Setelah puas menghabiskan waktu seharian berkencan tanpa gangguan dari anak-anak mereka, Naya dan Raka akhirnya memutuskan untuk menjemput buah hati mereka di rumah kakak Naya, Tommy.
Saat tiba di rumah, mereka berjalan perlahan menuju kamar Tommy. Namun, begitu membuka pintu, mereka mendapati anak-anak mereka sudah tertidur nyenyak bersama paman dan tantenya. Tak ingin membangunkan Tommy dan Maria, Naya dan Raka memutuskan untuk membawa anak-anak mereka pulang tanpa mengganggu tuan rumah. Sebelum pergi, Naya meninggalkan bingkisan di meja dapur sebagai tanda terima kasih. Ia juga menuliskan pesan di atas meja rias kakak iparnya, Maria, lalu dengan hati-hati membopong anak-anaknya satu per satu. Sebelum keluar, Naya memastikan rumah terkunci dengan baik, menggunakan kunci cadangan yang ia miliki. Naya membuka pintu kamar perlahan dan tersenyum melihat anak-anak mereka tertidur nyenyak.<Keesokan paginya, Maria terbangun dan berjalan ke dapur. Ia melihat bingkisan yang ditinggalkan oleh adik iparnya, Naya, di atas meja makan. Tanpa menunda waktu, ia mulai memanaskan makanan tersebut. Setelah semuanya siap, Maria mendekati suaminya yang masih terlelap untuk membangunkannya agar sarapan bersama. Maria menggoyangkan bahu suaminya dengan lembut. "Tom, bangun. Sarapan sudah siap." Tommy menggeliat sebentar, lalu menarik selimut menutupi wajahnya. "Hmm... sebentar lagi, Ma..." gumamnya dengan suara malas. Maria mendecak pelan. "Kalau kamu nggak bangun sekarang, nanti makanannya keburu dingin. Ini dari Naya, loh. Sayang kalau nggak dimakan." Tommy membuka satu matanya sedikit. "Oh iya... Naya ninggalin makanan? Apa isinya?" Maria tersenyum. "Aku nggak ngecek satu-satu, tapi sepertinya lauk sama camilan. Aku sudah memanaskannya. Sekarang ayo bangun, cuci muka, terus sara
Cemburu dalam DiamMaria tidak bisa menutupi kecemburuannya setiap kali Tommy mampir ke rumah Nabila sebelum berangkat kerja. Itu semua atas permintaan orang tua Nabila, yang khawatir akan kondisi putri mereka. Nabila kini tengah depresi setelah Tommy memilih menikah dengan Maria."Kenapa?" tanya Tommy saat melihat wajah istrinya yang tampak tak bersemangat."Boleh tidak aku ikut? Aku bosan di rumah," sahut Maria, nada suaranya penuh harap.Tommy menatapnya heran. "Masa sih? Kamu mau ikut aku kerja? Di sana semuanya laki-laki, tidak ada perempuan. Aku nggak mau kamu jadi tontonan mereka karena kecantikanmu itu."Maria tersenyum kecil. "Aku tidak ikut ke tempat kerja kok, tapi aku ingin ikut ke rumah Nabila. Ini bukan keinginanku, tapi keinginan anak kita yang ada di dalam," ucapnya sambil mengelus perutnya yang mulai membesar.Tommy terdiam. Melihat istrinya mengusap perutnya seperti itu, ia merasa tidak tega untuk menolak. Deng
Janji di Pasar Malam Setelah menengok Nabila, Tommy dan Maria akhirnya pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, Tommy masih kesal dengan sikap usil istrinya tadi, tapi di sisi lain, ia tak bisa benar-benar marah. Saat mereka sampai di rumah, Tommy langsung bersiap untuk berangkat kerja. Ia menoleh ke arah Maria yang berdiri di depan pintu, melipat tangannya sambil memasang wajah manja. "Aku berangkat dulu. Jangan ke mana-mana, ya? Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku." Maria tersenyum, mengacungkan jempol. "Siap, bos!" Tommy menghela napas, mendekati istrinya. "Cium tangan dulu." Maria menurut, mencium tangan suaminya dengan lembut. Tak sampai di situ, ia langsung mencuri kesempatan untuk mencium pipi Tommy. "Muach... muach..." Maria sengaja membuat suara nyaring, memb
Kini usia kandungan Maria memasuki tujuh bulan. Di masa kehamilannya ini, Tommy semakin perhatian. Apa pun yang diinginkan Maria, selalu ia penuhi. Meski usia kandungannya terus bertambah, kecantikan Maria justru semakin terpancar. Kulitnya yang putih mulus membuat siapa pun yang menatapnya tak akan pernah bosan. Para lelaki di sekitar rumah mereka pun sering diam-diam mencuri pandang saat Maria menyapu halaman. Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, Tommy selalu mencuci motor Ninja kesayangannya. "Maria, tolong nyalain keran airnya. Aku mau bilas motor," ucapnya dari halaman. Samar-samar terdengar suara Maria dari dalam rumah. "Bentar!" Tommy menunggu, tetapi matanya memperhatikan Maria yang baru saja keluar dengan gerakan sedikit gelisah. Wanita itu tampak tidak nyaman, sesekali mengibaskan dasternya. Tommy memicingkan mata, menelisik sang istr
Malam Penuh Luka Tommy jarang bekerja hingga larut malam, apalagi dengan terburu-buru. Malam ini, Maria tak bisa tidur. Ia mondar-mandir di ruang tamu, matanya terus melirik jam dinding. "Kenapa belum pulang juga, sih? Biasanya kalau telat dikit aja langsung kasih kabar. Kok sekarang enggak?" gerutunya dalam hati. Begitu suara deru motor Ninja terdengar dari halaman, Maria segera berlari ke pintu. Ia mengenali suara itu dengan baik. Dengan penuh semangat, ia membuka pintu, siap menyambut suaminya. "Mas—" Kata-katanya terhenti begitu melihat kondisi Tommy. Napasnya tercekat, wajahnya langsung pucat. "Maria...." suara Tommy lemah, tapi ia masih berusaha tersenyum sambil menenteng tas kertas di tangannya. Mata Maria membesar. Tommy penuh luka. Wajahnya lebam, ada goresan dan darah segar menetes hingga membasahi bajunya.
Satu bulan telah berlalu sejak pengeroyokan yang menimpa Tommy. Peristiwa itu terjadi atas perintah ayah Maria, yang tidak pernah merestui pernikahan putrinya dengan seorang kuli. Baginya, Tommy bukanlah pria yang selevel dengan keluarga kaya seperti mereka. Maria, yang kini tengah mengandung anak mereka, melarang Tommy keluar rumah demi keselamatannya. Ia takut kejadian pengeroyokan itu terulang, apalagi jika anak buah ayahnya masih mengincar suaminya. Demi menjaga kedamaian rumah tangganya dan menghindari konflik lebih lanjut, Tommy memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai kuli bangunan dan beralih profesi menjadi petani. Dalam hitungan minggu, mereka akan menyambut kelahiran buah hati mereka. Tommy semakin protektif terhadap Maria, terkadang terkesan keras kepala, tetapi semua itu ia lakukan demi kebaikan istrinya dan bayi yang dikandungnya. Kini, Tommy menggarap lahan sawah milik seorang dermawan di desa mereka. Ia
Di sore harinya, sepulang dari sawah, Tommy mampir ke sebuah toko roti di desa. Ia menatap deretan kue yang dipajang di etalase kaca, mencari sesuatu yang sederhana tetapi istimewa untuk istrinya. "Mas, ada kue ulang tahun yang ukurannya kecil tapi cantik?" tanyanya kepada penjaga toko. Penjaga toko tersenyum dan mengeluarkan sebuah kue tart mungil dengan hiasan krim lembut dan taburan cokelat di atasnya. "Yang ini cocok untuk kejutan kecil, Mas," katanya. Tommy mengangguk puas. "Saya ambil yang ini. Tolong tuliskan ‘Selamat Ulang Tahun, Maria’ di atasnya, ya." Setelah membayar, ia membawa kue itu pulang dengan hati penuh semangat. Bayangan wajah bahagia Maria saat melihat kejutan kecilnya membuat langkah Tommy terasa lebih ringan. Tommy baru saja keluar dari toko roti dengan hati penuh semangat, membawa kue ulang tahun kecil yang sudah dihias cantik untuk Maria. Senyum tipis meng
Setelah kembali dari berobat di tempat Bidan Desi, Tommy dan Maria akhirnya pulang ke rumah. Meskipun kakinya patah akibat pengeroyokan yang dilakukan oleh bodyguard suruhan ayah Maria, Tommy tetap bersikeras untuk tidak dibawa ke rumah sakit. Sesampainya di rumah, Tommy mengambil kue ulang tahun yang telah ia beli untuk Maria. Untungnya, masih ada bagian kue yang tidak rusak dan layak dimakan. Dengan tangan yang gemetar karena menahan rasa sakit, Tommy menancapkan sebuah lilin di atas kue itu dan menyalakannya. Senyum kecil terukir di wajahnya saat ia mulai menyanyikan lagu ulang tahun untuk istrinya, meski tubuhnya penuh luka dan rasa sakit yang menusuk. Tommy menarik napas dalam-dalam, menahan rasa sakit di tubuhnya. Dengan suara pelan namun penuh ketulusan, ia mulai menyanyikan lagu ulang tahun untuk Maria. "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday, dear Maria...
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."