas memburu, jantungnya berdebar begitu kencang seolah hendak meledak dari dalam dadanya. Setiap langkah terasa seperti lompatan menuju jurang ketidakpastian. Sesekali ia menoleh ke belakang, matanya dipenuhi ketakutan, berharap bayangan dua pemuda suruhan Arjuna itu telah menghilang. Tapi tidak—mereka masih di sana. Masih mengejarnya.Tiba-tiba—srett!—kilatan logam kecil melesat di udara, dan sebelum sempat bereaksi, belati itu menancap tepat di kakinya."Akhhh...!" jerit Sasha tertahan. Rasa sakit itu begitu tajam, menjalar dari kaki hingga menusuk ke dalam hatinya. Tapi ia tidak berhenti. Dengan tubuh gemetar dan darah yang mulai merembes keluar, Sasha terus memaksa dirinya untuk lari, menyeret kakinya yang terluka, berjuang melawan nyeri yang seakan mencengkeram erat setiap sarafnya.Di tengah kepanikan, ia menemukan sebuah pohon besar dan segera bersembunyi di baliknya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, menggigit bibir hingga nyaris berdarah, m
Bayangan itu perlahan mendekat... dan saat wajahnya terlihat jelas, Sasha dan Leo terpaku—terbelalak tak percaya.Itu Arjuna.Sasha terengah, tubuhnya seolah membeku. Leo menatap Arjuna dengan cemas, peluh dingin membasahi pelipisnya. Mereka sama sekali tak menyangka pria itu tahu keberadaan tempat penyekapan ini.Tanpa sepatah kata, lima pria berbadan tegap segera mengamankan Sasha dan Leo. Keduanya tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa meronta lemah.Sementara itu, Arjuna berlutut di hadapan Melody. Dengan tangan yang gemetar namun tegas, ia melepaskan ikatan di tangan wanita itu. Detik berikutnya, ia memeluknya—erat, penuh rasa bersalah dan lega yang bercampur menjadi satu.Ia menoleh ke arah anak buahnya. "Kalian bereskan dua manusia itu," ucapnya datar, tapi penuh tekanan. Kemudian, ia menggandeng Melody pergi, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.Sasha, yang masih dalam cengkeraman dua pria, berteriak histeris. Suaranya pecah oleh emosi yang tak bisa dibendung."Arjuna! Ini ngg
Arjuna membanting setir, mobilnya melesat menembus terik matahari, deru mesin meraung seirama dengan detak jantungnya yang berpacu. Matanya tajam, penuh amarah dan kecemasan, menyapu jalanan seperti elang memburu mangsa. Dalam hatinya hanya satu hal yang terus bergaung: Melody. Dia harus menyelamatkannya—dengan cara apa pun.Di persimpangan jalan, ban mobilnya berdecit keras saat berhenti mendadak. Tepat di depannya, sebuah Rubicon hitam sudah terparkir, menunggu.Tanpa membuang waktu, Arjuna keluar dari mobil. Pintu Rubicon terbuka hampir bersamaan. Lima pria bertubuh kekar turun satu per satu, sorot mata mereka penuh hormat. Diam, tapi tegang. Mereka tahu ini bukan misi biasa.Salah satu dari mereka maju selangkah. Suaranya tegas, namun sarat dengan kehormatan."Tuan, kami siap menjalankan misi."Arjuna menatap mereka satu per satu, seperti memastikan mereka siap untuk masuk ke dalam neraka bersama-sama."Bagus," ujarnya pelan tapi tajam. "Ikuti mobilku. Kita tak punya banyak waktu.
"Alex, setelah ini kamu antar Alea pulang," ujar Arjuna, suaranya berat menahan kegelisahan."Tuan Papah... memangnya Alea nggak bisa terus di sini nemenin Ibu?" tanya Alea lirih, wajahnya sendu, mata berkaca-kaca menatap harap.Arjuna menghela napas, mencoba bersikap tenang meski hatinya ikut remuk melihat kesedihan Alea. "Rumah sakit ini punya aturan, Nak. Tapi tenang, doakan ibumu ya... biar aku yang jaga ibumu."Alea hanya mengangguk pelan, menunduk meski jelas raut kecewa tak bisa ia sembunyikan. Mereka kemudian melangkah menuju ruang perawatan Melody. Tapi langkah mereka terhenti mendadak ruangan itu kosong. Tak ada ranjang. Tak ada Melody."Kemana... Ibu?" suara Alea gemetar, matanya membelalak tak percaya.Arjuna membeku sejenak sebelum tiba-tiba panik. Ia menyibak tirai ruangan, membuka lemari, bahkan memeriksa kamar mandi. Tapi nihil. Melody tak ada di mana pun."Alex cepat kamu tanya suster yang menjaga Melody, suster itu bernama Rini," seru Arjuna, nadanya tegang dan terbu