“Untunglah, Mas. Akhirnya kamu bisa bekerja kembali, semoga saja apa yang kita kerjakan menjadi berkah dan pahala ya, Mas.” Kataku sambil menyiapkan pakaian yang akan dikenakan di hari pertamanya kembali bekerja.“Ya, Dek. Oya kamu nggak apa-apa kan, seandainya sewaktu-waktu Mas ditugaskan ke luar daerah karena perusahaan ini ada cabangnya di beberapa daerah.” Meski berat, Aku pun mengangguk. Toh, ini demi kebaikan kami bersama.“Nggak apa-apa kok, Mas. Ada Farida dan Emi yang bisa menemani aku dan Arthur saat kamu ada tugas ke luar daerah, yang terpenting kamu kerjanya baik-baik aja, Mas. Ingat aja Mas cari kerja itu sulit, kita sudah sangat bersyukur akhirnya kamu mendapat pekerjaan,” pintaku, dia mengangguk.“Ya, Dek. Insha Allah bila pekerjaan lancar, aku berniat kita pelan-pelan membangun rumah dan buat tabungan masa depan Arthur.” Aku mengaminkan perkataannya.“Aku udah buatkan sarapan, sebaiknya kita sarapan dulu sebelum kamu berangkat bekerja, Mas.” Bersyukur selama berjualan
“Dia ngomong begitu ada siapa aja, Mbak,” “Hampir semua ibu-ibu tadi ngumpul karena lagi beli sayur sama Pakle dan bicaranya itu meyakinkan, makanya aku ke sini langsung tanyain kamu, supaya jelas infonya itu gimana,” Meski baru dua minggu aku tinggal di kawasan ini tapi aku paham dengan Kiki, tetanggaku bak Wartawan ini selalu mau tahu apa saja berita terupdate seputar lingkungan kami.Hampir semua ibu-ibu di lingkungan kami ini selalu menghabiskan waktu untuk berkumpul sedangkan aku lebih memilih mengurus urusan rumah, mengurus Arthur, suami dan jualanku saja. “Kalau memang aku mencuri, kenapa dia nggak melaporkan sekalian aku ke Kantor Polisi, Mbak. Begitu juga dengan caraku jualan apa memang aku jorok, kamu bisa langsung ke dapurku supaya kamu bisa dapat kepastian informasi terbaru, gosip receh kayak gini paling malas aku menanggapi … Tapi kalau terus-terusan aku digosip yang nggak benar nanti aku tuntut balik dengan pencemaran nama baik.” Kesal Ku sudah di ubun-ubun. Kiki terl
Sepuluh menit berbicara dengan bapak, endingnya membuat aku membatalkan melabrak ibu. Dan memilih tetap fokus berjualan untuk besok pagi. Kami merubah rencana berjualan secara online dan Farida siap mengantarkan pesanan ke pembeli.Berjualan online memang tak semudah yang kami bayangkan, kami harus benar-benar pintar berpromosi mencari pembeli, menampilkan gambar yang bagus juga sangat penting. Hari ini kami memposting olahan sosis dan gorengan lainnya hampir lima jam, hanya satu orang yang membeli. Kami tetap fokus menunggu calon pembeli. “Assalamualaikum.” Aku sontak menoleh. Melihat Ibu Trisno bersama dua orang temannya yang tak kukenal.“Waalaikum salam.” “Oya Mayang, ini teman-teman Ibu yang mau pesan catering sama kamu, mereka berdua ini sudah merasakan rasa masakan kamu, rendang daging sama soto banjar itu bikin kangen kata mereka.” Aku tersenyum mendengarnya.Makanan sedekah jumat yang kubuat untuk pesanan Ibu Trisno setiap minggunya selalu berubah-ubah menunya yang kuolah.
“Kamu sudah siap, Dek?” tanya Mas Didik saat melihatku menata rambut di depan cermin. Setelahnya aku berdandan, sejak hasil jualanku meningkat secara perlahan aku mulai membeli pakaian tidak hanya untuk suami, Arthur dan juga diriku tapi juga membeli kosmetik akhirnya terwujudkan.Semalam suamiku gajian, dengan gajinya nyaris tiga juta per bulan benar-benar sangat kusyukuri. Selama kami pindah rumah, kami benar-benar mendapatkan berkah yang luar biasa. Arthur yang berusia hampir lima bulan juga sudah kubelikan gendongan yang dijual pada pedagang online, tidak lagi menggunakan kain jarik.Alhamdulillah saat akan ke rumah ibu mertuaku, keadaan kami jauh lebih baik ketimbang kami pertama kali meninggalkan rumahnya waktu itu. Sesuai permintaan Mas Didik, di hari minggu kami ke rumah ibu. Lagi pula aku tak berjualan dan Mas Didik juga libur bekerja. Aku juga meminjam sepeda motor adikku, Farida untuk dipakai mengunjungi keluarga suamiku itu. Sebelum sampai di rumah ibunya, kami menyemp
“Ya Allah, Bu. Teganya juga Ibu sampai ngomong begitu. Mereka itu ke sini karena mau silaturahmi sama kita. Lagian ngapain juga mau pinjam uang sama Bapak. Lha wong si Mayang aja usaha jualannya lancar terus Didik juga udah kerja, jadi mereka nggak bakal kekurangan uang sampai-sampai mau pinjam uang.” Terang Bapak Mertuaku dengan sedikit kesal melihat kebiasaan istrinya yang suka ceplas ceplos. Ibu mencebikkan bibirnya. “OOO jadi kamu sudah kerja, Dik. Syukurlah. Berarti cara Ibu menyuruh kamu untuk mandiri itu sudah tepat, coba saja kalau kamu masih ikut menumpang terus di sini, mana ada pikiranmu mau berusaha cari uang sendiri.” Sahut Ibu dengan sedikit jumawa.Ya Allah, sejak kapan ibu mertuaku ini menyuruh kami hidup mandiri, justru kamilah yang dengan terpaksa turun dari rumah karena sudah tidak tahan dengan beda perlakuannya tersebut. Seakan-akan ibu mau menunjukkan bahwa siapa saja yang punya uang di rumah ini maka dia sajalah yang mendapat perhatiannya, kita lihat saja b
Mas Didik menjawab dengan tersenyum. “Sabar ya, Bu. Insha Allah kalau ada rejeki lebih lagi Didik akan kasih uang yang banyak buat Ibu.”Hebat Mas Didik masih bisa bersabar menghadapi ibunya yang cerewet itu, dan hebatnya lagi dia sama sekali tak membelaku. “Didik sama Mayang baru saja mulai merintis, Bu. Jangan melihat dari nominal yang dikasih, sudah bersyukur Didik sama Mayang mau menyisihkan rejeki mereka untuk Ibu. Disyukuri saja, Bu. Tidak baik mengeluh begitu.” Ibu mendelikkan matanya tak senang. Bukannya ucapan terimakasih yang kami dapatkan, dia malah ngeloyor pergi begitu saja bersama Farah.“Sekar sudah bangun, Nak? Ibu kangen mau meluk-meluk anakmu.” Suaranya masih terdengar jelas di telingaku. Kangen? Tinggal serumah saja bisa membuat ibu mertuaku kangen pada cucu perempuannya itu, sedangkan Arthur, cucu laki-lakinya yang sudah sebulan lebih tidak bertemu sama sekali tak ditengoknya. Jangankan dipegang, dilirik saja tidak. Sabar ya, Nak. “Kalian yang sabar ya menghadap
“Terus sampai di sana, kita mau ngapain, Mas. Mau mendengarkan hinaan ibumu lagi kah? Apa kamu nggak capek, Mas?” berondongku, dia hanya diam tak menyahut malah melajukan kendaraan menuju rumah ibunya. Aku pasrah.Begitu sampai, aku terheran-heran melihat senyum mengembang milik ibu mertuaku. Dia menyambut kami dengan baik. Bahkan Arthur yang ada di gendonganku langsung diambilnya begitu saja. Tumben, ada angin apa ini yang terjadi sama ibu mertua.“Ealahh, cucuku sing lanang. Apa kabar, nduk.” Ujarnya sembari menimang-nimang Arthur. Aku semakin dibuat heran, saat dia menggandengku masuk ke dalam rumah, tak lama kami duduk di ruang tamu. Di sana sudah ada bapak yang duduk santai sambil menikmati secangkir teh ditemani biskuit kelapa kesukaannya.“Gini loh, Mayang. Ibu sama Bapak ada rencana mau memperbaiki dapur, dapur kita di belakang dindingnya sudah roboh dan semalam Ibu ketakutan karena ada bayangan hitam menakutkan di sana pas Ibu lagi masak, makanya dindingnya mau dipasang batu
“Jadi benar kamu dapat bonus selain gaji, Mas? Berapa?” cecarku tak sabaran, aku memaksanya membuka mulutnya. Dengan lesu, bisa kudengar suamiku berkata.“Tiap hari bonus antara seratus lima puluh sampai dua ratus ribu.” Mataku melotot mendengar penjelasannya. “Itu bukan sedikit, Mas. Bukan uang receh. Bahkan uang bonus kamu lebih banyak dari uang gajimu, tapi mengapa setiap aku minta uang untuk membeli beras atau membeli popok Arthur, kamu selalu bilang uangmu habis karena sudah membayar DP motor, terus ke mana selama ini uang bonusmu?” aku benar-benar menyidangnya. Aku benar-benar shock dengan apa yang telah ia sampaikan.“Semuanya aku kasihkan ke Ibu, katanya dia masih butuh buat tambahan perbaiki dinding dapur, terus juga buat bayar uang arisan keluarga yang dia ikuti. Setiap aku dapat uang bonus maka semuanya langsung aku serahkan begitu aja ke Ibu.” Kepalaku mendadak berdenyut nyeri.“Tega kamu, Mas. Begitu tega kamu menghabiskan seluruh uang kamu ke Ibumu, aku memang tak perna
Part 95 Pov Mayang“Kasihan Farah, Mbak Mayang. Setelah Mamanya meninggal malah Ia ikut menyusul meninggal bunuh diri dengan memotong nadi tangannya karena tak tahan menerima hinaan dari anak-anak sekitar rumahnya kalau wajahnya rusak akibat terkena luka bakar waktu masih di rumah Ibu Sutinah, setelah itu dia diceraikan sama suaminya. Katanya Farah ketahuan menggadaikan rumah Ibu Sutinah dan sekarang Ibu Sutinah bersama Didik dan Pur katanya mengontrak rumah kecil di pinggiran kota, lengkap sudah penderitaan keluarga Ibu Sutinah akibat menantunya itu. Syukur saja Iwan sama Shinta tidak bernasib sama.” Bu Trisno menyampaikan kabar duka itu saat ia bertandang ke rumah untuk membicarakan persiapan pernikahan Syawal dan Emi yang akan digelar dua hari lagi.Mungkin ini terdengar gila tapi Allah SWT sudah mengatur semuanya, aku yang dulunya dizolimi oleh orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku, satu persatu seakan mendapatkan karma atas apa yang sudah mereka lakukan. Farah yang begit
Part 94 “Kalau tidak, berarti kalian harus mengosongkan rumah ini, karena Ibu Farah sudah menggadaikan rumah ini dengan memberikan sertifikat rumah pada bos kami. Dia juga sudah menerima uang dua ratus juta tiga bulan yang lalu.” Mataku melotot mendengarnya, masalah apalagi yang dilakukan oleh Farah kali ini. “Ya Allah, bagaimana sudah ini, Dik, Pur. Farah memang betul-betul keterlaluan menjadi menantu bisanya hanya menyusahkan saja. Huhuhuuu.” Ibu menangis sesenggukan begitu tahu rumah yang kami tempati sekarang sudah sepenuhnya dikuasai oleh rentenir.“Apa kalian punya bukti kalau Farah memang yang menggadaikan rumah ini pada bos kalian?” Dua orang penagih utang tersebut malah tertawa. Setelahnya salah satu memperlihatkan foto copy sertifikat dan tanda bukti tanda tangan Farah di sana menyetujui syarat-syarat pinjaman uang dengan jaminan sertifikat rumah.Aku, Pur juga Ibu sudah tidak bisa berbuat banyak. Kami benar-benar dipecundangi oleh Farah. Apalagi Purwanto, ia merasa ikut
Part 93“Terus, bagaimana dengan Mas Didik? Apa Mbak memaafkannya juga?” Deggg. Nama itu lagi, rasanya seharian ini sudah beberapa kali teringat akan dirinya. Orang yang sudah mengisi hidupku dalam beberapa tahun ini, kalau ditanya apakah aku mencintainya? Ya aku sangat mencintainya, hanya begitu banyak luka yang ia torehkan ke padaku sehingga aku memilih sebisa mungkin pergi jauh dari kehidupannya, meski saat mediasi pada proses perceraian kami, ia kekeh tidak mau berpisah. Aku memutuskan menjauh agar dapat menjaga kewarasan hatiku. “Lho, Mbak malah melamun.” Aku tersenyum malu ketika Iwan memergoki aku sedang melamun karena pertanyaannya.“Aku juga sudah memaafkan Mas mu, bahkan Ibumu. Bagiku yang lalu biarlah menjadi pengalaman berharga saja. Oya kalian tadi ke sini aku pikir mau pesan sesuatu. Mau bolu atau malah rendang daging saja.” Ujarku cepat mengalihkan topik pembicaraan.Malas membahas hal yang lampau.“Oya hampir lupa, Shinta maunya Mbak Mayang buatkan nasi dengan daging
Part 92 Pov Mayang Pagi sekali aku dan kedua adikku sudah mulai bersiap membuka toko, kegiatan kami setiap harinya seperti ini. Tiba-tiba saja mobil Syawal berhenti di halaman dan Emi yang semula ada di depan menggendong Arthur melihat pemandangan segera masuk. Aku tahu jika Emi masih menghindar berbicara dengan calon suaminya tersebut. Persoalan perempuan yang mengaku sebagai kekasih Syawal membuat hubungan adikku dengan Syawal seketika renggang. Emi sudah membatalkan pernikahan, hanya saja aku senang dengan kegigihan Syawal ingin meraih hati adikku kembali, kadang aku membayangkan jika saja Mas Didik berlaku begitu padaku, mungkin saja kami masih bersama sampai saat ini. Tapi, ya sudahlah semua hanya tinggal kenangan sekarang. Bahkan aku tinggal menunggu ketuk palu saja.“Kak, aku cuma mau bilang kalau perempuan yang mengaku kekasihku itu ditangkap semalam bersama orang yang menyuruhnya, sebetulnya semalam dia ditangkap karena petugas kepolisian sedang menggerebek tempat perjudia
Part 91Kulihat handphone di tangan Purwanto, segera kuambil dengan cepat dan membuka layar lalu mencari kamera dan menghadapkan posisi kamera ke arah depan, persis ke wajahku. Begitu aku melihat penampakan wajahku, handphone Purwanto sampai terjatuh dari tanganku. Apa aku tak salah lihat?Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku. Wajahku sudah seperti monster yang menyeramkan. Bagaimana bisa Purwanto tak terkejut melihatku? Apa dia menahan tawa agar tak membuatku malu, bentuk mata yang kurasakan perih kelopaknya berkeriput sehingga bola mataku terlihat mau ke luar dari tempatnya. Selain itu wajahku menghitam dan mengerut di beberapa tempat, selain itu bentuk mulutku terasa miring dan tidak berada di tempat seharusnya. Aku berusaha mengingat dan mencerna apa yang sudah terjadi padaku, kenapa gara-gara api yang membakar rambut juga membuat kobaran api di wajahku membuat wajahku sulit dikenali lagi. Tamat riwayatku.Habis semua sudah kecantikan yang dulunya aku banggakan, aku melihat kembali
Part 90 “Pernikahan siapa yang kamu maksud gagal?” aku sontak menoleh kaget. Purwanto persis di belakangku. Aku harus mencari jawaban segera atas pertanyaannya.“Tadi … itu si Mayang ke sini dan marah-marahin Ibu, katanya dia tak terima kalau sampai pernikahan Emi dengan Syawal sampai gagal, dia menuduh Ibu yang menggagalkan pernikahan adiknya itu. Kalau mau tahu pastinya tanya Ibu deh sana.” Purwanto masih diam di tempatnya terus menatapku penuh kecurigaan, bahkan ia kini memicingkan matanya.Purwanto langsung mengambil handphone dari tanganku dengan cepat, kemudian membaca layar di gawaiku. Di sana kutulis nama Syahrini, aku sengaja menulisnya dengan nama perempuan supaya suamiku bahkan orang di rumah ini tidak ada satupun yang curiga. Benar saja, setelahnya Purwanto mengembalikan handphone ke tanganku.“Ya sudah… aku pikir tadi apa, lagian berita tentang si Mayang itu nggak penting sama sekali.” Sebutnya, aku bisa bernapas lega begitu melihatnya menanggapi dengan santai apa yang k
Part 89Aku menghampiri Emi, adik bungsuku yang terlihat menelungkupkan wajahnya di lengannya, tubuhnya nampak terguncang. Kelihatannya ia sedang menangis. Kubelai rambutnya yang terurai panjang itu, ia belum mau mendongakkan kepalanya.“Mi, Syawal tadi sudah menceritakan semuanya. Apa kamu nggak mau memikirkan ulang apa yang terjadi?” kataku dengan hati-hati. Emi memperbaiki posisinya, tebakanku benar. Ia tengah menangis. “Apalagi yang harus dipikirkan, Kak. Jelas-jelas perempuan itu punya bukti kalau dia memang ada hubungannya dengan Kak Syawal, terus apalagi yang mau dipikirkan dan dia kok masih saja mau mengelak, dasar memang laki-laki selalu begitu. Gayanya aja mau menikah, tapi ujung-ujungnya sudah punya anak dari perempuan lain. Beruntung saja semua ini aku dapati sebelum menikah jadi bisa kuputuskan kalau rencana kami sebaiknya dibatalkan saja.” Terdengar tegas hanya aku tahu Emi masih berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi saja.“Tetap harus kamu pikirkan dengan tenang, de
Part 88 Pov Mayang Dua minggu kemudian Aku bersyukur harapanku dengan kedua adikku akhirnya terwujud. Toko kue sekaligus tempat tinggal kami dengan mudahnya diberikan oleh bank melalui pinjaman yang kami ajukan. Ruko yang kami beli berada di pusat kota, meski harganya fantastis, minimal dengan usaha yang lancar maka kami yakin akan bisa membayarnya. Tentu dengan kerja keras. Hari ini merupakan hari kedua kami membuka toko, awal pembukaan toko kemarin sudah ramai dengan pengunjung, sebab dengan kepandaian dan gerak gesit Farida di media sosial membuat pelanggan berdatangan. “Ya Allah, luar biasa sekali ya, Kak. Aku yakin kalau begini terus ramenya pasti kita akan bisa dengan mudah mencicil membayar pada bank, apalagi toko ini sekalian tempat tinggal kita sehingga memudahkan kita tetap stand by di toko.” Farida menyapaku pagi ini. Aku mengangguk setuju. Sejak dibukanya toko kue, kami menambah satu orang lagi bernama Marlena untuk menjaga toko bersama Farida, sedangkan Kiki dan aku
Part 87Pov Farah Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam yang dijual tak jauh dari rumah, di rumah hanya ada Purwanto dan Sekar, sedangkan Ibu entah ke mana. Mas Didik seperti biasa pergi bekerja.“Pur, kita makan mie ayam yuk.” Ajakku ke padanya. Purwanto yang tengah asik bermain game online sama sekali tak menoleh dan mempedulikanku. Itulah yang membuatku semakin hari semakin bosan padanya. Tak pernah ada niatan di hatinya untuk bergerak mencari pekerjaan dan lebih banyak menggantungkan hidup padaku atau pada Mas Didik.Selama Purwanto tidak bekerja, setiap bulan aku selalu minta jatah pada Mamaku, beruntung Mama tidak keberatan memberikan uang memenuhi kebutuhanku dan Sekar, Punya suami percuma saja, tidak berguna sama sekali.“Ya sudah kamu jaga Sekar, aku mau makan mie ayam di depan sana.” Tetap saja ia tak menoleh dan tak menyahut. Dasar, benar-benar laki-laki tidak ada gunanya. Mataku memperhatikannya selama semenit, tapi aku seperti berbicara dengan patung. Lalu kuputusk