POV Bu Diah
Sudah susah payah membuat Mayang terpukul akan proses melahirkan Caesarnya, dan mendapatkan uang dari Ardan. Kini, aku akan kehilangan semuanya dalam sekejap. Semua gara-gara Anika, kenapa ia tiba-tiba muncul? Ketika Ardan sudah mulai sukses dalam karirnya.
Aku tidak boleh tinggal diam, jangan sampai mereka mengetahui bahwa Anika itu ibu dari Ardan yang sesungguhnya.
Lebih baik aku hubungi Sita, dan menceritakan ini padanya. Ia pasti bisa membantuku.
"Halo, Sita," ucapku melalui sambungan telepon.
"Ya, Bu, ada apa?"
"Bisa ke sini, nggak?"
"Bentar, Bu. Lima belas menit lagi," tutupnya.
Aku menunggu Sita datang, dan sambil menunggunya kucoba mencari cara untuk menggagalkan aksi tes DNA mereka.
Tidak lama kemudian, ia pun datang dan aku pun mulai menceritakan pokok masalahnya.
"Sita, kamu tahu nggak si, ternyata Ibu kandung Ardan ada di sini, malah istri direktur sekarang," ujark
Aku terkejut ketika mendengar penuturan Mama Ratna melalui sambungan telepon. Bibirku kaku seakan tak mampu bicara lagi. Astaga, Mayang kondisinya tiba-tiba menurun dan saat ini di ruangan ICU.Aku berusaha menyetabilkan detakkan jantung ini. Tak kuat rasanya mendengar kabar buruk ini. Kalau boleh pinta, biarkan aku saja yang berada di dalam ruangan ICU.Bu Anika mencoba menenangkanku. Rasanya tidak mampu jika harus kehilangan Mayang secepat ini. Janji untuk membahagiakannya pun belum terpenuhi."Bu, kita ke Rumah Sakit Maya Bakti sekarang, Mayang masuk ruang ICU lagi. Kondisinya melemah," ujarku setelah beberapa menit menenangkan diri. Kaki yang tadi tak kuat berdiri pun sudah mulai kugerakkan dan berusaha untuk bangkit."Ibu ikut!" seru Bu Diah. Aku menoleh ke arahnya. Sebaiknya ia tidak perlu ikut terlebih dahulu, agar tidak memperkeruh keadaan."Bu, aku saja yang menemui Mayang, ia berada di ruang ICU, percuma juga jika Ibu ikut,"
"Oh, ya, Mayang, sekarang tanggal 4 September, besok ulang tahun Arya, kamu bangun, Sayang," pintaku sambil mengecup tangannya. Aku seperti orang gila, tersenyum dan bicara sendiri di depan orang yang tidak sadarkan diri."Ada lagi, Mayang. Kamu mau beri aku kejutan satu lagi, apa itu, Sayang? Tolong bicara padaku, kejutan apa yang akan kau berikan?" Mayang belum memberikan respon apapun. Akankah aku kehilangannya untuk selamanya?Aku menggelengkan kepala ini, bicara apa saja agar Mayang terbangun dari komanya. Namun, tak satupun respon yang ia berikan. Matanya tidak mengeluarkan air mata, jarinya pun tidak ia gerakkan. Pupus sudah harapanku menyadarkan Mayang dari tidurnya."Mayang, jangan lama-lama tidurnya, ya. Aku tahu kamu lelah, tapi Arya masih butuh kasih sayangmu. Aku pun sama, masih butuh sosok wanita yang selalu ceria dan tak pernah mengeluhkan apa pun itu," bisikku lagi. Namun, rasanya percuma, Mayang mungkin marah padaku, hingga tidak ingin bicara se
Surat titipan Mayang melalui Mbok Ani, itu artinya sebelumnya Mayang selalu cerita pada Mbok Ani. Namun, ia setia terhadap Mayang, hingga amanah yang diberikan tidak ia bocorkan.Aku buka surat yang lipat menjadi empat itu. Namun, baru saja ingin kubuka, ternyata ada suster ke luar dari ruangan ICU. Suara pintu yang nyaring membuat kami semua terpaku padanya."Keluarga pasien saudari Mayang!" teriak suster yang bertugas mengawasi pasien ICU, kami pun bergegas menghampiri. Tidak hanya mama dan papanya Mayang, semua yang berada di depan ruang ICU terperanjat kala mendengar suster memanggil. Surat yang ingin kubaca pun terpaksa dimasukkan ke dalam saku celana."Ada apa, Sus?" tanya papa dengan antusias. Aku yakin semua punya harapan suster memanggil kami karena kondisinya Mayang ada kemajuan."Pak, Bu, tadi tangan Bu Mayang bergerak, matanya pun sudah sedikit terbuka. Sebentar lagi Dokter akan ke sini memeriksakan
"Pah, jangan musuhi Mas Ardan lagi, ya!" pesan Mayang. Kemudian, papa mengecup kening wanita yang sudah kurus itu."Tidak, Sayang. Tapi kamu musti janji jangan tinggalkan Papa, kalau kamu seperti tadi lagi, Papa akan musuhi suamimu!" canda papa. Mayang pun tersenyum, lalu melepaskan genggaman papa. Kemudian, ia didorong kembali untuk istirahat di kamar.Setelah Mayang jauh dari kami, papa pun kembali menarik lenganku."Ardan, terima kasih, kamu telah membuat Mayang membuka matanya kembali," ungkap papa membuatku terkejut."Pah, aku pikir tadi ingin marah atau melarangku bertemu dengan Mayang," imbuhku padanya."Tidak, sekarang saatnya kamu tunjukkan bagaimana cara memperlakukan istrimu yang baik," ujar papa. Ya, aku akan tunjukkan padanya, bahwa aku adalah suami yang baik untuk anaknya."Terima kasih, Pah," sahutku."Ayo! Kita ke kamar rawat inap, Mayang pasti sudah tidak sabar ber
"Mah, tiup lilin, aku udah nggak sabar," celetuk Arya meminta mamanya untuk segera mengizinkan ia meniup lilin."Oh iya, Arya ingin cepat tiup, ya? Ya sudah tiup lilin dulu," ujar Mayang. Setelah kemarin sempat koma karena kondisinya yang menurun, kini ia tampak sudah segar. Kata dokter yang memeriksanya itu dikarenakan kemarin terlalu stress. Terang saja ia stress, beban pikirannya kemarin sungguh membuat Mayang tertekan. Terlebih lagi papa sempat tak mengizinkan aku menemui Mayang.Setelah melakukan tiup lilin, Mayang pun mengecup kening Arya sembari mengeluarkan butiran air matanya."Arya, jadi anak sholeh ya, semoga kamu menjadi lelaki yang menyayangi Mama hingga menikah nanti," pesan Mayang pada bocah yang belum mengerti apa yang ia katakan.Dari ucapan yang Mayang utarakan tadi pada Arya, aku dapat menyimpulkan kenapa ia tidak membalas kejahatan ibuku? Terjawab sudah dari kata-kata ia barusan. Mayang tidak ingin dirinya juga mengalami
Flashback malam ketika Mayang tertidur.Aku penasaran dengan kertas yang Reina berikan dari Mbok Ani. Sepertinya ada yang aneh dengan Mayang.Aku buka kertas yang masih terlipat rapi, dan mulai membacanya perlahan.[Mas, aku ingin kamu menikahi Reina setelah aku tidak lagi berumur, semoga kamu mau ya, Mas. Ini demi Arya, aku khawatir jika ia mendapatkan ibu sambung, nasibnya seperti kamu!]Hanya itu isi suratnya. Aku menghela napas dalam-dalam. Mencoba berpikir dengan jernih, bagaimana caranya agar surat ini tidak ia bicarakan lagi.Aku pun segera menghubungi Bu Anika. Meminta saran darinya. Untuk saat ini memang hanya dengannya aku berbagi. Rasanya sudah hilang kepercayaanku ini pada Bu Diah.Aku ke luar dari ruangan, agar Mayang tak mendengar pembicaraanku di telepon."Halo, Bu, maaf ganggu malam-malam gini," bisikku."Nggak kok, Ibu sedang dalam perjalanan jemput ke bandara, adikmu pulang tugas dari luar negeri
Ia melangkah perlahan dengan senyum semringah. Semangatnya ketika melangkah terpancar dari raut wajahnya yang keriput.Aku coba melakukan sesuatu, bangkit lalu melangkah pelan dan menarik pergelangan tangan Bu Diah. Kemudian menyeretnya ke luar ruangan."Ardan! Apa-apaan si, Ibu kok ditarik paksa!" sentaknya seraya tak menyukai perlakuanku. Kubekap mulutnya agar tidak berisik di rumah sakit."Maaf, Bu. Aku tak bermaksud seperti itu, ini demi kesehatan Mayang," sahutku pelan."Harus mengorbankan Ibumu yang sudah merawat dan membesarkanmu hingga jadi orang?" cetusnya membuatku geram. Lagi-lagi ia mengungkit apa yang ia korbankan selama ini.Aku dapat memakluminya, karena darah yang mengalir di tubuhku ini bukan darahnya. Jadi di otak dan pikiran Bu Diah tidak ada iba bahkan kasih sayang yang sesungguhnya. Ia hanya memanfaatkan jasa-jasa yang telah ia korbankan selama ini.Kalau bisa dibedakan, inilah perbandingan antara ibu kandung denga
"Aku ambil kain basah ya, sepertinya kamu harus ganti baju, mau kan?" tanyaku. Kemudian, Mayang mengangguk dan mau menuruti perintahku.Kuambil kain basah untuk membasuh tubuhnya agar tidak lengket. Meskipun ruangan ber-AC, sudah dua hari ini Mayang belum mengganti bajunya.Kemudian, aku mulai membuka bajunya dan membasuh kulitnya dari leher hingga perutnya. Ada perasaan sedih ketika melihat ada memar di sekitar persendian Mayang. Sering aku browsing di internet, jika gejala kanker sering adanya memar di tubuh.Tubuh yang terlihat hanya tulang itu kubalut baju yang sudah dibawakan Mama Ratna. Kemudian, selepas memakaikan baju, suara ketukan pintu terdengar. Itu pasti petugas pengantar makanan."Masuk!" teriakku kencang, dan makanan pun diletakkan di atas meja."Makasih, Mbak," ucap Mayang pada wanita yang mengantarkan makanan.Aku berikan suapan demi suapan makanan yang telah disediakan. Mayang makan dengan perlahan, napsu makannya pun belum