*
Brugh!
Nita terjatuh, aku menoleh ke belakang melihat ia yang sedang memegang lututnya. Aku menepuk jidat sambil memejamkan mata, menetralkan emosi yang mulai memuncak. Betapa malunya diri ini ketika dia menjadi bahan tertawaan orang lain, tak ingin berlama-lama melihatnya, terutama mendengar tertawa mereka yang silih berganti. Jadi, kubiarkan saja dia di situ dan tetap melanjutkan langkah dengan tegap.
Saat ini aku sedang menghadiri acara pertunangan teman kerja. Sebenarnya aku ingin merahasiakan dari Nita untuk hadir, tapi dia malah lebih dulu tau karena diberitahukan oleh orang tuaku. Orang tuaku memang tak mengerti dengan perasaanku yang benar-benar tak dapat digambarkan bagaimana kondisinya saat ini.
Benar-benar menyebalkan, apalagi melihat tingkah lakunya yang seperti kekanak-kanakan.
"Mas, kok ninggalin aku. untung tadi ada Putri teman aku bantuin berdiri, ternyata dia sekarang jadi tukang make up. Dia itu teman sekampung aku waktu dulu, bahagia banget aku bisa ketemu sama dia. Soalnya dia teman satu-satunya yang aku punya." Panjang lebar dia menjelaskan, aku hanya diam tak menghiraukan omongannya.
"Udah ceritanya?" tanyaku dingin. Nita menganggukkan kepala, seperti anak kecil. Mungkin dikiranya itu terlihat imut, padahal sama sekali tidak!
"Kita pulang," ucapku dingin. Karena sekarang semua pandangan mengarah padaku yang berdiri di samping Nita.
"Kok pulang, baru juga sampai nanti aja lah, Mas." Aku tak mendengarkan, kutarik tangannya untuk ke luar dari ruangan ini.
Bunyi tawa mengiringi kepergianku, Nita benar-benar membuatku malu sekarang. Aku mengepalkan tangan dengan kmsangat kencang, suara tertawa mereka benar-benar sangat terdengar mengejek dan itu membuatku sangat marah.
Kubuka pintu mobil dan langsung mendorong Nita untuk masuk ke dalamnya dengan kasar.
"Aw, sakit, Mas." Suara Nita hanya membuat emosiku semakin naik. Aku tak memedulikan keluhannya
Kuatur napas yang mulai tak beraturan dan menoleh tepat ke sampingku, Nita menangis terisak.
"Lemah!" ucapku padanya. Dia menatapku dengan pandangan berkaca-kaca. Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang untuk menuju rumah kami.
****
"Ini hape dan tas kerja kamu, Mas," ucap Nita padaku dengan pandangan menunduk dan tangan yang bergetar. Setelah kejadian semalam, ia tiba-tiba menjadi sangat pendiam. Saat menatapnya pun, Nita langsung memalingkan wajahnya. Entah apa yang ditakutkannya, padahal tadi malam aku hanya sedikit emosi karena melihat semua orang yang begitu menyebalkan.
Tanpa mengucap satu kata pun. Aku langsung mengambil tak kerja dari tangannya. Namun, rasa tak nyaman tiba-tiba menyelinap begitu saja. Jadi kuputuskan untuk menoleh sebentar pada Nita.
"Terima kasih," jawabku lalu bergegas untuk pergi bekerja.
"Mas?!" teriaknya kembali. aku memutar bola mata malas.
"Ada apa lagi?" tanyaku dengan nada dingin dan raut wajah yang datar.
"A-aku mau mencium punggung tanganmu, sekali ini saja." Nita memberikan tangan kanannya, dengan sangat terpaksa kuberikan tangan ini untuknya. Setelah selesai, kulihat lengkungan senyum di bibirnya. Sebegitu bahagianya kah dia, pikirku. Tak ingin berlama-lama larut dalam pikiran, aku lalu bergegas pergi meninggalkannya.
"Assalamualaikum!" teriaknya saat kaki ini mulai melangkah menuju ke mobil.
Lagi, aku harus menoleh ke belakang dan mendapati Nita sedang tersenyum dengan perutnya yang semakin membesar.
"W*'alaikumsalam." Hanya kujawab singkat.
Pak sopir membukakan pintu mobil untukku. Aku sempat melirik ke Nita yang masih menatapku dari balik kaca mobil. Senyuman di bibirnya masih tak kunjung pudar.
'Huft." Aku mengembuskan napas dengan kasar. Akibat balas budi Papa terhadap Ayah Nita yang sudah tiada, kini aku yang harus tersiksa dalam rumah tangga yang tak pernah kuimpikan, bahkan terpaut dalam bayangan aja akan menikah dengan gadis desa yang kuno itu sama sekali tak pernah.
Nita itu benar-benar bukan tipe wanita yang selama ini kuinginkan, tapi kenapa? Kenapa takdir malah mempertemukanku dengan sosok yang benar-benar membuatku pusing hingga kepala terasa ingin pecah. Aku bertemu dengan sosok wanita yang badannya sangat gemuk, berkulit hitam dan ... ya dia manis, tapi walaupun begitu aku tetap tak tertarik pada dirinya.
Padahal tanpa dijodohkan pun sebenarnya masih banyak di luar sana eprempuan yang menyukaiku, anehnya Papa malah langsung menjodohkan begitu saja dengan perempuan yang padahal tak pernah kutemui sebelumnya
Entah kenapa Papa begitu yakin bahwa Nita adalah gadis yang baik untukku. Padahal andai Papa tau bagaimana kondisi rumah tangga kami yang sebenarnya. Pasti dia akan sangat marah, terutama padaku. Karena hampir dua tahun pernikahan, tak pernah sedikitpun muncul rasa cinta untuknya.
Dan sekarang Nita hamil! Ya, saat itu bahkan sempat frustasi mendengarkan apa yang ia katakan. Aku bahkan mengutuk diriku sendiri kenapa begitu ceroboh hingga benihku tertanam di rahimnya. Sempat kusuruh dia untuk menggugurkannya. Tapi apa boleh buat, lagi-lagi kekecewaan yang harus kutelan. Nita sudah memberitahukan kehamilannya pada orang tuaku. Andai tak diberitahukannya, mungkin dari dulu janin itu tak akan terus tumbuh berkembang di perutnya dan tentu saja akan ada banyak cara untuk menggugurkan kandungannya itu.
Jika kalian bertanya kenapa dia bisa hamil? Akan kujawab, bagaimana tidak hamil! Kami tidur sekamar, dan tentunya sebagai lelaki normal aku memiliki nafsu, apalagi dia sudah berstatus sebagai istri sahku. Dan dari situlah perutnya semakin membesar.
Bagaimana mungkin kami yang tinggal dalam satu rumah, tidur sekamar berdua tak melakukan hubungan. Itu mustahil, sangat-sangat tak wajar jika dalam satu kamar tak muncul gairah satu sama lain.. Menurutku wajar-wajar saja, tapi untuk cinta. Aku sama sekali belum terpikir untuk memberikan padanya.
**
Saat sampai di perusahaan, aku langsung masuk ke dalam ruangan yang sudah tersedia untukku. Banyak karyawan menyapa, hanya kutanggapi dengan anggukan kecil saja.
Klek!
"Selamat pagi, Sayang." Sekretaris yang sudah beberapa bulan ini menjadi pacarku. Rupanya ia sudah lama menungguku di ruangan ini, buktinya dia duduk di atas meja kerja.
"Pagi," jawabku datar dan mulai mengerjakan berkas-berkas yang diberikannya.
"Kenapa sih, pagi-pagi kok murung gitu. sini cerita sama aku," ucapnya mendekat dan mengambil tas kerja di tangan, dan langsung memeluk lenganku.
"Ngga papa lagi badmood aja," ucapku lalu memijat kening yang berdenyut.
"Oh, pasti gara-gara istri kamu yang jatuh itu ya?" tanyanya sambil bergelayut manja.
"Kok kamu tau?" tanyaku menatapnya bingung.
"Kan videonya udah tersebar di mana-mana?" jawabnya diiringi kekehan kecil. Aku menepis tangannya dengan kasar karena mulai meraba wajahku.
Aku meradang setelah mendengar ucapan Sarah barusan.
'Kurang ajar! Siapa yang berani menyebarkan video Nita.' batinku, kukepalkan tangan ini dengan napas yang memburu.
"Kamu kenapa sih?" tanya Sarah yang seperti heran melihat sikapku.
"Jika kamu sudah selesai, silakan ke luar dari ruanganku, Sarah," ucapku padanya.
"T-tapi ...." Aku langsung mengangkat tanganku padanya, mengisyaratkan agar dia tak berbicara lagi dan mengikuti perintahku.
Sarah ke luar ruangan dengan wajah yang kesal, serta kakinya yang sengaja dihentakkan. Sebenarnya aku tak pernah mempunyai rasa padanya, dia hanya kujadikan sebagai pelampiasan saja saat aku mulai jenuh dengan rumah tangga yang sedang kuhadapi.
Jadi, Angga psajandia hanyalah untuk main-mainku saja. Kini pikiranku kembali ke video Nita yang mulai tersebar, katanya.
Siapa orang yang tega menyebarkan video itu, benar-benar keterlaluan.
'Akan kucari siapa pelakunya, ke ujung dunia sekalipun.' gumamku pelan dengan rasa marah yang mulai tak terkontrol.
****
Saat di kantor pikiranku tak karuan, aku memutuskan untuk pulang dan menemui Nita di rumah ditemani Aryo.
"Sabar, Bro. Nita nggak salah apa-apa." Aryo mengusap belakangku.
"Diam, lo! Lo nggak tau apa-apa, Yo!"
Aku bergegas masuk ke rumah dan mencari keberadaan Nita.
"Nita!!"
"Nita!!"
Aku berteriak sekeras mungkin. Agar dia mendengar dan tahu bahwa sekarang aku dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Iya, Mas. Kamu udah pulang?" tanya Nita dengan lembut. Ia tergopoh-gopoh datang dari dapur, entah apa yang sedang dikerjakannya.
Aku langsung melempar ponsel ke atas sofa. "Kau lihat video itu!"
Aku membentaknya.
Nita duduk lalu mengambil ponselku dengan wajah takut.
Matanya membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kau memalukan. Kau membuatku malu, Nita! Kau benar-benar sangat memalukan. Enyahlah dari hadapanku!!!" bentakku lagi tanpa menghiraukan ia yang terkejut, lalu menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Selalu seperti itu. Aku tak peduli lagi bagaimana dengan raut wajahnya itu, bahkan dengan perasaannya. Amarah benar-benar sudah menguasai hati dan setelahnya aku memutuskan untuk langsung pergi meninggalkannya sendirian di rumah.
Di KBM udah bab 2. Bantu subscribe ya
****Saat ini aku memutuskan untuk mencari hiburan, salah satunya bermain biliar bersama Aryo temanku."Aku rasa tadi kau keterlaluan pada Nita, Mar!" Aryo menghentikan permainan, lalu duduk di kursi yang sudah disediakan untuk beristirahat."Keterlaluan bagaimana? Aku hanya memberinya sedikit pelajaran. Aku benar-benar malu dibuatnya." Kuhela napas kesal, padahal kan itu semua kulakukan karena Nita yang tak pernah mengerti bagaimana rasanya jika berada di posisiku.Aryo menatapku dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan. Namun, dari pandangannya yang tajam, ia seperti menyimpan amarah terpendam."Bodoh! Kau terlihat bodoh. Tingkahmu tadi benar-benar tak menunjukkan bahwa kau adalah pria sejati!" Aryo membentakku, lalu mencengkeram erat kerah baju yang kugunakan. Aku yang tak tau dengan aksinya, tak bisa mengelak saat tubuh ini terangkat sedikit karena kerah bajuku yang dipegangnya erat."Kau kenapa marah?" tanyaku santai pada Aryo. "Dia istriku, aku berhak melakukan apapun padanya
**** Aku memasuki rumah dengan bersenandung ria. Kuedarkan pandangan ke sana kemari, rumah ini masih tetap sama. Namun dengan keadaan yang sepi. Tak kutemukan Nita baik di ruang keluarga, maupun di dapur. "Astaga! Apa jangan-jangan dia pergi dari rumah," tebakku. Aku langsung panik, mencarinya ke sana kemari. "Gila! Ke mana dia." Aku berusaha beripkir positif, tak ingin gegabah dan membuat kesalahan yang sama lagi. Setelahnya mencoba untuk menenangkan pikiran yang mulai kacau. "Nita!!!" teriakku dari dalam rumah. Namun tak kunjung ada sahutan dari pemilik nama itu. "Mpok Ti!!!" Aku mencoba memanggil Mpok Wati. Tak lama, terdengar sahutan dari dapur. "Iya, Tuan!" sahutnya terdengar samar-samar. Aku lalu bergegas menghampirinya dengan keadaan panik tadi. Mpok Wati yang melihatku juga malah ikutan panik. "Ada apa, Tuan?" tanyanya terlihat bingung. "Mpok, Nita di dimana?" ucapku sambil memegang lengannya. "Nyonya Nita?" tanya Mpok Wati padaku. Ia terlihat mengerutkan kening, me
****Setelah kepergian Nita aku merenung sendiri di dalam kamar. Banyak pertanyaan yang mulai memenuhi benakku, bahkan rasa bersalah pun tiba-tiba menyeruak begitu saja.Mataku tak kunjung dapat terpejam, permasalahan tadi benar-benar membuang banyak energi yang kupunya. Bahkan sekarang aku merasakan seperti ada sesuatu yang membuat dadaku terasa terhimpit. Hingga menimbulkan sesak yang kian mendera.Karena tak kunjung bisa tenang, aku lalu duduk dari posisi berbaring. dan memilih untuk menenangkan pikiran dengan cara mencoba mengerjakan pekerjaan yang masih belum selesai."Astaga!" Aku menepuk jidat pelan. Karena banyaknya permasalahan yang kuhadapi, aku sampai-sampai melupakan bahwa besok ada pertemuan penting di kantor.Dengan tergesa-gesa aku bergegas menyiapkan berkas-berkas yang akan kubawa besok. Sarah juga, mengapa dia tak mengirimkan pesan untuk mengingatkan aku. Argh! Benar-benar tak dapat diandalkan, pikirku.Biasanya jika sedang sibuk bekerja, Nita akan menemaniku, memb
****"Selamat pagi, Sayang." Baru saja sampai ke ruangan. Sarah sudah menyambutku dengan senyuman yang membuatku melototkan mata. Bagaimana tidak, bibirnya sangat menor dengan warna lipstik yang terlalu mencolok. Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal.Bukannya tertarik, diri ini malah merasa geli melihat lipstik di bibirnya yang semakin hari semakin tebal. Seperti ingin pergi ke suatu tempat saja dia ini. Padahal jelas-jelas di sini tidak diperbolehkan memakai make up yang terlalu berlebihan."Kenapa wajahmu begitu pucat?" tanyanya padaku. Tangannya bergerak ingin menyentuh wajahku. Namun bubur-buru kulangkahkan kaki menjauh darinya."Aku baik-baik saja. Apa kau sudah menyiapkan segala keperluan untuk kita meeting nanti siang?" tanyaku tanpa meliriknya. Aku tak ingin tertawa saat melihat wajahnya itu."Tentu saja sudah. Oh, ya, kapan kau akan meninggalkannya?" Sarah tiba-tiba bertanya seperti itu padaku.Aku menatapnya dari atas hingga bawah."Meninggalkan siapa maksudmu?" Aku menatap
"Jika kamu masih ingin bekerja di sini, bersikaplah sewajarnya layaknya atasan dan juga bawahan. Jangan bermimpi terlalu tinggi berharap padaku," kataku dengan senyum sinis.Isak tangis Sarah perlahan menghilang, ia lalu melangkah menjauh dan duduk di kursinya. Kami berdua mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ini tak bisa dibiarkan, aku secepatnya akan menghentikan Sarah bekerja di tempatku. Hanya tinggal dua bulan lagi, kontrak kerja dengannya berakhir."Siapkan perlengkapan untuk meeting nanti, jangan sampai ada yang kurang!" perintahku pada Sarah. Dia diam tak menyahut ucapanku."Kau dengar Sarah!" tegasku padanya."Baik, Pak," jawab Sarah pelan.Tangannya lalu mulai sibuk menyiapkan berkas-berkas, lalu setelahnya aku juga bersiap untuk bergegas ke ruangan yang telah disediakan untuk pertemuan..****Sepanjang meeting tadi pikiranku tak karuan. Aku bahkan sempat ditegur Sarah. Entahlah, kata yang terucap dari mulutku tak sinkron dengan apa yang sedang tergambar di pikiran
"**Hari ini pekerjaanku sangat banyak, sehingga agak sedikit malam untuk pulang ke rumah. Itu pun kutambah kecepatan mobil agar segera sampai di rumah.Sesampainya di rumah segera kutekan bel rumah. Kebetulan tadi pagi aku tak ingat untuk membawa kunci cadangan. Kulihat jam di lenganku, sudah menunjuk pukul 10 malam, kuharap masih ada yang bangun di dalam.Klek!Pintu dibukakan, tapi bukan Nita yang membukanya melainkan Mpok Wati. "Nita di mana, Mpok?" tanyaku padanya, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.Mpok Wati menghampiriku setelah mengunci pintu kembali."Sudah tidur, Tuan," jawab Mpok Wati."Tidur," ujarku mengulang perkataan Mpok Wati Aku melirik sekali lagi jam yang berada di tangan di tangan, masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Pantas saja Nita sudah tidur, tapi biasanya ketika aku lembur hingga larut malam pun ia akan tetap menungguku di sofa ruang tamu."Tumben dia tidur lebih dulu, Mpok?" tanyaku pada Mpok Wati dengan rasa penasaran dan sepi. Rasanya agak lain saat N
"Tolong buatkan Nita Teh hangat, ya. Perut Nita sakit," ucapnya.Entah dapat keberanian darimana. Aku mendekati Nita, lalu menempelkan punggung tanganku ke dahinya.Panas. Itu yang kurasakan."Apa kita ke rumah sakit saja, Nit?" tanyaku padanya.Nita hanya diam tak menjawab pertanyaanku."Mpok tadi sore sudah belikan obat kan untuk Nita?" tanya Nita tak menghiraukan pertanyaanku. Ia bahkan menjauhkan tanganku dari dahinya."Sudah, Non ... eh maksud saya Nyonya," jawab Mpok Wati terdengar gugup.Ia datang sambil meletakkan dua cangkir teh hangat. Satu untuk Nita dan satu lagi untukku."Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" Aku menarik lengannya. Namun dihempaskan Nita dengan kasar.Nita meminum Teh hangat yang sudah dibuatkan Mpok Wati. Bahkan menoleh pun tidak padaku. Saat sakit pun dia masih saja berkelakuan aneh-aneh.Cewek emang gini kali ya, suka sekali cari masalah. Dicuekin marah, diperhatiin pun juga marah. Dasar aneh!Mpok Wati menatapku dengan pandangan sendu."Nyonya mau makan
Tidurku sangat nyenyak tadi malam. Sampai-sampai tak terdengar suara apapun. Aku bangun dengan agak tergesa.Kuperhatikan sekelilingku, mencari sosok yang tak kulihat dari tadi "Ke mana Nita," gumamku. Karena tak melihat keberadaannya di sini. Aku bergegas ke luar kamar dan mencari keberadaan Nita.Sepi, rumah ini seperti tak ada yang mendiami, karena masing-masing sibuk dengan kerjaannya."Mpok!""Mpok!!" panggilku untuk ke dua kalinya.Namun tak juga kudapatkan jawaban dari Mpok Wati."Mpok Wati ke mana, ya?" tanyaku pada diri sendiri."Nita!" teriakku.Sama, Nita juga tak menyahut ketika aku memanggil namanya.Tak ingin terlalu pusing memikirkannya, aku memilih untuk pergi ke kamar mandi, bergegas untuk berangkat bekerja.Saat memasuki kamar, kakiku terhenti ketika melihat pakaian yang sudah disiapkan Nita di atas tempat tidur."Ah, akhirnya dia menyiapkan pakaian juga untukku. Kupikir dia tetap mempertahankan sikap egoisnya itu. Untung saja," ujarku sambil menghela napas pelan.A
"Pi, maafkan Mami. Beri Mami kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya,"nujar Clara sesaat setelah menemui John."Aku sudah sering memberimu kesempatan, tapi lagi-lagi kau sia-siakan. Rasanya kita memang tak cocok lagi untuk saling bersama Clara, karena bagaimana pun aku berjuang untuk mempertahankan rumah tangga kita. Pemenangnya tetap orang lama yang kamu suka." John tak melirik Clara sama sekali, dia masih fokus pada lembaran kertas di tangannya."Laura juga sudah besar, tak ada salahnya jika kita memilih jalan hidup masing-masing mulai saat ini. Aku tahu, mempertahankanmu akan membuatmu lebih menderita lagi begitu pun denganku juga. Laura pasti mengerti mengapa Papi dan maminya bercerai. Laura sudah bukan anak kecil lagi."Tanpa mereka sadari, Laura sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Laura menahan isak tangisnya yang hampir terdengar. Laura memutuskan untuk segera pergi dari kegiatan mengupingnya. Dia masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas ranjang."In
"Sayang, kamu menciumiku di depannya," ucap Nita pada Damar yang menatapnya dengan tak berkedip."Memangnya kenapa? Lagipula, bukankah kita sudah sah sebagai suami-istri, itu salah dia sendiri karena sudah terlalu jauh berperilaku padaku," ujar Damar sambil menggandeng pinggang Nita dengan lembut."Tapi aku malu," ujar Nita dengan wajah yang memerah."Sini di mananya yang membuat malu, biar aku tambahin," kata Damar yang membuat Nita membulatkan matanya sempurna."Mas Damar," rengeknya dengan manja. Damar lalu tertawa melihat tingkah istrinya yang seperti anak-anak.***Di rumah Laura mengamuk tak karuan setelah dirinya dipukul sang papi."Mau atau tidak! Besok kita harus kembali ke Australia, Papi sudah membeli tiket untuk kita berangkat, bereskan semua pakaianmu sekarang juga!""Papi!" teriak Laura tak terima dengan perlakuan John."Jangan jadi seperti mamimu, Laura. Dulu sebelum kamu sebesar seperti sekarang, mamimu juga berusaha menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Aida, Mama D
"Mami, harusnya menjadi cinta pertamaku sebagai laki-laki. Tapi semuanya pupus begitu saja, saat Mami tak pernah menganggap kehadiranku di antara Mami dan Papi.""Mami sibuk, semuanya Mami lakukan untuk masa depanmu. Kamu tau bukan?" ucap sang Mami merasa tak terima karena daritadi Aryo yang terus memojokkannya."Untuk apa, Mi. untuk apa semua itu, harta dunia, yang Mami kejar selama ini hanya akan sia-sia bila tak ada kasih sayang di dalamnya. Mami tau tidak, aku bagai anak yang terbuang, setiap malam memikirkan apakah aku dibutuhkan atau tidak.""Aku bertanya pada diri sendiri, untuk apa dilahirkan ke dunia jika kehadiranku tak berarti apa-apa. Kalian sibuk mengejar dunia yang sementara, kalian hanya memandang uang tanpa dapat berpikir bahwa suatu saat akan ada pertanggungjawaban kalian sebagai orang tua." "Uang tak akan pernah bisa membelikan kebahagian, bahkan kenangan masa kecil bersama kalian pun tak pernah terlintas di pikiran."Ucapan Aryo bagaikan pisau yang menusuk hati ora
"Putri ada apa, kenapa menangis?" tanya Wati teman kontrakan dia. Setelah pergi, Putri memilih untuk datang ke alamat kontrakan lamanya sebelum bertemu dengan Aryo.ia menangis tersedu-sedu di hadapan Wati, susah payah di dalam mobil dia menahan tangisnya. Akhirnya terlupakan juga sekarang."Aku benar-benar bersalah. Salah telah memilih dia sebagai suamiku, harusnya dari awal aku tak menerima lamarannya. Harusnya dari awal aku tak usah kenal dengan Aryo. Jika kenyataannya kami tak mungkin bisa bersama. Harusnya aku sadar diri tidak berpunya bersanding dengan lelaki kaya."Hei! Kamu ini kenapa? Siang-siang datang ke rumahku dan menangis seperti ini. Kenapa membawa tentang kekayaan, siapa yang sudah menyakitimu?" tanya Wati yang masih tak mengerti dengan permasalahan yang dihadapi temannya."Mereka menghinaku. Mereka menjelek-jelekkan orang tuaku. Apakah salahku karena mencintai Aryo, Wati? Apa aku salah berharap bahagia dengan lelaki seperti Aryo?""Mereka siapa?" tanya Wati memegang pi
"Mama, ada apa? Kenapa Mama terlihat begitu marah pada Laura," tanyaku saat melihat Mama yang masih diliputi emosi, bahkan napasnya pun tak beraturan."Memang kurang ajar dia itu. Dia yang meninggalkan Damar, dia juga yang merasa paling tersakiti. Mama benar-benar khilaf pernah merestui hubungan dia dan juga Damar dulu.""Untung saja Damar segera dijodohkan denganmu, jadi Damar tidak perlu mempunyai istri seperti Laura yang sama sekali tidak bisa menghargai orangtua."Aku melihat Mama berbicara dengan berapi-api. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga membuat Mama menjadi semarah ini. Apakah Laura telah melakukan sesuatu yang tak dapat diterima akal logika?Entahlah, saat ini hanya Mama yang tau dan dapat merasakannya."Kamu tenang saja, Nita. Jangan terlalu memikirkan hal tadi, maafkan Mama sudah menambah beban pikiranmu. Padahal kamu baru saja kehilangan ibunda satu-satunya yang kau punya. Sekali lagi Mama meminta maaf sudah membuat keributan sepagi ini," ujar Mama tulus terlihat
"Halo Tante, bagaimana kabarnya?" tanya Laura yang langsung duduk mendekati Nita dan juga Aida."Baik." Aida hanya menjawab singkat, ia tak ingin berpura-pura baik lagi pada Laura. Karena itu hanya akan menyakiti hati menantunya kembali."Oh ya, turut berduka cita ya, Nita. Aku dengan ibumu sudah mati, jadi--""Maaf, meninggal yang benar. Mati itu istilah yang digunakan untuk hewan." Nita langsung memotong ucapan Laura. Laura memanyunkan bibirnya, kesal mendengar jawaban Nita."Ya, apapun itulah intinya aku ikut berduka cita atas kepergian ibumu," ujar Laura lagi. "Terima kasih," jawab Nita singkat."Mama ...," panggil Arkanza. Laura yang melihat itu berniat mengambil Arkanza. Namun tak jadi, karena Nita langsung sigap menghampiri anaknya."Kamu sudah besar ya, Sayang. Tante senang bisa melihatmu," ujar Laura sambil tersenyum manis. Namun senyuman itu bagaikan bisa dari ular, mematikan."Oh ya, Tante. Papi dan Mami sudah datang ke Indonesia, jadi kapan Tante akan mampir ke rumahku?"
Putri menepis tangan Aryo dan mengusap air matanya kasar. Ia berlalu pergi dari hadapan tiga orang itu dan masuk ke kamar untuk membereskan pakaiannya."Mi, Pi? Ada apa ini, kenapa istriku menangis?" tanya Aryo yang tak paham dengan keadaan saat ini."Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ujar Resa cuek."Maksud kalian bagaimana?" tanya Aryo masih tak paham."Aku hanya meminta dia meninggalkanmu dan akan memberikan imbalan padanya jika menuruti keinginan kami sebagai orangtuamu, tapi sepertinya perempuan itu terlalu angkuh, padahal dia hanyalah seseorang yang berada di kalangan bawah.""Entah apa yang diajarkan orangtuanya dulu, sehingga putri mereka besar menjadi seorang penggoda, apalagi untuk menggoda laki-laki kaya dan--""STOP!" bentak Aryo pada maminya. Resa yang mendengar bentakan sang anak langsung membulatkan matanya dengan sempurna."Aryo!" bentak sang Ayah tak terima dengan perlakuan putranya pada sang istri."Aku tak pernah menyangka kedatangan kalian ke sini hanya untuk
Putri bangun dengan badan yang terasa sedikit pegal. Putri melirik jam di dinding, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Ia sudah tak bekerja lagi, dia memilih untuk resign dari pekerjaannya. Namun, walau begitu Aryo tak pernah memaksa Putri untuk berhenti bekerja.Toh, seandainya Putri tak bekerja Aryo masih bisa memberikan apapun yang Putri inginkan. Putri lalu memilih untuk pergi ke kamar mandi sambil membersihkan diri. Baru kali ini dia bangun kesiangan, hingga melewatkan salat subuh. Biasanya Putri selalu terbangun pagi, mungkin karena kelelahan ia jadi kebablasan untuk tidur.Setelah selesai mandi, Putri lalu memakai pakaian dan bergegas untuk pergi ke dapur menyiapkan makan pagi.Saat baru saja melangkahkan kaki ke dapur, tiba-tiba Resa, mertuanya berbicara dengan kalimat yang menyakitkan."Bagus! Enak ya, tidur sampai siang. Suami kerja nggak dibikinkan sarapan. Memang sih ya, paling enak jadi benalu. Apalagi dari keluarga yang kurang berada, lalu menikah dengan
*Nita terbangun sambil membuka matanya yang terasa berat akibat menangis semalaman."Mas,", panggil Nita saat melihat sang suami sudah tak berada di kamar. Ia lalu mengambil posisi duduk dan memegang kepalanya yang terasa sakit."Mas Damar," panggilnya sekali lagi. Namun masih tak kunjung ada sahutan, Nita lalu terdiam."Mungkin Mas Damar sudah berangkat bekerja,* gumam Nita, lalu turun dari tempat tidurnya. Ia segera mandi dan bergegas untuk ke kamar sang putra."Mama," panggil Nita saat melihat Aidansedang bercanda dengan Arkanza di ruang keluarga."Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Aida yang melihat sang menantu sudah ke luar dari kamar. Nita terlihat lebih segar dari kemarin."Ma, maaf ya, Nita kesiangan," ucap Nita pada Aida."Tidak apa-apa, Sayang. Mama mengerti dengan keadaanmu. Kamu harus bisa menerimanya dengan lapang dada, ya. Sejatinya manusia memang akan berpulang pada sang pencipta." Aida tersenyum sambil menatap Nita yang berjalan mendekati mereka berdua."Iya, Ma. Nita