POV : AZKA Aku tak tahu kenapa alur hidupku sedemikian rumit. Dulu aku masih bisa memaklumi jika Ummi dan Abah menitipkanku pada nenek, karena keadaanku yang tak memungkinkan untuk dibawa pergi ke kota. Aku pun mengerti saat nenek cerita jika ekonomi Ummi dan Abah saat itu masih porak poranda. Tak diasuh kedua orang tua itu cukup menyakitkan, meski dengan alasan bermacam-macam. Apalagi saudara kembarku sendiri begitu dimanja dan diperhatikan. Tak cukupkah derita yang kuterima saat masa kecil dulu? Hingga sampai sekarang pun, saat aku ingin mengecap manisnya kehidupan, saat aku baru saja mendapatkan apa arti cinta dan kasih sayang, saat itu pula lagi dan lagi aku harus mendapatkan teguran. Aku seolah boneka dengan remot kontrol yang tak bisa bergerak sesuai kemauanku sendiri. Semua harus atas seizin Ummi. Aku tahu berulang kali Abah menasehati Ummi untuk lebih membebaskanku, tapi tetap saja Ummi mengompori Abah untuk lebih keras mendidikku. Ummi bilang, didikan seorang nenek dan
Suasana agak canggung. Aku diam saja saat Ummi memintaku untuk duduk di ruang tengah. Tak banyak barang di ruangan ini karena memang Rania ingin tempat yang simple saja untuk bersantai. Hanya ada sofa di samping jendela dan rak untuk meletakkan tivi dengan karpet lebar di lantainya. Dinding pun hanya ada jam dan foto pernikahanku dengan Rania. Sesimple itu. "Kamu jangan salah paham, Ka. Ummi yang minta Gaza untuk jaga Althaf sebentar karena tadi Rania keluar dipanggil tetangga sebelah. Jangan berpikir aneh-aneh tentang mereka, lagipula besok malam kakakmu juga melamar Aisyah," ucap Ummi tiba-tiba tanpa kuminta. Dia bersedekap sembari menatapku tajam. Aku hanya menundu
Pov : AZKA |Ka, kamu tak perlu risau soal perasaanku pada Rania. Memang masih ada cinta di sana. Namun aku mulai menyadari, mungkin dia memang bukan jodohku. Semua salahku dan aku tak mungkin bisa mengulang apa yang telah terjadi. Tapi kejadian kemarin sungguh tak seperti yang kamu pikir. Aku hanya diminta Ummi menolong Althaf yang nangis, Ka. Ummi masih buang air, sementara istrimu dipanggil tetangga sebelah entah untuk apa. Hanya itu. Nggak ada maksud lain.| |Aku, Mas. Aku juga percaya kalau Rania tak akan mungkin mengkhianati cintaku padanya. Meski mungkin cinta ini terlalu sederhana, tapi aku begitu menjaganya dengan baik. Aku sangat percaya Rania bisa menjaga dan mengendalikan hatinya. Aku tak tahu apakah dia masih memiliki rasa yang sama dengan Mas Gaza, tapi bagiku itu tak jadi soal. Aku fokus mencintainya, sebab cinta yang tulus akan meluluhkan benteng yang tinggi dan kaku| |Iya, Ka. Kamu benar, menjadi suami Rania adalah sebuah keberuntungan besar dan kamu harus bersyuku
|Ka, Rania sudah siap-siap, kan? Soalnya Ummi telpon nggak diangkat. Kamu jaga Althaf dulu kalau Rania sibuk. Suami istri itu harus saling membantu satu sama lain. Jangan semua dibebankan ke istri, apalahi Rania baru melahirkan bulan lalu. Ummi tunggu kalian di rumah. Datang segera, ya?| Pesan dari Ummi kembali masuk ke whatsappku. Ummi seolah lupa, jika ⁶,setiap hari aku membantu Rania. Tak pernah kubiarkan dia kecapekan dengan segala aktivitas rumah tangga. Sejak awal menikah, justru aku yang mengajarinya banyak hal. Dia tak bisa memasak saat itu dan aku berusaha mengajarinya meski masak ala kadarnya. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai belajar dari internet untuk memasak beragam menu keluarga. Masakan Rania sangat enak menurutku. Tak hanya menurutku, bahkan Mas Gaza pun sempat memuji masakannya saat di rumah Ummi dulu. Aku tak pernah mencela apapun yang ada padanya sebab cintaku tulus. Tak hanya menyukai kelebihannya saja, tapi aku juga menerima segala kekurangannya. Te
Pov : Rania Rumah berlantai dua itu sudah cukup ramai. Beberapa mobil parkir di tepi jalan tak jauh dari rumah Tante Delia. Ummi menggendong Althaf beriringan dengan ibu. Sementara aku berjalan di belakangnya. Mas Azka kulihat sibuk membawa beberapa kado untuk calon iparnya. Dia beriringan dengan Mas Gaza dan Abah masuk ke ruang tamu. Kulihat beberapa ibu saling bisik, mungkin karena baru tahu jika calon Aisyah memiliki saudara kembar. Aku duduk lesehan di samping Ummi. Ada karpet panjang berwarna biru sebagai alasnya. Tak banyak saudara Aisyah yang datang, sepertinya hanya sekitar sepuluh orang saja. Wajah perempuan itu terlihat begitu cantik dan berbinar ceria. Bulu matanya yang lentik dan hidung mancungnya menambah kecantikan di wajahnya. Ummi pun memberikan Althaf yang masih terlelap itu padaku lalu berbaur dengan Tante Delia yang baru saja melambaikan tangan ke arahnya. "Calon istrinya Gaza cantik banget, Nia," bisik ibu di telinga kananku yang tertutup hijab berwarna
Pov : Rania Langit begitu gelap. Awan tebal menggulung, hujan pun mulai turun. Membasahi bumi yang gersang beberapa hari belakangan. Petrichor mulai tercium. Aroma tanah yang menenangkan saat hujan mulai membasahi tanah kering. Mbak Nisa dan Mbak Arum baru saja pulang. Sengaja aku minta dia pulang cepat sebelum jam kerja habis, sebab kasihan kalau sampai mereka kehujanan di jalan. Mbak Nisa lupa membawa jas hujan dan akupun tak punya untuk dipinjamkan. Kututup jendela kamar yang tadi terbuka. Pintu dan gerbang depan kebetulan sudah kukunci setelah mengantar dua karyawanku itu pulang. Aku mengikuti pesan Mas Azka untuk mengunci gerbang dan pintu saat tak ada yang menemaniku di rumah. Sebab banyak sekali orang yang sepertinya ingin mencelakakanku. Meski aku sendiri tak tahu apa salahku. Setelah jendela tertutup rapat, kugendong Althaf yang masih terlelap. Petir sesekali terdengar menggelegar di angkasa. Aku tak ingin Althaf terjaga karenanya. Duh, demamnya belum turun juga. S
Menjelang isya' ibu datang. Terpaksa naik taksi sendirian malam-malam dari rumah sebab Mas Alif lembur kerja jadi tak bisa mengantarnya ke sini. Beruntung hujan sudah mulai reda, tapi Mas Azka belum juga pulang. Nomornya pun nggak bisa dihubungi. Entah kemana dia. Aku hanya bisa berharap Mas Azka baik-baik saja. Yang penting sekarang keselamatan Althaf lebih dulu. Ibu meminta Pak Supir untuk menunggu. Aku segera menggendong Althaf, sedangkan ibu membawa tas kecil berisi peralatan Al dan buru-buru menutup pintu. Lelaki kecilku itu masih terlelap, suhu badannya pun belum juga menurun. Aku dan ibu duduk di jok belakang. Althaf masih dalam gendonganku. Setelah menutup pintu rapat, ibu gegas meminta Pak Supir untuk melaju ke Rumah Sakit Khadijah. Rumah sakit khusus ibu dan anak di kotaku. Kalau tak macet sekitar setengah jam perjalanan dari rumah. Semoga saja perjalanan lancar hingga Althaf bisa segera ditangani dengan baik oleh dokter. "Azka belum bisa dihubungi, Nia?" tanya ibu
Kepalaku terasa begitu berat memikirkan keadaan Mas Azka di sana. Bagaimana bis adi di klinik segala. Apa yang terjadi sebenarnya? Mungkinkah dia sakit tiba-tiba? Sebab tadi pagi saat berangkat memang agak demam. Kubilang agar istirahat saja dulu, tapi Mas Azka bilang baik-baik saja. Dia juga bilang kalau hari itu Haris mau izin setengah hari, jadi dia yang akan menggantikannya. Kasihan pelanggan yang sudah datang dari jauh harus kecewa karena martabak cintanya tutup. Awalnya aku ragu, tapi setelah dia menjelaskan sedemikian rupa dan bilang bukan demam, mungkin hanya kurang tidur saja, akhirnya aku pun mengiyakan permintaannya untuk ke gerai martabak. Berulang kali kubilang agar Mas Azka pakai mobil saja, tapi selalu ditolaknya dengan alasan berhemat, nggak macet dan lebih cepet kalau pakai motor. Lagi-lagi aku mengiyakannya. Aku tak punya firasat apa-apa bahkan saat jam tigaan dia kirim pesan akan segera pulang pun, aku tak punya feeling lain tentangnya. Kupikir dia juga a
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak