Suara deringan ponsel berkali-kali terdengar di meja kamar. Aleena yang mendengarnya pun segera masuk ke dalam kamar. Gadis itu tersenyum tipis, ia sudah menduga kalau yang menghubunginya saat ini pasti Asher, karena pagi tadi Aleena tidak bisa menghubunginya. Aleena ingin mengatakan kondisinya selama kemarin pada suaminya tersebut. Namun, saat Aleena masuk ke dalam kamar dan mengambil ponselnya, ia melihat nama Samuel di sana. "Samuel, tumben sekali?" gumam lirih Aleena dengan alis mengerut. Segera Aleena menjawab panggilan itu. "Halo, Samuel?" "Halo Aleena ... Al, ada sesuatu hal penting yang ingin aku katakan padamu. Terkait Papamu," ujar Samuel dengan nada panik di balik panggilan itu. Kedua mata Aleena langsung melebar saat ia mendengarnya. "Papa?" ulangnya terjengit kaget. "Ada apa dengan Papaku, Samuel? Papa tidak apa-apa, kan?" "Al, Papamu drop. Papamu ditemukan pingsan di kamar rawat inapnya," ujar Samuel di balik panggilan itu. "Aku sekarang masih ada di rumah sakit
Asher baru saja keluar dari dalam ruangan meeting, ia sibuk sejak pagi tadi dan baru kali ini ia bisa memegang ponsel. Banyak pesan masuk dari Aleena yang kini membuat Asher membacanya satu persatu. 'Aku sedang tidak enak badan, tapi jangan khawatir...' 'Kau masih meeting? Bisakah nanti kau menghubungiku setelah jam makan siang?' 'Asher...' Masih banyak lagi pesan sejak pagi tadi yang belum Asher baca. Ia sendiri yang meminta Aleena untuk selalu menghubunginya sesering mungkin dan bercerita apapun keadaannya. Asher berdecak pelan, ia kembali mencoba menghubungi Aleena. Namun panggilannya tidak dijawab hingga berkali-kali. Ia melangkah ke depan dan mencari Jordan sambil sesekali menatap layar ponselnya. "Ke mana, Aleena? Kenapa tidak menjawab panggilanku?" gumam Asher kesal. Laki-laki itu berdecak sebal, ia pun kembali bergagas menuju ke ruangan kerjanya. Namun, langkah Asher terhenti saat ia melihat Jordan yang kini muncul dari ujung lorong dengan wajah panik. "Tuan Asher!"
Sepanjang jalan menuju Palonia, Aleena hanya bisa menangis dan terus bersedih hati mengingat Papanya kini telah membencinya. Asher memeluknya erat dan mencoba untuk terus menenangkannya. Hingga kini, mereka telah tiba di rumah aat hari sudah gelap. Asher merangkulnya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Aleena segera mengganti pakaiannya dan ia segara berbaring di atas ranjang dan meringkuk memunggungi Asher. "Istirahatlah, Sayang," bisik Asher mengusap pucuk kepala Aleena. "Pergilah ... tinggalkan aku," lirih Aleena mengusirnya. "Aku ingin sendiri." Alih-alih segera pergi, justru Asher kini memeluknya erat dari belakang dan mendekap Aleena dengan sangat erat sambil memejamkan kedua matanya. Asher membenamkan wajahnya di ceruk leher Aleena dan merasakan kesedihan yang sedang membelenggu istrinya. Dengan lembut, Asher mengusap kening Aleena. "Jangan menangis, Sayang. Aku akan mencari seseorang yang telah mengatakan hal bodoh ini pada Papamu, aku berjanji akan mengembalikan Papa
Kondisi Aleena menurun setelah kejadian kemarin. Dokter Regina memintanya untuk banyak beristirahat, karena Aleena mengalami sakit pada perutnya. Kini, Asher menemaninya dan duduk di samping Aleena. Menatapi wajah pucat dan letih yang tengah damai dengan alam tidurnya, dalam kamar yang sangat hening. Asher meraih tangan Aleena dan menggenggamnya dengan hangat. "Segeralah sembuh, Sayang," bisik Asher mengusap kening Aleena. "Kasihan anak kita..." Pandangan Asher jatuh pada perut besar Aleena. Ia ingin sekalian menyentuhnya, tetapi Asher takut sentuhan tangannya akan membangunkan Aleena. Pintu kamar terbuka perlahan, muncul Jordan yang kini berdiri di ambang pintu. "Maaf menyita waktunya, Tuan ... ada telfon dari Tuan Besar," ujar Jordan. Asher segera beranjak dari duduknya. Laki-laki itu berjalan keluar dari dalam kamar segera. Di luar, Jordan segera menyerah ponselnya pada Asher. Terdengar suara Darren yang uring-uringan di balik panggilan itu. "Halo, Pa..." "Halo, kau di ma
Asher tepat janji pada Aleena, ia tidak ingin membuat Aleena bersedih terlalu lama. Laki-laki itu datang ke rumah sakit Murniche pagi ini untuk bertemu dengan Liam. Kedatangan Asher, membuat Liam terkejut. Mulanya ia mengenal Asher adalah atasan Aleena di tempat bekerja. Laki-laki tua itu, kini menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan dan selang oksigen yang kini berada di bawah hidungnya. Pahatan wajah tuanya masih terlukis jelas kesedihan yang dia rasakan. Yang jelas, Liam tahu siapa laki-laki tampan di depannya ini yang cukup familiar di kalangan masyarakat kelas atas, seorang Asher Benedict!"Selamat pagi, Tuan Liam," sapa Asher saat ia melangkah mendekat."Kau mau apa?" tanya Liam saat Asher mendekat. "Di mana anakku? Di mana kau menyembunyikan anakku Aleena?!" Asher menarik sebuah kursi kecil dan duduk di samping Liam yang kini duduk di atas ranjang rumah sakit dengan tak berdaya. "Tuan jangan mengkhawatirkan Aleena," ujar Asher menundukkan kepalanya sejenak. "Bagaima
Setelah meninggal rumah sakit, Asher dan Jordan segera pergi untuk mencari Marsha untuk memberinya pelajaran yang setimpal. Wanita itu harus bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan hingga membuat Aleena dan Papanya menderita karena salah paham. Asher mendatangi kediaman lamanya. Di sana ia melihat Marsha yang hendak keluar dari dalam rumah, wanita itu tampak ingin bergegas pergi, tetapi Asher lebih dulu menghampirinya setelah keluar dari dalam mobil. "Asher, kau—""Masuk!" sentak Asher mendorong Marsha masuk ke dalam rumah. Wanita itu mundur beberapa langkah dan Asher menariknya mendekati sofa. Tatapan mata Asher yang nyalang membuat Marsha bergidik ngeri. "Ke-kenapa kau datang-datang marah seperti ini, hah?" tanya wanita itu tanpa sadar.Asher menoleh pada Jordan. "Berikan berkasnya padaku!" perintahnya pada sang ajudan. Jordan membuka sebuah berkas dan meletakkannya di atas meja tanpa mengatakan sepatah kata pun. Asher mencengkeram erat lengan Marsha dan memberikan sebuah
Camelia masih setia menemani Aleena, bahkan wanita itu kini tengah duduk di sampingnya sambil memperhatikan Bibi Julien yang tengah merapikan rambut panjang Aleena. Diam-diam wanita berpakaian glamor berwarna hijau tua itu ternganga saat melihat rambut panjang Aleena diikat dan dikepang, gadis itu terlihat sangat muda dan sangat cantik. Camellia tersenyum samar. 'Asher pintar mencari istri, gadis ini benar-benar masih segar dan cantik, pantas saja Asher sangat betah hingga tergila-gila!' batinnya tertawa gemas. "Sudah, Nyonya," ujar Bibi Julien menatap Camelia dan menatap kepangan rambut Aleena. "Heem, begitu jauh lebih baik. Dia tidak akan kegerahan..." Aleena tertunduk menatap semangkuk buah-buahan yang Bibi Julien siapkan untuknya. "Makanlah pelan-pelan, Aleena. Kau harus segera pulih supaya kondisi bayimu juga sehat," ujar Camelia menarik ujung selimut Aleena. "Perlahan-lahan nanti nyerinya akan hilang. Harusnya kau jalan-jalan sebentar ... Asher juga bodoh sekali
Hari sudah malam saat Camelia tiba di Murniche usai menemani Aleena seharian di Palonia. Kepulangannya hingga hari gelap membuat suaminya—Darren tampak kesal padanya. Karena tak biasanya Camelia pergi pagi hingga pulang malam. "Kau dari mana saja, Ma? Kenapa jam segini kau baru pulang?!" tanya Darren sambil menatap istrinya yang baru saja menutup pintu. Camelia mengembuskan napasnya pelan dan wanita itu berjalan mendekati Darren di ruang tengah. Tampak Darren terlihat menatapnya penuh intimidasi. "Aku dari Palonia, Pa," jawab Camelia. "Palonia?" ulangnya dengan nada bingung. Camelia mengangguk. "Ya, aku baru saja kembali tempat Asher di sana." Tatapan iris mata hitam suaminya pun menajam. Darren menutup sebuah buku di pangkuannya dan ia memperhatikan Camelia lekat-lekat. "Kau datang ke sana untuk memastikan apakah Asher benar-benar memiliki istri yang dia sembunyikan di sana?!" Darren bertanya dengan nada menekan. Dan lagi-lagi Camelia mengangguk. "Ya ... Asher tinggal bersam
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih