Outlet terbakar habis. Begitu lah kisah usahaku yang mulai maju itu. Entah lah ... ujian terberat pasca menikah. Pikiranku mendadak kacau, namun di depan Rania aku pura-pura tetap tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa. Menganggap semua yang terjadi hal yang sangat biasa.Rania baru saja merasa nyaman dan begitu menikmati kehamilannya. Tak mungkin aku tega membuatnya ikut bingung dengan kebingungan ini. Bulan-bulan lalu dia begitu kepayahan dengan mual dan mabuk berat, biar lah kini dia merasa bahagia. Akan kusimpan sendiri kebingungan ini, tak akan kubagi padanya.Kupejamkan mata sebentar untuk menghilangkan penat. Pasca salat berjamaah di masjid yang tak jauh dari outlet, aku memang tak langsung pulang ke rumah, menenangkan hati dan istighfar sebanyak-banyaknya di sini sebelum bertemu dengan Rania. Kupikir, nanti setelah pulang hati sudah cukup lega dan tenang, hingga Rania pun tak akan terlalu mencemaskanku. Dering ponsel beberapa kali memaksa kedua mata terjaga. Kulihat sekeliling
Kabar dari Haris soal gantungan kunci mas Gaza cukup membuatku bertanya-tanya. Jika memang dia hanya sekadar ingin melihat dan menenangkanku saat itu, kenapa kemarin dia tak menemuiku? Hanya ada abah dan mas Alif di sana yang masih terus memberikan semangat padaku detik itu, sedangkan mas Gaza tak pernah terlihat batang hidungnya. Tapi ... Jika memang mas Gaza yang melakukannya, untuk apa? Apa dia masih tak rela jika aku bahagia bersama Rania? Bukan kah ummi bilang mas Gaza sudah ikhlas menerima perjodohan dari ummi? Tak mungkin juga dia secemburu itu apalagi tega mencelakakan saudara kembar sendiri. Benar-benar tak masuk akal. Kupejamkan mata sejenak, menikmati semilir angin yang menerpa wajah. Aku sengaja tiduran di teras dengan beralaskan tikar, kantuk pun mulai mendera. Apalagi menunggu Rania pulang dari pasar bersama ummi
Pov : Gaza Aku tak pernah menyangka jika gantungan kunciku yang hilang beberapa waktu lalu kini berada di tangan ummi. Satu hal yang jauh lebih membuatku tak percaya, bisa-bisanya ummi menuduhku sengaja membakar outlet martabak milik Azka dan Rania. "Ummi nggak habis pikir, Za. Teganya kamu menghancurkan usaha adikmu sendiri." Ummi benar-benar terlihat shock, menangis tergugu di atas ranjang sementara abah hanya bisa geleng-geleng kepala saat ummi menjelaskan duduk perkaranya. Sungguh, baru kali ini aku mendengar kekecewaan ummi dan abah. Baru kali ini juga kudengar mereka begitu memuji Azka yang rela banting tulang mengurus usaha dari nol hingga semaju sekarang. Biasanya ummi tak pernah seperti ini. Dia selalu memujiku di setiap hal bahkan hampir tak pernah kudengar pujian ummi dan abah untuk adik kembarku itu. Entah mengapa sekarang berbalik. Justru aku yang membuat abah dan ummi kecewa, sementara Azka membuat mereka begitu bangga. Bangga karena Azka dan Rania cukup sabar
POV : AZKA "Kamu percaya kalau bukan aku pelakunya, Ka?" Mas Gaza dengan wajah duka menatapku cukup lekat. Tanpa kedip RFbeberapa saat lamanya. Aku tersenyum membalas tatapannya saat itu. "Aku percaya, Mas. Percaya kamu tak akan seceroboh itu. Aku yakin kamu tak tega menghancurkan usaha yang kurintis dengan keringat dan air mata," jawabku lirih namun cukup meyakinkan. Mas Gaza tersenyum tipis lalu menganggukkan kepalanya. "Aku paham jika semua orang tak yakin dengan ucapanku. Wajar karena memang gantungan kunci milikku ada di lokasi itu. Besok aku antar Haikal ke sini, biar dia ikut menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi." Kembali hening. Aku dan Mas Gaza tenggelam dalam pikiran masing-masing. Detik yang ditunggu pun datang. Mas Gaza benar-benar membawa Haikal ke rumah. Keluarga besar dikumpulkan dalam satu ruang, sama-sama ingin tahu bagaimana penjelasan Haikal meski kami sudah percaya bukan Mas Gaza pelakunya. "Haikal sudah datang, biar dia yang menjelaskan," ucap Mas Gaz
POV : AZKA Kunci mobil sudah berada di tangan Rania. Dia kembali tersenyum menatapku. Ada binar bahagia di wajahnya yang ayu. Hadiah ini mungkin bisa sedikit mengobati rasa kecewa di hatinya karena outlet yang terbakar. Meski dia selalu berusaha menutupi, namun aku tahu ada nyeri dan sesak dalam dada yang sengaja disimpannya sendiri. "Mobilnya mana, Mas? Kuncinya doang nih?" tanyanya lagi, mengintip garasi dari jendela kamar yang masih kosong tak berpenghuni. "Ada. Sebentar lagi datang diantar pihak dealernya," jawabku sembari mengusap pelan pucuk kepalanya yang terbungkus jilbab coklat. Aku tahu Rania sangat menginginkan mobil karena memang tak terbiasa ke mana-mana menaiki roda dua apalagi vespa butut seperti milikku. Aku tahu dia sangat ingin memiliki kendaraan satu itu, apalagi sekarang hamil tua, lumayan susah untuk duduk di atas vespa, ditambah sering bolak-balik rumah sakit untuk kontrol kandungan. Aku sengaja menunggu permintaannya, barangkali saat dia benar-benar membu
Pov : GAZA |Ka ... aku tak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi padamu bahwa bukan aku pelaku pembakaran outletmu itu. Soal Haikal, aku sendiri tak paham mengapa dia bisa bersandiwara demikian. Aku akan menyelidikinya. Tak akan kubiarkan dia menghancurkan nama baikku begitu saja| Kukirimkan sebuah pesan untuk Azka. Aku tak akan pernah rela jika namaku tercoreng atas apa yang tak pernah kulakukan. Sejak pertemuan keluarga dengan Haikal seminggu lalu, aku memang sedikit menghindar. Bukan karena takut, hanya saja ingin kembali berkumpul nanti saja setelah semua bisa kubuktikan kebenarannya. Aku malu. Terutama pada keluarga ibu yang begitu mempercayaiku. Tak mungkin kukecewakan mereka kedua kalinya. Apalagi pada Rania. Tiap kali dia dan Azka berkunjung ke rumah ummi, aku hanya menyapa sekenanya. Bukan karena sombong namun karena malu. Malu dengan sikap-sikapku dulu yang terlalu kekanakan, ditambah pengakuan Haikal yang tak sesuai kenyataan. |Aku percaya sama kamu, Mas. Aku yakin um
Pov : Gaza |Pelakunya sudah ditangkap, Za. Abah sudah di kantor polisi, kamu langsung ke sini ya. Rania dan Azka juga sudah datang| Pesan Abah baru saja kubaca setelah pesan itu terkirim sepuluh menit yang lalu. Sejak Abah mulai kecewa dengan keterpurukanku kala itu, aku memang mulai berbenah lagi. Tak enak rasanya membuat Abah dan Ummi kecewa. Aku pun mulai merintis kembali apa yang pernah kuperjuangkan, mulai menata kembali masa depan dan akan kubuktikan pada abah dan ummi kalau aku masih bisa dibanggakan. Sebenarnya aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan luka, tapi sepertinya persoalan bisnis tak bisa ditangguhkan dulu hanya demi menyembuhkan hati yang patah. Bisnis tetap saja berjalan. Tak bisa semudah itu berhenti lalu kembali berjalan. Tak lantas keluar masuk seenaknya ataupun maju mundur sesukanya, apalagi sekadar ingin menepi beberapa saat hanya karena patah hati. Mungkinkah benar yang dikatakan Ummi? Tak pantas aku terus menyesali apa yang telah terjadi bahkan teru
Pov : Gaza Jam dinding menunjuk angka delapan malam. Abah dan Ummi memintaku untuk duduk bersama, menceritakan tentang masalah kantor hingga akhirnya berujung dengan persoalan asmara. "Rania sudah bahagia bersama adikmu, Za. Apa kamu masih terus menunggunya?" Pertanyaan Abah memang biasa, tapi rasanya cukup mengganggu hati dan menyesakkan dada. Entahlah. Masih saja ada debar aneh tiap kali kudengar nama Rania. Sosok itu memang sulit kulupakan. Berulang kali mencoba tetap saja gagal. Di satu sisi aku sadar, jika dia mungkin memang bukanlah jodoh terbaik yang dikirimkan Allah untukku. Hanya saja, di sisi lain aku belum juga menerima kenyataan jika dia telah dimiliki adik kembarku sendiri. Aku benar-benar tak menyangka jika patah hati rasanya sesakit ini. Aku yang tak biasa terluka, tak biasa tersisih, tak biasa dipandang sebelah mata, akhirnya kini mengalaminya juga. Bahkan disingkirkan oleh adik kembarku sendiri yang selama ini tak pernah kuanggap ada karena tak ada power berarti
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak