Menjelang isya' ibu datang. Terpaksa naik taksi sendirian malam-malam dari rumah sebab Mas Alif lembur kerja jadi tak bisa mengantarnya ke sini. Beruntung hujan sudah mulai reda, tapi Mas Azka belum juga pulang. Nomornya pun nggak bisa dihubungi. Entah kemana dia. Aku hanya bisa berharap Mas Azka baik-baik saja. Yang penting sekarang keselamatan Althaf lebih dulu. Ibu meminta Pak Supir untuk menunggu. Aku segera menggendong Althaf, sedangkan ibu membawa tas kecil berisi peralatan Al dan buru-buru menutup pintu. Lelaki kecilku itu masih terlelap, suhu badannya pun belum juga menurun. Aku dan ibu duduk di jok belakang. Althaf masih dalam gendonganku. Setelah menutup pintu rapat, ibu gegas meminta Pak Supir untuk melaju ke Rumah Sakit Khadijah. Rumah sakit khusus ibu dan anak di kotaku. Kalau tak macet sekitar setengah jam perjalanan dari rumah. Semoga saja perjalanan lancar hingga Althaf bisa segera ditangani dengan baik oleh dokter. "Azka belum bisa dihubungi, Nia?" tanya ibu
Kepalaku terasa begitu berat memikirkan keadaan Mas Azka di sana. Bagaimana bis adi di klinik segala. Apa yang terjadi sebenarnya? Mungkinkah dia sakit tiba-tiba? Sebab tadi pagi saat berangkat memang agak demam. Kubilang agar istirahat saja dulu, tapi Mas Azka bilang baik-baik saja. Dia juga bilang kalau hari itu Haris mau izin setengah hari, jadi dia yang akan menggantikannya. Kasihan pelanggan yang sudah datang dari jauh harus kecewa karena martabak cintanya tutup. Awalnya aku ragu, tapi setelah dia menjelaskan sedemikian rupa dan bilang bukan demam, mungkin hanya kurang tidur saja, akhirnya aku pun mengiyakan permintaannya untuk ke gerai martabak. Berulang kali kubilang agar Mas Azka pakai mobil saja, tapi selalu ditolaknya dengan alasan berhemat, nggak macet dan lebih cepet kalau pakai motor. Lagi-lagi aku mengiyakannya. Aku tak punya firasat apa-apa bahkan saat jam tigaan dia kirim pesan akan segera pulang pun, aku tak punya feeling lain tentangnya. Kupikir dia juga a
Hening. Suasana di ruangan yang tak terlalu sempit ini mendadak sunyi beberapa saat. Semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Ummi pun diam saja di sampingku. Pun ibu. Sementara abah masih mengetik pesan entah apa. "Assalamu'alaikum." Suara laki-laki yang begitu kukenali muncul dari arah pintu. Kami semua menoleh ke belakang. Kulihat laki-laki yang membersamaiku setahun lebih itu begitu pucat. Ada beberapa perban di kening dan lengannya. Bahkan dia harus menggunakan bantuin kruk untuk membantunya berjalan. Air mataku tak bisa terbendung lagi. Kubiarkan ia tumpah membasahi pipi. Bukannya langsung menghambur ke arahnya, aku justru terpaku di tempatku berdiri. Benar-benar tak tega melihatnya seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi. "Azka! Kamu dari mana saja jam segini baru datang?!" tanya Ummi. Baru mau menjawab, Ummi sudah memberondong pertanyaan lain. "Anakmu sakit dari semalam, Ka. Kamu tetap berangkat kerja? Apa kamu nggak takut dia kenapa-kenapa? Kamu nggak peduli d
Tiga hari Althaf dirawat di rumah sakit dan di hari ketiga ini, keadaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dia tak lagi demam dan mau minum ASI dengan baik seperti biasanya. Malaikat kecilku itu mulai ceria, tak pucat seperti tiga hari lalu saat pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah sakit ini. Dokter Arsyi selaku dokter anak di sini pun mengizinkan Althaf untuk pulang. Syukurlah. Aku mengucap Hamdallah berulang kali karena kabar ini. Ibu dan Mas Alif sudah menjemput. Selama menginap di rumah sakit, hanya ibu yang menemaniku di sini, sebab Mas Azka juga dirawat di rumah sakit Husada, tak jauh dari sini. Luka bekas kecelakaan itu membutuhkan perawatan khusus. Tak boleh dibiarkan begitu saja karena bisa infeksi. Andai tak khawatir dengan keadaan anak lelakinya, harusnya kemarin Mas Azka belum boleh pulang. Kondisinya memang masih sangat lemah, bahkan memburuk setelah memaksakan pulang dan menjenguk Althaf di sini. Mas Azka juga jatuh pingsan setelah dia mencura
"Assalamu'alaikum." Kuucap salam saat membuka pintu kamar Mas Azka. Laki-laki kebanggaanku itu tersenyum tipis menatapku, yang mulai melangkah perlahan ke arahnya setelah menutup pintu. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Kamu ke sini? Al sama siapa?" tanyanya sedikit kaget lalu berusaha untuk duduk saat aku sampai di sampingnya. "Althaf sama ibu. Gimana keadaanmu, Mas? Sudah membaik, kan?" Laki-laki itu kembali tersenyum lalu mengangguk perlahan. "Alhamdulillah, Dek. Besok juga sudah boleh pulang. Ummi gimana?" Laki-laki ini, meski berulang kali disakiti Ummi, tetap saja menanyakan kabarnya untuk pertama kali. Mas Azka tahu Ummi sakit sejak menjenguk Althaf dua hari lalu. Aku yakin ada rasa bersalah dalam diri Mas Azka sebab kemarin suaranya sedikit meninggi saat bicara dengan Ummi. "Mas sudah minta maaf sama Ummi soal kemarin dan Alhamdulillah Ummi memaafkan. Tapi sampai sekarang Ummi masih sakit, Dek. Apa kata-kata Mas kemarin terlalu menyakitkan buat Ummi?" Ekspresi Mas Azka y
Pov : Rania Pagi ini Abah dan Ummi datang ke rumah. Tiga hari setelah Mas Azka pulang dari rumah sakit. Kulihat wajah Ummi sedikit tirus dan lesu. Tak seperti biasanya yang selalu gesit, ceria dan mudah tersenyum apalagi saat melihat cucu kesayangannya. Apakah Ummi masih memikirkan ucapan Mas Azka waktu itu? Mas Azka yang Ummi pikir tak mungkin memberontak, tak mungkin berani membantah kata-kata Ummi dan tak mungkin bicara dengan nada tinggi ternyata tak sesuai dengan prediksinya. Bukan karena Mas Azka durhaka. Bukan. Aku yakin itu hanya karena Mas Azka terlalu lelah hingga tak sengaja menyakiti hati Ummi. Mas Azka hanya ingin mengungkapkan segala sesak dalam dada dan tak pernah menyangka jika ucapannya itu membuat Ummi terluka. Aku tahu bagaimana perasaan Mas Azka. Dia hanya ingin meluapkan segala ganjalan yang selama ini tersimpan, bukan bermaksud untuk membuat Ummi disesaki kegelisahan. "Mi, sudah sehat?" tanya lelakiku itu singkat sembari mencium punggung tangan Ummi. Mas
Pov : AZKAPerlahan Abah membantuku turun dari mobil. Kembali ke rumah ini. Rumah yang penuh dengan kenangan. Meski hampir semua kenangan yang menyesakkan.Namun aku harus berusaha mengikhlaskan semuanya. Bukan hanya demiku, tapi demi orang-orang yang kucinta.Rania salah satunya. Dia tak ingin melihatku terus tenggelam dalam luka berkepanjangan. Hanya karena sebuah ketidakadilan.Terdengar suara Mas Gaza dari dalam. Sepertinya dia masih menginterogasi orang yang sengaja menabrakku beberapa hari yang lalu."Siapa bosmu?" suara itu begitu tegas, tapi tak ada jawaban yang terdengar."Siapa yang menyuruhmu meneror keluargaku, hah?!" Lagi-lagi suara Mas Gaza semakin meninggi.Aku dan Abah masuk rumah setelah mengucap salam. Kulihat lelaki itu, salah satu lelaki yang ada dalam video Rania kemarin. Tern
Pov : Azka Darah itu mulai mengalir dari dahi Ummi. Pipinya mulai memerah dan kedua matanya terpejam. Ummi pingsan setelah tertabrak mobil cukup kencang di bagian kakinya. Detik ini, kekhawatiran dan ketakutan itu mulai terbayang. Aku benar-benar takut kehilangan Ummi. Aku belum bisa membahagiakan dan membanggakan Ummi sepenuhnya. Aku belum mampu melukiskan senyum di wajahnya. Aku benar-benar tak ingin Ummi pergi. Ambulans itu membawa Ummi ke rumah sakit. Aku membawa Rania dan Althaf kembali ke rumah. Sementara Abah dan Mas Gaza mengikuti ambulans dari belakang. Di dalam mobil, Rania hanya dan terus tergugu dalam tangisnya sembari memangku Althaf yang masih terlelap. Dia belum bisa menceritakan bagaimana bisa Ummi sampai ke tengah jalan sembari memanggil namaku. Kubiarkan Rania tenang terlebih dahulu. Nanti setelah tangisnya mulai reda, dia akan menceritakan sendiri kronologi kecelakaan Ummi dari pandangannya. Sampai rumah, kubuka pintu mobil untuknya. Rania masih saja men
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak