Akhirnya Dave masuk ke kantor setelah izin dua hari, kubuang rasa maluku agar misiku berhasil. Bu Misye terus menerorku. Benar-benar meresahkan yang namanya bu Misye ini.
Kulakukan misiku, tapi Dave masih cuek. Berapa kali aku mengganggunya, dia masih tidak menganggapku ada. Aku sempat ingin menyerah, karena sepertinya Dave tidak sudah melupakan masa lalu. Hingga aku punya ide membeli makanan di restorant terdekat dengan meminta bantuan temanku."Ros, pesankan aku makanan di tempat biasa, ambil yang paling enak.""Siap cantik," jawab Ros teman yang selalu ada untukku.Aku yakin semuanya pasti berjalan dengan lancar. Akhirnya dengan mata kepalaku sendiri kulihat istrinya Dave marah besar. Itu karena ulahku yang menyuapi Dave, mataku yang terus memandangnya membuatnya luluh. Itu memang kelebihanku ketika merayu laki-laki. Kudokumentasikan lalu kukirim ke bu Misye apa yang kulihat. Dia berkali-kali terdengar tertawa puasAlya berpamitan dengan ibu. Aku tahu aku sangat memalukan. Namun, mempertahankan pernikahan ini harus aku perjuangkan. Mau diterima atau tidak itu urusan belakangan, tapi pernikahan ini harus aku perjuangkan sampai akhir.Aku memegang tangannya Alya, berusaha agar dia tidak beranjak dari rumah ini."Apakah kamu tidak ada perasaan sedikit pun denganku, Alya?" Aku menatapnya. Mungkin air mata sudah kering untuk memelas agar pernikahan ini tetap bertahan. Namun, sebelum putusan pengadilan berakhir, masih ada waktu untuk kuperjuangkan."Aku menyukaimu, bang. Tapi aku ingin berhenti agar kita tidak saling menyakiti. Aku bahagia bisa menjadi istrimu. Namun, seperti kata orang cinta tak harus memiliki."Allah ... rasanya sesak sekali mendengar istilah cinta tak harus memiliki. Apa sebesar itu salahku hingga Alya tak
"Boleh aku nebeng?" tanyanya memperjelas."Oh, boleh, Al." Ya Allah, jantungku benar-benar tak bisa dikondisikan. Ini nyata atau mimpi? Aku terus mengucek mataku tidak percaya."Kenapa Abang berdiri di sana terus, ayo kita pulang." Tunggu dulu ini tidak mimpi 'kan? Jangan-jangan hanya halusinasiku."Abang masih sakit, ya? Hallo ...." Alya mengagetkanku. Malu-maluin saja aku seperti orang linglung tidak jelas."Oh, iya, Al. Ayo kita pulang," ajakku. Namun, ustadz kondang itu terlihat menahan."Masya Allah Alya, kamu sudah punya suami? Suaminya tampan sekali, kukira pemain drama Korea tadi," ucap ustadz itu. Alya hanya membalas dengan senyuman."Mari, tadz. Kami balik dulu," jawab Alya.Alya menepuk bahuku, seolah mempercepat agar keluar dari masjid ini. Hubungannya dengan ustadz itu apa coba sampai dia ingin cepat-cepat pergi dari sini."Berhentiin di sini saja, bang. Ada sopir yang sudah menunggu.""Gak sama aku saja, Al." "Aku sudah memesan taksi. Abang jangan geer, ustadz yang tadi
Saatnya untuk belajar agar menerima kenyataan bahwa Alya sudah tidak menerimaku lagi."Kok anak ibu, lemes gitu, tadi pagi sudah seperti orang kasmaran," ucap ibu menyambutku."Lapar, Bu. Ada sarapan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Ada, sudah Bik Inah siapkan," jawab ibu."Ada apa lagi?" tanya ibu yang masih penasaran."Gak ada, Bu. Dave akan ikhlas dengan semua yang Alya inginkan. Cinta memang tak harus memiliki, daripada Alya terus tersiksa denganku." Ibu hanya mengangguk tersenyum mendengar penjelasanku."Alya berhak bahagia dengan siapa yang dia inginkan, Bu," jelasku lagi. Walau rasa tida rela meihatnya sangat akrab denga Ilham."Anak ibu makin dewasa ternyata ...." Ibu mengacak-acak rambutku. Aku dibuat seperti anak kecil."Nanti malam Dave balik ke rumah, Bu. Kasihan sudah ditinggal dua hari.""Ibu ikut saja maumu, nak." Senyum ibu seperti tetesan air di ta
"Aku tidak ingin bercerai, Al. Bisakah kamu cabut gugatan itu, Al?" dia memberontak kupeluk, tapi kutahan. Kali ini aku tak ingin lepas darinya. Aku memeluknya dengan tulus, memberikan atmosfer cinta bahwa yang kurasakan ini bukan main-main."Abang tau namanya sebuah kepercayaan? Ketika itu sirna maka tak ada lagi yang dapat diperjuangkan."Hening. Alya mulai mengeluarkan semua perasaannya. Aku sadar bahwa sebenarnya kami sama-sama terluka."Aku sadar aku salah, Al. Manusia yang banyak khilaf seperti aku ini harus banyak belajar." Aku semakin memeluknya erat."Nyatanya hatiku masih sakit, bang. Bagaimana cara abang menyembuhkan luka ini. Aku juga manusia biasa yang jika disakiti sulit untuk bangkit lagi."Aku terisak. Cara apalagi agar Alya kembali padaku. Dia masih belum membuka hati
Andai waktu bisa kuulang, aku akan menyayangimu sepenuh hati. Menjadikanmu ratu di hatiku karena darimu, aku belajar bahwa mencintai itu tanpa syarat. ~Dave***Aku masuk kantor dengan hati yang berbunga-bunga. Rasanya seperti muda kembali. Jatuh cinta yang tak biasanya. Andai saja Alya seperti wanita yang lainnya, merasa terenyuh jika didekati dengan penuh cinta seperti itu mungkin beda lagi ceritanya. Namun, sayangnya Alya tipe orang yang teguh dengan pendiriannya. Sekali terluka akan berbekas sampai nanti."Kelihatannya lebih segar, bro," sambut Fery di depan loby kantor."Biasa aja, bro," jawabku singkat. Sebenarnya sedikit kesal dengannya yang ternyata adalah temannya Alya ketika SD."Jangan kecut gitu, bro. Aku dan Alya baru menyadari kami ini satu SD dua hari sebelum kamu curhat." Dia tahu
"Kenapa abang panik seperti itu?" tanya Alya."Roy baru mengabari kemungkinan kamu bisa jadi tersangka, Al." Suaraku lemah, aku masih tidak percaya jika Alya yang jadi tersangkanya."Lalu?" tanyanya lagi.Aku hanya diam. Apalagi melihat kondisi Alya sudah babak belur begitu."Abang percaya?" Dia bertanya, aku hanya diam. Isi pikiranku sudah kemana-mana."Kelemahan abang terlalu cepat percaya dengan orang lain. Siapa pun yang ada di lokasi pasti akan dipanggil polisi, tapi yang jelas aku tidak membunuhnya," jawabnya dengan tenang."Sudah, Al. Ini antibiotiknya agar tidak terlalu nyeri," jelas dokter Nugroho. Mengapa aku tidak
"Baik, Pak. Saya akan membantu bapak dalam menangani kasus ini. Namun, sebelumnya saya mau bertanya sebelum saya ikut," ucapnya."Apa bu Alya?""Apa surat ini asli?" tanyanya lagi. Aduh mengapa aku jadi gemetar."Ini asli bu Alya.""Kalau menurut saya ini terlalu cepat untuk saya diberikan surat pemanggilan sebagai tersangka, sementara saya baru sampai rumah. Dan anehnya lagi media begitu cepat meliput berita ini. Para wartawan bisa mendekat agar ucapan saya bisa didengar." Ya Allah Alya, mengapa kamu begitu tenang "Saya bisa melaporkan balik terhadap media yang meliput wajah saya malam ini dengan pencemaran nama baik, aku akan menerima surat ini dan akan datang ke kantor kepolisian sebagai warga negara yang baik. Namun, ini sedikit aneh, keningku baru diperban, tanganku baru saja diobati oleh dokter, kalau pun aku jadi tersangka kenapa aku tidak melarikan diri malah justru pulang ke apartemen sendiri." Dua Poli
"Terima kasih kami ucapkan untuk Bu Alya yang telah memberikan barang bukti. Kami akan bertanggung jawab sepenuhnya atas berita yang tidak benar hari ini." Begitu ucapan salah satu dari polisi yang menemani Alya keluar.Pak Rahman dan beberapa pengacara kondang turut mendampingi Alya. Aku mundur satu langkah karena diantara mereka aku benar-benar merasa insecure. Kurasa Alya tidak lagi membutuhkanku."Kenapa mundur?" tanya dokter Nugroho."Aku sadar diri, sepertinya Alya tidak membutuhkanku lagi," jawabku singkat."Harusnya dari dulu pak Dave sadar," bisiknya lagi. Jujur aku sedih. Aku suami yang seperti tidak berguna. Semakin sedih lagi mendengar ucapan dokter Nugroho yang memang ada benarnya.Di tengah keramaian banyak orang, aku meninggalkan Alya tanpa pamitan. Mungkin saatnya aku