Detik ini, Ummi terlihat rapi dengan gamis dan hijabnya yang senada. Cinta pertamaku di dunia itu terlihat semringah saat menghampiriku di sofa ruang tengah. "Ummi, tumben pagi-pagi cerita begini." Aku mulai menyelidik. Tak biasanya Ummi sesemangat ini mengawali hari. "Iya, dong. Selalu ceria biar awet muda," balasnya dengan senyum tipis sembari membenarkan pucuk hijabnya yang sedikit berantakan. "Sekarang antar ummi ke rumah ibu," ucap Ummi lagi setelah memperbaiki penampilannya. Pagi ini Ummi benar-benar berbeda. Bisa kubilang terlalu bersemangat. Entah kabar apa yang dikatakan Azka padanya, sampai berhasil membuat ummi terlihat begitu bahagia. Aku benar-benar cemburu melihat Ummi mulai dekat dengan saudara kembarku itu. Aku cemburu. Aku pun tak paham dengan hatiku sendiri, mengapa selalu saja cemburu bila melihat kebahagiaan Azka. Padahal selama ini, dia jarang sekali terlihat bahagia. Selalu aku yang diutamakan dan dinomorsatukan ummi dalam hal apa pun. Aku pula yang selalu b
POV : RANIA "Ya Allah, kamu pucat sekali, Dek. Dari pagi mual-mual terus, mas suapin bubur kacang hijau, ya? Tadi sudah mas masakin, kalau misal kurang enak maaf ya, Dek. Harap dimaklumi," ucap Mas Azka sembari tersenyum kecil sedangkan tangan kanannya menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tak gatal. "Makasih banyak ya, Mas. Kamu sudah serepot ini sampai masak bubur segala. Kalau kamu yang masak, nggak enak pun akan terasa nikmat, Mas." Aku kembali memuji sembari tersenyum tipis. Selama menjadi istrinya, aku selalu berusaha menyenangkan hatinya. Aku sudah berjanji pada diri sendiri akan membuat hidupnya lebih berwarna meski dengan segala keterbatasan yang ada. Aku tak pernah mencela apapun yang dia hidangkan untukku, sesederhana apapun itu. Aku sangat menghargai apapun yang diusahakannya karena kutahu semua yang dia lakukan selalu penuh cinta. "Kalau begitu makan biar badanmu nggak lemas ya, Dek?" Mas Azka kembali merayu. Namun, lagi-lagi aku hanya membalasnya dengan senyum t
IZINKAN AKU MENCINTAIMU |Azka, kamu ini gimana? Sudah tahu Rania hamil muda. Kenapa malam-malam begini diajak jalan-jalan ke alun-alun kota? Pakai vespa pula! Bagaimana ummi nggak khawatir kalau kamu seperti ini? Nggak ada tanggungjawabnya sama sekali. Atau kamu memang sengaja supaya cucu ummi kenapa-napa?|Pesan itu akhirnya terbaca juga oleh Mas Azka, setelah dia kembali dari toilet sekalian salat isya di masjid sebelah, katanya. Kulihat wajahnya berubah masam seketika. Mungkin dia lelah dan kecewa mendapatkan pesan seperti itu tiba-tiba, di saat aku dan dia baru saja ingin menikmati momen bersama. Perlahan air matanya menitik namun dengan cepat disekanya. Lelakiku yang sederhana itu pun menghembuskan napas panjang, entah apa yang dia ketikkan di sana namun sepertinya cukup panjang. Aku juga tak berani mencuri pandang hanya sesekali menatapnya yang terlihat ada duka di sana. "Siapa, Mas?" tanyaku pura-pura tak tahu. Kutatap wajah Mas Azka yang berubah, sok baik-baik saja. Seperti
POV : AZKA Pikiranku mendadak kacau setelah membaca pesan dan telpon dari ummi. Bagaimana tidak? Apa Lpun yang kulakukan selalu saja salah di matanya. Yang lebih mengherankan, apapun yang kulakukan dengan Rania di luar rumah, kenapa sering kali dia bisa tahu? Apa memang ummi sengaja mengirimkan mata-mata untukku dan Rania? Apa ummi memang mengutus seseorang untuk selalu mengawasi hari-hariku hingga ummi nyaris selalu tahu apapun yang kulakukan di luar sana. Belum juga terheran-heran dengan pesan dari ummi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran Gaza di tempat yang sama. Aneh bukan? Ingin rasanya bilang jika itu sekadar kebetulan. Namun, adakah sebuah kebetulan yang terjadi berulang-ulang? Aku tak tahu apa yang Ummi dan Gaza rencanakan. Namun, aku tahu jika saudara kembarku itu masih begitu memperhatikan dan mengharapkan Rania. Aku tahu dari caranya menatap Rania, masih jelas terlihat ada cinta di sana. Meski berulang kali dia mengelak bahkan bilang tak ada rasa apa-apa lagi
Aku tak menjawab pertanyaan Ummi. Kembali memejamkan mata sesaat. Senyum Rania terus membayang di pelupuk mata. Tatapan teduhnya, suara lembutnya, ketabahannya selalu membuatku tenang dan nyaman. Sungguh jika tak ada dia di sisi, aku mungkin sudah seperti dulu hampir kehilangan arah dan salah melangkah. Namun kini, aku benar-benar merasa bersalah karena sudah melibatkan dia dalam hidupku yang penuh kekurangan. Mungkinkah dia benar-benar bahagia bersamaku seperti yang selalu diucapkannya? Atau itu hanya secuil ungkapan untuk sekadar menyenangkan hatiku saja kerena baktinya sebagai istri? "Azka! Kamu dengar ummi, kan?" bentakan itu membuatku kembali terjaga dari lamunan. Kulihat ummi sudah berada beberapa langkah di depanku. Dia berdiri di sana dengan tatapan penuh tanya. Dari kejauhan kulihat abah setengah berlari menghampiriku yang masih duduk di kursi tunggu. Mereka pun berdiri berdampingan, sembari melempar berbagai pertanyaan yang aku sendiri tak mampu memberikan jawaban. Aku
Raut wajah ibu sedikit berbinar mendengar cerita soal rencana pembelian rumah itu dari Rania. Ibu menatapku beberapa saat lalu tersenyum tipis. Seolah mengucapkan terima kasih, padahal aku sendiri tak paham apa yang diceritakan Rania itu. "Benarkah, Nia? Berarti jualan kalian laris banget ya, sampai bisa nabung buat beli rumah?" Ibu tampak sangat kaget mendengar kabar dari putri kesayangannya. Dibalik keterkejutannya itu, terlihat jelas jika ibu sangat bahagia mendengar cerita anak perempuannya. Sangat berbeda dengan ummi yang sepertinya masih tak percaya dengan ucapan Rania. Aku maklum, dari dulu ummi memang tak pernah yakin akan kemampuanku. "Benar, Bu. Tapi ya memang rumah minimalis dengan dua kamar saja," ucap Rania lagi. Entah darimana dia mendapatkan uang untuk membeli rumah itu sementara tabunganku saja belum genap 100 juta. Masih kurang 7 juta lagi untuk mencapai angka itu. "Syukurlah kalau begitu, Nia. Ibu bangga sekali sama kalian berdua. Rukun dan bahagia selalu, ya
"Assalamu'alaikum." Kuucap salam saat sampai di rumah ibu. Mobil putih itu terparkir di sana, pertanda ibu tak ke mana-mana. "Wa'alaikumsalam" Suara Raniaku terdengar dari dalam. Terdengar begitu merdu hingga selalu membuat rindu dan candu. Entah mengapa aku mendadak salah tingkah saat akan bertemu dengannya. Baru semalam aku tak bertemu dengannya, seolah sudah bermalam-malam dia pergi meninggalkanku sendiri. Mungkin terlalu lebay. Tapi memang seperti itulah yang terjadi. Sejak ada Rania di dalam hidupku, rasanya duniaku yang sebelumnya kelabu bahkan mungkin gelap terasa lebih berwarna dan bercahaya. Rania mampu membuatku tenang dan bahagia meski hanya dengan senyum yang dia punya. Saat pintu terbuka, kulihat senyum yang kurindukan itu melengkung indah di bibirnya. Perempuan cantikku itu mencium punggung tangan lalu menggamit manja di lengan. Tak lupa kucium keningnya sembari menghirup aroma wangi dari rambutnya yang tertutup hijab. Setelahnya, kami beriringan masuk ke ruang ke
Pov : Gaza Bakda isya'. Akhirnya aku ikut menghadiri syukuran kecil-kecilan ini di sini. Di sebuah rumah minimalis berwarna tosca muda. Rumah sederhana yang dibelikan Azka untuk Rania. Begitu ummi bilang padaku kemarin. Aku pun mengiyakan saja tanpa bertanya lebih banyak darimana dia mendapatkan dananya. Belum genap enam bulan Azka dan Rania menikah. Aku yakin Azka tak mungkin memiliki tabungan sebanyak itu. Pasti sebagian besar memakai uang Rania juga. Hanya saja, sengaja bilang ke ummi jika rumah itu dia beli khusus buat Rania. Sebagai hadiah kehamilan, katanya. Aku sendiri tak tahu mengapa ada desir cemburu tiap kali ummi memuji Azka. Apalagi akhir-akhir ini, aku memang mulai sering mendengar pujian dari ummi untuknya. Entahlah, mungkin ummi mulai luluh dengan perjuangan anak lelakinya. Atau ummi mulai belajar menerima kehadiran Azka. Namun yang pasti, hati ini tak bisa dibohongi. Ada rasa tak nyaman saat ummu kembali memujinya di depanku. Terlebih, saat kutahu Azka bisa membua
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak