Ray masih ingin main-main. Ia belum berniat mengakhiri kesenangannya. Baginya, ini semua bukan apa-apa. Ini masih pemanasan. Akan ada hal gila lagi yang akan segera ia lakukan. Ia hanya perlu menunggu waktu yang sudah ia rencanakan tiba. Meski ia tidak tahu akan jadi seperti apa setelah itu. Tapi ia mencoba meyakinkan diri jika ia akan menang.
"Apapun yang terjadi, aku akan menang!"
Bagaimanapun ini adalah waktu yang Ray tunggu. Waktu yang tidak cepat buatnya untuk membalas dendam. Lima belas tahun itu sangat lama. Ia harus memanfaatkan dengan baik kesempatan yang Tuhan berikan kepadanya.
Seminggu setelah mengancam hakim Lee, Ray kembali mencoba mempermainkan komisaris Ryan. Lawan Ray kali ini lebih tangguh dari sebelumnya. Ini karena komisaris Ryan adalah seorang anggota kepolisian. Sudah dipastikan jika ia memiliki skil bela diri yang cukup bagus meski usianya sudah lebih dari setengah abad.
Sempat terjadi penembakan beberapa kali. Bukan Ray jika ia
Ini chapter yang waktu itu salah update... Maaf ya kalian harus baca ulang. Tetap berikan cinta dan dukungan untuk kelanjutan kisah ini. Salam, Sata Erizawa
“Tuan Ren, saya menemukannya. Saya menemukan dimana keberadaan Nona Kiara.” Seseorang datang dengan kabar gembira.Ren tersenyum senang saat mendengar berita yang selama ini ia inginkan. Keyakinannya selama ini membuahkan hasil. Ia selalu yakin jika ia akan menemukan wanita pujaannya dan memang benar, sekarang iapun kembali menemukan Kiara lagi.Usaha kerasnya mendapat hasil yang setimpal. Ia memahami benar bagaimana ia harus berusaha sangat keras untuk menemukan Kiara kembali. Untukku itu, kali ini ia tidak akan membiarkan hal yang sama terulang kembali.Ren tidak akan melepaskan Kiara setelah betapa sulitnya ia menemukan kembali Kiara. Ia juga ingin segera mengakhiri dirinya yang terjebak di dalam fikiran-fikiran yang selalu memenjarakannya.Dengan Kiara yang ada di sisihnya, maka ia bisa fokus penuh dengan tugas dari ayahnya. Setidaknya itu yang saat ini tengah ia rencanakan.&n
“Senior Ren? Ba..bagaimana bisa kau menemukanku?” Tanya Kiara.Tanpa Kiara duga, Ren sudah menariknya dalam pelukannya. Memeluknya dengan sangat erat seperti tidak mau melepaskan lagi. Membuat Yuna yang ada di samping mereka terlihat canggung dengan pertemuan itu.Bahkan banyak dari para pengunjung Café yang berbisik-bisik membicarakan Kiara yang tengah dipeluk oleh Ren. Maklum saja di tempat umum. Kiara saja merasa tidak nyaman dengan perlakuan Ren terhadapnya."Se-senior Ren, orang-orang melihat kita.""Biarkan saja!""Bagaimana kau bisa menemukanku?" Tanya Kiara lagi.Ren melepaskan pelukkannya pada Kiara. Ia lalu memegang kedua bahu Kiara dan menatapnya.“Jangan bodoh! Kemanapun kau pergi, aku pasti akan menemukanmu! Kau lupa ya kalau kampus ini bekas kampusku juga?” Kata Ren."Ah...""Kau baik-baik saja? Kenapa tubuhmu mengurus? Apa kau tidak makan dengan baik? Kenapa kau tidak bisa di
Di sepanjang jalan menuju mansion Ray, hanya suasana diam yang ada. Kiara ingin sekali berbicara atau sekedar bertanya pada Ray tapi ia urungkan. Melihat sorot mata tajam Ray dan cara menyetir Ray yang sangat ugal-ugalan membuatnya mengurungkan niat. Ini pasti akan menjadi masalah besar. "Aku hanya bisa mengeratkan peganganku pada seatbelt kursi mobil. Aku tak tahu langkah apa yang sebaiknya aku ambil. Terjebak berdua bersamanya membuatku melemah dan tak stabil." Batin Kiara. Oksigen seperti menghianatinya. Seperti hilang dan sulit untuk didapatkan. Kiara memejamkan matanya. Baru saja Ray menyalip sebuah truk tronton dengan cepatnya. Berlomba menguasai jalan meski ada pengguna lain dari arah yang berlawanan. Duduk bersama dengan Ray memaksa diri harus mempersembahkan nyawa. Mau tidak mau dan tidak ada penolakkan. Sedia setiap saat, karena nyawanya tak cukup berharga di mata seorang Ray. "Kurasakan detak jantungku yang berpacu tak menentu. Sepe
Permainan panas penuh nafsu setan itu berlangsung cukup lama. Tidak kenal waktu, meski matahari sedang bersinar sangat cerah sekalipun. Semua terkendali oleh keingan egois yang begitu kuat. Sangat kuat sampai meninggalkan apa yang dinamakan batas kewajaran. Memangkas arti kata normal dan norma. Apa lagi moral. Maaf, seorang iblis tidak akan mengenal semua itu. Seorang iblis hanya mengenal apa yang diinginkan itu semua terwujud. Apapun caranya. Tentu saja bukan dengan cara kebaikan. Jangan bercanda, iblis itu tidak akan pernah semanis madu! Manis yang ditawarkan iblis adalah manisnya buah maja dicelupkan ke sianida. Manis yang akan membuat mati seketika. Erangan Kiara membangkitkan hasrat yang sudah lama terpendam. Meminta, menari-nari ingin segera dilepaskan. Ingin segera dituntaskan agar kenikmatan dunia terdapatkan. Kenikmatan yang tak ada duanya. Meski ini gila, tapi bagi sosok seorang seperti Ray, ini adalah candu. Candu? Apa yang membuatnya begitu candu
Ray memakai kembali kemeja putihnya dan merapikannya. Ia mengancingkan kancing bajunya satu per satu. Dimulai dari kancing baju yang paling bawah. Ia menyisakan dua kancing terbuka di atas.Kenapa harus mengancingkan baju dari bawah dahulu? Kenapa tidak dari atas? Diamlah! Ini gaya Ray, tak perlu dipertanyakan meski merasa aneh sekalipun.Ray lalu mengambil celana bahannya yang berwarna hitam. Ia kemudian memakainya perlahan.Merasa otot-ototnya kaku, Raypun melakukan peregangan sebentar agar sirkulasi darahnya mengalir lancar. Lelah. Fisiknya terasa sangat lelah. Memang sudah berapa lama ia bermain dengan Kiara?Ray melirik ke arah jam weker yang ada di meja lampu tidur. Hampir jam lima sore. Ia mengingat-ingat mulai kapan dirinya bermain dengan Melody. Bukankah tadi sedang jam makan siang? Hampir lima jam!Ya bukan berati lima jam nonstop, itu jelas tidak mungkin. Lima jam itu sepaket dengan main-main, pemanasan, bercinta, dan juga istirahat alia
Kiara bangun dari tidurnya. Ia haruslah segera membersihkan diri sesuai dengan perintah Tuan Mudanya yang kejam itu.Kejam?Ya, kejam.Percayalah, ini kali pertama mengecap Tuan Mudanya itu sebagai sosok yang kejam. Kini pun sumpah serapah sudah berkecamuk di dalam benaknya. Hanya saja sulit ia ucapkan karena entah mengapa bibirnya enggan berteman dengannya.Kiara menatap dirinya di cermin kamar mandi. Ia memandangi sekujur tubuhnya yang menjijikkan itu. Sangat kotor. Penuh dengan noda."Apakah kamar mandi tempat yang paling cocok untuk mengekspresikan segala lukaku? Apapun yang terjadi antara diriku dengan Ray, aku hanya bisa menikmati segala lukanya di kamar mandi. Menyumpahinya seenak kepalaku berpikir, lalu menangis setelahnya. Kini bahkan dengan gilanya aku menaruh rasa terhadapnya. Orang yang jelas-jelas menghancurkan hidupku."Kiara menyisir rambut panjangnya. Begitu sulit, terasa gembel. Sakit seperti dijambak."Sakit akibat m
Rumah sakit...Seorang dokter keluar dari dalam ruangan operasi. Ia lalu melepas masker yang dipakai olehnya."Bisa saya berbicara dengan suami Nona Kiara?" Tanya Dokter itu.Sejenak suasana terdiam ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu. Pasalnya, Kiara sendiri belumlah bersuami. Kiara belum menikah."Saya suaminya, Dok." Kata Ray tanpa basa-basi.Yang lain lebih bersikap menerima. Nyatanya, Kiara memang butuh wali untuk bertanggung jawab secara legal. Jika Ray tak melakukannya, tentulah paman Willy ataupun Ken juga siap melakukannya. Nyawa Kiara lebih penting dari apapun."Mari ikut saya, Tuan! Ada beberapa hal yang harus saya diskusikan dengan Anda." Kata Dokter itu.Ray hanya mengangguk dan mengikuti dokter itu ke ruangannya yang tak jauh dari kamar operasi."Ada apa? Perasaanku tidak enak." Kata Yuna yang duduk di apit kakak dan ibunya."Entahlah, Yun. Kakak juga kurang paham. Sepertinya hal serius sedang terjadi
Operasi pengguguran janin sudah usai. Semua berjalan lancar. Kiara selamat tanpa ada masalah sedikitpun saat operasi.Kini, Kiara sudah dipindah ke ruang inap biasa. Ray, Ken, Teha, dan Yuna masih ada di dalam ruangan itu. Sementara paman dan bibi Willy sudah kembali ke rumah."Aku dan Teha akan keluar mencari makanan, kalian tetaplah menjaga Kiara." Kata Ken."Iya, kak. Hati-hati, ini sudah larut." Kata Yuna"Hn."Ken dan Teha menoleh ke arah Ray yang duduk di dekat Kiara. Ray nampak begitu serius menatap Kiara yang sedang tak sadarkan diri itu."Ray, kami keluar dulu!" Kata Teha."..." Ray tak menjawab. Hanya mengangkat tangannya saja sebagai jawaban."Kami akan segera kembali!" Kata Ken. Ia menepuk pundak adiknya, Yuna."Iya."Setelah Ken dan Teha pergi mencari makanan, Yuna berjalan menghampiri Kiara dan Ray."Syukurlah semua baik-baik saja. Setelah obat biusnya habis efeknya, kata dokter Kiara ak