Adisti menghentikan jarinya yang baru mulai membuat catatan di komputer. Dia memandang Hanny. "Kak, jangan marah, ya ...." Adisti sedikit takut mau mengatakan kalau Vernon sudah menyatakan cinta. "Mesti tahu dulu duduk perkara, baru aku bisa putuskan akan marah atau tidak." Hanny menopang dagu dengan tangan kanan. "Pak Vernon minta aku jadian sama dia." Hati-hati Adisti bicara. "Apa?!" Tangan Hanny terjatuh karena kaget, badannya merendah hampir dagunya menyenggol pinggir meja. "Husshhh! Kak, jangan ribut," ucap Adisti. Dia taruh dua telunjuknya di depan bibir. Hanny menegakkan badan lagi. Dia memandang Adisti lurus-lurus. "Lalu?" "Aku belum jawab. Aku masih berpikir. Aku takut salah langkah," jawab Adisti. Hanny memandang makin tajam pada Adisti yang tampak gelisah. Wajahnya sedikit merona. "Adisti, Cantik, Sayangku ...," ujar Hanny. Adisti kembali melihat pada Hanny. "Kok, aku yang degdegan ga karuan, sih? Kan, kamu yang ditembak Pak Bos," ucap Hanny. "Menurut Kak Hanny gi
Hari Sabtu. Seperti yang Adisti rencanakan, dia tetap masuk kerja mengganti jam karena ijin mengurus Meity di rumah sakit. Jam delapan kurang lima menit, Adisti sudah sampai di kantor. "Lha, Mbak Adisti kok masuk? Ini Sabtu, Mbak. Ga lupa hari, kan?" Prawira menyambut Adisti dengan cenyum cerah seperti biasa. "Nggak, Pak. Memang mau ngantor, ada kerjaan belum selesai," jawab Adisti. "Kalau gitu, biar saya antar ke atas. Sepi, ga ada orang, Mbak." Prawira menawarkan bantuan. "Oh, ga apa-apa, Pak. Aman, saya berani, kok." Adisti menolak. Senyum manis menghiasi bibir tipisnya. "Mbak, keponakan saya baik, to? Maksud saya, dia itu jadi pimpinan. Apa dia baik sama karyawan?" Prawira membicarakan Ryan, pak manajer keuangan. "Pak Ryan baik, Pak. Pak Prawira juga baik," sahut Adisti. "Mari, Pak." "Silakan, Mbak," ujar Prawira sambil mengacungkan tangan menunjuk arah kantor di depan mereka. Adisti meneruskan langkah. Dia tahu sebenarnya Prawira secara halus berharap Adisti melihat pada R
Dua pasang mata Vernon dan Adisti bertatapan. Detak jantung mereka berpadu. Vernon merasakan hatinya bergemuruh begitu kuat. Ini belum pernah dia rasakan. Bukan, dia pernah merasakan ini saat dengan Rima, tetapi sukacita di hatinya, sangat berbeda. Luapan itu, bukan karena nafsu dan hasratnya sebagai pria, tapi karena rasa sayang yang dalam, rasa ingin menjaga wanita yang ada di depannya. Tangan Vernon dan Adisti masih menyatu. Dada Adisti pun berdetak cepat, melaju, seperti mobil di jalan tol, tanpa hambatan menerjang aspal dengan kencang. Dia menatap manik tajam milik Vernon dan tidak ingin mengalihkan pandangan ke tempat lain. Adisti ingin menikmati tatapan penuh cinta yang dia sadar muncul di mata Vernon. "Aku sayang sama kamu, Adisti. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi cinta di hatiku makin kuat, dan aku bersyukur memiliki cinta buat kamu." Kembali suara lembut Vernon terdengar. Adisti tidak menjawab, dia terpana. Seolah-olah dia masuk dalam sebuah film romantis yang
Sepanjang hari itu, Adisti sulit berkonsentrasi dengan pekerjaan. Pikirannya terus terbawa pada kejadian manis di kantor Vernon. Setiap kata yang Vernon ucapkan, pegangan tangan, dan juga pelukan, semua membayangi Adisti. Apalagi kecupan lembut dan penuh cinta Pak Bos. Adisti merasa berulang kali jantungnya terus bergemuruh. Adisti tidak bisa mencapai target yang dia kejar, hanya separuh jalan. Jujur saja, ada rasa kesal, sebab dia harus menata ulang jadwal di minggu berikutnya, dan perlu mengejar daftar yang belum tersentuh. "Ah, aku harus menenangkan diriku." Adisti memutuskan. Ernita. Dia ingat sahabatnya itu dan segera menghubungi ke kontak Ernita. "Ga diangkat? Sabtu gini sibuk apa? Keasyikan nonton kali dia, ihhh ...." gerutu Adisti. Sekali lagi, Adisti mencoba menelpon. Sampai yang ketiga kali berikutnya barulah ada jawaban. "Hai! Sorry, Dis! Aku di luar! Lagi seru, nih!!" Ernita berkata dengan keras, seperti mau mengalahkan suara riuh di sekitarnya. Adisti bisa menduga Er
Makan siang berlanjut, tidak sampai sepuluh menit mereka tuntaskan. "Aku jadi ga pengin lanjut kerja. Gimana kalau kita pulang aja?" usul Vernon. Adisti kembali tersenyum, tipis tapi menawan. Ternyata Pak Bos sama juga, tidak bisa konsentrasi pada pekerjaan. "Iya, baiklah. Lebih baik pulang. Aku memang ga rencana sampai sore, biar bisa main sama Cia. Bu Meity juga harus aku pastikan dia baik-baik saja." Adisti sepakat. "Oke, aku balik ruanganku bentar. Lalu kita pulang," kata Vernon sambil bangun dari duduk. "Ya, oke." Adisti mengangguk. Segera mereka pun bersiap pulang. Vernon sudah menyiapkan rencana di kepalanya. Dia akan memberi kejutan lagi pada Adisti. Mereka turun dari lantai lima, menuju ke tempat parkir. Vernon berjalan ke arah mobilnya, Adisti menuju si roda dua. Vernon menoleh pada Adisti yang ada di belakangnya, berjarak lima langkah. "Adisti, ini sudah di luar kantor." Adisti memandang Vernon. "Aku mau dengar panggilan spesial lagi, nih." Vernon memasang wajah ser
Rona wajah Adisti merona. Senyum malu-malu muncul di bibirnya. "Kita pergi sekarang?" Adisti tidak menjawab pertanyaan Vernon. "Oke. Kita pergi." Vernon mengulurkan tangan pada Felicia dan menggandeng gadis kecil itu menuju ke mobil. "Aku di depan, ya?" pinta Felicia. Dia suka duduk di depan, bisa melihat jalanan lebih jelas. "Baiklah. Ibu ga sedih, kan?" Vernon meirik Adisti yang berjalan di belakangnya. "Sedih apa?" sahut Adisti. "Ga bisa duduk di sebelahku," goda Vernon. "Iisshh ...." Adisti mencibir. Vernon tergelak. Mereka masuk ke dalam mobil dan segera kendaraan itu menyusuri jalanan yang belum begitu padat. Hari belum jam delapan, belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Felicia terlihat sangat gembira. Dia bernyanyi-nyanyi kecil sambil menggoyang-goyangkan kepala dan menggerak-gerakkan tangannya mengikuti kata dan nada lagu yang dia nyanyikan. "Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali ...." Suara lucu dan manis terdengar mengalun dari bibir mungil Felicia.
Adisti tidak bisa menduga apa yang terjadi dengan Felicia. Aneh sekali tiba-tiba bocah ceria itu berubah seketika menjadi galau. "Nggak, Ibu ga akan marah. Katakan kenapa, Sayang?" Adisti mengusap pipi Felicia. Mata Felicia beralih ke arah pantai. Adisti dan Vernon mengikuti ke mana pandangan Felicia tertuju. "Itu ...." Tangan mungil Felicia terulur ke depan. "Mereka main sama ayahnya." Deg. Jantung Adisti berdegup. Adisti baru paham apa yang ada di kepala putrinya. Felicia iri melihat anak-anak yang gembira bermain bersama ayah mereka. Mata Felicia kembali memandang Adisti. "Maaf, Bu .... Aku juga pingin main sama ayah," kata Felicia dengan suara sedih, dan butiran bening menitik di ujung mata bulat gadis kecil itu. Adisti menarik napas dalam. Hatinya pun ikut pilu. Jika diingat, saat Adisti seusia Felicia, adalah masa-masa paling menyenangkan. Dia sering pergi jalan-jalan dengan ayah dan ibunya. Hampir setiap akhir minggu. Sedang Felicia .... "Sayang, sini ...." Vernon meraih
Adisti menegakkan punggung dengan cepat begitu mendengar suara Kiki yang panik. "Kenapa, Ki? Ibu kenapa?" tanya Adisti. Rasa cemas cepat menyusup di dadanya. "Ibu pingsan. Tadi badannya panas, menggigil. Ibu kesakitan. Aku mau bawa ke dokter tapi ga mau. Ini pingsan sekarang, Mbak." Kiki mengabarkan kondisi Meity. "Ya, Tuhan ...." Adisti menoleh pada Vernon. "Kenapa?" tanya Vernon. "Bawa saja ke rumah sakit, Ki. Aku langsung menyusul ke sana. Masih lumayan macet di jalan, mudah-mudahan aku ga terlalu lambat," kata Adisti. "Iya, Mbak. Iya," jawab Kiki. Adisti mengatakan beberapa hal untuk memastikan Meity pasti dibawa ke rumah sakit. Hati Adisti tidak karuan. Baru saja dia merasakan kegembiraan, belum juga sampai di rumah, suasana berganti begitu mencemaskan. "Sayang, tetap tenang, ya? Kiki dan yang lain pasti tahu harus bagaimana." Vernon berusaha menenangkan hati Adisti. "Iya, iya. Bisakah kita lebih cepat? Aku cemas sekali." Adisti tidak mudah meredakan ketegangan yang melon
Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah
Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel
Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj
Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya
Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang bicara. Bagian yang paling penting dari persidangan sedang disampaikan. Adisti makin menunduk dalam-dalam dengan debaran dan detak jantung makin kuat melaju. Adistya pun sama, tak mampu dia menahan gelisah, kuatir dengan keputusan yang akan menambah kepedihan hidupnya di masa tua. "... dinyatakan tidak melakukan semua yang dituntut oleh ..." "Disti ..." Seketika Adistya menoleh. Adisti pun dengan cepat melihat ke arah ibunya. "Kamu dengar? Ayahmu ..." Air mata mengucur dari kedua mata Adistya, tapi senyum paling bahagia bergulir di bibirnya. "Iya, Bu ... Ayah bebas ... Ayah ga bersalah ..." Butiran bening yang sedari tadi menggumpal di ujung mata Adisti, akhirnya runtuh. Adisti memeluk ibunya erat. Keduanya bertangisan tak bisa ditahan lagi. Tidak terdengar keras, tetapi isakan bergantian meluncur dari bibir ibu dan anak itu. "Sayang ..." Adisti menegakkan kepalanya. Dia melepas pelukan Adistya dan menoleh ke belakang. Vernon berdiri
Adisti menegakkan punggungnya, menunggu putri kecilnya bicara. "Ibu ... aku ga apa-apa. Baru bangun tidur." Suara Felicia masih serak. "Ahh, syukurlah. Ibu khawatir saja, kalau kamu kenapa-napa." Adisti merasa lega dia salah mengira. Vernon dan Adistya pun ikut lega mendengar kalimat lanjutan Adisti. "Baru ditinggal belum sehari, udah kalang kabut. Yakin, mau ditinggal lama bocah cantik kesayangan ini?" Suara Ernita terdengar. Seperti biasa, ceria, sedikit tajam, tapi penuh ketulusan. "Iya, ga pernah pergi jauh dan lama. Kepikiranlah, Er." Adisti merajuk. "Udah, aman di sini. Bentar lagi mau aku ajak jalan. Ya, kan, Cia? Kita ke mana?" Ernita bicara pada Felicia. "Alun-alun! Mau belik es krim dan main di playground! Asyik!!" Suara Felicia kembali ceria. "Baiklah, selamat bersenang-senang. Jangan lupa ajak Kak Hanny, biar ga kayak monitor kumputer itu mukanya." Adisti bergurau. "Hee ... hee ... pasti. Dia akan jemput. Oke, kami siap-siap, ya? Bye, Ibu!" Ernita menutup panggilan
Adisti seketika merasa ada titik terang hadir di depan mata. Dia berlari kecil ke arah ruang tamu. "Sayang! Kok diam?" Vernon terdengar bicara lagi. "Mas, ada tamu. Aku temui dulu. Nanti aku telpon Mas Vey." Adisti menutup telpon. Dia simpan ponsel di saku celananya. Di depannya tepat berdiri dua makhluk paling bisa dia andalkan selama ini. Hanny dan Ernita. "Kalian memang pahlawan hidupku." Adisti memandang keduanya dengan senyum lebar. "Hah?" Ernita mengangkat kedua alisnya. "Kamu sehat?" Hanny mengerutkan keningnya. "Kak Hanny ... yang makin cakep dan macho ... Ernita, sahabatku ... yang paling baik dan murah hati ..." Adisti melebarkan kedua tangan seolah ingin merangkul dua sejoli itu dengan sekali raup. "Kamu kenapa, sih? Bikin bingung tahu!" Ernita maju dua langkah dan mencermati wajah Adisti. "Aku akan jelakan. Tapi ..." Adisti memutar badan, mengambil tempat duduk di kursi yang paling dekat dengannya. Ernita ikut duduk, di samping Adisti. Hanny maju tiga langkah, bel
Setengah jam kemudian, Adisti kembali dengan pastel buatannya. Isi pastel sesuai yang Savitri minta, telur dan wortel. Adisti menyuguhkan di depan Savitri yang sok tidak peduli, masih sibuk dengan majalah yang dia pegang. "Bu, silakan, mumpung mash panas." Adisti meletakkan piring berisi lima pastel di meja. Tidak lupa Adisti membawa tisu dan dia taruh di sebelah piring. "Kamu bawa satu piring penuh, yakin aku cocok dengan rasa pastel kamu?" Savitri meletakkan majalah di kursi sebelahnya. Aroma khas pastel, harum semerbak di gazebo. Dari aromanya sepertinya akan nikmat. "Mudah-mudahan, Bu." Adisti masih berdiri, menunggu perintah. Savitri memungut satu pastel dengan selembar tisu. Semakin dekat hidung, semakin menggoda dari bau harumnya. Savitri menggigit bagian ujung. "Hmm ...." Savitri memggumam sementara mengunyah. Matanya sedikit melebar. "Apakah sesuai selera, Bu?" tanya Adisti. "Rasa pastel." Savitri melirik Adisti, lalu menggigit lagi pastel di tangannya. "Iya ..." Adis
Savitri makin lekat menatap Adisti. Kali yang kesekian kembali mereka berhadapan dan berdebat soal Vernon. Adisti kekeh akan tetap di sisi Vernon, sedangkan Savitri juga tidak mau melunakkan hati. "Bu, saya minta maaf sekali lagi. Tetapi hati saya sudah bulat, menerima Mas Vernon. Sebelumnya juga tidak pernah terpikir oleh saya bisa mendapatkan perhatian Mas Vernon. Karena saya juga sadar, saya dan Mas Vernon seperti bumi dan langit bedanya. "Tapi, hati saya tidak bisa berbohong. Mas Vernon telah memberikan hatinya buat saya, maka saya tidak akan menyia-nyiakan itu. Saya akan menjadi pendamping yang baik. Saya janji." Adisti berkata dengan tenang dan lancar. Padahal di dadanya juga gemuruh tak bisa ditahan. "Tentu saja kamu mau, Adisti. Terlalu banyak keuntungan yang kamu dapatkan dengan bersama Vernon. Mudah sekali ditebak. Bahkan tidak perlu berpikir," ujar Savitri. Perih dan sakit mendengar itu. Tetapi Adisti tak bisa menangkis jika orang akan menilai demikian terhadap hubungann