Pov SutinahTinggal beberapa menit lagi acara arisan akan berlangsung, sejak tadi aku sudah kayak setrikaan bolak balik menunggu Didik yang katanya akan membawa uang arisan yang akan kubayar sore ini, namun semakin ditunggu tak jua ada tanda-tanda anak sulungku itu datang. Aku meminta Iwan agar menghubungi kakaknya yang mungkin saja masih berada di kantor, akan tetapi aku harus kecewa ternyata Didik sudah lama meninggalkan kantor dan informasi dari teman kantornya bahwa ia akan mampir menjenguk anaknya. Siapa lagi kalau bukan Arthur, anaknya dari Mayang. Perempuan miskin dan hanya lulusan SMP yang sangat ku benci itu. Begitu mengetahui ia mampir ke sana, aku langsung menelponnya dan memintanya untuk pulang segera karena acara arisan akan segera dimulai, dan yang membuatku semakin jengkel karena ia tak menampik jika dirinya memang berada di sana. Pikirku, sekali-kali haru ada shock terapi lagi buat Mayang, biar dia nggak seenaknya membujuk dan menggoda Didik agar mau kembali lagi pad
Part 62 Pov SutinahAku sengaja mengancam anakku, Didik agar menjauhi mantan istrinya karena kami sangat khawatir jika ia akan rujuk, meski proses cerainya sendiri belum juga dimulai. Namun aku yakin jika proses mediasi tidak akan lama lagi terjadi sebab Didik sudah melayangkan gugatan ke pengadilan agama, hanya tinggal menunggu waktunya tiba.Mungkin aku akan dikatakan sebagai Ibu yang egois hanya mementingkan kesenanganku dan adik-adiknya Didik saja, aku tak peduli karena sudah seharusnya Didik sebagai anak sulung melindungi adik-adiknya, apalagi dia sekarang sudah bekerja dan memiliki gaji yang besar hingga mampu memenuhi semua kebutuhan kami sekeluarga. Untuk itulah aku tak ingin lagi Didik kembali pada Mayang, hal itu akan semakin menyenangkan Mayang saja. Salah satu buktinya Didik menguntungkan yakni saat aku membutuhkannya membayar uang arisan yang jelas-jelas dipakai oleh adiknya pun dia mau. Bersyukur sekali melihat Didik meski ada saja keluhan, omelannya namun dia tetap me
Part 63Kata-kata Bu Ida benar-benar membuatku terpojok, apalagi kulihat beberapa ibu-ibu terlihat ikut menertawakanku, hal inilah sebagian kecil yang semakin membenci mantan menantuku itu, Dulu Bu Trisno dan Bu Ida adalah teman baikku, hanya karena Mayanglah semuanya menjadi renggang dan aku lebih banyak menerima perlakuan kedua teman baikku itu dengan meremehkan apa saja ucapan yang ke luar dari mulutku, mereka sudah tak pernah percaya lagi padaku. “Shin, kamu bayarkan dulu uang arisan Farah ya? kalau nggak, kita nggak bisa memulai arisan. Kayaknya kamu masih banyak uang buat menalangi, nggak banyak hanya dua ratus lima puluh ribu aja. Nanti kalau Ibu dapat pasti Ibu ganti.” Janjiku, kulihat sorot mata Shinta mau menolak, tapi aku terus membujuknya dan akhirnya ia pun menurut.“Oke … semuanya sudah lengkap membayar, sekarang giliran kita goncang arisannya, tinggal Bu Ida sama Bu Sutinah yang kebetulan belum dapat.” Tak membutuhkan waktu lama, namaku yang ke luar arisan kali ini.
Part 64 “Kok Ibu malah pura-pura bertanya? Ibu kan yang memaksa Farah supaya tetap bekerja memenuhi kebutuhan semua orang di rumah ini? padahal Ibu tahu kalau Farah tengah hamil muda. Tega betul, Ibu. Mentang-mentang kami nggak punya uang, Ibu seenaknya saja bilang ke Farah kalau nggak kerja, jangan coba makan di rumah ini. Apa begitu cara Ibu memperlakukan menantu yang sudah tidak bisa lagi memberi Ibu uang?” Ya, Tuhan… sandiwara apa yang dimainkan oleh Farah, menantu kesayanganku dulu ini.“Kapan Ibu pernah ngomong begitu, Nak? Ibu hanya bilang ke Farah kalau nggak punya uang, nggak ada kerjaan, nggak usah terlalu banyak keinginan supaya tidak menyusahkan orang di rumah ini terutama Mas Didikmu, kok Farah sampai ngomong begitu.” Tanyaku tak mengerti.“Sudahlah, Ibu nggak usah beralasan lagi. Kalau memang kami menyusahkan Ibu sebaiknya Ibu jangan ngomong begitu, memang Ibu terlalu tega. Nggak heran kalau tidak ada satupun menantu yang cocok sama Ibu.” Aku kaget mendengar Purwanto
Part 65 Apa benar Iwan dan Shinta yang mencuri uangku? Rasanya itu tidak mungkin, sebab selama ini saat Iwan maupun Shinta butuh uang, mereka lebih banyak meminta ke pada Bu Yuli, mamanya Shinta daripada meminta denganku. “Kamu jangan menuduh adekmu sembarangan, nggak mungkinlah adikmu maling. Lagipula Iwan maupun Shinta selalu ada saja uang mereka, selain Iwan masih bekerja, Mamanya Shinta juga rutin mengirimkan uang buat mereka berdua, nggak akan mungkin.” Kataku menjelaskan, aku sendiri ragu jika anak bungsuku itu berani mengambil uang dari tasku.“Kalau Ibu nggak percaya, ya sudahlah nggak apa-apa, sekarang coba Ibu ingat-ingat saja siapa yang sering pinjam baju dan masuk ke kamar orang sembarangan, kecuali Iwan. Hanya Iwan yang punya kebiasaan begitu, sekarang saja sebelum ketahuan, dia langsung menghilang begitu aja. Pikir, Bu. Sebelum Ibu marah-marah karena anak Ibu katanya bukan maling, tapi buktinya belum apa-apa sudah menghilang.” Purwanto meyakinkan. Aku diam dan merasa
Part 66Aku seketika lemas mendengarnya. Apa ini berarti Iwan dan Shinta yang memang mengambil uangku, uang arisan empat juta yang bakal ku belanjakan untuk membeli kebutuhan bulanan di rumah?“Berarti kalian memang pelakunya, kalian yang telah mengambil uang Ibu dari dalam tasnya, ngaku aja kalian.” Purwanto dengan lantang berbicara kali ini.Iwan dan Shinta malah bingung dengan apa yang diteriakan oleh Purwanto. Dengan kepayahan membawa barang belanjaan dan diletakkan persis di depan teras. Akhirnya Iwan membuka mulutnya.“Maksudnya apa? maksud kamu bilang kalau kami ini mencuri uang Ibu di dalam tas, uang apa? kalau ngomong yang jelas kamu.” Iwan nampak kesal terlihat dari mimik wajahnya yang berubah. Begitu juga dengan Shinta.Tak dia pedulikan peluh yang membasahi sebagian dahinya, Shinta memandang Purwanto dengan pandangan tak senang. Siapa juga yang senang jika mendapatkan tuduhan mencuri seperti itu. Iwan dan Shinta yang bereaksi membuatku yakin jika mereka bukan pelakunya.
Part 67 Pov Farah Kehamilan membuatku membenci Ibu Mertuaku mati-matian, karena dia lah yang membuat aku hamil. Berulang kali ia memintaku supaya memberikannya cucu lagi bersamaan setelah Iwan dan Shinta menikah. Lucunya, setelah aku hamil dia terlihat pelit dan ogah-ogahan menuruti mauku. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Shinta. Hal ini membuatku iri. Padahal dulu ia begitu royal padaku.Apalagi sejak tahu ia mendapatkan arisan senilai empat juta, hanya memintanya uang sedikit saja untuk membeli martabak karena keinginan jabang bayi, dia pun tak sudi. “Coba lihat, Pur. Ibumu itu makin hari makin akrab sama Shinta, bahkan sekarang Shinta kalau punya makanan selalu dia bagikan ke Ibu, perhatianmu ke Ibu sudah tidak adalagi semenjak ada Shinta, Ibu kalau ada masakan sekarang lebih banyak mengetuk pintu Shinta ketimbang pintu kamar kita. Hal ini nggak bisa dibiarkan.” Sebut Ku kala itu. Purwanto hanya diam saja menyimak.“Tapi, aku lihat Ibu biasa aja. mungkin itu hanya
Part 68“Kak ada tamu.” Farida melihatku dengan pandangan yang sulit ku artikan. Siapa tamu yang dia maksud? Aku melangkah ke depan, kulihat Shinta berdiri di sana. Ada apa gerangan mantan iras ku ini mendatangiku. Begitu aku sampai di depannya, ia mengukir senyum. Aku membalasnya lalu mempersilahkan duduk di kursi tamu yang baru saja ku beli beberapa hari yang lalu. Ku bersyukur pelan-pelan sudah bisa membeli barang dari hasil usahaku. “Kedatanganku ke sini ingin memesan bolu dalam jumlah banyak terus makanan prasmanan karena mamaku mau buat syukuran buat aku dan Iwan yang sudah tinggal di rumah kembali.” Aku mengerutkan alis. Ia tersenyum.“Mbak nggak usah khawatir, karena aku memang benar-benar ingin pesan untuk acara syukuran, waktu acara nikahan ku waktu itu semua yang Mbak Mayang buat disuka sama tamu, makanya aku mempercayakan semuanya ke Mbak. Kebetulan tadi mama menyuruhku untuk mampir ke sini dan memesan langsung sama Mbak Mayang. Oya ... jadi acara syukuran ini akan dila
Part 90 “Pernikahan siapa yang kamu maksud gagal?” aku sontak menoleh kaget. Purwanto persis di belakangku. Aku harus mencari jawaban segera atas pertanyaannya.“Tadi … itu si Mayang ke sini dan marah-marahin Ibu, katanya dia tak terima kalau sampai pernikahan Emi dengan Syawal sampai gagal, dia menuduh Ibu yang menggagalkan pernikahan adiknya itu. Kalau mau tahu pastinya tanya Ibu deh sana.” Purwanto masih diam di tempatnya terus menatapku penuh kecurigaan, bahkan ia kini memicingkan matanya.Purwanto langsung mengambil handphone dari tanganku dengan cepat, kemudian membaca layar di gawaiku. Di sana kutulis nama Syahrini, aku sengaja menulisnya dengan nama perempuan supaya suamiku bahkan orang di rumah ini tidak ada satupun yang curiga. Benar saja, setelahnya Purwanto mengembalikan handphone ke tanganku.“Ya sudah… aku pikir tadi apa, lagian berita tentang si Mayang itu nggak penting sama sekali.” Sebutnya, aku bisa bernapas lega begitu melihatnya menanggapi dengan santai apa yang k
Part 89Aku menghampiri Emi, adik bungsuku yang terlihat menelungkupkan wajahnya di lengannya, tubuhnya nampak terguncang. Kelihatannya ia sedang menangis. Kubelai rambutnya yang terurai panjang itu, ia belum mau mendongakkan kepalanya.“Mi, Syawal tadi sudah menceritakan semuanya. Apa kamu nggak mau memikirkan ulang apa yang terjadi?” kataku dengan hati-hati. Emi memperbaiki posisinya, tebakanku benar. Ia tengah menangis. “Apalagi yang harus dipikirkan, Kak. Jelas-jelas perempuan itu punya bukti kalau dia memang ada hubungannya dengan Kak Syawal, terus apalagi yang mau dipikirkan dan dia kok masih saja mau mengelak, dasar memang laki-laki selalu begitu. Gayanya aja mau menikah, tapi ujung-ujungnya sudah punya anak dari perempuan lain. Beruntung saja semua ini aku dapati sebelum menikah jadi bisa kuputuskan kalau rencana kami sebaiknya dibatalkan saja.” Terdengar tegas hanya aku tahu Emi masih berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi saja.“Tetap harus kamu pikirkan dengan tenang, de
Part 88 Pov Mayang Dua minggu kemudian Aku bersyukur harapanku dengan kedua adikku akhirnya terwujud. Toko kue sekaligus tempat tinggal kami dengan mudahnya diberikan oleh bank melalui pinjaman yang kami ajukan. Ruko yang kami beli berada di pusat kota, meski harganya fantastis, minimal dengan usaha yang lancar maka kami yakin akan bisa membayarnya. Tentu dengan kerja keras. Hari ini merupakan hari kedua kami membuka toko, awal pembukaan toko kemarin sudah ramai dengan pengunjung, sebab dengan kepandaian dan gerak gesit Farida di media sosial membuat pelanggan berdatangan. “Ya Allah, luar biasa sekali ya, Kak. Aku yakin kalau begini terus ramenya pasti kita akan bisa dengan mudah mencicil membayar pada bank, apalagi toko ini sekalian tempat tinggal kita sehingga memudahkan kita tetap stand by di toko.” Farida menyapaku pagi ini. Aku mengangguk setuju. Sejak dibukanya toko kue, kami menambah satu orang lagi bernama Marlena untuk menjaga toko bersama Farida, sedangkan Kiki dan aku
Part 87Pov Farah Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam yang dijual tak jauh dari rumah, di rumah hanya ada Purwanto dan Sekar, sedangkan Ibu entah ke mana. Mas Didik seperti biasa pergi bekerja.“Pur, kita makan mie ayam yuk.” Ajakku ke padanya. Purwanto yang tengah asik bermain game online sama sekali tak menoleh dan mempedulikanku. Itulah yang membuatku semakin hari semakin bosan padanya. Tak pernah ada niatan di hatinya untuk bergerak mencari pekerjaan dan lebih banyak menggantungkan hidup padaku atau pada Mas Didik.Selama Purwanto tidak bekerja, setiap bulan aku selalu minta jatah pada Mamaku, beruntung Mama tidak keberatan memberikan uang memenuhi kebutuhanku dan Sekar, Punya suami percuma saja, tidak berguna sama sekali.“Ya sudah kamu jaga Sekar, aku mau makan mie ayam di depan sana.” Tetap saja ia tak menoleh dan tak menyahut. Dasar, benar-benar laki-laki tidak ada gunanya. Mataku memperhatikannya selama semenit, tapi aku seperti berbicara dengan patung. Lalu kuputusk
Part 86 Pov DidikTak menyangka, rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Mayang, kehamilan Farah? Dia benar-benar menuduhku telah menghamili Farah sementara hal ini tidak pernah sekalipun keluargaku bahas dengan orang lain, kecuali semuanya ke luar langsung dari mulut istri adikku itu. “Kenapa? Kaget? Karena aku akhirnya tahu gimana busuknya kamu, yang tak lebih dari sampah dengan menghamili adik iparnya sendiri.” Pandangan kilat kemarahan kulihat di mata Mayang. Apa dia cemburu atau memang malah jijik ke padaku.“Kamu salah sangka, aku tak pernah sekalipun menyentuhnya apalagi sampai menghamilinya. Ia sendiri yang mengarang cerita dan membuatnya seakan-akan aku orang yang tertuduh, kamu percayalah bahwa aku masih tetap menjaga hatiku untukmu.” Aku tahu jika Mayang sangat membenciku, membenci semua kelakuanku padanya sejak aku mulai bisa mencari uang. Kuakui aku berubah dan lebih memprioritaskan kebutuhan keluargaku dengan menggapai surga yang berada di telapak
Part 85 “Sebenarnya itu pengajuan saat Saya marah, hari ini Saya datang bersama Ibu Saya ingin meminta maaf dengan Mayang dan ingin meminta agar kami bisa kembali lagi sebagai pasangan suami istri.” Mataku melotot seakan ke luar dari tempatnya. Kok seenaknya Mas Didik berbicara begitu seakan-akan dosa yang ia lakukan padaku dan Arthur dengan begitu mudahnya membuatku memaafkannya lalu menerimanya kembali. Tak semudah itu Fergusso. Betapa selama beberapa bulan ini ia tak berpikir untuk menafkahiku sejak ia mulai bekerja, ia lebih memilih mementingkan urusan keluarganya ketimbang aku dan anak semata wayangnya. Lalu, buat apalagi kami harus menjalin kembali tali pernikahan kami sementara ia sendiri yang membuatnya putus. “Bagaimana, Ibu Mayang. Mungkin apa yang dikatakan penggugat bisa diterima? Atau ada yang ingin Ibu sampaikan.” Tanya petugas yang kutahu bernama Junaedi. “Saya setuju tetap berpisah dengan Pak Didik, soal permintaan maaf tetap akan Saya maafkan hanya untuk kembali
Part 84 “Kaget kamu, kan? nggak menyangka, kan? tapi begitulah kenyataannya aku dan Mas Didik sudah lama berhubungan dan tidak lama lagi aku akan punya anak dari dia.” Kata-kata Farah semakin di luar nalar, benar-benar membuatku syok. Meski aku memilih berpisah dari Mas Didik, namun ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Farah masih tersisa rasa perih di hatiku mengetahui kenyataan ini. Rasanya tak adalagi yang kulakukan di sini, sebaiknya aku pergi. Lebih baik menyisih sebentar demi kewarasan hatiku menghadapi orang-orang toxic yang ada di rumah mantan Ibu Mertuaku ini. Entah aku salah atau apa yang disampaikan oleh farah memang benar adanya, yang jelas aku harus pergi secepatnya.Segera kutarik tangan Farida mengajaknya meninggalkan tempat ini. Setelahnya tanpa berkata apa-apa lagi kami pun pergi. Sepanjang perjalanan aku dan Farida lebih banyak diam. “Kak, kamu yakin apa yang dikatakan oleh Farah tadi, apa benar Mas Didik menghamili Farah. Kok makin aneh-aneh keluarga itu.”
Part 83Pov Mayang Aku kesal karena panggilan sidang dari pengadilan agama yang masuk sesi pertama yakni sidang mediasi, justru tak dihadiri oleh Mas Didik dan sidang harus ditunda. Ketidakhadirannya membuatku berpikir apakah dia memang sengaja ingin mengulur-ulur perpisahan kami atau memang dia benar-benar sedang berhalangan. Pengadilan agama menunda hingga dua pekan lagi, dan sekarang ini sudah berjalan seminggu aku berusaha menyibukkan diri sehingga saat harinya akan digelar, aku lebih tenang. “Kak, jam delapan ini ada pengantaran tempat Bu Trisno kan? Biar aku aja yang antar ya?” pinta Emi membuat aku, Farida juga Kiki kompak tertawa. Kami langsung tahu maksud perkataannya.“Cieee … ada yang sibuk PDKT sama calon mertua nih, ya udah kamu aja yang antar,” godaku, Emi tersipu malu. Wajah putih pucat nya mendadak merona.“Ya nggaklah, Kak. Aku sekalian mau catat pesanan Bu Ida, katanya dia mau pesan untuk acara apa gitu aku lupa,” sebut Emi, aku terkekeh melihat perubahan wajahny
Part 82 “Sekarang … Apa Ibu masih percaya kalau Farah hamil karena aku yang melakukannya?” pertanyaan Didik membuatku terdiam. Meski aku yakin bahwa Didik tidak melakukannya, hanya saja rasa bimbang tetap juga ada, jadi bingung memikirkannya.“Entahlah, Nak. Ibu juga masih belum pasti. Purwanto begitu yakin jika kamu adalah Bapak dari anak yang dikandung oleh istrinya, Ibu masih belum bisa menjawab soal itu. Jika memang kamu bersikeras tak melakukannya, suatu saat pasti akan terbongkar juga yang sebenarnya."Didik dan aku kembali melanjutkan makan kami yang tadi sempat tertunda, hanya sebentar saja Purwanto dan Farah datang. Begitu melihat kami berdua makan, mereka tertawa pelan.“Kasihan … harus makan gorengan yang dijual di pinggir jalan, kayak kami dong, Mas. Barusan makan di restoran.” Suara Purwanto membuat Didik terlihat kesal. Matanya mendelik melihat ke arah menantu dan anakku itu.“Lebih baik makan gorengan di pinggir jalan tapi jelas pakai uang sendiri, ketimbang makan