Keesokan harinya, Aleena bangun sangat pagi sekali. Gadis itu bersiap pergi bekerja, ia juga ingin menemui Asher untuk meminta maaf padanya. Aleena tampak pucat saat keluar dari dalam kamarnya. Di lantai satu, Bibi Julien menyambutnya. Wanita itu terlihat sedih menatap ekspresi Aleena yang tampak sangat terpukul. "Nona, mari sarapan dulu," bujuk Bibi Julien. Aleena menggeleng pelan. "Aku tidak lapar, Bi," jawabnya tersenyum tipis. "Aku akan langsung berangkat bekerja." "Tapi, Nona, Bibi sudah buatkan roti dan susu, ada pancake apel juga," bujuk wanita itu. Aleena tetap menggeleng. "Tidak, Bi. Aku buru-buru." Gadis itu tersenyum tipis mencoba untuk terlihat tegar. "Kalau begitu, aku berangkat dulu ya, Bi. Aku takut kesiangan," ujarnya. "Iya, Nona. Kalau begitu hati-hati, ya." Bibi mengusap pundak Aleena dengan lembut. Sesalah apapun Aleena di mata Asher, tapi Bibi Julien bisa melihat kalau Aleena tidak bersalah di sini. Gadis itu selalu jujur, hanya saja, Aleena sangat tertutup.
"Nyonya ... Nona Aleena belum pulang sejak pergi pagi tadi, saya tidak tahu Nona ke mana. Panggilannya juga tidak jawab, saya khawatir terjadi sesuatu dengan Nona Aleena," jelas Bibi Julien. "Oh ... Aleena ya," cicit Marsha melirik ke arah suaminya yang diam tak bereaksi sama sekali. "Iya, Nyonya. Nona Aleena pergi tanpa makan sejak kemarin, saya bingung harus mencarinya ke mana." "Dia itu sudah dewasa, Bi. Dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri," ujar Marsha sebelum ia menoleh pada suaminya. "Bukan begitu, Sayang?" "Gadis itu akan segera pulang," sahut Asher."Emm ... kau tidak ingin mencarinya, Sayang?" tanya Marsha. Asher tidak menjawab, ia malah beranjak dari duduknya dan berjalan naik ke lantai dua. Hal itu membuat Marsha tersenyum. Wanita cantik itu kembali menatap ke arah Bibi Julien. "Suamiku tidak mau mencari Nonamu itu, Bibi Julien. Jadi ... tunggu saja sampai Aleena kembali!" seru Marsha. Saat itu juga Marsha menutup pintu rumahnya dan membiarkan Bibi Julien berdiri
Kemarin Aleena urung mendatangi Asher untuk meminta maaf karena ada Marsha bersama laki-laki itu. Tapi pagi ini, Aleena menemui Asher setelah melihat Marsha pergi. Gadis itu masuk ke dalam kediaman utama ada Jordan dan Asher di ruang tamu. "Permisi, Tuan." Aleena mengetuk pelan pintu yang terbuka itu. Sontak, Jordan dan Asher langsung mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Aleena. Melihat adanya gadis itu, Asher langsung menutup laptop dan menyerahkannya pada Jordan. "Siapkan semua berkas-berkas untuk meeting hari ini," ujarnya. "Baik, Tuan." Jordan langsung beranjak dari duduknya dan berjalan keluar. Di sana, Aleena menatap Asher yang terlihat tak acuh dengan wajah dinginnya yang tak sekalipun memperhatikannya. Aleena berjalan masuk ke dalam ruangan itu dengan kepala tertunduk dan jemari tangannya saling meremas. "Tuan, saya ingin mengatakan sesuatu," ujar Aleena. Hening ... Asher tak menanggapinya sama sekali. Aleena mengangkat wajahnya dan menatap Asher. Laki-laki itu
Setelah kejadian pagi tadi, Aleena pun kembali pergi bekerja seperti biasanya meskipun kali ini ia sedikit terlambat. Sejak pagi hingga sore ini Aleena tidak henti-hentinya mondar-mandir ke kamar mandi. Semua makanan yang hendak ia makan selalu keluar dan mual-mual hingga ia terlihat lemas dan sangat pucat. Bibi Baritha juga terlihat cemas dengan kondisi Aleena yang seperti ini. "Ya ampun, Aleena ... masih mual-mual, ya?" tanyanya dengan nada lembut dia mengusap punggung Aleena. "Iya, Bi." Aleena mengusap wajahnya pelan dan duduk di sebuah kursi kayu di belakang meja kasir. "Tapi tidak apa-apa, Bi. Mungkin pencernaanku saja yang sedang bermasalah." Bibi Baritha menatapnya lekat-lekat dan menggeleng. Ia rasanya tidak percaya kalau pencernaan Aleena yang bermasalah. Karena Aleena baru mencium aroma makanan, langsung mual. Seperti wanita yang sedang hamil ... Tetapi, mana mungkin? "Ya sudah ... malam ini kau bisa pulang lebih awal. Pulang pukul delapan, setelah itu ke rumah sakit
Camelia bergegas mendekati Aleena, ia memilih memendam seribu tanda tanya di dalam hatinya lebih dulu. "Aleena, kau baik-baik saja?" tanyanya. "Kenapa kau tiba-tiba mual-mual seperti ini? Tadi kau bilang kau tidak alergi daging, kan?" Aleena menggeleng pelan dan memegangi kepalanya. "Tidak apa-apa, Nyonya." "Kau yakin? Kau semakin pucat begini ... bagaimana kalau aku mengantarkanmu ke rumah sakit?" tawarnya. Sontak Aleena menggeleng cepat. "Ti-tidak, Nyonya. Terima kasih ... saya sungguh tidak kenapa-kenapa," jawabnya. Terlihat sekali gadis itu memaksakan keadaannya. Barulah Camelia mengangguk dan mengajaknya kembali ke depan. Wanita itu mendahului Aleena sebelum ia memanggil pelayan saat mereka berada di dekat meja makannya. "Pelayan! Kemari, ganti semua menu di atas meja ini," perintahnya. "Baik, Nyonya." Barulah Camelia menoleh ke arah Aleena yang berdiri di belakangnya. "Makanan apa yang kau inginkan, Aleena?" tanyanya dengan nada dan ekspresi datar. Aleena tertunduk.
Aleena meminta izin pada Bibi Baritha untuk libur hari ini karena kondisi kesehatannya yang menurun. Dan kini, gadis itu tengah merapikan barang-barang pemberian Asher dan gadis itu memutuskan untuk mengembalikannya tanpa tersisa satu pun. Aleena meletakkan sebuah syal tebal berwarna coklat paling atas di dalam kotak besar. Ia sangat menyukai syal itu. "Semuanya sudah selesai, barang-barang ini bukan milikku lagi," ujar Aleena tersenyum kecil. Gadis itu segera membawa kotak besar itu keluar dari dalam kamarnya. Hingga muncul Bibi Julien yang kini hendak naik ke lantai dua. Wanita itu langsung buru-buru merebut kotak besar yang Aleena bawa. "Nona Aleena jangan membawa barang yang berat-berat," omel wanita itu. "Kenapa tidak memanggil Bibi saja?" Aleena terkekeh kecil. "Tidak terlalu berat, Bi...." "Tetap saja tidak boleh," ujarnya menggelengkan kepalanya, sebelum kembali menatap Aleena lekat-lekat. "Ini semua mau dibawa ke mana, Nona?" tanyanya. "Emm ... aku ingin mengembalik
Marsha mendatangi Aleena di paviliun, wanita cantik itu berjalan dengan angkuh membuka pintu paviliun dan menemukan keheningan di dalam tempat itu. Kedua matanya melirik ke arah lantai dua, ia tahu pasti Aleena bersama pelayan setianya itu ada di sana. Gegas Marsha menaiki anak tangga, dan barulah ia mendengar suara Bibi Julien. "Nona Aleena, kita ke rumah sakit saja, ya ... mual-mualnya semakin parah. Nona bisa lemas terus kalau seperti ini." Suara Bibi Julien terdengar membujuk. "Tidak apa-apa, Bi. Tidak usah ke rumah sakit. Aku hanya perlu istirahat saja." "Tapi Nona Aleena pucat sekali. Bagaimana kalau Non—"Ucapan Bibi Julien terhenti saat mendengar suara gagang pintu terbuka. Sontak ia dan Aleena kompak menatap ke arah pintu di mana Marsha berdiri di sana menatapnya tajam. Aleena yang terduduk di atas ranjang pun meremas selimutnya saat melihat ekspresi dingin dan angkuh Marsha. "Nyonya Marsha," lirih Aleena.Marsha tersenyum tipis mendekati Aleena, berdiri di samping ran
Mobil hitam milik Asher masuk ke pekarangan rumahnya sore ini. Laki-laki tampan itu tampak keluar dari dalam mobil membawa tuxedo hitam yang ia sampirkan di lengan kirinya. Di belakangnya ada Jordan yang membawakan beberapa berkas-berkas penting perusahaan. "Tuan Asher, Nyonya Besar meminta Tuan untuk datang ke rumahnya malam ini," ujar Jordan. "Ada apa?" tanya Asher menoleh. "Entahlah, Tuan. Nyonya hanya mengatakan itu saja pada pesannya." Asher hanya bergumam sebagai tanda setuju. Laki-laki itu berjalan menaiki anak tangga teras, sebelum langkahnya terhenti saat ia melihat Bibi Julien berjalan mendekatinya. Wajah cemas wanita itu membuat kedua kaki Asher berhenti melangkah. "Selamat sore, Tuan Asher," sapa Bibi Julien menundukkan kepalanya. "Hm, ada perlu apa?" tanya Asher. Wanita itu tertunduk. "I-itu, Tuan. Saya meminta izin pada Tuan untuk mengatakan kalau Nona Aleena sudah dua hari ini kondisinya sangat buruk," ujarnya. "Saya—""Bibi Julien!" Suara bentakan itu membuat
Keesokan harinya, Theo sudah tampak lebih baik. Anak itu kembali ceria seperti biasa, bahkan hari ini Theo kembali masuk ke sekolah. Ditemani oleh Aleena yang hari ini juga kembali mengajar setelah berhari-hari lamanya ia libur karena sakit. Dan pagi ini, Asher menjemput mereka berdua untuk mengantarkan anak beserta istrinya ke sekolah tempat Aleena mengajar dan tempat Theo belajar. "Nanti siang aku akan menjemput kalian, kita pergi makan siang bersama," ujar Asher. "Theo mau makan sup labu, Pa," pinta Theo sambil duduk di pangkuan sang Mama. "Minum jus apel." Asher terkekeh menoleh pada si kecil sambil mengusap pucuk kepalanya. "Iya, Sayang. Nanti siang, ya..." "Heem." Theo menganggukkan kepalanya antusias. Sedangkan Aleena, ia masih memeluk Theo dan terdiam berpikir. Ternyata Papa dan anak ini memang memiliki makanan favorit yang sama. Teringat dulu saat Aleena hamil, berapa sukanya ia dengan sup labu. Bahkan Aleena selalu meminta makan malam dengan menu itu dan selalu memb
"Mama ... Huwaa, Mamaku...!" Suara teriakan Theo terdengar dari depan. Tampak anak itu menangis sambil memanggil sang Mama. Aleena yang berada di dalam rumah pun segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke depan dan benar, Aleena melihat Theo masuk ke dalam rumah sambil menangis ke arahnya."Loh, Sayang ... kenapa?" tanya Aleena mendekap Theo yang langsung memeluknya erat. Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak mau mengaku pada siapapun, Theo takut. "Kenapa, Sayang? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanya Aleena menggendongnya. Aleena berjalan ke depan, ia melihat Jordan membawakan mobil-mobilan berukuran besar milik Theo. Segera Aleena mendekati ajudan Asher tersebut. "Apa yang terjadi, Jordan? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanyanya. "Saya juga tidak tahu, Nona. Saat saya mengambil berkas di paviliun, tiba-tiba Tuan Kecil berlari keluar sambil menangis mencari saya," jawab Jordan kebingungan. Aleena kembali menatap putranya. "Sudah, Sayang ... sudah janga
Hari sudah pagi, Aleena baru saja menyiapkan sarapan di lantai satu bersama pembantunya. Kini, gadis itu cantik itu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana, Aleena melihat Theo yang baru saja bangun dan duduk di tengah ranjang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Selamat pagi, Sayang," sapa Aleena mendekati Theo. Anak laki-laki itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aleena. Aleena segera mendekatinya dan memeluk Theo sebelum ia menggendongnya. "Bagaimana, tidurnya nyenyak?" tanya Aleena. "Iya, Mama. Theo mau main mobil-mobilan warna merah," ujar anak itu. "Hm, mobil merah apa, Sayang?" tanya Aleena sambil menyahut lipatan handuk di atas sofa. Aleena segera membawa Theo dan memandikannya. Aleena pikir Theo akan banyak protes atau alih-alih anak ini akan marah-marah, tetapi justru tidak. Theo sama sekali tidak marah atau menangis. Setelah Aleena memandikan Theo, ia segera memakaikan pakaian yang rapi untuk putranya. Namun, Theo masih terus merengek-rengek menc
Tepat pukul sepuluh malam, Asher baru saja sampai di rumahnya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan santai. Rasa hatinya senang dan lega karena ia baru saja bertemu dengan Aleena dan menghabiskan waktu bersama Aleena dan juga Theo. Namun, saat Asher hendak melangkah ke lantai dua, tiba-tiba muncul Marsha yang tengah menuruni anak tangga. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" tanyanya bingung. "Theo ada di suatu tempat. Dia tidak mau pulang," jawab Asher, ia melangkah hendak melewati Marsha. Wanita itu, mencekal lengan Asher dan menatapnya dalam-dalam. "Di mana Theo, Asher?" tanya wanita itu dengan penuh penekanan. Asher menarik napasnya panjang. "Sudah aku jawab, bukan? Theo ada di suatu tempat.""Bagaimana bisa kau melakukan ini?! Kau meninggalkan anakmu di suatu tempat, dan kau sendiri pulang dengan santainya! Aku tidak pernah melihatmu sesantai ini saat Theo tidak di sampingmu! Bahkan sudah beberapa hari ini aku sama se
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T