Flashback malam ketika Mayang tertidur.
Aku penasaran dengan kertas yang Reina berikan dari Mbok Ani. Sepertinya ada yang aneh dengan Mayang.
Aku buka kertas yang masih terlipat rapi, dan mulai membacanya perlahan.
[Mas, aku ingin kamu menikahi Reina setelah aku tidak lagi berumur, semoga kamu mau ya, Mas. Ini demi Arya, aku khawatir jika ia mendapatkan ibu sambung, nasibnya seperti kamu!]
Hanya itu isi suratnya. Aku menghela napas dalam-dalam. Mencoba berpikir dengan jernih, bagaimana caranya agar surat ini tidak ia bicarakan lagi.
Aku pun segera menghubungi Bu Anika. Meminta saran darinya. Untuk saat ini memang hanya dengannya aku berbagi. Rasanya sudah hilang kepercayaanku ini pada Bu Diah.
Aku ke luar dari ruangan, agar Mayang tak mendengar pembicaraanku di telepon.
"Halo, Bu, maaf ganggu malam-malam gini," bisikku.
"Nggak kok, Ibu sedang dalam perjalanan jemput ke bandara, adikmu pulang tugas dari luar negeri
Ia melangkah perlahan dengan senyum semringah. Semangatnya ketika melangkah terpancar dari raut wajahnya yang keriput.Aku coba melakukan sesuatu, bangkit lalu melangkah pelan dan menarik pergelangan tangan Bu Diah. Kemudian menyeretnya ke luar ruangan."Ardan! Apa-apaan si, Ibu kok ditarik paksa!" sentaknya seraya tak menyukai perlakuanku. Kubekap mulutnya agar tidak berisik di rumah sakit."Maaf, Bu. Aku tak bermaksud seperti itu, ini demi kesehatan Mayang," sahutku pelan."Harus mengorbankan Ibumu yang sudah merawat dan membesarkanmu hingga jadi orang?" cetusnya membuatku geram. Lagi-lagi ia mengungkit apa yang ia korbankan selama ini.Aku dapat memakluminya, karena darah yang mengalir di tubuhku ini bukan darahnya. Jadi di otak dan pikiran Bu Diah tidak ada iba bahkan kasih sayang yang sesungguhnya. Ia hanya memanfaatkan jasa-jasa yang telah ia korbankan selama ini.Kalau bisa dibedakan, inilah perbandingan antara ibu kandung denga
"Aku ambil kain basah ya, sepertinya kamu harus ganti baju, mau kan?" tanyaku. Kemudian, Mayang mengangguk dan mau menuruti perintahku.Kuambil kain basah untuk membasuh tubuhnya agar tidak lengket. Meskipun ruangan ber-AC, sudah dua hari ini Mayang belum mengganti bajunya.Kemudian, aku mulai membuka bajunya dan membasuh kulitnya dari leher hingga perutnya. Ada perasaan sedih ketika melihat ada memar di sekitar persendian Mayang. Sering aku browsing di internet, jika gejala kanker sering adanya memar di tubuh.Tubuh yang terlihat hanya tulang itu kubalut baju yang sudah dibawakan Mama Ratna. Kemudian, selepas memakaikan baju, suara ketukan pintu terdengar. Itu pasti petugas pengantar makanan."Masuk!" teriakku kencang, dan makanan pun diletakkan di atas meja."Makasih, Mbak," ucap Mayang pada wanita yang mengantarkan makanan.Aku berikan suapan demi suapan makanan yang telah disediakan. Mayang makan dengan perlahan, napsu makannya pun belum
POV MayangAku terbaring lemah di ruang ICU. Kata Mas Ardan hanya beberapa jam saja. Ini disebabkan karena papaku tak jua menerima Mas Ardan. Ia marah semarah-marahnya pada suamiku. Maklum saja jika seorang ayah melindungi anak wanitanya seperti itu.Akan tetapi, aku tidak kuat menahan pilu, hingga ketika Mas Ardan diusir terus menerus, kesehatanku pun melemah dan akhirnya tidak sadarkan diri selama beberapa jam.***Aku tahu pesan yang kutinggalkan pada Mbok Ani, pasti akan menimbulkan keresahan pada Mas Ardan dan juga keluarga. Namun, aku melakukan ini karena sayang pada Arya, anakku satu-satunya.Memang sengaja aku berpesan ketika masih dalam keadaan sehat, tapi memang sudah tahu kondisi tubuh ini suatu saat akan rapuh. Makanya, kusiapkan sepucuk surat untuk Mas Ardan.***"Mbok, titip surat ini, jika aku tak lagi membuka mata," ucapku pelan."Bu, jangan bicara seperti itu, Bu Mayang pasti kuat," sahut Mbok Ani."Mb
"Ya sudah, semoga sehat-sehat ibu dan calon bayinya," tutupku.Kemudian, Mas Ardan mengantar mereka hingga ke depan pintu.Aku menghela napas dalam-dalam, dan sibuk mengenang masa-masa itu, ketika mereka menghina proses persalinan yang kutempuh. Melahirkan dengan persalinan apa saja, itu membutuhkan perjuangan. Tidak semua dokter kota meminta pasiennya untuk Caesar, anggapan seperti ini biasanya hanya orang yang berpikiran kolot saja.Kemudian Mas Ardan menghampiriku lagi dan memelukku erat."Sayang, kamu nggak usah mikirin ucapan Sita yang dulu lagi ya, sekarang kan sudah ada aku yang selalu menjagamu, dan menyayangi tanpa memandang kamu ini melahirkan Caesar atau normal," ucap Mas Ardan sembari menyandarkan kepalaku di bahunya.Tidak lama kemudian, ibu pun menghubungiku kembali. Namun, kali ini tidak aku angkat teleponnya. Ngapain angkat, nanti juga ia tahu sendiri, bahwa sebenarnya aku dan Mas Ardan tahu kelicikannya. Pasti nanti Sita ceri
Mayang pasti syok lagi ketika mendengar perkataan ibu barusan. Aku bergegas menghampiri Mayang, agar ia tidak terlalu menanggapi ucapan ibu."Mayang, kamu tidak usah dengar ucapan ibu, ya!" seruku. Kemudian, kulihat wajahnya yang sudah meneteskan air mata. Benar dugaanku, ia masih menanggapi ucapannya.Kulangkahkan kaki ini ke arah ibu, tapi tiba-tiba datanglah Bu Anika membuka pintu dengan lebarnya."Sini kamu!" ucapnya sambil menarik pergelangan tangan Bu Diah. Tangannya berusaha menepis genggaman Bu Anika."Apa-apaan si, kamu? Lepas!" teriak Bu Diah. Kemudian, mereka pun ke luar dari ruangan. Aku menyeka air matanya Mayang."Sayang, kamu jangan dengarkan kata-kata Bu Diah, ya! Kamu kan tahu ia begitu karena ingin memilikiku." Isakkan Mayang membuatku memeluknya."Aku pengen pulang, Mas," ucap Mayang sambil menginjakkan kakinya ke lantai. Kutuntun Mayang berjalan, mungkin orang tuanya sedang dalam perjalanan.Aku mencari Bu An
Kami semua berhamburan menghampiri suara teriakkan itu. Kemudian, membuka pintu kamar dengan lebar. Ternyata Mayang pingsan lagi, ia jatuh tepat di pangkuan papanya. Orang tua yang sangat menyayanginya lebih dari nyawanya pun histeris."Mayang, sadar, Nak!" teriaknya sambil menepuk pipinya pelan."Pah, Mayang kenapa?" tanyaku dengan suara tersengal-sengal. Ada rasa cemas yang berlebihan di dalam hati ini.Kemudian, kami membantu papa untuk meletakkan Mayang ke atas ranjang dengan membopong tubuhnya yang kurus bertiga.Setelah meletakkan Mayang ke atas ranjang, Aldo yang selalu membawa stetoskop di saku jas-nya pun memeriksakan dengan segera kondisi Mayang saat ini.Bukan hanya aku yang cemas, ada mama yang sudah menangis tersedu-sedu di hadapanku. Bu Anika lah yang berusaha menenangkannya."Pah, Mama kenapa?" Tiba-tiba suara kecil yang cadel itu menghampiri. Mungkin karena cemas juga.Aldo melepaskan stetoskop dari telinga
"Mbak Mayang ngomong ngaco terus, aku sesak jadinya. Mah, Pah, aku mohon bawa Mbak Mayang berobat ke luar negeri, ya. Reina nggak mau kehilangan satu kakak lagi," isak Reina. Aku pun bergegas masuk lagi ke dalam. Lalu disusul orang tuanya juga.Kemudian, kami melihat Mayang masih dalam keadaan sadar. Ya Tuhan, aku sudah berpikir macam-macam tadi. Ketakutan kehilangan Mayang membuatku selalu berpikir negatif."Mayang, setelah ini, kamu akan dibawa ke luar negeri, ya!" pinta papa. Mayang pun mengangguk."Kamu bicara apa? Kenapa Reina jadi histeris begitu?" tanya mama."Nggak, Mah. Hanya takut umurku nggak lama lagi, nanti bingung dengan Arya," jawab Mayang.Aku pun menutup bibirnya yang pucat, kemudian mengecup keni
POV Reina"Mbak, kamu pasti bisa sembuh," ucapku ketika baru saja berhadapan dengan Mbak Mayang, ia memanggilku ke dalam. Aku tahu pasti akan bicara tentang kematian."Dek, kayaknya penyakitku sulit disembuhkan, kamu mau kan menuruti kemauanku?" tanya Mbak Mayang."Mbak, kamu pasti sembuh, sudahlah jangan bicara macam-macam," pungkasku dengan nada kesal. Memang Mbak Mayang wanita kuat, tapi ia juga mudah putus asa."Mbak hanya ingin Arya besar nanti tidak seperti Mas Ardan, memiliki Ibu yang serakah dan menghina menantunya. Dulu Mbak pikir, karena melahirkan normal itu perjuangan besar, jadi ia mengungkitnya hingga Mas Ardan berumah tangga, tapi sejak tahu bahwa Bu Diah hanya ibu asuh, berati otaknya memang hanya uang," ungkap Mbak Mayang membuatku geram pada Bu Diah. M