Pagi-pagi sekali, Ratih terpaksa berkutat di dapur. Sesekali gadis itu menutup mulutnya, karena menguap, bagai mana tidak, gadis yang berasal dari keluarga kaya itu, sudah terbiasa bangun siang, setidaknya paling pagi pukul 6 pagi. Namun hari ini, dirinya harus bangun lebih awal di rumah calon suaminya.
Bu Mirna melirik ke arah Ratih, tampak seringai tipis yang menghiasi wajah tuanya."Aduk itu nasinya di majicom, biar merata," perintah Bu Mirna. Ratih yang saat itu sedang menggoreng ikan, langsung melangkah menuju meja yang ada di atas meja dapur, di samping lemari tempat menyimpan makanan."Uh, Ratih merasakan sedikit panas, bersamaan uap yang keluar, saat dirinya membuka tutup majicom tersebut. Gadis itu mengibaskan tangannya di atas ucap yang mengepul tersebut, lalu mengambil sendok nasi, dan mengaduknya. Setelah selesai, Ratih menutupnya, dan kembali dengan aktivitasnya semula.Sreeng ....Ratih memasukan ikan ke dalam minyak panas, dengan sedikit melemparnya, membuat minyak tersebut menyiprat ke mana-mana, untung saja tidak mengenai tangannya saat itu."Hei, apa yang kau lakukan? Mengapa kau menggorengnya dengan cara melempar ikan itu? Coba lihat ini, berminyak semua. Cepat kau lap cipratan minyak ini, saya tidak mau terpeleset karena kecerobohanmu itu," ucap Bu Mirna sambil menatap marah pada Ratih."Maaf Bu, saya membereskannya," jawab gadis itu, yang kemudian melangkah menuju kamar mandi, untuk mengambil kain pel, untuk mengelap cipratan minyak tadi.Sedangkan Bu Mirna tersenyum sinis, sambil terus menatap punggung calon menantunya tersebut. "Dasar wanita tidak berguna," gumam Bu Mirna, setelah itu berlalu meninggalkan dapur.Sedangkan Ratih kembali dengan membawa sapu pel, kemudian langsung mengelap cipratan minyak di atas lantai, yang ada di bawah kompor tempatnya tadi menggoreng ikan, setelah selesai, gadis itu kembali melangkah menuju kamar mandi, untuk meletakan kain pel tersebut."Bau apa ini, astaga, ikan ..." pekik Ratih, sambil berlari menuju kompor, di mana saat ini ikan yang tadi ia goreng, kini sudah terlihat berwarna kehitaman, karena gosong. Belum lagi asap yang mengepul dari atas wajan tersebut, membuat Ratih panik dan langsung mematikan kompor tersebut."Aduh, bagai mana ini, kenapa aku teledor banget sih," ucap gadis itu meringis.Sedangkan dari arah depan, terlihat hidung Bu Mirna kembang kempis, seperti mengendus sesuatu, setelah menyadari sesuatu, Bu Mirna langsung berteriak memanggil calon istri Miko tersebut."Ratih ... Ratih, ke sini kamu!" panggil Bu Mirna."Iya Bu," jawab Ratih, sedikit panik. Takut jika calon ibu mertuanya yang kejam itu akan memarahinya."Ratih, bau apa ini hah? Kamu masak gosong ya?" tanya wanita itu sambil berkacak pinggang. Lalu pandangannya beralih ke arah wajan yang gosong."Astaga kau ini ya, kenapa bisa gosong seperti ini, gimana sih kau ini, bisa masak tidak sih sebenarnya kau itu, hah?" hardik Bu Mirna, sambil bersungut-sungut."Lihat ini, kenapa bisa begini? Wajan kesayangan saya jadi rusak begini," protes Bu Mirna, sambil menunjuk ke arah wajan yang ada di depannya."Maaf Bu, saya tidak sengaja," Ratih menundukkan wajahnya, tidak berani menatap wajah sangat Bu Mirna.Yati yang baru saja keluar dari kamarnya, langsung menghampiri suara berisik yang berasal dari arah dapur. "Ada apa sih ini, ribut-ribut? Masih pagi sudah seperti orang mau perang saja, eh tunggu dulu, ini bau apa ya Bu? Kok seperti bau gosong gitu," ucap Yati, sambil mengendus bau gosong tersebut."Nih, coba kamu lihat tuh, isi wajan yang ada di atas kompor," ucap Bu Mirna, menjawab ucapan Yati, namun matanya malah menatap ke arah Ratih dengan tajam, seolah memberitahukan semua orang, jika itu semua adalah perbuatan wanita tersebut."Loh, kok ikannya gosong begini, Bu? Sayang sekali, kalau begini mana bisa di makan lagi," ucap Yati sambil menyayangkan ikan gosong tersebut."Semua ini karena ulah calon kakak iparmu yang cantik ini, katanya saja bisa masak, tapi kenyataannya, goreng ikan saja sampai gosong begini, padahal ini gampang sekali loh, ibu heran entah apa yang Abangmu lihat dari gadis ini," ucap Bu Mirna mencibir.Ratih yang sejak tadi terus dipojokan terlihat meremas tangannya, mencoba untuk tetap sabar dengan perkataan pedas, calon ibu mertuanya tersebut.Pandangan Yati kini tertuju ke arah Ratih, yang kebetulan saat itu juga sedang menatap ke arahnya. "Kamu beneran tidak bisa masak ya Mba? Setidaknya ini kan cuma ikan, tinggal dimasukan saja di atas minyak goreng, masa itu saja Mba Ratih tidak bisa sih," ucap Yati menatap remeh ke arah gadis yang ada di depannya saat ini."Ibu rasa juga begitu, kemarin kalau ibu tidak salah, Miko bilang, jika calon istrinya ini bisa memasak, tapi buktinya apa? Omong kosong," ucap Bu Mirna, kembali mencibir.Di ruangan lain, namun masih didalam rumah yang sama, tepatnya di sebuah kamar yang lumayan luas, terlihat seorang lelaki yang baru saja terbangun dari tidurnya, sebab merasa terganggu, saat mendengar kegaduhan dari arah luar, dan lelaki itu adalah Miko."Kok sepertinya aku mendengar suara ribut-ribut ya," monolognya. Karena merasa penasaran, akhirnya Miko memutuskan untuk segera keluar dari kamarnya. Miko yang saat itu hanya memakai celana boxer di atas lutut, dengan bertelanjang dada, segera mengambil pakaiannya, yang tergeletak di atas ranjang tempat tidurnya. Miko memang tidak pernah memakai baju disaat tidur, setelah memakai kaos nya, lelaki berusia 24 tahun itu segera beranjak keluar.Saat Miko membuka pintu kamarnya, bertepatan itu, Andi juga baru saja keluar dari kamarnya dan Yati."Apa kamu juga mendengar, apa yang aku dengar Ndi?" tanya Miko."Sepertinya begitu Ko, memangnya apa yang terjadi, kenapa sepagi ini mereka terdengar sangat berisik ya," ucap Andi."Entahlah, sebaiknya kita lihat saja sekarang," ajak Miko yang diangguki oleh Andi. Keduanya pun lantas melangkah menuju dapur, di mana asal suara berisik tadi, yang jaraknya hanya beberapa meter dari mereka.Sedangkan di dapur, terlihat Ratih mulai membersihkan peralatan dapur yang gosong, setelah menaruh wajan gosong tersebut diatas wastafel, Ratih pun mulai menyiram, lalu menggosok wajan tersebut dengan kawat halus, yang terbuat dari baja."Aw ...," pekik Ratih saat tidak sengaja tangannya terkena sikat kawat yang tajam itu, saat menyikat area wajan yang gosong tersebut. Cepat-cepat Ratih membasuh tangannya, terlihat sedikit goresan ditangan putihnya. Gadis itu meringis saat merasakan perih karena luka tersebut."Makanya, kalau kerja itu yang benar, cuci piring saja tidak becus," ucap Bu Mirna, yang memang masih berada di dapur. Bukannya kasihan melihat Ratih, justru Bu Mirna malah menyudutkannya."Tahu nih Mba Ratih, lebih baik Mba pikir ulang deh Mba, buat menikah dengan Bang Miko, karena setelah Mba nantinya jadi istri Bang Miko, pasti kamu akan terus melakukan pekerjaan ini," sambung Yati, yang malahan membuat suasana semangkin runyam."Benar apa yang dikatakan Yati, sebaiknya kau pikir ulang, untuk menjadi istri Miko, karena perempuan yang pantas untuk menjadi istri Miko, adalah perempuan yang bisa segalanya, tidak sepertimu, baru tergores sedikit saja sudah seperti terkena pisau," ucap Bu Mirna sinis."Ada apa Bu, kenapa Ibu memarahi Ratih seperti itu?" tanya Miko tiba-tiba. Lelaki itu kini sudah berdiri dibelakang Bu Mirna, membuat wanita paruh baya itu langsung membalikan tubuhnya."Miko, kamu sudah bangun?" ucap Bu Mirna, yang malah bertanya balik."Iya, itu karena mendengar suara berisik dari luar, sebenarnya ada apa ini?" tanya Miko, kini tatapannya tertuju pada Ratih, yang saat itu sedang memegangi tangannya."Ratih, ada apa dengan tanganmu?" Miko langsung melangkah mendekati Ratih, lalu melihat tangannya yang terluka karena goresan sikat baja tersebut."Ini kenapa bisa sampai terluka seperti ini, hah?" ucap Miko khawatir. Sedangkan Bu Mirna malah mencibir, menurutnya Miko terlalu berlebihan."Hanya goresan kecil Miko, kamu tidak perlu khawatir seperti itu," jawab Bu Mirna, padahal yang ditanya Ratih."Iya Mas, aku tidak apa-apa kok," sambung Ratih. Lalu menarik tangannya dari genggaman sang kekasih."Tetapi ini berdarah sayang, sebaiknya kita obati sekarang," ucap Miko. Setelah itu, Miko langsung mengajak Ratih keluar dari area dapur, meninggalkan ibu dan anak, yang hanya bisa melongo saat Ratih dibawa oleh Miko."Is, kok Mba Ratih malah ikut Bang Miko sih, terus siapa dong, yang akan membersihkan semua kekacauan ini," ucap Yati, entah kenapa tiba-tiba perasaannya tidak enak."Ya kamu lah, masa ibu. Lagi pula kita tidak bisa memaksa wanita itu, kamu lihat tadi kan, bagai mana Abangmu memperlakukan kekasihnya itu? Seperti ratu," ucap Bu Mirna dengan nada ejekan di dalamnya. Sedangkan Yati hanya bisa mendengus dan pasrah dengan nasipnya.'Ck, ini semua karena Mba Ratih, awas saja kamu Mba,'Ratih mengamati wajah Miko, yang terlihat sedang serius saat mengobati luka di jari tangannya. Ratih tersenyum tipis, sungguh ia merasa sangat beruntung mendapatkan Miko, lelaki itu terlihat sangat menyayanginya. Walaupun keluarganya memperlakukannya dengan tidak baik, namun Ratih tidak begitu mempermasalahkannya, yang terpenting baginya adalah, dirinya selalu bisa bersama dengan Miko, sang kekasih hati."Lain kali kamu hati-hati," ucap Miko setelah selesai mengobati luka goresan ditangan calon istrinya tersebut."Iya Mas, lain kali aku akan lebih hati-hati lagi," jawab Ratih."Harus itu, lagian kamu tadi ngapain berada di dapur sih? Apa Ibu yang menyuruhmu? Kamu itu calon istriku, aku tidak mau kamu merasa terbebani dengan tinggal di sini, dan melakukan semua pekerjaan di rumah ini," ucap Miko, yang merasa keberatan jika kekasihnya itu ikut turun ke dapur, ada saatnya nanti, pikir Miko."Tidak apa-apa Mas, aku juga tidak ada kerjaan, tidak masalah jika aku ikut membantu Ibu di dapur,
Sudah tiga hari Ratih tinggal di rumah Miko, selama tiga hari pula Pak Restu sang ayah tidak pernah menghubunginya, walaupun Ratih marah dengan penolakan ayahnya pada pilihan hatinya, namun sebagai seorang anak, Ratih juga merasa rindu dengan sosok tersebut. Karena setelah kepergian sang ibu, hanya tinggal Pak Restu lah keluarganya. Walaupun Pak Restu tidak pernah ada untuknya disaat dia butuh sosok seorang ayah. Namun Ratih tetap menyayangi dan menghormati ayahnya.Pernah suatu hari Ratih meminta perhatian sang ayah, walaupun hanya untuk sekedar makan malam saja, ataupun teman untuk bercerita, sebenarnya Ratih merasa kesepian, semenjak kematian sang ibu, Pak Restu sudah jarang di rumah, setiap waktunya selalu ia habiskan diluar, pergi pagi, dan pulang dimalam hari, itupun disaat Ratih sudah tertidur pulas di kamarnya. Jadi, walaupun mereka tinggal satu rumah, namun sangat jarang bertemu.Namun setiap Ratih mengutarakan keinginannya, Pak Restu selalu menolak, dengan alasan banyak kerj
Setelah kepergian Miko dan Ratih, Bu Mirna dan Erna kembali bergosip. "Bu, bukankah pernikahan mereka tinggal beberapa hari lagi ya?" tanya Erna. "Ya, terus? Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" "Loh, kok Bu Mirna terlihat santai sekali sih, atau sekarang Bu Mirna berubah pikiran, dan merestui hubungan mereka?" ucap Erna dengan sedikit kesal. "Loh, kok kamu jadi berpikiran seperti itu sih pada ibu Er? Dengar ya, walaupun mereka pada akhirnya sampai menikah, tetap ibu tidak akan biarkan wanita itu hidup bahagia dengan anak ibu," ucap Bu Mirna. "Jadi maksud Ibu, Bu Mirna akan membiarkan mereka menikah? Bukankah sebelumnya Ibu bilang, kalau Ibu berencana untuk menggagalkan pernikahan mereka ya?" tanya Erna bingung. "Awalnya Ibu juga berpikir seperti itu, tetapi jika dipikir-pikir, Miko tidak mungkin mau membatalkan pernikahannya dengan wanita itu, Ibu kenal bagai mana wataknya." ucap Bu Mirna sambil menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Tetapi Bu, aku
Bimo merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, rasa lelah sekali tubuhnya, membuat lelaki itu memejamkan mata barang sejenak untuk beberapa saat, sebelum akhirnya sebuah suara menginterupsinya untuk membuka mata yang baru sejenak terpejam. "Mas, mandi dulu. Memangnya kamu tidak risih apa?" ucap seorang wanita yang baru saja menutup pintu kamar. Lelaki itu menatap lawan bicaranya lekat tanpa menjawab, membuat wanita salah tingkah karena tatapan tersebut. "Ada apa? Kenapa menatapku seolah aku ini punya hutang sih?" tanya wanita tersebut yang sebenarnya hanya untuk menutupi rasa gugupnya. Bimo tidak menjawab, lelaki itu malah bangun dari tempat tidur, lalu segera mendekati wanita itu, membuat sang wanita semakin gugup. "Mas," panggilnya dengan suara lirih. Bimo mendekatinya, melangkah ke belakang gadis itu, dan memeluknya dari belakang, jangan lupakan jika wanita tersebut masih memakan pakaian pengantin. "Apa sayang?" jawabnya menggoda. "Geli Mas," ucapnya saat merasakan ke
Pasangan suami istri tersebut sudah siap untuk menunaikan ibadah malam pertama mereka, namun saat Bimo melepas sisa kain yang menempel di tubuh istrinya seketika tubuh lelaki itu langsung lemas, bahunya merosot saat melihat sesuatu di atas dala*man istrinya. "Kenapa Mas? Kok wajahnya gitu?" tanya Ratih penasaran, wanita yang nyaris toples itu langsung menundukkan pandangannya melihat apa yang membuat suaminya lemas seketika. "Hah? Ya ampun kok bisa sih?" Ratih sedikit terkejut saat melihat sedikit bercak merah di atas dalaman miliknya, wanita itu menatap suaminya sambil meringis tidak enak. "Kamu datang bulan Sayang?" tanya Bimo dengan wajah yang lesu. "Iya Mas, pantesan saja perutku sakit, maaf ya Mas?" Walaupun kecewa, namun Bimo tidak bisa berbuat apa-apa. "Ya sudah kalau begitu kita tidur saja, sambil berpelukan." ucap Bimo lalu menarik tangan istrinya agar mendekat, setelahnya mereka berbaring bersama. "Aku senang sekali, akhirnya kamu bisa menjadi milikku, terimakasi
Bimo menyentuh lehernya, mencari sesuatu yang di tunjuk oleh Andi, namun pria itu tidak merasakan apapun, Bimo pun lantas menatap kearah Andi untuk meminta penjelasan. "Memangnya ada apa di leherku Ndi?" tanya Bimo penasaran. Andi tidak menjawab, namun lelaki itu mendekat untuk memastikan sesuatu, tiba-tiba lelaki itu menghela nafas, helaan yang terdengar lega, entah mengapa rasanya Andi tidak rela jika Ratih dan Bimo melakukan sesuatu yang mengarah ke hubungan yang lebih intim, padahal mereka berdua adalah suami istri, apa mungkin karena Andi masih ada perasaan kepada Ratih? Entahlah, hanya lelaki itu yang tahu. "Ada apa sih? Bikin penasaran orang saja," "Oh, tidak ada apa-apa kok, aku hanya salah melihat saja, tadinya ku pikir ada kotoran di lehermu," jawab Andi memberi alasan. "Aneh sekali, yasudah ayo sebaiknya kita antarkan barangnya, keburu nanti orangnya pergi ke sawah," "Iya, tunggu sebentar aku ambil barangnya dulu," jawab Andi sambil berlalu. Setelah mengambil
Ratih menatap Andi, begitupun sebaliknya, beberapa detik pandangan keduanya sempat terkunci, hingga suara seseorang mengalihkan pandangan keduanya. "Bang Andi, ayo duduk sarapan dulu. Pasti kamu sudah lapar kan? Ini aku masakin ikan gurame kesukaanmu," ucap Yati. Andi hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu merekapun segera duduk di kursi untuk sarapan pagi. "Tunggu sebentar ya, ibu mau panggil Bapak dulu di depan," ucap Bu Mirna sambil berlalu. Ratih mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk suaminya, setelah selesai Ratih mengambil untuk dirinya sendiri, Andi sempat melirik apa yang di lakukan Ratih untuk suaminya. "Bang ini makanlah, sudah aku ambilkan," ucap Yati sambil meletakan makanan milik suaminya itu. "Terimakasih," jawab Andi. Saat ini Andi dan Ratih duduk saling berhadapan, sedangkan Ratih maupun Yati duduk di sisi pasangan mereka. "Sudah pada ngumpul?" terdengar suara Pak Jamal membuat anak dan menantunya menoleh. "Iya Pak, tinggal menunggu Bapak saja," jawab Yat
Bu Mirna masih berperang dengan pikirannya sendiri, sedangkan Yati sudah pergi sejak tadi. Anak perempuannya tersebut merasa jika ibunya terlalu negatif thinking kepada Ratih kakak iparnya, sebab Yati merasa bantuan yang di tawarkan oleh suaminya itu hal yang wajar, mungkin orang lain akan berlaku hal yang sama jika ada di posisi Andi kala itu, namun ibunya malah berpikir jika Ratih yang sengaja mencari simpati suaminya, untungnya apa? pikir Yati. Sore harinya terlihat Bu Mirna sudah sibuk dengan aktivitasnya di dapur, seperti biasa, wanita paruh baya itu sedang menyiapkan bahan untuk makan malam keluarganya. "Bu, ada yang bisa aku bantu?" tawar Ratih yang ternyata sudah berada di belakang Bu Mirna. "Kamu ini bikin orang lain jantungan saja," gerutu Bu Mirna sambil mengelus dadanya karena kaget. "Maaf Bu, aku tidak bermaksud," "Halah, kamu itu sudah kebiasaan. Sudah sana cepat cuci beras, ingat jangan terlalu banyak airnya, nanti seperti bubur kalau kebanyakan air," peringat
Bu Mirna menatap horor ke arah anak dan mantunya, bisa-bisanya pasangan itu menunjukan keintiman di depan ke dua orang tuanya, pikir wanita paruh baya itu. "Dasar menantu tidak tahu adab, bisa-bisanya dia membiarkan suaminya memeluk seperti itu di depan orang lain," gerutu Bu Mirna. Sedangkan Pak Jamal sendiri terlihat biasa saja, lelaki paruh baya itu memilih tak ambil pusing dengan pemandangan di depannya tersebut. Berbeda dengan istrinya yang seperti orang kebakaran jenggot. "Sudah Bu, biarkan saja. Toh pasti mereka tidak sadar jika ada kita di sini," jelas Pak Jamal. Bu Mirna menatap suaminya tajam. "Bapak ini bagai mana sih? Yang seperti ini tidak boleh di biarkan Pak, mereka itu seolah tidak tahu tempat. Dan dia, menantu Bapak itu, kenapa harus meladeni Bimo di luar kamarnya coba? Ibu sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita itu," geram Bu Mirna sambil terus menatap tajam anak dan menantunya yang terlihat semakin menjadi. Ratih yang merasa diperhatikan sontak
Bu Mirna menatap horor ke arah anak dan mantunya, bisa-bisanya pasangan itu menunjukan keintiman di depan ke dua orang tuanya, pikir wanita paruh baya itu. "Dasar menantu tidak tahu adab, bisa-bisanya dia membiarkan suaminya memeluk seperti itu di depan orang lain," gerutu Bu Mirna. Sedangkan Pak Jamal sendiri terlihat biasa saja, lelaki paruh baya itu memilih tak ambil pusing dengan pemandangan di depannya tersebut. Berbeda dengan istrinya yang seperti orang kebakaran jenggot. "Sudah Bu, biarkan saja. Toh pasti mereka tidak sadar jika ada kita di sini," jelas Pak Jamal. Bu Mirna menatap suaminya tajam. "Bapak ini bagai mana sih? Yang seperti ini tidak boleh di biarkan Pak, mereka itu seolah tidak tahu tempat. Dan dia, menantu Bapak itu, kenapa harus meladeni Bimo di luar kamarnya coba? Ibu sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita itu," geram Bu Mirna sambil terus menatap tajam anak dan menantunya yang terlihat semakin menjadi. Ratih yang merasa diperhatikan sontak
Yati melihat suaminya yang seperti melamun, akhir-akhir ini wanita itu memang sering melihat suaminya melamun, entah apa yang dipikirkan lelaki itu, namun setiap dirinya bertanya, Andi selalu mengatakan jika tidak ada masalah yang berarti. "Bang Andi kenapa melamun sih? Bang Andi lagi memikirkan Mba Ratih ya?" tanya Yati. Wanita itu hanya iseng dan bercanda saja dengan pertanyaannya, namun siapa sangka jawaban lelaki tersebut membuat dirinya terpelongo. "Iya," jawab Andi tanpa sadar. "Hah? Maksud Bang Andi?" tanya Yati dengan perasaan aneh. Andi merutuki ucapannya barusan, bisa-bisanya dirinya keceplosan di depan sang istri. "Oh, itu maksudku, apa Mba Ratih punya obat untuk lukanya itu, kalau belum kita kan ada di kamar, nah coba kamu berikan obat luka itu padanya," jelas Andi mencoba biasa, padahal dalam hati dirinya merasa gugup. "Oh, begitu. Ya sudah kalau begitu biar aku tanya dulu pada mereka," jawab Yati yang langsung melangkah keluar dari dapur. Andi bernafas lega, se
Bu Mirna masih berperang dengan pikirannya sendiri, sedangkan Yati sudah pergi sejak tadi. Anak perempuannya tersebut merasa jika ibunya terlalu negatif thinking kepada Ratih kakak iparnya, sebab Yati merasa bantuan yang di tawarkan oleh suaminya itu hal yang wajar, mungkin orang lain akan berlaku hal yang sama jika ada di posisi Andi kala itu, namun ibunya malah berpikir jika Ratih yang sengaja mencari simpati suaminya, untungnya apa? pikir Yati. Sore harinya terlihat Bu Mirna sudah sibuk dengan aktivitasnya di dapur, seperti biasa, wanita paruh baya itu sedang menyiapkan bahan untuk makan malam keluarganya. "Bu, ada yang bisa aku bantu?" tawar Ratih yang ternyata sudah berada di belakang Bu Mirna. "Kamu ini bikin orang lain jantungan saja," gerutu Bu Mirna sambil mengelus dadanya karena kaget. "Maaf Bu, aku tidak bermaksud," "Halah, kamu itu sudah kebiasaan. Sudah sana cepat cuci beras, ingat jangan terlalu banyak airnya, nanti seperti bubur kalau kebanyakan air," peringat
Ratih menatap Andi, begitupun sebaliknya, beberapa detik pandangan keduanya sempat terkunci, hingga suara seseorang mengalihkan pandangan keduanya. "Bang Andi, ayo duduk sarapan dulu. Pasti kamu sudah lapar kan? Ini aku masakin ikan gurame kesukaanmu," ucap Yati. Andi hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu merekapun segera duduk di kursi untuk sarapan pagi. "Tunggu sebentar ya, ibu mau panggil Bapak dulu di depan," ucap Bu Mirna sambil berlalu. Ratih mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk suaminya, setelah selesai Ratih mengambil untuk dirinya sendiri, Andi sempat melirik apa yang di lakukan Ratih untuk suaminya. "Bang ini makanlah, sudah aku ambilkan," ucap Yati sambil meletakan makanan milik suaminya itu. "Terimakasih," jawab Andi. Saat ini Andi dan Ratih duduk saling berhadapan, sedangkan Ratih maupun Yati duduk di sisi pasangan mereka. "Sudah pada ngumpul?" terdengar suara Pak Jamal membuat anak dan menantunya menoleh. "Iya Pak, tinggal menunggu Bapak saja," jawab Yat
Bimo menyentuh lehernya, mencari sesuatu yang di tunjuk oleh Andi, namun pria itu tidak merasakan apapun, Bimo pun lantas menatap kearah Andi untuk meminta penjelasan. "Memangnya ada apa di leherku Ndi?" tanya Bimo penasaran. Andi tidak menjawab, namun lelaki itu mendekat untuk memastikan sesuatu, tiba-tiba lelaki itu menghela nafas, helaan yang terdengar lega, entah mengapa rasanya Andi tidak rela jika Ratih dan Bimo melakukan sesuatu yang mengarah ke hubungan yang lebih intim, padahal mereka berdua adalah suami istri, apa mungkin karena Andi masih ada perasaan kepada Ratih? Entahlah, hanya lelaki itu yang tahu. "Ada apa sih? Bikin penasaran orang saja," "Oh, tidak ada apa-apa kok, aku hanya salah melihat saja, tadinya ku pikir ada kotoran di lehermu," jawab Andi memberi alasan. "Aneh sekali, yasudah ayo sebaiknya kita antarkan barangnya, keburu nanti orangnya pergi ke sawah," "Iya, tunggu sebentar aku ambil barangnya dulu," jawab Andi sambil berlalu. Setelah mengambil
Pasangan suami istri tersebut sudah siap untuk menunaikan ibadah malam pertama mereka, namun saat Bimo melepas sisa kain yang menempel di tubuh istrinya seketika tubuh lelaki itu langsung lemas, bahunya merosot saat melihat sesuatu di atas dala*man istrinya. "Kenapa Mas? Kok wajahnya gitu?" tanya Ratih penasaran, wanita yang nyaris toples itu langsung menundukkan pandangannya melihat apa yang membuat suaminya lemas seketika. "Hah? Ya ampun kok bisa sih?" Ratih sedikit terkejut saat melihat sedikit bercak merah di atas dalaman miliknya, wanita itu menatap suaminya sambil meringis tidak enak. "Kamu datang bulan Sayang?" tanya Bimo dengan wajah yang lesu. "Iya Mas, pantesan saja perutku sakit, maaf ya Mas?" Walaupun kecewa, namun Bimo tidak bisa berbuat apa-apa. "Ya sudah kalau begitu kita tidur saja, sambil berpelukan." ucap Bimo lalu menarik tangan istrinya agar mendekat, setelahnya mereka berbaring bersama. "Aku senang sekali, akhirnya kamu bisa menjadi milikku, terimakasi
Bimo merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, rasa lelah sekali tubuhnya, membuat lelaki itu memejamkan mata barang sejenak untuk beberapa saat, sebelum akhirnya sebuah suara menginterupsinya untuk membuka mata yang baru sejenak terpejam. "Mas, mandi dulu. Memangnya kamu tidak risih apa?" ucap seorang wanita yang baru saja menutup pintu kamar. Lelaki itu menatap lawan bicaranya lekat tanpa menjawab, membuat wanita salah tingkah karena tatapan tersebut. "Ada apa? Kenapa menatapku seolah aku ini punya hutang sih?" tanya wanita tersebut yang sebenarnya hanya untuk menutupi rasa gugupnya. Bimo tidak menjawab, lelaki itu malah bangun dari tempat tidur, lalu segera mendekati wanita itu, membuat sang wanita semakin gugup. "Mas," panggilnya dengan suara lirih. Bimo mendekatinya, melangkah ke belakang gadis itu, dan memeluknya dari belakang, jangan lupakan jika wanita tersebut masih memakan pakaian pengantin. "Apa sayang?" jawabnya menggoda. "Geli Mas," ucapnya saat merasakan ke
Setelah kepergian Miko dan Ratih, Bu Mirna dan Erna kembali bergosip. "Bu, bukankah pernikahan mereka tinggal beberapa hari lagi ya?" tanya Erna. "Ya, terus? Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" "Loh, kok Bu Mirna terlihat santai sekali sih, atau sekarang Bu Mirna berubah pikiran, dan merestui hubungan mereka?" ucap Erna dengan sedikit kesal. "Loh, kok kamu jadi berpikiran seperti itu sih pada ibu Er? Dengar ya, walaupun mereka pada akhirnya sampai menikah, tetap ibu tidak akan biarkan wanita itu hidup bahagia dengan anak ibu," ucap Bu Mirna. "Jadi maksud Ibu, Bu Mirna akan membiarkan mereka menikah? Bukankah sebelumnya Ibu bilang, kalau Ibu berencana untuk menggagalkan pernikahan mereka ya?" tanya Erna bingung. "Awalnya Ibu juga berpikir seperti itu, tetapi jika dipikir-pikir, Miko tidak mungkin mau membatalkan pernikahannya dengan wanita itu, Ibu kenal bagai mana wataknya." ucap Bu Mirna sambil menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Tetapi Bu, aku