Keesokan paginya, mual yang dialami oleh Aleena semakin parah. Gadis itu bahkan tidak bisa makan sedikitpun, hingga tubuhnya lemas dan wajahnya lebih pucat dari kemarin. Madam Calister yang kini menghampiri Aleena di kamar hotelnya setelah Aleena menghubunginya beberapa menit yang lalu. "Ya ampun, Ms. Aleena, kau sangat pucat seperti ini. Tubuhmu juga panas." Madam Calister menyentuh pipi Aleena dengan telapak tangannya. "Sepertinya kau demam karena cuaca di sini sangat dingin." Gadis itu mengangguk, sebelum ia mendongak menatap Madam Calister. "Maafkan saya, Madam. Sepertinya saya tidak bisa menemani Madam hari ini," ujar Aleena memegang tangan wanita itu. "Tidak apa-apa. Masih ada Mr. Samuel yang nanti bisa menjadi asistenku di rapat hari ini," ujar Madam Calister menatap khawatir. "Ms. Aleena lebih baik pulang kembali ke Murniche dan beristirahat." Aleena menganggukkan kepalanya, gadis itu bahkan masih lemas setelah mual-mual beberapa menit yang lalu. Di sana juga ada Samuel
Aleena masih membeku saat Asher memeluknya, namun rasa terenyuh memenuhi dada Aleena hingga gadis itu mengangkat tangannya membalas pelukan Asher. "Apa yang terjadi denganmu?" tanya Asher menundukkan kepalanya. Entah kenapa lidah Aleena terasa kelu, hingga ia hanya bisa menggelengkan kepalanya dan perlahan melepaskan pelukannya pada Asher. Aleena bingung kenapa laki-laki ini bisa ada di sini, begitu datang langsung memeluknya dengan wajah khawatir seperti ini. "Tuan kenapa di sini?" tanya Aleena mendongak menatapnya. "Urusan pekerjaan," ujar Asher berkilah. Aleena pun tertunduk dan meremas bagian belakang mantel yang Asher pakai saat kepalanya terasa pening. "Ayo, pulang bersamaku," ajak Asher merangkulnya. "Tuan, saya bisa pulang sendiri—""Jangan menolakku, Aleena!" tegas Asher dengan nada menekan. Mau tidak mau, Aleena pun patuh. Asher meraih tas yang Aleena bawa dan merangkul gadis itu mengajaknya masuk ke dalam mobil. Selama beberapa menit mereka hening. Aleena duduk se
Setelah menemani sebentar Aleena di paviliun, Asher pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Laki-laki itu berjalan diikuti Jordan di belakangnya. Asher membuka pintu, tapi langkahnya langsung terhenti di tempat. "Apa-apaan ini?" ucapnya dengan nada menggeram. Asher dan Jordan tampak terkejut melihat isi rumah yang berantakan. Di ruang tamu tampak beberapa botol minuman dan juga piring-piring bekas makanan yang kini masih dirapikan oleh para pelayan. "Tu-Tuan …." Para pelayan itu terlihat kaget dengan kedatangannya. "Kenapa rumah bisa kacau seperti ini?" tanya Asher menatap tajam dua wanita itu. "I-itu, Tuan. Tadi Nyonya mengajak semua teman-temannya party di sini. Ka-kami akan segera membersihkannya—""Tidak perlu!" seru Asher menyela. "Tuan ...." Jordan menatap Asher dengan tatapan tak percaya. Para pelayan pun tidak ada yang berkutik. Dengan rahang mengeras, ia menoleh dan menatap dua pelayan itu. "Biarkan semua botol-botol itu di sana, sampai Nyonya kalian kembali!" tekan
Beberapa hari kemudian, Aleena kembali mengajar anak-anak di sekolah. Namun, sama seperti hari-hari kemarin, pagi ini Aleena sudah keempat kalinya mondar-mandir ke kamar kecil. Gadis itu terus merasa mual, perutnya seperti diaduk-aduk saat ia menghirup aroma sesuatu yang membuat perutnya terasa bergejolak. "Ya Tuhan, ini sudah keempat kalinya aku ke kamar kecil," ucap Aleena menyeka bibirnya pelan. Kedua kakinya terasa lemas hingga Aleena terduduk di atas lantai. Ia menatap sayu tangannya yang gemetar memegangi gagang pintu. Aleena menyandarkan kepalanya dan memejamkan kedua matanya pelan. "Kepalaku juga pusing," rintih Aleena. Rasanya ia ingin menangis, tapi Aleena berusaha menahan diri. Ia tidak akan bisa mengajar dengan baik apabila terus seperti ini. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. "Aleena, kau di dalam?" Suara wanita itu membuat Aleena tersentak pelan. "I-iya! Sebentar," jawabnya. Perlahan-lahan ia berusaha bangkit berdiri. Aleena menatap pantulan di
Beberapa menit kemudian, mobil milik Asher sampai di depan sebuah halte yang berada tak jauh dari gedung sekolah tempat Aleena mengajar. Asher melihat Aleena duduk di bangku halte. Laki-laki itu keluar dari dalam mobilnya dan menatap Aleena yang kini menatapnya dengan tatapan protes yang membuat Asher tersenyum tipis. Aleena beranjak dari duduknya dan mendongak menatap Asher. "Kenapa Tuan lama sekali?" tanyanya. Sudah Asher duga, gadis penuh kejutan ini akan memprotesnya. "Aku masih ada meeting," jawab Asher meletakkan telapak tangannya di pucuk kepala Aleena. "Dan kau, kenapa tiba-tiba mengajakku makan malam bersama?" Wajah Aleena merona seketika, namun ia tidak bisa menyembunyikan senyuman tipisnya. "Tidak apa-apa. Saya hanya ingin saja," jawab Aleena. Asher hanya menatapnya dan mengusap pucuk kepala Aleena dengan lembut. "Ayo," ajak laki-laki itu. Mereka berdua pun bergegas masuk ke dalam mobil. Aleena duduk mengembuskan napas dan mengusap perutnya yang terasa lapar. Sese
Makan malam bersama Aleena kali ini sungguh membuat Asher terheran-heran. Gadis itu mengoceh tanpa henti sejak tadi. Sungguh seperti bukan Aleena yang selama ini Asher kenal. "Tuan Asher tidak sibuk malam ini?" tanya Aleena sembari memegangi lengan Asher saat keluar dari restoran. "Tidak, Aleena," jawab Asher meliriknya. "Kenapa? Kau ingin aku temani tidur?" Lantas gadis itu langsung mendongak menatapnya dengan kepala menggeleng. "Bu-bukan begitu, Tuan. Saya hanya bertanya saja," jawabnya. Asher terkekeh pelan, laki-laki itu merangkul pundak Aleena dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Di sana, Aleena tampak kaget saat melihat ada Jordan, ajudan Asher yang entah kapan datang. "Tuan Jordan, ke-kenapa sudah ada di sini?" cicit Aleena menatap laki-laki yang membukakan pintu mobil untuknya. "Saya sudah datang ke sini sepuluh menit yang lalu, Nona," jawab Jordan tersenyum. "Atas perintah Tuan." "Berhenti memanggilnya Tuan," sahut Asher tiba-tiba hingga membuat Aleena menoleh. "Han
Esok paginya, Asher tampak sudah siap dengan balutan pakaian formalnya. Laki-laki tampan itu berjalan menuruni anak tangga sembari membawa mantel hangatnya. Manik mata hitam milik Asher menatap ke lantai satu di mana Marsha tengah berada di ruang makan dengan para pelayan bersamanya. Wanita itu tersenyum saat melihatnya turun ke lantai satu. "Selamat pagi, Sayang," sapanya dengan manis."Hm." Asher hanya bergumam pelan. Marsha pun langsung memeluknya. "Kenapa? Kau marah ya?" tanyanya. "Maaf, semalam aku pergi tidak pamit dan aku pulang kemalaman," ujarnya. "Untuk apa kau pulang kalau masih pukul dua dini hari," ucap Asher dengan nada dingin dan sarkastik. Marsha langsung bungkam, begitu pun kini Asher menatapnya dengan tajam."Lain waktu, kau tidak perlu pulang, Marsha. Party dengan teman-temanmu sampai semalaman suntuk, lakukan saja ... aku tidak peduli!" seru Asher sembari melangkah ke arah ruang tamu. "Sayang, aku minta maaf!" Marsha mengejarnya dan menarik lengan Asher. "Se
Asher menepati janjinya pada Aleena. Laki-laki itu datang lebih awal menjemput Aleena sore ini, bahkan ia menunggunya tak jauh dari sekolah tempat gadis itu mengajar. Sepuluh menit Asher menunggu, muncullah gadis cantik dengan balutan dress panjang berwarna cokelat dan mantel senada yang kini berjalan cepat ke arah mobilnya. "Tuan!" Aleena membuka pintu mobil itu dan tersenyum riang. "Tuan sudah lama menunggu saya?" "Belum. Ayo cepat masuk, di luar sangat dingin," ujar Asher. Aleena pun segera masuk ke dalam mobil milik Asher. Gadis itu meletakkan beberapa buku yang ia bawa di bangku belakang. Asher memperhatikan Aleena yang kini duduk nyaman menatapnya dengan hangat."Ada apa, Aleena? Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Asher menaikkan salah satu alisnya. "Tidak apa-apa," jawab gadis itu tertunduk. Padahal Aleena ingin mengatakan pada Asher dan bercerita tentang perasaan senangnya saat Asher menjemputnya sekarang, tapi rasanya sangat canggung. Asher pun melajukan mobilnya. Se
Malam ini Arabelle belajar di dalam kamarnya. Gadis cantik itu mengerjakan beberapa tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Gadis cantik meraih ponselnya yang tiba-tiba menyala. Arabelle membaca pesan masuk dari Theo yang bertanya apakah Arabelle sibuk atau tidak. Arabelle pun segera membalasnya dan tak berselang lama, Theo langsung menghubunginya. "Halo..." Arabelle tersenyum tipis menjawab panggilan itu. "Halo, sedang apa?" tanya Theo dibalik panggilan itu. "Sedang mencatat latihan soal, Kak. Kak Theo sedang apa?" "Sedang menjaga Lea. Dia baru saja ribut dengan Leo," jawab Theo. Arabelle menoleh saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Tampak sang Ayah masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekatinya. Jordan meraih ponsel di tangan Arabelle. "Ehh ... Ayah!" Jordan menatap layar ponsel Arabelle di mana nama Theo terpampang jelas di sana. "Jangan menghubungi Arabelle dulu, atau besok paman adukan kau pada Papamu! Paham, Theo!" seru Jordan.Panggilan itu pun langsung
"Kebiasaan! Sudah berapa kali Ara bilang jangan berantem terus! Lihat kalau sudah seperti ini!" "A-akk ... Aduh! Sakit, Arabelle!" pekik Theo saat Arabelle menekan bola kapas dengan obat gadis itu bawa, pada sudut bibir Theo yang membiru dan lebam. Arabelle memasang wajah sebal dan bibir tipisnya cemberut saat menatap Theo. Beberapa menit yang lalu, saat Ayahnya sudah pulang, Vivian dan Diego memanggil Arabelle yang sedang di perpustakaan. Mereka bilang kalau Theo bertengkar dengan kakak kelas. Arabelle yang panik, dia langsung berlari mencari Theo. Bahkan kini, berada di ruang kesehatan pun Arabelle yang harus memaksa Theo untuk segera mengobati luka laki-laki itu. "Aku tidak mau berteman dengan Kak Theo lagi kalau Kak Theo terus menerus bertengkar seperti ini," omel Arabelle mengambil plaster di dalam kotak obat. "Dia duluan yang meledekku..." "Ya jangan ditanggapi, Kak!" "Tidak bisa! Ucapan mereka tidak enak didengar, ya sudah hantam saja!""Begini...!" "Akhhhh! Sakit, Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah bersama dengan sang Ayah. Saat Jordan ikut keluar dari dalam mobil, semua anak-anak di sana menatapnya dengan tatapan terkejut. Jelas saja, sejak dulu Arabelle sering dipanggil anak pungut, karena saat masih sekolah dasar, Arabelle dengan bangga bercerita kalau dia diangkat anak oleh Ayahnya dari panti asuhan. Tapi ternyata, teman-temannya memandang Arabelle dari sisi yang buruk. "Ayah ... Ayah tidak usah mengantar Ara sampai ke dalam sana," ujar Arabelle menatap sang Ayah yang menjadi bahan tatapan semua temannya. "Kenapa? Malu diantarkan Ayah?" tanya Jordan sambil melepaskan kacamata hitamnya dan merapikan tuxedo hitam yang dia pakai. "Tidak. Arabelle tidak malu, Arabelle justru senang sekali Ayah mengantarkan Arabelle. Tapi..." Gadis itu mengecilkan suaranya dan ia memperhatikan sekitar. Jordan tahu apa yang dikhawatirkan oleh Arabelle. Sejak kecil, Arabelle selalu pergi bersekolah dengan bus sekolah. Lalu saat naik kelas menengah pe
Arabelle membuat semua orang panik di rumahnya. Gadis itu pergi bersama Theo tanpa sepengetahuan siapapun. Hingga malam ini Jordan sangat panik setelah ia pulang dan mendapati anaknya tidak ada di rumah. Sejak tadi, Jordan mondar-mandir di teras rumahnya. "Tidak mungkin Arabelle pergi ke mana-mana tanpa berpamitan!" seru Jordan kini berusaha menghubungi ponsel Arabelle. "Tapi Arabelle memang tidak bilang apa-apa pada Mama dan Papa, Jordan. Tadi setelah makan malam Mama memintanya untuk ke kamar," ujar Hani cemas. Jordan diam, tidak biasanya Arabelle seperti ini. Bahkan bila ia pergi, Arabelle pasti akan mengirimkan pesan pada Jordan dan menyertakan alamatnya juga. "Ke mana kau, Nak?" gerutu Jordan. Bagaimana ia tidak panik, kini sudah pukul dua belas malam. "Mungkin anak itu pergi bersenang-senang, Kak. Anakmu itu sudah dikasih hati malah tidak tahu diri!" sahut Janice. "Heem, benar. Masih untung ada yang kasihan padanya. Tapi Arabelle tidak punya terima kasih sama sekali! Mir
Arabelle keluar dari dalam rumah malam ini tanpa ada yang tahu. Arabelle berlari keluar gerbang sembari memeluk jaketnya dan gadis itu menunggu Theo sambil duduk di sebuah tepian trotoar di jalan perumahan. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menangis mengingat ucapan Tantenya yang begitu menyakitinya. Arabelle selama ini tidak pernah bercerita pada Ayahnya perkara ini, bahkan Nenek dan Kakeknya juga bungkam pada sang Ayah karena tidak mau keluarga pecah dan terjadi keributan pada anak-anaknya. "Mungkin Tante Kaila benar, aku harus hidup mandiri," gumam Arabelle di sela tangisannya. "Tapi ke mana? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah yang sayang padaku." Arabelle mengusap air matanya dan ia teringat masa-masa kecilnya di panti asuhan pun juga sangat tidak mudah. Semakin sedih, Arabelle semakin larut kesedihannya. Hingga tak lama kemudian, sebuah motor berhenti di depan Arabelle. Tentu saja, dia adalah Theo. Theo melepaskan helm yang ia pakai dan bergegas turun dari atas
Hari sudah hampir gelap, Theo baru saja sampai di rumahnya. Kepulangannya disambut oleh kedua adiknya yang sedang menunggu di teras depan rumah. "Kak! Kak Theo, kenapa baru pulang? Katanya mau ngajarin Leo main basket!" pekik Leo cemberut. Theo terkekeh menatapnya. "Kakak harus mengantarkan teman Kakak dulu, Leo. Nanti malam saja, oke?" "Kak Arabelle mana?" tanya Lea mendongak menatap sang Kakak sambil memegang sebungkus roti di tangannya. Theo memeluk kedua lututnya di hadapan Lea. Ia tersenyum lembut pada adik kecilnya. "Kakak tidak mengantarkan Kak Arabelle, Cantik..." "Terus, siapa? Kakak tidak berteman lagi sama Kak Arabelle?" tanya Lea terus menerus. Theo menarik napasnya pelan. Ia tahu kalau Lea sangat menyukai Arabelle karena hanya dengan Arabelle bisa diajak bermain ini dan itu. "Jangan khawatir, nanti malam Kakak akan jemput Kak Arabelle." Theo mengelus pucuk kepala Lea. "Janji, Kak?" Anak perempuan itu mengacungkan kelingkingnya. "Janji, Sayang..." Barulah Lea be
Hari pertama masuk sekolah kali ini sangat seru meskipun Arabelle sempat sakit. Bahkan saat Arabelle ditunjuk untuk melakukan tugas ini dan itu, Theo selalu melarang rekan-rekannya. Theo menjaga Hauri dengan baik. Sampai kini pukul tiga sore, sekolah pun sudah bubar, anak-anak diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. "Kau pulang dengan siapa?" tanya Theo berjalan di belakang Arabelle. "Sendiri, Kak. Aku bisa naik bus," jawab gadis itu membalikkan badannya menatap Theo. "Pulang bersamaku saja," ujarnya. Arabelle mengangguk patuh. Mereka berdua berjalan ke arah parkiran depan. Di sana, berdiri seorang gadis cantik yang tampak tersenyum pada Theo. "Jadi pulang denganku, kan?" tanya Velicia—teman sekelas Theo. Theo menoleh pada Arabelle. "Aku harus mengantarkan adikku pulang," ujar Theo. "Dia tidak enak badan." Arabelle mengerjapkan kedua matanya ditatap oleh Velicia. Sebelum gadis itu cemberut kesal padanya. "Padahal kita sudah membuat rencana untuk pulang bersama. Tapi kau
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle menginjakkan kakinya di sekolah menengah atas. Sudah satu bulan hubungannya dan Theo kacau. Theo bahkan tidak pernah mengirimkan pesan, mengunjungi, ataupun berbicara dengan Arabelle lagi. Awalnya Arabelle merasa sangat sedih, namun seiring berjalannya waktu, Ayahnya meminta Arabelle untuk fokus pada sekolahnya saja. Seperti pagi ini, Arabelle sudah berada di sekolah barunya bersama dua sahabat setianya. "Akhirnya, kita bisa bersama lagi di sini sekarang!" pekik Vivian memeluk Arabelle dan Diego. "Heem. Meskipun kita tidak satu kelas," sahut Diego. "Yang tidak satu kelas itu hanya kau! Kita berdua mengambil kelas yang sama," sahut Vivian merangkul Arabelle. "Sudah, tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang kita masih bersama-sama di satu sekolah," sahut Arabelle. "Iya, betul! Ayo kita sekarang harus mencari kelas baru kita," ujar Vivian menarik lengan Arabelle. Mereka bertiga berpencar, Diego mencari kelasnya di lorong kedua, sedangkan Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Di kelas sembilan sangat heboh pagi ini dengan pengumuman kelulusan. Arabelle bersama dengan Vivian, mereka berdua bergegas menuju ke papan mading yang terpasang di depan. Kedua gadis itu buru-buru melihat pengumuman kelulusan tersebut. "Arabelle ... aku tidak sabar! Aaaa ... kalau aku tidak lulus, bisa-bisa dimarahi habis-habisan aku oleh Daddy!" seru Vivian. "Kau pasti lulus, Vian. Kita kan sudah berjanji untuk melanjutkan si sekolah yang sama," ujar Arabelle pada sahabatnya itu. Vivian mengangguk antusias. "Ya! Ayo, cepat kita lihat!" Di depan papan mading kini dibanjiri anak kelas sembilan dari beberapa kelas. Arabelle dan Vivian kesulitan melihatnya. Namun, Vivian yang tingginya melebihi Arabelle dia bisa melihat ada namanya di sana hingga gadis itu tiba-tiba menjerit kehebohan. "Aaaaa....! Arabelle! Aku lulus, namaku ada di nomor dua belas, nomor sembilan ada Diego, wahh ... Keren!" Ya Tuhan ... aaaa senang