Semenjak keributan beberapa hari yang lalu, hubungan Asher dan Marsha masih terasa sangat dingin. Mereka tampak jarang berbicara berdua seperti dulu lagi. Tetapi, entah angin apa yang membuat Marsha tiba-tiba saja pagi ini menghampiri Asher yang tengah duduk memangku laptopnya di teras samping. "Kau tidak ke kantor?" tanya wanita itu. "Beberapa hari ini aku memperhatikanmu, kau tidak pernah ke mana-mana." Marsha melirik Asher. "Aku tidak suka keluyuran sepertimu," jawab Asher dingin. Marsha tahu, kelihatannya Asher masih menyimpan rasa kesal padanya. Namun, ia yakin kalau rasa kesal itu tidak akan bertahan lama, sebentar lagi Asher pasti juga akan kembali seperti dulu lagi. Karena Marsha tahu, seorang Asher Benedict tidak akan bisa hidup tanpa dirinya!Marsha yang tengah menatap ke arah taman, tiba-tiba perhatiannya tersita pada sosok Aleena yang tampak terburu-buru pergi meninggalkan paviliun. Rasa dongkol di hati Marsha masih terasa jelas saat ia melihat wajah Aleena, ingin se
Satu minggu kemudian ...Genap hari ketujuh Asher tidak bertemu dengan Aleena sama sekali. Ia merasa hari-harinya kacau saat gadis itu seperti hilang ditelan bumi.Asher sadar kalau Aleena menjauhinya, namun Asher tidak semudah itu membiarkan Aleena lebih lama mendiamkannya. Pagi ini pun Asher mendatangi paviliun pukul enam pagi. Namun, kedatangan Asher justru hanya disambut oleh Bibi Julien. "Tu-Tuan?" Wanita setengah baya itu terlihat terkejut. "Selamat pagi," sapanya. Asher terdiam, pandangannya tampak mencari-cari. Hingga perhatiannya tertuju pada tumpukan benang rajut di sofa ruang keluarga. Asher melangkah mendekati tumpukan gulungan benang besar berwarna-warni itu. "Di mana istriku?" tanya Asher tiba-tiba dengan nada dingin. "Apa dia belum bangun?" Bibi Julien terhening. Apakah dia tidak salah dengar? Siapa yang Tuannya maksud? Asher kembali menoleh menatap pembantunya yang berdiri membeku. "Aku bertanya padamu, di mana Aleena?" tanyanya lagi. "O-oh, Nona ... Nona suda
Pukul setengah enam petang, Aleena baru saja keluar dan meninggalkan gedung sekolah lima belas menit yang lalu. Gadis itu kini duduk terdiam di dalam sebuah restoran. Aleena sedang memesan makanan yang akan ia bawakan untuk Papanya di rumah sakit. Aleena merasakan tubuhnya amat lelah, kedua matanya terasa berat. "Ya Tuhan, padahal aku belum menyelesaikan pekerjaanku yang satunya. Kenapa aku sudah lelah sekali?"Aleena melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana sebentar. Kedua matanya mengerjap, merasakan rasa lelah yang luar biasa dan kali ini ia harus menunggu. Tanpa Aleena sadari, seorang laki-laki di dalam tempat yang sama kini tengah memandangnya dari jauh. Asher Benedict, laki-laki tampan berbalut tuxedo navy itu tak melepaskan tatapannya sama sekali. Setelah beberapa hari ini Asher tak melihat Aleena, kini ia memperhatikan gadis cantik itu yang terlihat sedang kelelahan. Pandangan Asher yang tak lepas, membuat salah satu temannya ikut menatapnya
Aleena menunggu Asher di luar restoran. Gadis itu merutuki dirinya, merasa malu karena ia selalu membuat kekacauan di manapun ia berada. Tetapi, untunglah ada Asher yang selalu menolongnya. Laki-laki tampan itu kini tampak berjalan keluar dari restoran dan melangkah ke arahnya. "Cepat masuk," ajak Asher membuka pintu mobilnya.Aleena segera masuk ke dalam mobil dan menunggu Asher duduk di bangku kemudi. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Asher, laki-laki itu menoleh dan menatapnya dengan tatapan dingin. "Kau memang sangat ceroboh, Aleena," ucap Asher diikuti decakan dari bibirnya. "Ma-maaf," lirih Aleena tertunduk. Ia masih menyembunyikan wajahnya dari Asher. Hatinya masih diliputi perasaan sedih yang tidak bisa Aleena jelaskan dengan kata-kata. Jemari tangannya meremas kotak makanan yang ada di pangkuannya. Lagi-lagi, Aleena gagal menjauhi Asher. Laki-laki ini selalu muncul di mana Aleena mengalami kesulitan, bahkan menjauhinya terasa sangat sulit. Asher melirik kotak
Usai makan malam berdua dengan Aleena di restoran mewah, Asher mengajak gadis itu untuk pulang bersamanya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Aleena tampak diam dan wajahnya sayu menahan kantuk. Sesekali Asher melirik gadis di sampingnya tersebut. "Kau mengantuk?" tanyanya. Aleena sedikit tersentak dan gadis itu menggeleng. "Ti-tidak, Tuan." Jawabannya membuat Asher tersenyum tipis dalam diam. Laki-laki itu sengaja tidak lagi menyahuti lagi ucapan Aleena. Tiba-tiba, dalam hitungan detik buku-buku yang dipeluk oleh Aleena pun terjatuh dan gadis itu memejamkan kedua matanya tertidur. Lengkungan yang terbentuk indah di bibir Asher. Ia ingin selalu tertawa melihat tingkah gadis itu. "Belum genap lima menit dia bilang tidak mengantuk, tapi sudah terlelap saja," ucapnya. "Dasar, Aleena …." Beberapa menit perjalanan menuju rumah, Asher membiarkan Aleena tertidur. Ia tidak membangunkannya atau mengusiknya sedikitpun karena Asher tahu kalau Aleena sangat-sangat lelah. Sampai akhirnya
Dua hari kemudian, Aleena sudah kembali bekerja setelah ia sembuh dari demamnya. Aleena juga beristirahat dari kerja sampingannya dan fokus pada mengajar di sekolah. Pagi ini, Aleena dipanggil Madam Calister ke dalam ruangannya untuk membahas hal penting. "Ms. Aleena, aku ingin mengajakmu untuk rapat ke luar kota besok pagi. Kita akan ke Harberg sekitar dua sampai tiga hari di sana untuk membahas ujian kesenian anak-anak kelas lima dan enam. Kira-kira, apa kau bersedia?" tanya Madam Calister. Wanita berkulit gelap itu menatap Aleena penuh harap. Sedangkan Aleena tampak berat ingin menyetujuinya. Gadis itu terdiam beberapa detik ia berpikir."Bagaimana, Ms. Aleena?" tanyanya lagi. "Maaf, Madam. Bukannya saya menolak, tapi saya sedikit keberatan karena saya meninggalkan Papa saya yang sedang sakit. Dan saya juga …."Aleena menggigit bibir bawahnya, ia hampir mengatakan kalau dirinya tidak tinggal bersama keluarganya. Melainkan ia tinggal bersama Keluarga Benedict. Apapun yang terj
Kepala Aleena terasa kosong saat mendengar permintaan Asher. Laki-laki ini, meminta Aleena menciumnya!?Aleena menggigit bibir bawahnya ragu-ragu, gadis itu bahkan tidak tahu bagaimana caranya berciuman. Karena selama ini, Asher lah yang selalu menciumnya lebih dulu. Asher menaikkan salah satu alisnya melihat ekspresi Aleena yang gugup. "Kenapa? Kau tidak mau?" tanyanya. "Ya sudah, kau tidak usah pergi ke manapun—""Tuan Asher …." Aleena menahan laki-laki yang hendak beranjak menjauhinya. Asher tertunduk menatap jemari lentik Aleena yang kini mencengkeram kemeja putihnya. Hal itu membuatnya tersenyum. Ia kembali menoleh pada Aleena tanpa mengatakan apapun. Wajah Aleena merona dan malu-malu ia mengangguk. "Sa-saya akan melakukannya," ucapnya lirih. Asher bersorak di dalam hati, tapi ekspresinya tidak menunjukkan apapun. Ia kembali mendekati Aleena dan berdiri di hadapannya menunggu. Gadis itu tetap diam dan melipat bibirnya menunjukkan ekspresi bingung. Hingga tiba-tiba Aleena b
Keesokan paginya, Aleena sudah bersiap untuk pergi. Gadis itu membawa sebuah tas berukuran sedikit lebih besar dari yang biasa ia pakai untuk membawa beberapa pakaiannya. Aleena melangkah keluar dari dalam paviliun ditemani Bibi Julien. "Hati-hati, Nona ... jangan melupakan jam makan dan Nona tidak boleh begadang," ujar wanita itu dengan tatapan penuh perhatian. Aleena tersenyum manis, perhatian Bibi Julien seperti perhatian seorang ibu yang selama ini ia rindukan. "Iya, Bi, jangan khawatir," jawab Aleena mengangguk. "Kalau begitu, aku berangkat dulu, Bi," pamitnya. "Iya, Nona." Aleena menuruni anak tangga teras paviliun. Gadis itu tampak bersemangat meskipun udara pagi ini terasa cukup dingin. Dengan langkahnya yang ringan, gadis itu menggosok kedua telapak tangannya.Tanpa sengaja, Aleena menoleh ke arah kediaman utama. Di sana ia melihat Asher dan Marsha keluar dari dalam rumah bersama-sama. "Mereka," ucap Aleena lirih tanpa sadar. Aleena meremas rok panjang yang ia pakai
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T
Malam ini Aleena bisa merasakan tidur memeluk Theo. Meskipun Asher menemani di sampingnya. Sejujurnya, Aleena tidak bisa tidur meskipun kepalanya sangat pusing. Di sisi lain, Asher juga tidak tidur. Laki-laki itu diam-diam seperti tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Hingga tanpa sengaja, Asher menatap pada Aleena yang menatapnya. Laki-laki itu tersenyum mengulurkan telapak tangannya mengusap pucuk kepala Aleena dengan lembut hingga membuat sang empu cemberut kesal padanya. "Cepat tidur, Aleena," ujarnya membujuk. "Aku tidak mengantuk. Kau sendiri, cepat istirahat. Atau mungkin kalau kau ingin pulang, segeralah pulang. Aku akan di sini dengan Theo," seru Aleena menarik selimutnya. "Aku akan tetap di sini menemani kalian," jawab Asher."Awas saja kalau sampai istrimu itu datang ke sini marah-marah padaku seperti dulu!" kecam Aleena. "Aku tidak akan memaafkanmu, Asher!" Asher terkekeh mendengar apa yang Aleena ucapkan. Ternyata, setelah lima tahun mereka terpisah, Aleena
Dengan adanya Asher di sana, Aleena merasa tidak nyaman sama sekali. Meskipun ia dulunya pernah mencintai laki-laki ini dengan sepenuh hati, namun rasanya Aleena tidak ingin mengulangi cinta itu lagi. Tetapi, setidaknya Aleena bersyukur karena ada Theo yang selalu mengajak Aleena berbincang dan manja padanya. "Mama, kepala Mama masih sakit, ya?" tanya anak itu sambil duduk di samping Aleena. "Iya, Sayang. Mama pusing," jawab Aleena sambil mengusap pipi Theo. "Emmm ... kalau Mama sudah sembuh, nanti pulang ke rumah Papa ya, Ma. Theo maunya tinggal sama Mama, bukan sama Mama itu," serunya sambil berbaring dan memeluk Aleena.Mama itu? Siapa? Aleena bertanya-tanya dalam diamnya. Berarti Asher mempunyai istri lagi, apakah tetap Marsha? Atau wanita lain lagi? Entah kenapa, dalam relung hatinya yang terdalam, ada rasa kecewa yang ingin coba Aleena abaikan saat ini. Sekalipun laki-laki itu memiliki istri atau bagaimanapun, menyendiri sekalipun, Aleena tidak peduli. "Mama..." Theo mema
Setelah dipindah kamar perawatan, Liam mengajak Theo masuk ke dalam sana. Namun, Liam tidak mengizinkan Asher, laki-laki tua itu benar-benar mati rasa pada seorang Asher Benedict, bukan hanya dia saja, tapi pada keluarganya juga. Kini, Liam menggendong Theo dan mengajaknya mendekati Aleena yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. "Mama..." Theo memanggilnya pelan. Anak itu mengerjapkan kedua matanya dan mencekal lengan Aleena dengan kedua tangan mungilnya. "Mama, kenapa tidak bangun-bangun, Kek?" tanyanya sambil mendongak menatap sang Kakek. "Iya Nak, Mama akan bangun nanti. Theo tunggu Mama bangun, ya, Sayang," ujar Liam. Theo mengangguk. "Iya, Kakek." Liam duduk memangku Theo, laki-laki itu diam menatap Aleena yang kini terbaring lemah tak berdaya dengan bantuan oksigen dan keningnya yang dililit perban. Rasa sedih menjalar dalam hati Liam. Mengingat bagaimana putrinya sejak dulu sangat berharap ingin bertemu dengan putranya, tetapi kenapa saat Theo sudah berada di sini,
Tatapan penuh kebencian yang ditunjukkan oleh Liam membuat Asher semakin merasa bersalah. Apalagi Liam membentaknya tepat di hadapan Theo yang memeluk Liam. "Kau belum puas menyakiti anakku, hah?! Belum cukup kau membuat anakku tersiksa karenamu, Asher Benedict!" Liam melontarkan perkataan itu lagi dengan nada geram pada Asher. Asher tertunduk merasa bersalah. Namun, sebisa dan sebaik mungkin Asher akan tetap berusaha mendekati Aleena dan Papanya. "Maafkan saya, Tuan Liam," ucapnya lirih dan tulus. "Kedatangan saya Lamberg karena saya ingin mencari Aleena dan mempertemukan kembali dengan Theo," ujar Asher. Asher menatap putranya dalam gendongan Liam. Anak itu biasanya menolak digendong oleh orang yang tidak ia kenali sebelumnya tapi sekarang dia tampak diam dan manja dalam gendongan sang Kakek. "Meskipun seribu alasan baik kau katakan, Theo tetaplah anak dari Aleena," ujar Liam. "Kau itu pengecut, Asher Benedict! Kau berjanji padaku untuk menjaga putriku, tapi apa?! Putriku kemb