Ratih mengamati wajah Miko, yang terlihat sedang serius saat mengobati luka di jari tangannya. Ratih tersenyum tipis, sungguh ia merasa sangat beruntung mendapatkan Miko, lelaki itu terlihat sangat menyayanginya. Walaupun keluarganya memperlakukannya dengan tidak baik, namun Ratih tidak begitu mempermasalahkannya, yang terpenting baginya adalah, dirinya selalu bisa bersama dengan Miko, sang kekasih hati.
"Lain kali kamu hati-hati," ucap Miko setelah selesai mengobati luka goresan ditangan calon istrinya tersebut."Iya Mas, lain kali aku akan lebih hati-hati lagi," jawab Ratih."Harus itu, lagian kamu tadi ngapain berada di dapur sih? Apa Ibu yang menyuruhmu? Kamu itu calon istriku, aku tidak mau kamu merasa terbebani dengan tinggal di sini, dan melakukan semua pekerjaan di rumah ini," ucap Miko, yang merasa keberatan jika kekasihnya itu ikut turun ke dapur, ada saatnya nanti, pikir Miko."Tidak apa-apa Mas, aku juga tidak ada kerjaan, tidak masalah jika aku ikut membantu Ibu di dapur," jelas Ratih."Baiklah kalau itu mau kamu, tapi untuk saat ini jangan dulu, karena aku mau mengajakmu mengelilingi desaku ini," ucap Miko."Sepagi ini?""Iya, ya sudah ayo!" ajak Miko."Tunggu, aku mau ambil jaket dulu di kamar," ucap Ratih, lalu segera beranjak menuju kamarnya."Loh, Bu,coba lihat mereka! Mau pergi kemana sepagi ini?" ucap Yati, saat melihat Miko dan Ratih keluar dari rumah."Biarkan sajalah, nanti kita pikirin lagi bagai mana cara membuat wanita itu pergi dari rumah ini," ucap Bu Mirna. Mereka lupa, jika masih ada seseorang di dapur tersebut.'Jadi mereka ingin menyingkirkan Ratih? Tetapi kenapa? Bukankah Ratih gadis yang baik,' batin hati orang tersebut, yang tidak lain adalah Andi."Ekhem ..." Andi berdehem, untuk memberitahukan keberadaannya di ruangan tersebut."Loh, kamu ada di sini juga Ndi?" ucap Bu Mirna sedikit kaget, karena sama sekali tidak menyadari keberadaan menantunya tersebut. Karena memang Andi berada cukup jauh dibelakang Miko, karena memang dirinya tidak ingin terlalu ikut campur."Bang Andi sudah lama di sini Bang?"tanya Yati sedikit gugup, sebab ia tidak ingin kalau sampai suaminya tersebut berpikiran buruk tentang dirinya, karena selama ini, Yati tidak pernah menunjukan sikap buruk di depan Andi."Lumayan, sampai Ibu bilang cara untuk menyingkirkan seseorang, memangnya siapa orang yang Ibu maksudkan itu Bu?" tanya Andi. Lelaki berusia 23 tahun tersebut berpura tidak tahu siapa orang yang sedang mereka bicarakan.Bu Mirna sejenak melirik ke arah putrinya Yati, wanita paruh baya itu tampak memberikan isyarat untuk Yati, agar memberikan penjelasan atas jawaban suaminya itu, sedangkan Yati yang paham langsung menganggukan kepalanya."Oh, itu bukan hal yang penting Bang, ya sudah kalau begitu kita ke depan saja, yuk!" ajak Yati sambil mengajak Andi meninggalkan dapur.Sedangkan Bu Mirna langsung berdecak kesal, dengan kelakuan Yati, yang malah meninggalkan pekerjaan yang belum selesai tersebut."Astaga, ujung-ujungnya aku juga yang harus membereskan semua ini," gerutu Bu Mirna.DI TEMPAT LAINTerlihat sepasang sejoli sedang berjalan menyusuri jalanan desa. Meskipun tinggal di pedesaan, namun di sana bukanlah tempat yang terpencil, sebab banyak juga sebagian penduduk desa yang memiliki kendaraan pribadi. Begitu pula dengan Miko, almarhum ayahnya, memiliki sebuah kendaraan roda empat yang terparkir di garasi, namun sayangnya semenjak ayahnya meninggal, kendaraan tersebut tidak pernah lagi digunakan, karena selain mobil tersebut sudah tua, Bu Mirna juga melarang anak-anaknya untuk menggunakan kendaraan peninggalan suaminya tersebut.Bukan tanpa alasan wanita paruh baya itu melarangnya, namun ada sesuatu yang membuat Bu Mirna trauma saat melihat mobil tersebut. Maka jadilah mobil yang sebenarnya masih layak digunakan itu, hanya tersimpan dan terbungkus rapi di dalam garasi.Sepanjang perjalanan Ratih hanya diam, Miko yang menyadari itu langsung menghentikan langkahnya, membuat Ratih otomatis juga ikut berhenti."Kamu kenapa Sayang? Masih kepikiran ucapan Ibu tadi ya? Maaf ya sayang, kalau perkataan ibu menyinggung perasaanmu, tapi sebenarnya ibu baik kok, hanya saja sedikit cerewet, tapi yakinlah, kalau kamu bisa mengambil hati ibu, pasti ibu akan sangat sayang denganmu, kalian berdua hanya butuh waktu untuk saling lebih dekat satu sama lain," jelas Miko panjang lebar."Iya Mas, aku akan berusaha untuk lebih dekat dengan Ibu," jawab Ratih."Terimakasih ya Sayang, Mas tahu, kalau kamu itu orang yang sabar," ucap Miko tersenyum. Lelaki itu mengelus lembut wajah sang kekasih, lalu kembali membawanya untuk menikmati pemandangan desa tersebut.Saat ini Miko dan Ratih sudah berada di persawahan yang berada dipinggir jalan desa, udara pagi di desa tersebut sangat sejuk, walaupun hawa dingin di pagi itu cukup menusuk sampai ke tulang, namun tidak membuat sepasang kekasih itu mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat tersebut."Kamu kedinginan ya?" tanya Miko, saat melihat Ratih mengusap kedua lengannya."Sedikit Mas, tapi tidak masalah. Karena sudah terbayar dengan pemandangan indah dan udara yang sejuk seperti ini," ucap Ratih. Matanya terus memperhatikan hamparan padi yang sudah mulai menguning, terlihat juga orang-orangan sawah, yang terbuat dari jerami, diantara tanaman padi tersebut. Dengan tujuan untuk menghalau atau sekedar menakut-nakuti burung, agar tidak merusak tanaman padi para petani tersebut."Mas, coba lihat di sana?" tunjuk Ratih, ke arah matahari yang baru saja muncul dengan malu-malu, dengan warnah kuning keemasan. Sangat indah di pandangan mata, biasanya orang-orang menyebutnya dengan 'sunrise.'"Sangat indah ya Mas," sambung Ratih lagi, gadis itu menyandarkan tubuhnya di dada bidang Miko, sedangkan Miko sendiri merangkul pinggang ramping sang kekasih, hingga keduanya tidak berjarak."Ya, itu sangat indah, aku sangat bahagia kita bisa bersama seperti ini Sayang," ucap Miko. Lelaki itu mengecup lembut pucuk kepala kekasihnya, sambil menghirup dalam aroma shampo yang menguar dari rambut gadisnya itu.Tidak jauh dari keduanya, terlihat seorang gadis, yang terus memperhatikan keduanya sejak tadi. Tangan gadis itu terkepal, memperlihatkan urat halus di pergelangan tangannya.***Setelah puas berkeliling, dan menikmati sejuknya udara pagi di desa tersebut. Akhirnya Miko dan Ratih memutuskan untuk segera kembali ke rumah. Setelah menempuh kurang lebih tiga ratus meter berjalan kaki, akhirnya pasangan tersebut sampai juga di rumah."Assalamu'alaikum ..."Miko dan Ratih memberi salam secara bersamaan, namun tidak ada jawaban dari dalam rumah, membuat Miko dan Ratih saling pandang."Sepertinya tidak ada orang deh," ucap Miko."Tidak mungkin Mas, ini pintunya terbuka, kalau Ibu pergi pasti pintunya di tutup kan?" jelas Ratih,"Benar juga kamu, ya sudah ayo kita masuk saja, mungkin Ibu lagi di dapur," ajak Miko sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, di susul oleh Ratih dibelakangnya."Loh, Ibu ada di dalam ternyata," ucap Miko setelah melihat Bu Mirna yang sedang duduk bersandar di atas sofa ruang tamu."Kenapa tadi Ibu tidak menjawab salam kami, Bu?" sambung Miko lagi."Jawab, tapi tanpa suara." ucap Bu Mirna, sekilas ia melirik ke arah Ratih yang berada disamping Miko, lalu kembali pandangannya ia tujukan pada anak kesayangannya tersebut."Kamu pasti laparkan? sebaiknya kamu sarapan dahulu, ibu sudah masak untuk kamu, tetapi maaf ya, ibu tidak masak ikan, soalnya ibu belum sempat belanja di pasar, sedangkan ikan yang tinggal satu-satunya gosong, saat di goreng sama calon istri kamu itu," ucap Bu Mirna, dengan nada menyindir, sedangkan Ratih yang merasa tersindir, hanya menundukkan kepalanya karena merasa bersalah dengan kecerobohannya.Sebelum menjawab, Miko sempat melirik ke arah Ratih. Dirinya tahu, jika gadisnya itu pasti merasa bersalah. "Sudahlah Bu, tidak masalah kok, lagi pula, kebetulan pagi ini Miko tidak ingin makan ikan, lagi pula masih ada ayam dan juga sayurkan?" ucap Miko. Lelaki itu meraih tangan kekasihnya, membuat Ratih yang tadinya menunduk, langsung mengangkat wajahnya, dan menoleh ke arah Miko. "Ayo kita sarapan," ajak lelaki itu sambil tersenyum ke arah kekasihnya tersebut.Bu Mirna mendengus, sambil mencibir dalam hati.Sudah tiga hari Ratih tinggal di rumah Miko, selama tiga hari pula Pak Restu sang ayah tidak pernah menghubunginya, walaupun Ratih marah dengan penolakan ayahnya pada pilihan hatinya, namun sebagai seorang anak, Ratih juga merasa rindu dengan sosok tersebut. Karena setelah kepergian sang ibu, hanya tinggal Pak Restu lah keluarganya. Walaupun Pak Restu tidak pernah ada untuknya disaat dia butuh sosok seorang ayah. Namun Ratih tetap menyayangi dan menghormati ayahnya.Pernah suatu hari Ratih meminta perhatian sang ayah, walaupun hanya untuk sekedar makan malam saja, ataupun teman untuk bercerita, sebenarnya Ratih merasa kesepian, semenjak kematian sang ibu, Pak Restu sudah jarang di rumah, setiap waktunya selalu ia habiskan diluar, pergi pagi, dan pulang dimalam hari, itupun disaat Ratih sudah tertidur pulas di kamarnya. Jadi, walaupun mereka tinggal satu rumah, namun sangat jarang bertemu.Namun setiap Ratih mengutarakan keinginannya, Pak Restu selalu menolak, dengan alasan banyak kerj
Setelah kepergian Miko dan Ratih, Bu Mirna dan Erna kembali bergosip. "Bu, bukankah pernikahan mereka tinggal beberapa hari lagi ya?" tanya Erna. "Ya, terus? Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" "Loh, kok Bu Mirna terlihat santai sekali sih, atau sekarang Bu Mirna berubah pikiran, dan merestui hubungan mereka?" ucap Erna dengan sedikit kesal. "Loh, kok kamu jadi berpikiran seperti itu sih pada ibu Er? Dengar ya, walaupun mereka pada akhirnya sampai menikah, tetap ibu tidak akan biarkan wanita itu hidup bahagia dengan anak ibu," ucap Bu Mirna. "Jadi maksud Ibu, Bu Mirna akan membiarkan mereka menikah? Bukankah sebelumnya Ibu bilang, kalau Ibu berencana untuk menggagalkan pernikahan mereka ya?" tanya Erna bingung. "Awalnya Ibu juga berpikir seperti itu, tetapi jika dipikir-pikir, Miko tidak mungkin mau membatalkan pernikahannya dengan wanita itu, Ibu kenal bagai mana wataknya." ucap Bu Mirna sambil menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Tetapi Bu, aku
Bimo merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, rasa lelah sekali tubuhnya, membuat lelaki itu memejamkan mata barang sejenak untuk beberapa saat, sebelum akhirnya sebuah suara menginterupsinya untuk membuka mata yang baru sejenak terpejam. "Mas, mandi dulu. Memangnya kamu tidak risih apa?" ucap seorang wanita yang baru saja menutup pintu kamar. Lelaki itu menatap lawan bicaranya lekat tanpa menjawab, membuat wanita salah tingkah karena tatapan tersebut. "Ada apa? Kenapa menatapku seolah aku ini punya hutang sih?" tanya wanita tersebut yang sebenarnya hanya untuk menutupi rasa gugupnya. Bimo tidak menjawab, lelaki itu malah bangun dari tempat tidur, lalu segera mendekati wanita itu, membuat sang wanita semakin gugup. "Mas," panggilnya dengan suara lirih. Bimo mendekatinya, melangkah ke belakang gadis itu, dan memeluknya dari belakang, jangan lupakan jika wanita tersebut masih memakan pakaian pengantin. "Apa sayang?" jawabnya menggoda. "Geli Mas," ucapnya saat merasakan ke
Pasangan suami istri tersebut sudah siap untuk menunaikan ibadah malam pertama mereka, namun saat Bimo melepas sisa kain yang menempel di tubuh istrinya seketika tubuh lelaki itu langsung lemas, bahunya merosot saat melihat sesuatu di atas dala*man istrinya. "Kenapa Mas? Kok wajahnya gitu?" tanya Ratih penasaran, wanita yang nyaris toples itu langsung menundukkan pandangannya melihat apa yang membuat suaminya lemas seketika. "Hah? Ya ampun kok bisa sih?" Ratih sedikit terkejut saat melihat sedikit bercak merah di atas dalaman miliknya, wanita itu menatap suaminya sambil meringis tidak enak. "Kamu datang bulan Sayang?" tanya Bimo dengan wajah yang lesu. "Iya Mas, pantesan saja perutku sakit, maaf ya Mas?" Walaupun kecewa, namun Bimo tidak bisa berbuat apa-apa. "Ya sudah kalau begitu kita tidur saja, sambil berpelukan." ucap Bimo lalu menarik tangan istrinya agar mendekat, setelahnya mereka berbaring bersama. "Aku senang sekali, akhirnya kamu bisa menjadi milikku, terimakasi
Bimo menyentuh lehernya, mencari sesuatu yang di tunjuk oleh Andi, namun pria itu tidak merasakan apapun, Bimo pun lantas menatap kearah Andi untuk meminta penjelasan. "Memangnya ada apa di leherku Ndi?" tanya Bimo penasaran. Andi tidak menjawab, namun lelaki itu mendekat untuk memastikan sesuatu, tiba-tiba lelaki itu menghela nafas, helaan yang terdengar lega, entah mengapa rasanya Andi tidak rela jika Ratih dan Bimo melakukan sesuatu yang mengarah ke hubungan yang lebih intim, padahal mereka berdua adalah suami istri, apa mungkin karena Andi masih ada perasaan kepada Ratih? Entahlah, hanya lelaki itu yang tahu. "Ada apa sih? Bikin penasaran orang saja," "Oh, tidak ada apa-apa kok, aku hanya salah melihat saja, tadinya ku pikir ada kotoran di lehermu," jawab Andi memberi alasan. "Aneh sekali, yasudah ayo sebaiknya kita antarkan barangnya, keburu nanti orangnya pergi ke sawah," "Iya, tunggu sebentar aku ambil barangnya dulu," jawab Andi sambil berlalu. Setelah mengambil
Ratih menatap Andi, begitupun sebaliknya, beberapa detik pandangan keduanya sempat terkunci, hingga suara seseorang mengalihkan pandangan keduanya. "Bang Andi, ayo duduk sarapan dulu. Pasti kamu sudah lapar kan? Ini aku masakin ikan gurame kesukaanmu," ucap Yati. Andi hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu merekapun segera duduk di kursi untuk sarapan pagi. "Tunggu sebentar ya, ibu mau panggil Bapak dulu di depan," ucap Bu Mirna sambil berlalu. Ratih mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk suaminya, setelah selesai Ratih mengambil untuk dirinya sendiri, Andi sempat melirik apa yang di lakukan Ratih untuk suaminya. "Bang ini makanlah, sudah aku ambilkan," ucap Yati sambil meletakan makanan milik suaminya itu. "Terimakasih," jawab Andi. Saat ini Andi dan Ratih duduk saling berhadapan, sedangkan Ratih maupun Yati duduk di sisi pasangan mereka. "Sudah pada ngumpul?" terdengar suara Pak Jamal membuat anak dan menantunya menoleh. "Iya Pak, tinggal menunggu Bapak saja," jawab Yat
Bu Mirna masih berperang dengan pikirannya sendiri, sedangkan Yati sudah pergi sejak tadi. Anak perempuannya tersebut merasa jika ibunya terlalu negatif thinking kepada Ratih kakak iparnya, sebab Yati merasa bantuan yang di tawarkan oleh suaminya itu hal yang wajar, mungkin orang lain akan berlaku hal yang sama jika ada di posisi Andi kala itu, namun ibunya malah berpikir jika Ratih yang sengaja mencari simpati suaminya, untungnya apa? pikir Yati. Sore harinya terlihat Bu Mirna sudah sibuk dengan aktivitasnya di dapur, seperti biasa, wanita paruh baya itu sedang menyiapkan bahan untuk makan malam keluarganya. "Bu, ada yang bisa aku bantu?" tawar Ratih yang ternyata sudah berada di belakang Bu Mirna. "Kamu ini bikin orang lain jantungan saja," gerutu Bu Mirna sambil mengelus dadanya karena kaget. "Maaf Bu, aku tidak bermaksud," "Halah, kamu itu sudah kebiasaan. Sudah sana cepat cuci beras, ingat jangan terlalu banyak airnya, nanti seperti bubur kalau kebanyakan air," peringat
Yati melihat suaminya yang seperti melamun, akhir-akhir ini wanita itu memang sering melihat suaminya melamun, entah apa yang dipikirkan lelaki itu, namun setiap dirinya bertanya, Andi selalu mengatakan jika tidak ada masalah yang berarti. "Bang Andi kenapa melamun sih? Bang Andi lagi memikirkan Mba Ratih ya?" tanya Yati. Wanita itu hanya iseng dan bercanda saja dengan pertanyaannya, namun siapa sangka jawaban lelaki tersebut membuat dirinya terpelongo. "Iya," jawab Andi tanpa sadar. "Hah? Maksud Bang Andi?" tanya Yati dengan perasaan aneh. Andi merutuki ucapannya barusan, bisa-bisanya dirinya keceplosan di depan sang istri. "Oh, itu maksudku, apa Mba Ratih punya obat untuk lukanya itu, kalau belum kita kan ada di kamar, nah coba kamu berikan obat luka itu padanya," jelas Andi mencoba biasa, padahal dalam hati dirinya merasa gugup. "Oh, begitu. Ya sudah kalau begitu biar aku tanya dulu pada mereka," jawab Yati yang langsung melangkah keluar dari dapur. Andi bernafas lega, se
Bu Mirna menatap horor ke arah anak dan mantunya, bisa-bisanya pasangan itu menunjukan keintiman di depan ke dua orang tuanya, pikir wanita paruh baya itu. "Dasar menantu tidak tahu adab, bisa-bisanya dia membiarkan suaminya memeluk seperti itu di depan orang lain," gerutu Bu Mirna. Sedangkan Pak Jamal sendiri terlihat biasa saja, lelaki paruh baya itu memilih tak ambil pusing dengan pemandangan di depannya tersebut. Berbeda dengan istrinya yang seperti orang kebakaran jenggot. "Sudah Bu, biarkan saja. Toh pasti mereka tidak sadar jika ada kita di sini," jelas Pak Jamal. Bu Mirna menatap suaminya tajam. "Bapak ini bagai mana sih? Yang seperti ini tidak boleh di biarkan Pak, mereka itu seolah tidak tahu tempat. Dan dia, menantu Bapak itu, kenapa harus meladeni Bimo di luar kamarnya coba? Ibu sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita itu," geram Bu Mirna sambil terus menatap tajam anak dan menantunya yang terlihat semakin menjadi. Ratih yang merasa diperhatikan sontak
Bu Mirna menatap horor ke arah anak dan mantunya, bisa-bisanya pasangan itu menunjukan keintiman di depan ke dua orang tuanya, pikir wanita paruh baya itu. "Dasar menantu tidak tahu adab, bisa-bisanya dia membiarkan suaminya memeluk seperti itu di depan orang lain," gerutu Bu Mirna. Sedangkan Pak Jamal sendiri terlihat biasa saja, lelaki paruh baya itu memilih tak ambil pusing dengan pemandangan di depannya tersebut. Berbeda dengan istrinya yang seperti orang kebakaran jenggot. "Sudah Bu, biarkan saja. Toh pasti mereka tidak sadar jika ada kita di sini," jelas Pak Jamal. Bu Mirna menatap suaminya tajam. "Bapak ini bagai mana sih? Yang seperti ini tidak boleh di biarkan Pak, mereka itu seolah tidak tahu tempat. Dan dia, menantu Bapak itu, kenapa harus meladeni Bimo di luar kamarnya coba? Ibu sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita itu," geram Bu Mirna sambil terus menatap tajam anak dan menantunya yang terlihat semakin menjadi. Ratih yang merasa diperhatikan sontak
Yati melihat suaminya yang seperti melamun, akhir-akhir ini wanita itu memang sering melihat suaminya melamun, entah apa yang dipikirkan lelaki itu, namun setiap dirinya bertanya, Andi selalu mengatakan jika tidak ada masalah yang berarti. "Bang Andi kenapa melamun sih? Bang Andi lagi memikirkan Mba Ratih ya?" tanya Yati. Wanita itu hanya iseng dan bercanda saja dengan pertanyaannya, namun siapa sangka jawaban lelaki tersebut membuat dirinya terpelongo. "Iya," jawab Andi tanpa sadar. "Hah? Maksud Bang Andi?" tanya Yati dengan perasaan aneh. Andi merutuki ucapannya barusan, bisa-bisanya dirinya keceplosan di depan sang istri. "Oh, itu maksudku, apa Mba Ratih punya obat untuk lukanya itu, kalau belum kita kan ada di kamar, nah coba kamu berikan obat luka itu padanya," jelas Andi mencoba biasa, padahal dalam hati dirinya merasa gugup. "Oh, begitu. Ya sudah kalau begitu biar aku tanya dulu pada mereka," jawab Yati yang langsung melangkah keluar dari dapur. Andi bernafas lega, se
Bu Mirna masih berperang dengan pikirannya sendiri, sedangkan Yati sudah pergi sejak tadi. Anak perempuannya tersebut merasa jika ibunya terlalu negatif thinking kepada Ratih kakak iparnya, sebab Yati merasa bantuan yang di tawarkan oleh suaminya itu hal yang wajar, mungkin orang lain akan berlaku hal yang sama jika ada di posisi Andi kala itu, namun ibunya malah berpikir jika Ratih yang sengaja mencari simpati suaminya, untungnya apa? pikir Yati. Sore harinya terlihat Bu Mirna sudah sibuk dengan aktivitasnya di dapur, seperti biasa, wanita paruh baya itu sedang menyiapkan bahan untuk makan malam keluarganya. "Bu, ada yang bisa aku bantu?" tawar Ratih yang ternyata sudah berada di belakang Bu Mirna. "Kamu ini bikin orang lain jantungan saja," gerutu Bu Mirna sambil mengelus dadanya karena kaget. "Maaf Bu, aku tidak bermaksud," "Halah, kamu itu sudah kebiasaan. Sudah sana cepat cuci beras, ingat jangan terlalu banyak airnya, nanti seperti bubur kalau kebanyakan air," peringat
Ratih menatap Andi, begitupun sebaliknya, beberapa detik pandangan keduanya sempat terkunci, hingga suara seseorang mengalihkan pandangan keduanya. "Bang Andi, ayo duduk sarapan dulu. Pasti kamu sudah lapar kan? Ini aku masakin ikan gurame kesukaanmu," ucap Yati. Andi hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu merekapun segera duduk di kursi untuk sarapan pagi. "Tunggu sebentar ya, ibu mau panggil Bapak dulu di depan," ucap Bu Mirna sambil berlalu. Ratih mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk suaminya, setelah selesai Ratih mengambil untuk dirinya sendiri, Andi sempat melirik apa yang di lakukan Ratih untuk suaminya. "Bang ini makanlah, sudah aku ambilkan," ucap Yati sambil meletakan makanan milik suaminya itu. "Terimakasih," jawab Andi. Saat ini Andi dan Ratih duduk saling berhadapan, sedangkan Ratih maupun Yati duduk di sisi pasangan mereka. "Sudah pada ngumpul?" terdengar suara Pak Jamal membuat anak dan menantunya menoleh. "Iya Pak, tinggal menunggu Bapak saja," jawab Yat
Bimo menyentuh lehernya, mencari sesuatu yang di tunjuk oleh Andi, namun pria itu tidak merasakan apapun, Bimo pun lantas menatap kearah Andi untuk meminta penjelasan. "Memangnya ada apa di leherku Ndi?" tanya Bimo penasaran. Andi tidak menjawab, namun lelaki itu mendekat untuk memastikan sesuatu, tiba-tiba lelaki itu menghela nafas, helaan yang terdengar lega, entah mengapa rasanya Andi tidak rela jika Ratih dan Bimo melakukan sesuatu yang mengarah ke hubungan yang lebih intim, padahal mereka berdua adalah suami istri, apa mungkin karena Andi masih ada perasaan kepada Ratih? Entahlah, hanya lelaki itu yang tahu. "Ada apa sih? Bikin penasaran orang saja," "Oh, tidak ada apa-apa kok, aku hanya salah melihat saja, tadinya ku pikir ada kotoran di lehermu," jawab Andi memberi alasan. "Aneh sekali, yasudah ayo sebaiknya kita antarkan barangnya, keburu nanti orangnya pergi ke sawah," "Iya, tunggu sebentar aku ambil barangnya dulu," jawab Andi sambil berlalu. Setelah mengambil
Pasangan suami istri tersebut sudah siap untuk menunaikan ibadah malam pertama mereka, namun saat Bimo melepas sisa kain yang menempel di tubuh istrinya seketika tubuh lelaki itu langsung lemas, bahunya merosot saat melihat sesuatu di atas dala*man istrinya. "Kenapa Mas? Kok wajahnya gitu?" tanya Ratih penasaran, wanita yang nyaris toples itu langsung menundukkan pandangannya melihat apa yang membuat suaminya lemas seketika. "Hah? Ya ampun kok bisa sih?" Ratih sedikit terkejut saat melihat sedikit bercak merah di atas dalaman miliknya, wanita itu menatap suaminya sambil meringis tidak enak. "Kamu datang bulan Sayang?" tanya Bimo dengan wajah yang lesu. "Iya Mas, pantesan saja perutku sakit, maaf ya Mas?" Walaupun kecewa, namun Bimo tidak bisa berbuat apa-apa. "Ya sudah kalau begitu kita tidur saja, sambil berpelukan." ucap Bimo lalu menarik tangan istrinya agar mendekat, setelahnya mereka berbaring bersama. "Aku senang sekali, akhirnya kamu bisa menjadi milikku, terimakasi
Bimo merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, rasa lelah sekali tubuhnya, membuat lelaki itu memejamkan mata barang sejenak untuk beberapa saat, sebelum akhirnya sebuah suara menginterupsinya untuk membuka mata yang baru sejenak terpejam. "Mas, mandi dulu. Memangnya kamu tidak risih apa?" ucap seorang wanita yang baru saja menutup pintu kamar. Lelaki itu menatap lawan bicaranya lekat tanpa menjawab, membuat wanita salah tingkah karena tatapan tersebut. "Ada apa? Kenapa menatapku seolah aku ini punya hutang sih?" tanya wanita tersebut yang sebenarnya hanya untuk menutupi rasa gugupnya. Bimo tidak menjawab, lelaki itu malah bangun dari tempat tidur, lalu segera mendekati wanita itu, membuat sang wanita semakin gugup. "Mas," panggilnya dengan suara lirih. Bimo mendekatinya, melangkah ke belakang gadis itu, dan memeluknya dari belakang, jangan lupakan jika wanita tersebut masih memakan pakaian pengantin. "Apa sayang?" jawabnya menggoda. "Geli Mas," ucapnya saat merasakan ke
Setelah kepergian Miko dan Ratih, Bu Mirna dan Erna kembali bergosip. "Bu, bukankah pernikahan mereka tinggal beberapa hari lagi ya?" tanya Erna. "Ya, terus? Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" "Loh, kok Bu Mirna terlihat santai sekali sih, atau sekarang Bu Mirna berubah pikiran, dan merestui hubungan mereka?" ucap Erna dengan sedikit kesal. "Loh, kok kamu jadi berpikiran seperti itu sih pada ibu Er? Dengar ya, walaupun mereka pada akhirnya sampai menikah, tetap ibu tidak akan biarkan wanita itu hidup bahagia dengan anak ibu," ucap Bu Mirna. "Jadi maksud Ibu, Bu Mirna akan membiarkan mereka menikah? Bukankah sebelumnya Ibu bilang, kalau Ibu berencana untuk menggagalkan pernikahan mereka ya?" tanya Erna bingung. "Awalnya Ibu juga berpikir seperti itu, tetapi jika dipikir-pikir, Miko tidak mungkin mau membatalkan pernikahannya dengan wanita itu, Ibu kenal bagai mana wataknya." ucap Bu Mirna sambil menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Tetapi Bu, aku