Rasanya aku tidur sangat lama, kulihat ada inpus ditanganku. Namun, bedanya aku berada di ruangan yang begitu luas bukan di rumah sakit."Alhamdulillah akhirnya kamu sadar, Dave," ucap ibu yang langsung memelukku. Kepalaku masih berat, tapi aku sadar kejadian apa yang menimpaku.Alya terlihat akrab dengan dokter Nu Nu itu."Akhirnya abang tersayang sadar juga." Alya langsung menepuk bahu dokter itu. Jujur aku cemburu, aku bahkan tak seakrab itu dengannya. Sementara dengan si Nu Nu Alya begitu akrab tanpa ada sekat diantara mereka."Ibu sejak kapan di sini?" tanyaku. Ibu terlihat panik melihat keadaanku."Sejak kamu pingsan, Alya langsung menghubungi ibu," jawab ibu."Maafkan Dave, selalu merepotkan ibu.""
Tak sabar aku langsung membalas pesan dari Alya. Jika ada kesempatan harus cepat kita ambil. Masih berharap Alya berubah pikiran. 'Terima kasih, Al.'Namun, sayang hanya centang biru, padahal aku sudah bolak balik seperti setrikah. Bahagia? Iya, aku sungguh bahagia Alya masih peduli denganku. Terutama dia mau membuka blokiran pada nomor ponselku. Jujur tanganku sudah tak sabar ingin memanggil nomornya. Namun, kutahan. Tidak mungkin dia mau mengangkat, tapi rasa penasaran ini membuatku tak bisa tidur.Kutekan nomornya berkali-kali untuk melakukan panggilan. Namun, sayangnya Alya tak menanggapi sama sekali.Aku yakin semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Namun, sebagian orang tidak mudah memaafkan kesalahan yang membuat dirinya terluka. Termasuk Alya yang teguh dengan pendirian meski aku berlutut sekali pun.****Suasana hati yang semakin baik membuat tubuhku juga ikut sehat. Meski Alya tak menanggapi, tapi setidaknya dia masih peduli denganku. Hanya dia peduli saja rasanya te
Hari-hariku dihantui dengan kehadiran bu Misye yang terus menerorku setiap hari. Dia bahkan sudah tahu kelemahanku saat ini. "Aku tahu kamu simpanan pak Ridho," ucap bu Misye. Jujur aku gugup, tapi berusaha untuk tenang."Sangat gampang bagiku memviralkan kalian berdua karena aku memiliki video kalian berdua," ucapnya lagi. Kali ini aku tidak bisa mengelak, tanganku gemetar."Tapi semuanya akan saya tutup jika kamu membantuku." Lagi dia menekanku."Apa itu, bu?" tanyaku. Aku mulai melemah."Aku sudah menghubungi suamiku untuk memindahkanmu ke cabang yang ada pak Dave Abimamyu. Bukannya kamu mantannya dulu." Dadaku naik turun, Dave adalah mantan yang begitu perhitungan ketika pacaran dulu. Meski begitu dia tidak pernah menodaiku apalagi menyakitiku. Justru sebaliknya aku yang sering menyakitinya."Kamu buat seolah-olah Dave kembali padamu agar istrinya yang sok itu marah besar pada Dave. Dari dulu aku tidak suka dengan Dave karena posisi dia suamiku tidak aman, kabarnya Dave akan dija
Akhirnya Dave masuk ke kantor setelah izin dua hari, kubuang rasa maluku agar misiku berhasil. Bu Misye terus menerorku. Benar-benar meresahkan yang namanya bu Misye ini. Kulakukan misiku, tapi Dave masih cuek. Berapa kali aku mengganggunya, dia masih tidak menganggapku ada. Aku sempat ingin menyerah, karena sepertinya Dave tidak sudah melupakan masa lalu. Hingga aku punya ide membeli makanan di restorant terdekat dengan meminta bantuan temanku. "Ros, pesankan aku makanan di tempat biasa, ambil yang paling enak." "Siap cantik," jawab Ros teman yang selalu ada untukku. Aku yakin semuanya pasti berjalan dengan lancar. Akhirnya dengan mata kepalaku sendiri kulihat istrinya Dave marah besar. Itu karena ulahku yang menyuapi Dave, mataku yang terus memandangnya membuatnya luluh. Itu memang kelebihanku ketika merayu laki-laki. Kudokumentasikan lalu kukirim ke bu Misye apa yang kulihat. Dia berkali-kali terdengar tertawa puas
Alya berpamitan dengan ibu. Aku tahu aku sangat memalukan. Namun, mempertahankan pernikahan ini harus aku perjuangkan. Mau diterima atau tidak itu urusan belakangan, tapi pernikahan ini harus aku perjuangkan sampai akhir.Aku memegang tangannya Alya, berusaha agar dia tidak beranjak dari rumah ini."Apakah kamu tidak ada perasaan sedikit pun denganku, Alya?" Aku menatapnya. Mungkin air mata sudah kering untuk memelas agar pernikahan ini tetap bertahan. Namun, sebelum putusan pengadilan berakhir, masih ada waktu untuk kuperjuangkan."Aku menyukaimu, bang. Tapi aku ingin berhenti agar kita tidak saling menyakiti. Aku bahagia bisa menjadi istrimu. Namun, seperti kata orang cinta tak harus memiliki."Allah ... rasanya sesak sekali mendengar istilah cinta tak harus memiliki. Apa sebesar itu salahku hingga Alya tak
"Boleh aku nebeng?" tanyanya memperjelas."Oh, boleh, Al." Ya Allah, jantungku benar-benar tak bisa dikondisikan. Ini nyata atau mimpi? Aku terus mengucek mataku tidak percaya."Kenapa Abang berdiri di sana terus, ayo kita pulang." Tunggu dulu ini tidak mimpi 'kan? Jangan-jangan hanya halusinasiku."Abang masih sakit, ya? Hallo ...." Alya mengagetkanku. Malu-maluin saja aku seperti orang linglung tidak jelas."Oh, iya, Al. Ayo kita pulang," ajakku. Namun, ustadz kondang itu terlihat menahan."Masya Allah Alya, kamu sudah punya suami? Suaminya tampan sekali, kukira pemain drama Korea tadi," ucap ustadz itu. Alya hanya membalas dengan senyuman."Mari, tadz. Kami balik dulu," jawab Alya.Alya menepuk bahuku, seolah mempercepat agar keluar dari masjid ini. Hubungannya dengan ustadz itu apa coba sampai dia ingin cepat-cepat pergi dari sini."Berhentiin di sini saja, bang. Ada sopir yang sudah menunggu.""Gak sama aku saja, Al." "Aku sudah memesan taksi. Abang jangan geer, ustadz yang tadi
Saatnya untuk belajar agar menerima kenyataan bahwa Alya sudah tidak menerimaku lagi."Kok anak ibu, lemes gitu, tadi pagi sudah seperti orang kasmaran," ucap ibu menyambutku."Lapar, Bu. Ada sarapan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Ada, sudah Bik Inah siapkan," jawab ibu."Ada apa lagi?" tanya ibu yang masih penasaran."Gak ada, Bu. Dave akan ikhlas dengan semua yang Alya inginkan. Cinta memang tak harus memiliki, daripada Alya terus tersiksa denganku." Ibu hanya mengangguk tersenyum mendengar penjelasanku."Alya berhak bahagia dengan siapa yang dia inginkan, Bu," jelasku lagi. Walau rasa tida rela meihatnya sangat akrab denga Ilham."Anak ibu makin dewasa ternyata ...." Ibu mengacak-acak rambutku. Aku dibuat seperti anak kecil."Nanti malam Dave balik ke rumah, Bu. Kasihan sudah ditinggal dua hari.""Ibu ikut saja maumu, nak." Senyum ibu seperti tetesan air di ta
"Aku tidak ingin bercerai, Al. Bisakah kamu cabut gugatan itu, Al?" dia memberontak kupeluk, tapi kutahan. Kali ini aku tak ingin lepas darinya. Aku memeluknya dengan tulus, memberikan atmosfer cinta bahwa yang kurasakan ini bukan main-main."Abang tau namanya sebuah kepercayaan? Ketika itu sirna maka tak ada lagi yang dapat diperjuangkan."Hening. Alya mulai mengeluarkan semua perasaannya. Aku sadar bahwa sebenarnya kami sama-sama terluka."Aku sadar aku salah, Al. Manusia yang banyak khilaf seperti aku ini harus banyak belajar." Aku semakin memeluknya erat."Nyatanya hatiku masih sakit, bang. Bagaimana cara abang menyembuhkan luka ini. Aku juga manusia biasa yang jika disakiti sulit untuk bangkit lagi."Aku terisak. Cara apalagi agar Alya kembali padaku. Dia masih belum membuka hati
Alya begitu sibuk di dapur menyiapkan si kecil makanan. Kadang dia menggendongnya sambil menggoreng. Bukan tak mau cari asisten rumah tangga, Alya ingin memberikan yang terbaik untuk laki-laki kecil kami yang bernama Althaf itu. "Duduk di sini, dulu, sayang." Alya begitu sibuk, kadang dia suka lupa makan. Itu yang membuatku tak tega melihatnya. "Sudah makan?" tanyaku. Dia menggeleng pelan. Aku langsung mengambiil Althaf, kesehatan Alya yang paling utama. Seringkali aku menegurnya agar tidak lupa untuk makan. "Jangan tidak makan, tubuh kita juga butuh nutrisi." Selama ada Althaf, Alya memang begitu sibuk. Tak jarang dia bisa hanya sekedar makan. Bayi yang beranjak semakin besar itu terlihat semakin sehat diasuh Alya. Semakin hari dia semakin menggemaskan. Kami dibuat semakin menyanyanginya. "Dia sudah berceloteh, Bang." "Alhamdulillah, apakah melelahkan, sayang?" tanyaku. Aku begitu menyanyangi Alya, hingga khawatir dia sakit atau tidak makan. Alya fokus menjaga kami, dia memili
Aku selalu yakin jika takdir itu selalu pada orang yang tepat. Selalu pada orang yang dipilih. Semesta seperti turut mendukung karena Tuhan selalu menggariskan pada orang yang tepat menurut-Nya. Iham langsung memberikan hasil tes DNA nya. Respon Alya seperti biasa. Dia tipe orang yang tidak begitu euforia terhadap sesuatu. Beda jauh denganku yang suka heboh sendiri. Apalagi kali ini takdirku dengannya tetap bersatu. "Kenapa bisa sekandung?" tanyaku penasaran."Aku dan Alya memiliki ayah yang sama." Alya tetap tenang tak ada sama sekali guratan terkejut di wajahnya."Ibunya Alya adalah cinta pertama ayahku."Lagi, aku memandang Alya yang nampak tenang. Dia sama sekali tak terkejut mendengar penuturan Ilham.“Al, kenapa kamu bisa setenang itu?”tanyaku lagi.“Karena waktu tes DNA aku dan papanya Ilham ke rumah sakit bersamaan," jawabnya santai. Astgafirullah, kembali aku elus dada. Ilham juga Nampak terkejut. Bisa-bisanya dia lebih tahu duluan.“Siapa yang mengarahkanmu untuk tes DNA
POV ILHAMWanita idolaku itu selalu berdiam diri di sudut sekolah, entah bagaimana ceritanya dia masuk SMK yang sama denganku, aku dan dia mengambil jurusan yang berbeda, aku mengambil Desain. Sementara, dia mengambil teknik. Semua laki-laki di sekolaku memujinya, meski bar-bar dia tetap santun sesuai kodratnya sebagai perempuan. Itu yang membuat satu sekolah sungkan dengannya. Sampai menjelang kuliah tak ada laki-laki yang dekat dengannya. Aku menyukainya karena dia apa adanya, walau tak pernah kulihat dia dandan sedikit pun. Siapa lagi kalau bukan Alya Putri.Berkali-kali kudekat dengannya selalu ditolak entah apa salahku padanya. Segala hal kulakukan hanya demi dekat dengannya selalu dia buang muka.“Jangan pernah dekat denganku Ilham!” aku ditolak berkali-kali tanpa ampun sedikit pun.Apa aku begitu memuakkan baginya hingga dia sama sekali tidak melirikku. Aku begitu insecure dengannya.“Bagaimana, Bro. Apa dia bisa ditaklukkan?” tanya Fondy sahabatku. Hanya dia yang tahu bagaim
Cukup lama aku memeluknya, merasakan cinta yang terus bersemi dan bermekar di hati ini. Cinta ini terus tumbuh tanpa bisa kutahan. "Bang, kapan selesainya kalau dipeluk terus?" tanya Alya menyadarkanku. Duh, sekarang terasa malunya. Aku membenci diriku yang mengatakan bahwa dia layak bahagia dengan yang lainnya, padahal aku sendiri begitu terluka. Lidah memang tak bertulang, gampang berucap sulit untuk dilakukan."Maaf." Hanya itu yang keluar dari mulutku.Alya hanya membalas dengan senyuman. Dengan telaten dia menyiapkan sarapan untukku. Makanan yang disajikan simpel, tapi rasanya begitu enak di lidah. Namun, entah mengapa aku tak tertarik kali ini. Pikiranku isinya hanya Ilham dan Alya. Apa Ilham akan tetap berjuang atau sebaliknya. Aku membenci segala prasangka ini. "Makan yang banyak, ibu sedang sakit jangan sampai kita lemah," jelasnya.Benar, harusnya kata-kata itu diucapkan oleh suami. Namun, ini justru sebaliknya. Aku akui, aku memang lemah. "Terima kasih, Al." Aku menyan
Aku selalu berharap ada ruang untuk kita bisa bersama, merangkai rindu yang pernah hilang. Merangkai banyak cerita yang pernah sulit kita lalui, meski aku sadar diri untuk tidak berharap lebih dari dirimu. ~Dave_Abimanyu****"Kenapa senyum-senyum gitu, Bang?" tanya Alya."Aku bahagia, Al. Cinta yang kurasakan berbalas." Dia tersenyum, andai aku serakah mungkin aku langsung memeluknya. Namun, aku sadar diri bahwa luka yang kutoreh tidak sedikit. Harus diobati perlahan-lahan. "Ayo kita masuk, Bang. Angin malam tidak terlalu baik," ajak Alya. Aku hanya membalas dengan anggukan meski rasa canggung ini jangan ditanya.Aku memilih tidur di luar dengan pak Sahmat sementara Alya bersama bik Inah ada di dalam."Kenapa senyum-senyum gitu mas Dave. Ciyee, ada yang CLBK," kata pak Sahmat meledekku. Ada-ada aja pak Sahmat."Tipis harapan pak Mat," balasku. Meski begitu aku bahagia karena kami saling mencintai. Rasanya seperti jatuh cinta lagi seperti anak muda."Harapan itu selalu ada selagi ki
"Jangan siksa dirimu, Nak. Jika kamu tidak sanggup melanjutkan pernikahan dengan Dave, ibu terima apa pun keputusanmu," balas ibu."Iya, Bu. Istirahatlah," balas Alya sopan. Tidak mengiyakan atau menolak ucapan ibu, dia hanya membalas dengan senyuman.Aku benar-benar merasa tidak percaya diri. Sejauh apa pun aku melangkah dan kembali, tidak ada yang bisa memaksa keadaan. Begitu pun dengan Alya, dia berhak bahagia dengan siapa pun yang dia mau.Aku mundur teratur membiarkan ibu dengan Alya. Aku memang anak yang tidak berguna membiarkan ibu lebih merasa nyaman dengan Alya, dibandingkan dengan aku, anaknya.Ibu bahkan lebih fokus dengan Alya tanpa melihatku di sampingnya. Tangan Alya terus dipegang. Orang akan memperlakukanmu seperti caramu memperlakukannya. Ibu lebih nyaman dengan Alya, mengajaknya bicara dari hati ke hati.
Terbuat dari apa hatimu yang begitu tenang, setenang air. _Dave"Tenanglah, do'a anak yang soleh itu sampai ke langit ketujuh," ucap Alya menasehatiku. Dia begitu tenang, sementara aku jangan ditanya debaran di dada ini."Ibu sakit sejak enam bulan yang lalu, beberapa kali ibu mengeluhkan kepalanya yang sakit." Alya menceritakanku dengan suara yang begitu tenang."Setelah diperiksa beliau hipertensi dan gula darahnya juga tinggi.""Tapi mengapa kalian tidak mengabariku?""Ibu yang minta, sebagian dari pikiran orang tua selalu tentang kenyamanan anaknya, meskipun mengabaikan diri sendiri. Ibu kulihat seperti itu, beda dari orang tua yang lainnya yang kadang egoisnya lebih tinggi, " sambung Alya. Seperti pukulan telak bagiku yang menelantarkan ibu."Sifat
Kamu tahu hal yang membuatmu dijauhi orang lain adalah kamu tidak bisa mengontrol ucapanmu, membiarkan setiap bait yang keluar dari mulutmu adalah bahwa apa yang kamu ucapkan semuanya benar, tanpa kamu sadari bahwa itu bisa melukai orang lain. ~Alya_Putri ***"Abang kira mudah menjadi aku?" Alya mulai membuka suaranya."Abang bahkan tahu prinsipku, jika harga diriku terluka dan ideologi tidak sama denganmu, maka jangan salahkan aku jika aku pergi meninggalkanmu." "Abang kira mudah begitu saja bagiku memaafkan, ha? Kurasa orang yang paling egois di sini itu adalah abang." "Menghilang, tapi memberi harapan." Lagi, dia menekan suaranya membuatku semakin bersalah.Kubiarkan dia mengeluarkan segala yang ada di hatinya, mungkin itu membuatnya lebih tenang. Cukup lama kami saling menatap, meski titik-titik air itu terus turun tanpa diminta. Aku bahkan menghapus air yang terus turun dari matanya. "Maafkan aku, Al.""Aku benci, Abang. Sangat benci!" teriaknya sambil menangis dan memukulku.
Pulang dari masjid ibu sudah bangun, wajahnya lebih segar mungkin efek obat yang diminum."Ibu ...." Aku mencium tangannya berkali-kali. Kali ini lebih terasa karena ibu lebih terlihat segar."Dave ...." Ibu terisak memelukku."Maafkan Dave, Bu." Ibu menggeleng. Kami menangis tersedu-sedu."Yang penting kamu sehat, Nak," ucap Ibu memelukku dengan erat."Alya mana? Apa Alya belum datang?" tanyanya. Maksud ibu?"Iya, Bu. Kan sudah ada Dave," jawabku. Namun, ibu menggeleng."Ibu maunya ada Alya di sini," balas ibu.Sekarang aku yang bingung mau jawab apa."Nanti Dave panggil Alya, ya," jawabku. Kenapa ibu sangat manja pada Alya."Hanya dia yang paham takaran makan minum ibu," ucap ibu.Aku semakin bingung dengan kondisi ibu. Apa selama ini Alya selalu dat