Aleena akan pergi dan pindah pagi ini. Gadis itu tidak tahu bagaimana mengatakan perasaan hampa dan sedih yang melanda hatinya sekarang ini. Kedua mata indahnya menelisik seisi paviliun yang sudah berbulan-bulan ia tempati. Di bawah sana, ada Jericho yang membawa semua barang-barangnya yang telah dikemas oleh Bibi Julien. 'Aku benar-benar akan pergi dari tempat ini,' batin Aleena hampa. 'Entah kebahagiaan atau kesedihan yang akan aku jumpai di luar sana setelah ini ... tapi, apapun yang terjadi, aku harus tetap bertahan.' "Nona Aleena..." Suara Bibi Julien yang memanggilnya membuat Aleena menoleh. Gadis itu tersenyum menghampiri Bibi Julien yang kini berdiri di ujung bawah anak tangga. Segera Aleena berjalan menuruni tangga dan mendekati Bibi Julien yang tampak berusaha menahan menangis. "Bibi jangan menangis, kita pasti akan bertemu lagi suatu saat nanti," ujar Aleena tersenyum lembut mengusap pipi Bibi Julien. "Nona tidak akan tahu apa yang Bibi rasakan. Bibi sangat khawatir
Rasa sepi mencekam menghantui Asher malam ini hingga ia tidak bisa memejamkan kedua matanya dan berpikir tenang setelah Aleena pindah tempat tinggal. Laki-laki tampan dengan kemeja putih dibalut vest hitam itu pun berdiri di teras samping rumahnya menatap ke arah paviliun yang kini gelap gulita."Sedang apa gadis itu sekarang..." Asher mendongak menatap bulan yang bersinar redup di langit malam.Keheningan yang menyapa Asher pun sirna saat Jordan muncul tiba-tiba. "Tuan, saya mengantarkan berkas dari Tuan Darren yang siang tadi dititipkan pada saya," ujar Jordan menyerahkan pada Asher. "Letakkan di meja," jawab Asher. Ajudannya itu pun berjalan mendekati meja dan meletakkan berkas bersampul hitam berlogo warna emas itu di atas meja. Asher membalikkan badannya dan melangkah ke arah sofa teras, ia duduk di sana bersama Jordan di hadapannya. "Bagaimana gadis itu, Jordan?" tanya Asher dengan rasa penasaran yang tinggi. Ekspresi wajah Jordan berubah cemas dalam hitungan detik. "Sep
Setelah tiga hari semenjak Aleena pindah tempat tinggal, hal ini menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Marsha. Karena ia tidak perlu cemas memiliki saingan untuk mendekati Mama mertuanya. Sudah Marsha duga kalau dua hari sekali Mama mertuanya akan datang berkunjung, seperti malam ini. Tetapi kali ini, Camelia datang bersama dengan Darren untuk membahas pekerjaan mereka. "Menjelang musim semi beberapa hari lagi, sepertinya Papa akan pergi ke Lamberg lagi, Asher. Kau gantikan posisi Papa di perusahaan untuk sementara waktu," ujar Darren pada Asher sambil membaca dokumen di pangkuannya. "Kau tidak sibuk, kan, minggu-minggu ini?" Asher dengan wajah dingin dan tenangnya seperti air di danau yang membeku, laki-laki itu diam sejenak hingga Papanya mengangkat pandangan. "Entahlah," jawab Asher tiba-tiba. "Mungkin aku akan ke luar kota juga, Pa." Tak ada ekspresi apapun yang terpahat pada wajah tampan Asher saat ini. Di sampingnya, Marsha mulai merasakan rasa kesal saat Asher menolak tawa
Musim semi telah tiba, Aleena menikmati hari-harinya dengan hangat. Pergi pagi untuk bekerja, pulang di sore hari. Bahkan kadang sesampainya di rumah, Aleena masih membantu Bibi Julien di dapur. Waktu yang terus berjalan membuat Aleena tak menyadari kini kandungannya menginjak usia empat bulan. Bahkan, hingga detik ini tak ada yang tahu tenang kehamilannya. "Aleena, apa kau bisa mengantarkan pesanan roti ke alamat ini? Cafenya tidak jauh dari sini," ujar Bibi Baritha meletakkan box roti di hadapan Aleena. "Bibi membantu Paman di belakang, toko kita buka satu jam lagi saja, bagaimana?" Aleena mengangguk. "Bisa, Bi. Biar aku yang mengantarkannya." "Hati-hati, ya ... kalau ada apa-apa langsung hubungi Bibi," ujar wanita itu. "Iya, Bi." Aleena langsung meraih box roti di atas meja dan berjalan keluar meninggalkan toko roti. Tak sekali dua kali Aleena menjadi pengantar roti, karena Paman Jammie sedang sibuk membuat pesanan. Langkah Aleena terhenti di depan sebuah cafe besar yang cuk
Beberapa minggu kemudian..."Apa aku harus berhenti bekerja di minggu-minggu ini? Perutku sudah besar..." Aleena berjalan di trotoar jalan raya di kota Murniche. Hari ini gadis itu berniat berpamitan pada Bibi Baritha untuk berhenti bekerja, karena perutnya sudah besar di balik jaket yang ia pakai. Bahkan Aleena sering merasa lelah saat lama berdiri dan kedua kakinya bengkak karena ia terus berjalan mondar-mandir setiap hari. "Huhhh ... rasanya kakiku pegal sekali," keluh gadis itu. Perlahan, Aleena mengulurkan tangannya dan berpegangan pada sebuah tiang lampu di pinggiran jalan taman kota. Aleena duduk di sebuah bangku kayu di sana. Ia tertunduk memijit kedua lututnya yang terasa sakit. "Mungkin aku harus segera berhenti bekerja. Aku tidak sanggup berjalan terus setiap hari," lirih Aleena kesakitan pada kedua kakinya yang sangat pegal. Sepuluh menit Aleena duduk di bangku kayu itu, hingga banyak orang berlalu-lalang di depannya. Sampai sebuah mobil berwarna putih tiba-tiba be
Camelia mengajak Aleena ikut dengannya ke sebuah pusat perbelanjaan. Ia membelikan banyak pakaian untuk Aleena. Sedangkan Aleena yang berjalan lambat di belakangnya diperhatikan dalam diam oleh Camelia. Wanita itu mulai ikut memperlambat langkahnya. "Baju ini bahannya lembut dan dingin, ukurannya besar, baju-baju seperti ini nyaman dipakai oleh ibu hamil," ujar Camelia pada Aleena sambil menyerahkan satu baju pada karyawan toko yang juga mengikutinya. Aleena tampak resah. "Iya Nyonya, tapi itu sudah banyak sekali," ujar gadis itu. "Diamlah, Aleena. Ikuti saja aku, jangan cerewet..." Camelia mengomeli Aleena. Padahal, Aleena merasakan kakinya sudah sangat-sangat pegal. Dan belanjaan Camelia untuknya juga sudah sangat banyak. 'Ya Tuhan, baju sebanyak itu, apa iya semua untukku? Bukankah itu bisa mencapai jutaan nanti saat membayar?' batin Aleena. Gadis itu berdiri di belakang Camelia yang masih memilih beberapa pakaian. Hingga tanpa mereka ketahui, di luar toko tempat mereka ber
Setelah kembali dari kepergiannya sejak pagi, Marsha langsung menemui suaminya di ruang kerja di rumahnya. Kedatangan Marsha disambut oleh Asher dengan tatapan dinginnya. Marsha meletakkan tasnya dengan kasar di atas meja kerja Asher. "Aku tidak habis pikir dengan Mamamu," seru Marsha tiba-tiba. Mendengar hal itu, iris hitam Asher meliriknya seketika. Pena yang semua ia goreskan untuk menulis sesuatu pun terhenti. "Apa maksudmu?" tanya Asher dengan tatapan dingin dan tajam. "Aku bertemu Mama dan Aleena di pusat perbelanjaan kota pagi tadi, Sayang. Aku tidak tahu bagaimana bisa Aleena masih ada di sini. Padahal dia sudah kita pindahkan ke Palonia," seru Marsha. Wanita itu berdiri di samping Asher dan mendecakkan lidah berkali-kali. "Padahal aku menantunya, tapi kenapa Mama malah dekat dengan Aleena!" seru Marsha tak terima. Sementara Asher terdiam dan ada rasa terkejut dalam dirinya mendengar kabar yang Marsha katakan barusan kalau Aleena pergi ke pusat perbelanjaan bersama Ma
Setelah kejadian semalam, pagi ini Aleena langsung pergi ke Murniche, ia berpamitan pada Bibi Baritha dan Paman Jammie untuk berhenti bekerja. Setelah libur berhari-hari, Bibi Baritha padahal sangat menanti-nanti kehadiran Aleena lagi. Dan kini, Aleena hanya bisa tertunduk di hadapan mereka. "Paman, Bibi ... aku minta maaf yang sebesar-besarnya karena aku tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini," ujar Aleena lirih dan sedih. Mereka berdua sangat terkejut. Terutama Bibi Baritha yang langsung mencekal kedua tangan Aleena. "Kenapa, Aleena? Kenapa tiba-tiba begini?" tanya wanita itu. "Apa terjadi masalah denganmu?" Aleena menggeleng dan tersenyum lembut. "Tidak, Bi. Tidak terjadi apapun, hanya saja aku sekarang pindah rumah." "Pindah ke mana, Nak ... sampai-sampai kau berhenti bekerja?" tanya Paman Jammie duduk di hadapan Aleena dengan ekspresi penasaran. "Di Palonia, Paman." Kedua orang itu menutup mulutnya, mereka tidak pernah mendengar kabar Aleena memiliki kerabat di sana. Tetapi
Keesokan harinya, Theo sudah tampak lebih baik. Anak itu kembali ceria seperti biasa, bahkan hari ini Theo kembali masuk ke sekolah. Ditemani oleh Aleena yang hari ini juga kembali mengajar setelah berhari-hari lamanya ia libur karena sakit. Dan pagi ini, Asher menjemput mereka berdua untuk mengantarkan anak beserta istrinya ke sekolah tempat Aleena mengajar dan tempat Theo belajar. "Nanti siang aku akan menjemput kalian, kita pergi makan siang bersama," ujar Asher. "Theo mau makan sup labu, Pa," pinta Theo sambil duduk di pangkuan sang Mama. "Minum jus apel." Asher terkekeh menoleh pada si kecil sambil mengusap pucuk kepalanya. "Iya, Sayang. Nanti siang, ya..." "Heem." Theo menganggukkan kepalanya antusias. Sedangkan Aleena, ia masih memeluk Theo dan terdiam berpikir. Ternyata Papa dan anak ini memang memiliki makanan favorit yang sama. Teringat dulu saat Aleena hamil, berapa sukanya ia dengan sup labu. Bahkan Aleena selalu meminta makan malam dengan menu itu dan selalu memb
"Mama ... Huwaa, Mamaku...!" Suara teriakan Theo terdengar dari depan. Tampak anak itu menangis sambil memanggil sang Mama. Aleena yang berada di dalam rumah pun segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke depan dan benar, Aleena melihat Theo masuk ke dalam rumah sambil menangis ke arahnya."Loh, Sayang ... kenapa?" tanya Aleena mendekap Theo yang langsung memeluknya erat. Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak mau mengaku pada siapapun, Theo takut. "Kenapa, Sayang? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanya Aleena menggendongnya. Aleena berjalan ke depan, ia melihat Jordan membawakan mobil-mobilan berukuran besar milik Theo. Segera Aleena mendekati ajudan Asher tersebut. "Apa yang terjadi, Jordan? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanyanya. "Saya juga tidak tahu, Nona. Saat saya mengambil berkas di paviliun, tiba-tiba Tuan Kecil berlari keluar sambil menangis mencari saya," jawab Jordan kebingungan. Aleena kembali menatap putranya. "Sudah, Sayang ... sudah janga
Hari sudah pagi, Aleena baru saja menyiapkan sarapan di lantai satu bersama pembantunya. Kini, gadis itu cantik itu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana, Aleena melihat Theo yang baru saja bangun dan duduk di tengah ranjang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Selamat pagi, Sayang," sapa Aleena mendekati Theo. Anak laki-laki itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aleena. Aleena segera mendekatinya dan memeluk Theo sebelum ia menggendongnya. "Bagaimana, tidurnya nyenyak?" tanya Aleena. "Iya, Mama. Theo mau main mobil-mobilan warna merah," ujar anak itu. "Hm, mobil merah apa, Sayang?" tanya Aleena sambil menyahut lipatan handuk di atas sofa. Aleena segera membawa Theo dan memandikannya. Aleena pikir Theo akan banyak protes atau alih-alih anak ini akan marah-marah, tetapi justru tidak. Theo sama sekali tidak marah atau menangis. Setelah Aleena memandikan Theo, ia segera memakaikan pakaian yang rapi untuk putranya. Namun, Theo masih terus merengek-rengek menc
Tepat pukul sepuluh malam, Asher baru saja sampai di rumahnya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan santai. Rasa hatinya senang dan lega karena ia baru saja bertemu dengan Aleena dan menghabiskan waktu bersama Aleena dan juga Theo. Namun, saat Asher hendak melangkah ke lantai dua, tiba-tiba muncul Marsha yang tengah menuruni anak tangga. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" tanyanya bingung. "Theo ada di suatu tempat. Dia tidak mau pulang," jawab Asher, ia melangkah hendak melewati Marsha. Wanita itu, mencekal lengan Asher dan menatapnya dalam-dalam. "Di mana Theo, Asher?" tanya wanita itu dengan penuh penekanan. Asher menarik napasnya panjang. "Sudah aku jawab, bukan? Theo ada di suatu tempat.""Bagaimana bisa kau melakukan ini?! Kau meninggalkan anakmu di suatu tempat, dan kau sendiri pulang dengan santainya! Aku tidak pernah melihatmu sesantai ini saat Theo tidak di sampingmu! Bahkan sudah beberapa hari ini aku sama se
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T