Setelah kembali dari berobat di tempat Bidan Desi, Tommy dan Maria akhirnya pulang ke rumah. Meskipun kakinya patah akibat pengeroyokan yang dilakukan oleh bodyguard suruhan ayah Maria, Tommy tetap bersikeras untuk tidak dibawa ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah, Tommy mengambil kue ulang tahun yang telah ia beli untuk Maria. Untungnya, masih ada bagian kue yang tidak rusak dan layak dimakan. Dengan tangan yang gemetar karena menahan rasa sakit, Tommy menancapkan sebuah lilin di atas kue itu dan menyalakannya. Senyum kecil terukir di wajahnya saat ia mulai menyanyikan lagu ulang tahun untuk istrinya, meski tubuhnya penuh luka dan rasa sakit yang menusuk. Tommy menarik napas dalam-dalam, menahan rasa sakit di tubuhnya. Dengan suara pelan namun penuh ketulusan, ia mulai menyanyikan lagu ulang tahun untuk Maria. "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday, dear Maria...Doa di Ujung Harapan Mobil melaju kencang menuju rumah sakit, menerobos malam yang sunyi. Maria menggenggam tangan Tommy yang terkulai lemah di pangkuannya. Setiap detik terasa begitu menyesakkan. Naya duduk di sampingnya, mencoba menenangkan Maria meskipun hatinya sendiri penuh kecemasan. Begitu mereka tiba di rumah sakit, Raka langsung berlari ke dalam. "Tolong! Kami butuh bantuan! Ada pasien darurat!" suaranya menggema di lorong rumah sakit. Beberapa perawat segera berlari dengan tandu. Maria dan Naya membantu menurunkan Tommy dari mobil, sementara Raka mengangkat tubuhnya dengan hati-hati ke atas tandu. "Pasien mengalami cedera berat dan demam tinggi," ujar Raka dengan nada cemas. Perawat mengangguk. "Kami akan membawanya ke ruang gawat darurat. Keluarga bisa menunggu di luar." Maria hendak mengikuti mereka, tetapi langkahnya tertahan ketika seorang dokter me
Raka tiba di rumah orang tua Maria dan segera memarkirkan mobilnya di halaman. Rumah itu berdiri megah, tak kalah mewah dari kediaman Raka sendiri. (Raka turun dari mobil dan berjalan menuju gerbang, di mana seorang penjaga rumah berdiri tegap.) Penjaga menyapa dengan sopan, "Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Raka mengangguk dan menjawab, "Siang. Saya Raka, teman Maria. Apa Pak Samuel ada di rumah?" Penjaga tampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Oh, Tuan Raka. Sebentar, saya pastikan dulu." Ia mengambil radio komunikasi, berbicara sebentar, lalu kembali ke Raka dengan anggukan ramah, "Silakan masuk, Tuan. Pak Samuel sedang di ruang tamu dan sudah diberi tahu tentang kedatangan Anda." Raka tersenyum tipis dan melangkah masuk, mengamati kemegahan rumah itu sambil bersiap bertemu dengan ayah Maria. Raka melangkah masuk k
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
"Ya Tuhan, Semoga bukan om-om botak yang bau rokok dan perutnya maju tiga langkah." Naya Savira kini berdiri di depan pintu sebuah kamar hotel mewah. Tangannya gemetar saat akan mengetuk. Di kepalanya hanya ada satu tujuan: melunasi utang ayahnya yang sudah menumpuk bertahun-tahun.Meski apa yang dilakukannya salah, gadis itu tetap berdoa untuk kelancaran malam pertamanya. "Tenang, Nay. Kerja sekali seperti ini untuk terakhir kali seumur hidup. Ini pasti mudah," bisiknya pada diri sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu. Namun, bukannya kegelapan seperti dugaannya, ruangan itu langsung menyala terang setelah seseorang menyalakan lampu. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan postur tinggi, wajah tegas, dan sorot mata tajam. Ia sama sekali tidak seperti yang Naya bayangkan—tampan dan berkelas. "Eh ... selamat malam, Mas." Naya mencoba bersikap santai, meski canggung. "Mau langsung dilayani, atau ngobrol dulu? Biar santai, soalnya ini pertama kalinya saya
Tapi siapa sangka permainan ini jadi ke mana-mana?"Semua laki-laki sama saja!" keluh Naya yang kini berdiri di depan cermin, memandang refleksinya dalam gaun cantik yang menonjolkan kecantikannya. Ia tahu dirinya menarik, namun ada perasaan malu yang menggerogoti jiwanya ketika harus menggunakan penampilan itu untuk tujuan seperti ini. "Tunggu di luar, Naya!" suara Raka terdengar di luar kamar, memecah lamunannya. "Saya... eh, tunggu sebentar, Pak!" Naya menggerakkan jari telunjuknya, sedikit bingung dengan suasana yang terasa canggung. "Berbalik, maksud saya..." "Sudah! Jangan lama-lama!" Raka terdengar kesal. "Jadi, kita nggak akan... seperti yang Bapak harapkan?" tanya Naya dengan nada genit namun polos. "Kamu pikir saya butuh itu?" jawab Raka sinis. "Yang saya butuhkan adalah kamu datang bersama saya, dan berpura-pura jadi pacar di depan orang tua saya. Mengerti?" "Ini lelucon apa lagi, Pak?" tanya Naya bingung, meski ia tahu tidak ada gunanya protes. "Jika kamu ti
Pagi itu, Naya Savira memutuskan untuk sarapan di warung Bu Tatik yang kebetulan dekat rumahnya. Tempat ini sudah lama menjadi pilihan langganan ayahnya, tempat mereka sering mampir meski dalam keadaan keuangan yang tak selalu stabil."Eh, Naya! “Mau ngelunasin hutang yang menumpuk apa, Nak?” tanya pemilik warung dengan sinis, sambil memandang Naya yang sedang menyusun uang di meja.Seketika, wajah Naya berubah mendung. " Ya, Saya kesini ingin bayar hutang, Bu! Ini uang hasil kerja keras saya, dan juga buat ayah kalau nanti makan di sini!" kata Naya, dengan nada sedikit geram, menunjukkan beberapa lembar uang."Uang hasil kerja keras? Kerja keras dari mana? Nanti kalau sudah sukses, bilang saja," cibir pemilik warung itu."Nanti kalau saya punya suami orang kaya, saya borong warung ibu kalau bisa ya aku beli tanah ples warung ibu biar gak bisa jualan lagi," jawab Naya sambil setengah bercanda, menyembunyikan rasa kesalnya.Pemilik warung hanya mencibir, tapi Naya tetap melanjutkan mak
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."
Raka tiba di rumah orang tua Maria dan segera memarkirkan mobilnya di halaman. Rumah itu berdiri megah, tak kalah mewah dari kediaman Raka sendiri. (Raka turun dari mobil dan berjalan menuju gerbang, di mana seorang penjaga rumah berdiri tegap.) Penjaga menyapa dengan sopan, "Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Raka mengangguk dan menjawab, "Siang. Saya Raka, teman Maria. Apa Pak Samuel ada di rumah?" Penjaga tampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Oh, Tuan Raka. Sebentar, saya pastikan dulu." Ia mengambil radio komunikasi, berbicara sebentar, lalu kembali ke Raka dengan anggukan ramah, "Silakan masuk, Tuan. Pak Samuel sedang di ruang tamu dan sudah diberi tahu tentang kedatangan Anda." Raka tersenyum tipis dan melangkah masuk, mengamati kemegahan rumah itu sambil bersiap bertemu dengan ayah Maria. Raka melangkah masuk k
Doa di Ujung Harapan Mobil melaju kencang menuju rumah sakit, menerobos malam yang sunyi. Maria menggenggam tangan Tommy yang terkulai lemah di pangkuannya. Setiap detik terasa begitu menyesakkan. Naya duduk di sampingnya, mencoba menenangkan Maria meskipun hatinya sendiri penuh kecemasan. Begitu mereka tiba di rumah sakit, Raka langsung berlari ke dalam. "Tolong! Kami butuh bantuan! Ada pasien darurat!" suaranya menggema di lorong rumah sakit. Beberapa perawat segera berlari dengan tandu. Maria dan Naya membantu menurunkan Tommy dari mobil, sementara Raka mengangkat tubuhnya dengan hati-hati ke atas tandu. "Pasien mengalami cedera berat dan demam tinggi," ujar Raka dengan nada cemas. Perawat mengangguk. "Kami akan membawanya ke ruang gawat darurat. Keluarga bisa menunggu di luar." Maria hendak mengikuti mereka, tetapi langkahnya tertahan ketika seorang dokter me
Setelah kembali dari berobat di tempat Bidan Desi, Tommy dan Maria akhirnya pulang ke rumah. Meskipun kakinya patah akibat pengeroyokan yang dilakukan oleh bodyguard suruhan ayah Maria, Tommy tetap bersikeras untuk tidak dibawa ke rumah sakit. Sesampainya di rumah, Tommy mengambil kue ulang tahun yang telah ia beli untuk Maria. Untungnya, masih ada bagian kue yang tidak rusak dan layak dimakan. Dengan tangan yang gemetar karena menahan rasa sakit, Tommy menancapkan sebuah lilin di atas kue itu dan menyalakannya. Senyum kecil terukir di wajahnya saat ia mulai menyanyikan lagu ulang tahun untuk istrinya, meski tubuhnya penuh luka dan rasa sakit yang menusuk. Tommy menarik napas dalam-dalam, menahan rasa sakit di tubuhnya. Dengan suara pelan namun penuh ketulusan, ia mulai menyanyikan lagu ulang tahun untuk Maria. "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday, dear Maria...
Di sore harinya, sepulang dari sawah, Tommy mampir ke sebuah toko roti di desa. Ia menatap deretan kue yang dipajang di etalase kaca, mencari sesuatu yang sederhana tetapi istimewa untuk istrinya. "Mas, ada kue ulang tahun yang ukurannya kecil tapi cantik?" tanyanya kepada penjaga toko. Penjaga toko tersenyum dan mengeluarkan sebuah kue tart mungil dengan hiasan krim lembut dan taburan cokelat di atasnya. "Yang ini cocok untuk kejutan kecil, Mas," katanya. Tommy mengangguk puas. "Saya ambil yang ini. Tolong tuliskan ‘Selamat Ulang Tahun, Maria’ di atasnya, ya." Setelah membayar, ia membawa kue itu pulang dengan hati penuh semangat. Bayangan wajah bahagia Maria saat melihat kejutan kecilnya membuat langkah Tommy terasa lebih ringan. Tommy baru saja keluar dari toko roti dengan hati penuh semangat, membawa kue ulang tahun kecil yang sudah dihias cantik untuk Maria. Senyum tipis meng
Satu bulan telah berlalu sejak pengeroyokan yang menimpa Tommy. Peristiwa itu terjadi atas perintah ayah Maria, yang tidak pernah merestui pernikahan putrinya dengan seorang kuli. Baginya, Tommy bukanlah pria yang selevel dengan keluarga kaya seperti mereka. Maria, yang kini tengah mengandung anak mereka, melarang Tommy keluar rumah demi keselamatannya. Ia takut kejadian pengeroyokan itu terulang, apalagi jika anak buah ayahnya masih mengincar suaminya. Demi menjaga kedamaian rumah tangganya dan menghindari konflik lebih lanjut, Tommy memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai kuli bangunan dan beralih profesi menjadi petani. Dalam hitungan minggu, mereka akan menyambut kelahiran buah hati mereka. Tommy semakin protektif terhadap Maria, terkadang terkesan keras kepala, tetapi semua itu ia lakukan demi kebaikan istrinya dan bayi yang dikandungnya. Kini, Tommy menggarap lahan sawah milik seorang dermawan di desa mereka. Ia
Malam Penuh Luka Tommy jarang bekerja hingga larut malam, apalagi dengan terburu-buru. Malam ini, Maria tak bisa tidur. Ia mondar-mandir di ruang tamu, matanya terus melirik jam dinding. "Kenapa belum pulang juga, sih? Biasanya kalau telat dikit aja langsung kasih kabar. Kok sekarang enggak?" gerutunya dalam hati. Begitu suara deru motor Ninja terdengar dari halaman, Maria segera berlari ke pintu. Ia mengenali suara itu dengan baik. Dengan penuh semangat, ia membuka pintu, siap menyambut suaminya. "Mas—" Kata-katanya terhenti begitu melihat kondisi Tommy. Napasnya tercekat, wajahnya langsung pucat. "Maria...." suara Tommy lemah, tapi ia masih berusaha tersenyum sambil menenteng tas kertas di tangannya. Mata Maria membesar. Tommy penuh luka. Wajahnya lebam, ada goresan dan darah segar menetes hingga membasahi bajunya.