“Ngapain ibu repot-repot minta bantuannya, sekarang itu jaman sudah canggih. Semua resep makanan bisa langsung dilihat di Youtube kemudian tinggal dipraktekkan, Beresss,” Ku dengar suara Farah di teras, memberi saran ke ibu. Aku yakin sekali dia pasti ingin mencari resep kue bebongko pesanan Bu Trisno.
“Oya sudah, gimana caranya. Bantuin Ibu ya, Rah… Cuma kamu aja menantu harapan ibu.”“Tenang, Bu. Ibu ketik aja kue apa namanya.” Farah memperlihatkan ponselnya kepada ibu.Aku yang mengajak Arthur bermain di ruang tamu berusaha cuek. Meski sesekali aku melihat dari kaca jendela yang menjadi pembatas antara ruang tamu dengan teras.“Videonya terlalu cepat, Rah. Ibu bingung jadinya.” Mereka pun menonton video berulang kali.“Besok ibu praktek dulu, jadi begitu buat yang 200 bungkus nanti hasilnya nggak mengecewakan, memangnya ibu mau nanti beda rasanya dengan yang dibuat Mbak Mayang.” Ibu menggelengkan kepalanya.“Nah, makanya ibu besok beli bahannya terus praktek.”“Ya, besok ibu mulai praktek, semoga saja langsung jadi.” Harap Ibu dengan pandangan bingung ke arah menantu kesayangannya. Aku menahan tawa melihatnya.***Pagi-pagi sekali, Ibu sudah pulang dari pasar membeli bahan-bahan kue bebongko yang akan dipraktekkannya hari ini. Terlihat ibu pulang diantar oleh ojek, dengan menenteng dua tas plastik besar. Ibu tergopoh-gopoh membawa belanjaan menuju ke dapur. Ia melintas melewatiku tanpa berkata apa-apa. Aku pun memilih cuek.Aku yang baru saja selesai mengepel lantai, harus menahan napas ketika melihat jejak kakinya yang berlumpur di lantai. Mau tak mau aku harus mengepel kembali sepanjang jalannya ke dapur. Bukan hanya Ibu, Farah dan juga adik iparku kerapkali seakan-akan sengaja mengotori lantai begitu melihat aku baru selesai menyapu atau mengepel.Begitu aku akan menjemur pakaian, kulihat ibu sedang menjemur daun pisang. Dan matanya melirik sinis padaku.‘Dia pasti masih marah karena aku tak membantunya’ batinku.Setelah semua pekerjaan selesai, aku berniat akan pergi mandi namun tiba-tiba Ibu berteriak kencang. Aku berlari menghampirinya.Kulihat Ibu sedang menyiram adonan tepung dengan air panas tapi hasilnya, tepungnya mengambang dan tak menyatu sehingga bentuk adonan menjadi bergerindil tak jelas, karena kulihat tak ada apa-apa, aku pun kembali melanjutkan rencana membersihkan badanku tadi.Hanya butuh waktu 15 menit, aku sudah selesai dengan ritual mandiku. ‘Saatnya melihat Arthur, apa dia sudah bangun atau belum’ kataku dalam hati. Aku melihat Arthur sedang bermain dengan bapaknya.“Tumben sudah pulang, Mas. Bukannya tadi Mas mau membantu bapak di kebun.” Aku mengeringkan rambut dengan handuk.“Belum ada bibit baru jadi masih menunggu, lagian di kebun tadi hanya menyiapkan plastik media tanamnya saja dan sudah selesai, mungkin lusa baru kembali menanam.” Terangnya seraya menggendong anaknya.“Jagain Arthur ya, aku siapkan minuman dulu buat Mas.” Aku berjalan menuju dapur. Kulihat Ibu masih berusaha membuat kue bebongko. Tapi ada yang salah dengan prosesnya, namun aku berusaha cuek dan fokus membuat kopi buat Mas Didik.Aku menyerahkan kopi hitam dengan sedikit gula kesukaan Mas Didik, lalu menggendong Arthur membawanya ke teras untuk melihat pemandangan di luar rumah.Kebiasaan Arthur setiap pagi dan sore hari menyukai melihat pemandangan di luar rumah apalagi jika ada kendaraan yang lewat, kakinya bergerak lincah dan tersenyum lebar.Arthur memang lagi lucu-lucunya dan dia menjadi penyemangatku juga menjadi penghiburku disaat aku sedih karena perlakuan ibu mertuaku. Tak lama Mas Didik menyusul kami duduk di teras.“Kasihan Ibu, Mayang. Ibu sudah menerima uang dari Ibu Trisno untuk pesanan lusa, kalau kamu nggak membantunya jadi siapa lagi?” Aku sontak menoleh. Pura-pura cuek. Pasti Ibunya menyuruh membujukku agar mau membuatkan kue pesanan Bu Trisno.“Kata Ibu, kalau memang kamu mau membuatkan pesanan buat besok, kamu akan digaji duit lima puluh ribu, Gimana kamu mau kan?” Mataku melotot sempurna.“Buat kue 200 bungkus terus cuma dikasih lima puluh ribu, yakin segitu Mas? Lebih baik aku jagain Arthur!” Suara ku mulai meninggi.Sejak Arthur sakit dan Ibu cuek membuatku tak tahan melihat perlakuannya. Apalagi dia lebih memilih membawa Sekar ke rumah sakit ketimbang sekedar meminjamkan uang buat kami. Rasanya dada ini sesak sekali melihat orang yang kuanggap orang tua tapi perlakuannya tak mewakili sama sekali.Kami di rumah sakitpun, dia tak sudi menjenguk. Mataku mulai terbuka bahwa ibu memang harus mendapatkan pelajaran atas apa yang ia lakukan terhadap kami, ia harus tahu bahwa ia tetap bergantung pada kami yang sama sekali tak ada harga di matanya itu.“Ingat Mayang, kita ini masih numpang makan sama Ibu, kalau nggak karena Ibu juga kita mau makan apa.” Aku menghela napas panjang.Emosiku yang tadinya memuncak, mulai mereda. Mas Didik benar, meski menjengkelkan Ibu juga yang berbelanja keperluan dapur setiap harinya.“Terus bagaimana dengan Arthur? Siapa yang mau jagain, pesanan kue itu nggak sedikit, Mas.” Suaraku melunak sembari mencium pipi anakku.“Besok kan Mas masih di rumah, jadi biar Mas yang bantuin jaga Arthur dan kamu fokus buat kue ya.” Pintanya lagi sesekali menyeruput kopinya. Meski kesal, akhirnya aku mengiyakan.“Ya sudah, kamu lihat Ibu di dapur, dia daritadi praktek bikin kue nggak jadi-jadi.” Mas Didik mengambil Arthur dari gendonganku. Dengan langkah malas, aku ke dapur.“Mayang, bantuin Ibu besok ya, Nak. Ibu betul-betul nggak bisa buat kue ini susah.” Ujar Ibu begitu melihatku menghampirinya.‘Begitu ada maunya baru panggil-panggil nak, biasanya bahasa makian yang ku terima’ Aku membatin.“Yang gagal ini biar dijadikan bubur sum sum aja Bu, besok baru Mayang buatkan pesanan untuk Ibu Trisno.” Dia langsung mengangguk dengan tersenyum sumringah.***Pukul tujuh pagi, aku sudah selesai memanggang daun pisang dan mulai memotong serta membentuknya menjadi bungkus bebongko. Setelahnya aku mulai mengadon kue, memotong gula merah dan menyiapkan air kukusan. Semua kulakukan sendiri dengan cepat, karena dandangan punya Ibu hanya muat 20 bungkus sekali kukus. Artinya aku harus mengukus sepuluh kali baru bisa memenuhi pesanan.Membuat kue adalah keahlian yang diturunkan almarhum mamaku. Mamaku dulu setiap hari berjualan bermacam-macam kue dan banyak pelanggannya karena rasa kuenya sangat enak.Aku pun dikenal sebagai anak si Tukang kue. Aku bersyukur, karena sering membantu mama membuatku turut pandai membuat segala macam jenis kue, termasuk kue bebongko ini.“Assalamualaikum, Ibumu ada.” Ibu Trisno muncul tiba-tiba saat aku sedang sibuk menuangkan adonan ke daun. Aku menoleh dan tersenyum.“Ibu biasanya jalan kalau jam segini, Bu. Kira-kira kembali siang atau sore nanti.” Aku keceplosan dengan kebiasaan ibu mertuaku.“Lohh kalau Ibumu jalan sampai jam segitu, berarti yang buat kue itu kamu?” Aku terpaksa mengangguk.“Terus waktu acara pengajian kemarin yang buat kue kamu juga?” Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Bu Trisno nampak kaget dan menggelengkan kepalanya, tak habis pikir.“Bukan main, Ibu Sutinah ini seakan-akan dia yang pandai bikin kue tapi ternyata cuma mantunya yang kerjain, mana sendirian lagi nggak dibantu, Nggak nyangka ya ibu mertuamu seperti itu.” Aku diam saja mendengarkan., tanganku masih sibuk dengan pesanan Bu Trisno.Selama tiga jam Ibu Trisno menemani aku membuat kue, dia dengan ikhlas membantu menyusun kue dalam dandang kukusan juga mengangkatnya, kemudian membantuku menyusun kue yang sudah masak dalam keranjang. Selama itu pula dia mengajakku bercerita banyak hal. Bu Trisno sangat baik orangnya.“Lain kali kalau Ibu ada hajatan, nanti biar Ibu langsung pesan sama kamu aja. Biar nanti ibu-ibu yang lainnya juga Saya kasih tau,” Dia lalu menyerahkan uang tiga ratus ribu kepadaku.Aku bingung dan bertanya. “Ini buat apa, Bu,”“Ini buat beli susu anak kamu, Arthur. Diterima aja ya, ini rejeki anakmu.” Katanya dan setelahnya ia menelpon anaknya untuk membawa kue bebongko ke dalam mobil. Aku sangat bersyukur pekerjaan menjadi cepat selesai ka
Pagi Pukul 6.30, aku baru selesai mengangkat air untuk memandikan Arthur lalu menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya setelah mandi di tempat tidur. Arthur masih tertidur pulas. Iwan kembali masuk ke dalam kamar kami. Mas Didik sudah duduk di tepi ranjang. Aku dan Mas Didik memperhatikan Iwan memasukkan baju yang dipinjamnya kemarin ke dalam lemari. Dengan tanpa bicara sepatah katapun, dia berlalu dari hadapan kami. Aku mengambil baju yang menggumpal yang ditaruhnya ke dalam lemari. Astagfirullah. Baju yang dipinjamnya kemarin dalam keadaan kotor dan dia dengan santainya memasukkannya kembali ke dalam lemari. Terbuat dari apa otak manusia satu itu.“Baju kotornya biar Mas nanti yang cuci sekalian baju-baju Arthur ya.” Kata suamiku mengambil baju tadi di tanganku. Di rumah ibu mertuaku memang tidak punya mesin cuci jadi semua pakaian dicuci secara manual.“Benar-benar bikin stres kalau lama-lama tinggal di sini, Sabar… sabar Mayang, ingat kamu masih numpang dan harus lebih banyak
“Ibu bangun tidur, cucian sudah dalam keadaan seperti itu, mau membela istri tercintamu itu, kalian itu sama saja pemalas, bisanya mikirkan makan aja sedangkan kerjaan terbengkalai nggak diurus dengan baik. Baru juga urusan rumah sudah tidak bisa diatur apalagi mau mikir terima pesanan, yakin itu bisa?” Kata Ibu dengan berkacak pinggang. Aku tak mempedulikannya.Selesai memungut pakaian, aku langsung menghampirinya. Dan meletakkan begitu saja pakaian kotor di kursi teras. Ia langsung melotot. Aku cuek berlalu dari hadapannya lalu masuk ke dalam kamar. Mas Didik menyusul ku.Tak lama kudengar suara pedagang sayur keliling mampir di depan rumah, ibu-ibu tetangga mulai berdatangan. Samar-samar kudengar Ibu membicarakanku. Aku langsung mengintip dari jendela kaca nako di ruang tamu yang berbatasan langsung dengan teras rumah. “Saya ini sudah terlalu sabar menghadapi istri si Didik, terlalu pemalas dan joroknya minta ampun. Coba lihat tuh, Bu … masa pakaian seperti itu dianggap bersih, je
Kedatangan ku bersama suami dan anakku disambut kedua adikku, Farida dan Emi. Mereka dengan antusias membantu kami pindah ke tempat tinggal yang baru. Rumah Eni memang tak sebesar rumah mertuaku. Rumah dengan dua kamar dan dindingnya masih belum diplester, masih kelihatan susunan batu batanya. Lantainya juga masih semen dan belum berkeramik. Aku suka karena rumahnya persis di depan sekolahan. Dengan pelataran yang cukup luas, membuat ku berpikir akan berjualan makanan untuk anak-anak sekolah.“Tempatnya strategis kalau kakak mau berjualan, persis depan SD lagi, menurut kakak bagaimana tempatnya bagus tidak?” Aku hanya bisa manggut-manggut saja. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan tempat sebagus ini dan gratis pula.“Kakak besok mau kerjakan orderan untuk jumat berkah sama orderan snack rabu depan, Jadi Kakak fokus dulu kerjakan orderan setelah itu baru pikirkan mau jualan apa di depan nanti,”“Aku masih libur jualan, Kak. Bisalah aku bantu-bantu kakak siapkan kotakann
“Untunglah, Mas. Akhirnya kamu bisa bekerja kembali, semoga saja apa yang kita kerjakan menjadi berkah dan pahala ya, Mas.” Kataku sambil menyiapkan pakaian yang akan dikenakan di hari pertamanya kembali bekerja.“Ya, Dek. Oya kamu nggak apa-apa kan, seandainya sewaktu-waktu Mas ditugaskan ke luar daerah karena perusahaan ini ada cabangnya di beberapa daerah.” Meski berat, Aku pun mengangguk. Toh, ini demi kebaikan kami bersama.“Nggak apa-apa kok, Mas. Ada Farida dan Emi yang bisa menemani aku dan Arthur saat kamu ada tugas ke luar daerah, yang terpenting kamu kerjanya baik-baik aja, Mas. Ingat aja Mas cari kerja itu sulit, kita sudah sangat bersyukur akhirnya kamu mendapat pekerjaan,” pintaku, dia mengangguk.“Ya, Dek. Insha Allah bila pekerjaan lancar, aku berniat kita pelan-pelan membangun rumah dan buat tabungan masa depan Arthur.” Aku mengaminkan perkataannya.“Aku udah buatkan sarapan, sebaiknya kita sarapan dulu sebelum kamu berangkat bekerja, Mas.” Bersyukur selama berjualan
“Dia ngomong begitu ada siapa aja, Mbak,” “Hampir semua ibu-ibu tadi ngumpul karena lagi beli sayur sama Pakle dan bicaranya itu meyakinkan, makanya aku ke sini langsung tanyain kamu, supaya jelas infonya itu gimana,” Meski baru dua minggu aku tinggal di kawasan ini tapi aku paham dengan Kiki, tetanggaku bak Wartawan ini selalu mau tahu apa saja berita terupdate seputar lingkungan kami.Hampir semua ibu-ibu di lingkungan kami ini selalu menghabiskan waktu untuk berkumpul sedangkan aku lebih memilih mengurus urusan rumah, mengurus Arthur, suami dan jualanku saja. “Kalau memang aku mencuri, kenapa dia nggak melaporkan sekalian aku ke Kantor Polisi, Mbak. Begitu juga dengan caraku jualan apa memang aku jorok, kamu bisa langsung ke dapurku supaya kamu bisa dapat kepastian informasi terbaru, gosip receh kayak gini paling malas aku menanggapi … Tapi kalau terus-terusan aku digosip yang nggak benar nanti aku tuntut balik dengan pencemaran nama baik.” Kesal Ku sudah di ubun-ubun. Kiki terl
Sepuluh menit berbicara dengan bapak, endingnya membuat aku membatalkan melabrak ibu. Dan memilih tetap fokus berjualan untuk besok pagi. Kami merubah rencana berjualan secara online dan Farida siap mengantarkan pesanan ke pembeli.Berjualan online memang tak semudah yang kami bayangkan, kami harus benar-benar pintar berpromosi mencari pembeli, menampilkan gambar yang bagus juga sangat penting. Hari ini kami memposting olahan sosis dan gorengan lainnya hampir lima jam, hanya satu orang yang membeli. Kami tetap fokus menunggu calon pembeli. “Assalamualaikum.” Aku sontak menoleh. Melihat Ibu Trisno bersama dua orang temannya yang tak kukenal.“Waalaikum salam.” “Oya Mayang, ini teman-teman Ibu yang mau pesan catering sama kamu, mereka berdua ini sudah merasakan rasa masakan kamu, rendang daging sama soto banjar itu bikin kangen kata mereka.” Aku tersenyum mendengarnya.Makanan sedekah jumat yang kubuat untuk pesanan Ibu Trisno setiap minggunya selalu berubah-ubah menunya yang kuolah.
“Kamu sudah siap, Dek?” tanya Mas Didik saat melihatku menata rambut di depan cermin. Setelahnya aku berdandan, sejak hasil jualanku meningkat secara perlahan aku mulai membeli pakaian tidak hanya untuk suami, Arthur dan juga diriku tapi juga membeli kosmetik akhirnya terwujudkan.Semalam suamiku gajian, dengan gajinya nyaris tiga juta per bulan benar-benar sangat kusyukuri. Selama kami pindah rumah, kami benar-benar mendapatkan berkah yang luar biasa. Arthur yang berusia hampir lima bulan juga sudah kubelikan gendongan yang dijual pada pedagang online, tidak lagi menggunakan kain jarik.Alhamdulillah saat akan ke rumah ibu mertuaku, keadaan kami jauh lebih baik ketimbang kami pertama kali meninggalkan rumahnya waktu itu. Sesuai permintaan Mas Didik, di hari minggu kami ke rumah ibu. Lagi pula aku tak berjualan dan Mas Didik juga libur bekerja. Aku juga meminjam sepeda motor adikku, Farida untuk dipakai mengunjungi keluarga suamiku itu. Sebelum sampai di rumah ibunya, kami menyemp
Part 95 Pov Mayang“Kasihan Farah, Mbak Mayang. Setelah Mamanya meninggal malah Ia ikut menyusul meninggal bunuh diri dengan memotong nadi tangannya karena tak tahan menerima hinaan dari anak-anak sekitar rumahnya kalau wajahnya rusak akibat terkena luka bakar waktu masih di rumah Ibu Sutinah, setelah itu dia diceraikan sama suaminya. Katanya Farah ketahuan menggadaikan rumah Ibu Sutinah dan sekarang Ibu Sutinah bersama Didik dan Pur katanya mengontrak rumah kecil di pinggiran kota, lengkap sudah penderitaan keluarga Ibu Sutinah akibat menantunya itu. Syukur saja Iwan sama Shinta tidak bernasib sama.” Bu Trisno menyampaikan kabar duka itu saat ia bertandang ke rumah untuk membicarakan persiapan pernikahan Syawal dan Emi yang akan digelar dua hari lagi.Mungkin ini terdengar gila tapi Allah SWT sudah mengatur semuanya, aku yang dulunya dizolimi oleh orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku, satu persatu seakan mendapatkan karma atas apa yang sudah mereka lakukan. Farah yang begit
Part 94 “Kalau tidak, berarti kalian harus mengosongkan rumah ini, karena Ibu Farah sudah menggadaikan rumah ini dengan memberikan sertifikat rumah pada bos kami. Dia juga sudah menerima uang dua ratus juta tiga bulan yang lalu.” Mataku melotot mendengarnya, masalah apalagi yang dilakukan oleh Farah kali ini. “Ya Allah, bagaimana sudah ini, Dik, Pur. Farah memang betul-betul keterlaluan menjadi menantu bisanya hanya menyusahkan saja. Huhuhuuu.” Ibu menangis sesenggukan begitu tahu rumah yang kami tempati sekarang sudah sepenuhnya dikuasai oleh rentenir.“Apa kalian punya bukti kalau Farah memang yang menggadaikan rumah ini pada bos kalian?” Dua orang penagih utang tersebut malah tertawa. Setelahnya salah satu memperlihatkan foto copy sertifikat dan tanda bukti tanda tangan Farah di sana menyetujui syarat-syarat pinjaman uang dengan jaminan sertifikat rumah.Aku, Pur juga Ibu sudah tidak bisa berbuat banyak. Kami benar-benar dipecundangi oleh Farah. Apalagi Purwanto, ia merasa ikut
Part 93“Terus, bagaimana dengan Mas Didik? Apa Mbak memaafkannya juga?” Deggg. Nama itu lagi, rasanya seharian ini sudah beberapa kali teringat akan dirinya. Orang yang sudah mengisi hidupku dalam beberapa tahun ini, kalau ditanya apakah aku mencintainya? Ya aku sangat mencintainya, hanya begitu banyak luka yang ia torehkan ke padaku sehingga aku memilih sebisa mungkin pergi jauh dari kehidupannya, meski saat mediasi pada proses perceraian kami, ia kekeh tidak mau berpisah. Aku memutuskan menjauh agar dapat menjaga kewarasan hatiku. “Lho, Mbak malah melamun.” Aku tersenyum malu ketika Iwan memergoki aku sedang melamun karena pertanyaannya.“Aku juga sudah memaafkan Mas mu, bahkan Ibumu. Bagiku yang lalu biarlah menjadi pengalaman berharga saja. Oya kalian tadi ke sini aku pikir mau pesan sesuatu. Mau bolu atau malah rendang daging saja.” Ujarku cepat mengalihkan topik pembicaraan.Malas membahas hal yang lampau.“Oya hampir lupa, Shinta maunya Mbak Mayang buatkan nasi dengan daging
Part 92 Pov Mayang Pagi sekali aku dan kedua adikku sudah mulai bersiap membuka toko, kegiatan kami setiap harinya seperti ini. Tiba-tiba saja mobil Syawal berhenti di halaman dan Emi yang semula ada di depan menggendong Arthur melihat pemandangan segera masuk. Aku tahu jika Emi masih menghindar berbicara dengan calon suaminya tersebut. Persoalan perempuan yang mengaku sebagai kekasih Syawal membuat hubungan adikku dengan Syawal seketika renggang. Emi sudah membatalkan pernikahan, hanya saja aku senang dengan kegigihan Syawal ingin meraih hati adikku kembali, kadang aku membayangkan jika saja Mas Didik berlaku begitu padaku, mungkin saja kami masih bersama sampai saat ini. Tapi, ya sudahlah semua hanya tinggal kenangan sekarang. Bahkan aku tinggal menunggu ketuk palu saja.“Kak, aku cuma mau bilang kalau perempuan yang mengaku kekasihku itu ditangkap semalam bersama orang yang menyuruhnya, sebetulnya semalam dia ditangkap karena petugas kepolisian sedang menggerebek tempat perjudia
Part 91Kulihat handphone di tangan Purwanto, segera kuambil dengan cepat dan membuka layar lalu mencari kamera dan menghadapkan posisi kamera ke arah depan, persis ke wajahku. Begitu aku melihat penampakan wajahku, handphone Purwanto sampai terjatuh dari tanganku. Apa aku tak salah lihat?Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku. Wajahku sudah seperti monster yang menyeramkan. Bagaimana bisa Purwanto tak terkejut melihatku? Apa dia menahan tawa agar tak membuatku malu, bentuk mata yang kurasakan perih kelopaknya berkeriput sehingga bola mataku terlihat mau ke luar dari tempatnya. Selain itu wajahku menghitam dan mengerut di beberapa tempat, selain itu bentuk mulutku terasa miring dan tidak berada di tempat seharusnya. Aku berusaha mengingat dan mencerna apa yang sudah terjadi padaku, kenapa gara-gara api yang membakar rambut juga membuat kobaran api di wajahku membuat wajahku sulit dikenali lagi. Tamat riwayatku.Habis semua sudah kecantikan yang dulunya aku banggakan, aku melihat kembali
Part 90 “Pernikahan siapa yang kamu maksud gagal?” aku sontak menoleh kaget. Purwanto persis di belakangku. Aku harus mencari jawaban segera atas pertanyaannya.“Tadi … itu si Mayang ke sini dan marah-marahin Ibu, katanya dia tak terima kalau sampai pernikahan Emi dengan Syawal sampai gagal, dia menuduh Ibu yang menggagalkan pernikahan adiknya itu. Kalau mau tahu pastinya tanya Ibu deh sana.” Purwanto masih diam di tempatnya terus menatapku penuh kecurigaan, bahkan ia kini memicingkan matanya.Purwanto langsung mengambil handphone dari tanganku dengan cepat, kemudian membaca layar di gawaiku. Di sana kutulis nama Syahrini, aku sengaja menulisnya dengan nama perempuan supaya suamiku bahkan orang di rumah ini tidak ada satupun yang curiga. Benar saja, setelahnya Purwanto mengembalikan handphone ke tanganku.“Ya sudah… aku pikir tadi apa, lagian berita tentang si Mayang itu nggak penting sama sekali.” Sebutnya, aku bisa bernapas lega begitu melihatnya menanggapi dengan santai apa yang k
Part 89Aku menghampiri Emi, adik bungsuku yang terlihat menelungkupkan wajahnya di lengannya, tubuhnya nampak terguncang. Kelihatannya ia sedang menangis. Kubelai rambutnya yang terurai panjang itu, ia belum mau mendongakkan kepalanya.“Mi, Syawal tadi sudah menceritakan semuanya. Apa kamu nggak mau memikirkan ulang apa yang terjadi?” kataku dengan hati-hati. Emi memperbaiki posisinya, tebakanku benar. Ia tengah menangis. “Apalagi yang harus dipikirkan, Kak. Jelas-jelas perempuan itu punya bukti kalau dia memang ada hubungannya dengan Kak Syawal, terus apalagi yang mau dipikirkan dan dia kok masih saja mau mengelak, dasar memang laki-laki selalu begitu. Gayanya aja mau menikah, tapi ujung-ujungnya sudah punya anak dari perempuan lain. Beruntung saja semua ini aku dapati sebelum menikah jadi bisa kuputuskan kalau rencana kami sebaiknya dibatalkan saja.” Terdengar tegas hanya aku tahu Emi masih berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi saja.“Tetap harus kamu pikirkan dengan tenang, de
Part 88 Pov Mayang Dua minggu kemudian Aku bersyukur harapanku dengan kedua adikku akhirnya terwujud. Toko kue sekaligus tempat tinggal kami dengan mudahnya diberikan oleh bank melalui pinjaman yang kami ajukan. Ruko yang kami beli berada di pusat kota, meski harganya fantastis, minimal dengan usaha yang lancar maka kami yakin akan bisa membayarnya. Tentu dengan kerja keras. Hari ini merupakan hari kedua kami membuka toko, awal pembukaan toko kemarin sudah ramai dengan pengunjung, sebab dengan kepandaian dan gerak gesit Farida di media sosial membuat pelanggan berdatangan. “Ya Allah, luar biasa sekali ya, Kak. Aku yakin kalau begini terus ramenya pasti kita akan bisa dengan mudah mencicil membayar pada bank, apalagi toko ini sekalian tempat tinggal kita sehingga memudahkan kita tetap stand by di toko.” Farida menyapaku pagi ini. Aku mengangguk setuju. Sejak dibukanya toko kue, kami menambah satu orang lagi bernama Marlena untuk menjaga toko bersama Farida, sedangkan Kiki dan aku
Part 87Pov Farah Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam yang dijual tak jauh dari rumah, di rumah hanya ada Purwanto dan Sekar, sedangkan Ibu entah ke mana. Mas Didik seperti biasa pergi bekerja.“Pur, kita makan mie ayam yuk.” Ajakku ke padanya. Purwanto yang tengah asik bermain game online sama sekali tak menoleh dan mempedulikanku. Itulah yang membuatku semakin hari semakin bosan padanya. Tak pernah ada niatan di hatinya untuk bergerak mencari pekerjaan dan lebih banyak menggantungkan hidup padaku atau pada Mas Didik.Selama Purwanto tidak bekerja, setiap bulan aku selalu minta jatah pada Mamaku, beruntung Mama tidak keberatan memberikan uang memenuhi kebutuhanku dan Sekar, Punya suami percuma saja, tidak berguna sama sekali.“Ya sudah kamu jaga Sekar, aku mau makan mie ayam di depan sana.” Tetap saja ia tak menoleh dan tak menyahut. Dasar, benar-benar laki-laki tidak ada gunanya. Mataku memperhatikannya selama semenit, tapi aku seperti berbicara dengan patung. Lalu kuputusk