ANDRAGuyuran air membuatku lebih tenang. Dalam kondisi ini munculah ide untuk menggunakan Elsa sebagai alat memberi pelajaran pada Resti. Dia harus mengalami apa yang Armila alami.Akan kulakukan drama seperti yang sering ia lakukan. Meski begitu, aku tak mau terjebak juga oleh Elsa. Dia tak baik sepertinya. Nanti, masalah akan terus bermunculanDi meja makan pun, Resti tetap marah-marah. Baru segitu saja sudah kelabakan. Bagaimana kalau aku bawa istri baru. Bisa mati dia. "Sudah, sudah, aku pusing! Oh ya besok kita ke undangan anak teman kerjaku. Kalau kamu tak mau, aku akan bawa Elsa!"Aku hampir lupa dengan undangan dari teman kerja. Karena butuh pasangan, terpaksa kuajak Resti. Kalau bawa Elsa bisa geger satu kantor. Lebih baik menghindari gosip daripada jadi bahan omongan para wanita yang sebagian dari mereka juga ingin bersamaku. "Apa? Sialan kamu. Jadi benar kamu selingkuh dengan dia, hah!""Mungkin iya. Putuskan mau ikut atau tidak biar jelas harus bilang pada Elsa atau tid
REIGA"Apa yang kalian lakukan? Terkutuk kalian!"Aku menghambur ke arah pasangan yang sedang bergulung dalam satu selimut. Sontak mereka menghentikan aktivitas laknat di ranjangku sendiri."Jadi gosip itu benar, kalian memang berhubungan di belakangku, hah!"Satu tinju kuarahkan pada wajah lelaki yang masih melindungi tubuh polosnya dengan selimut. Karena tak puas kutimpakan lagi satu hantaman.Pukulan demi pukulanku diiringi jeritan Arin. Karena gaduh, pelayan di rumah ini sampai masuk ke ruangan. Aku pun dicekal agar tak lebih ganas menghajar selingkuhan Arin."Lepas, biar kubunuh bajingan itu!" "Sudah Pak, sudah!"Dua pelayan mencekalku agar tak bisa lagi bergerak. Pemberontakan terhenti ketika selingkuhan Arin terkapar tanpa daya.Aku dibawa keluar untuk ditenangkan. Dua pelayan ini tak melepas cengkraman hingga dipastikan aku sudah tenang.Setelah duduk di teras samping, salah seorang dari mereka menyodorkan minuman. Mereka juga bilang aku harus minum dan menghirup udara berula
Lamunanku buyar kala sapaan dari Andra terdengar dari arah belakang. Pria itu sudah berdiri dengan jarak sekitar satu meter dari tempatku berada.Pria itu mendekat hingga kami berdiri bersisian. Aku tahu apa maksudnya mendekatkan diri begini. Pasti soal Armila."Saya masih mencintai Armila, sangat mencintainya. Saya akan terus berupaya meluluhkan hatinya. Saya memang pernah khilaf dan akan menebus kesalahan itu meski harus banyak berkorban.""Saya pernah di posisi Armila, dan tahu sekali sesakit apa dikhianati. Saya rasa Anda akan sangat sulit mendapat kepercayaan lagi. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun atau bahkan tidak sama sekali."Kini kami berhadapan. Pria berahang tegas itu menajamkan pandangan. Mungkin tersinggung dengan kata-kata tadi. Sayangnya itu fakta, Armila tak selemah dari tampilannya. Dia itu pemegang prinsip. Tidak, ya tidak.Bahkan, aku pun mundur untuk menyatakan cinta dulu sewaktu SMP sebab tahu prinsipnya. Ia pernah mengatakan tak mau main hati sebelum siap naik
ARMILAAku sangat emosi ketika mas Andra marah-marah gak jelas. Seolah aku ini pendosa berat hanya karena keluar rumah di masa iddah.Aku paham perempuan di masa iddah tak boleh menerima lamaran atau punya hubungan dengan lelaki manapun. Aku bukan perempuan gatal seperti Resti. Armila punya harga diri. Takkan ia merendahkan diri demi seorang laki-laki.Kandasnya pernikahan ini membuatku berpikir seribu kali untuk membuka pintu hati pada laki-laki. Bukan berarti mau balikan juga ke mas Andra, tidak sama sekali.Aku terlampau sakit hati diduakan, dimaki, difitnah dan ditalak begitu saja. Meski hal tersebut telah disesali mas Andra, aku tak peduli. Hati ini sudah berdarah-darah jadi jangan harap termakan bujuk rayunya.Apalagi masih ada Resti. Wanita ular itu pasti takkan tinggal diam atas niat mas Andra rujuk denganku. Dia akan melakukan segala cara untuk menghalanginya.Cukup sekali aku mengalami masa diinjak-injak hingga berujung talak. Saat ada di masa itu, aku seperti bukan manusia
ARMILAKalau tak ada ketukan di pintu, aku mungkin akan terus terlelap bersama Affan. Kaget juga kenapa jadi ketiduran padahal tadi janji mau menyerahkan Affan pada mas Andra."Bu, maaf, bapak nungguin dari tadi!"Aku cepat-cepat merapikan diri sebelum keluar menemui mas Andra. Kasihan juga dia menunggu kami yang tengah tertidur."Bapak eudah makan, Bi?""Sudah, Bu. Tadi saya siapkan di meja makan!""Makasih, Bi, sekarang bapak di mana?""Di gajebo lagi ngelamun. Ehm, saya jadi kasihan, Bu! Eh, maaf!"Aku meninggalkan bi Cicah yang lagi senyum-senyum malu.. Sebenarnya wanita itu baik pada mas Andra, tapi sempat benci saat aku disakiti.Kupandangi mas Andra dari balik pintu. Pria itu tengah khusyuk menatap gulungan awan yang warnanya kini tengah menguning.Sepertinya ia tak sedang benar-benar menatap awan. Pikirannya mungkin tengah mengembara hingga mata pun tak fokus pada fakta di depannya."Maaf, Mas tadi aku ketiduran. Affan masih tidur, kasihan kalau dibangunin." "Iya, tak apa. Ay
RESTIMas Andra masih mengharapkan balikan sama Armila. Nyata banget kulihat di pesta pernikahan anak temannya. Pria itu mencuekkanku demi mengejar mantannya. Brengsek banget emang. Aku hanya bisa menahan gelegak emosi melihat kebucinan mas Andra. Dia benar-benar tak menghargaiku lagi. Di benaknya hanya ada Armila dan Armila.Terus, aku dianggap apa?Sepertinya aku harus menghentikan hayalan mas Andra untuk kembali pada Armila. Enak saja, perceraian ini telah terjadi berkat kerja kerasku. Masa sekarang harus dihancurkan oleh rujuk.Lihat saja, Resti bukan wanita lemah yang hanya bisa menangisi keadaan. Aku bisa berbuat apapun demi mencapai tujuan."Awww!"Aku meringis sebab tubuh rasa ditimpa benda keras. Ternyata aku ditabrak seorang laki-laki paruh baya. Meski sudah berumur, tubuhnya masih kekar. Buktinya aku sampai kesakitan saat bertabrakan."Maaf, Nona saya berjalan tidak fokus Maafkan sekali lagi!"Tadinya aku mau marah, tapi mulut rasa dikunci pas mendengar suara lembutnya. Se
RESTIOh, iya. Ya, ampun pertanda apakah ini aku bertemu dengan pria itu lagi. Mau apa orang itu di sini? Masa iya belanja?"Saya sedang mengontrol butik milik almarhum istri. Kalau tidak keberatan, mari mampir!""Tapi, saya-!""Sebentar saja, tempatnya tak jauh dari sini!""Ba, baik!"Aku mengikuti langkah kaki pria yang mungkin usianya hampir dua kali lipat dari usiaku. Meski begitu, postur dan gaya jalannya masih terlihat gagah.Pikiranku jadi liar ketika membayangkan hal terlarang. Mungkin ini efek lalainya mas Andra atas nafkah batinku.Huh, jangan salahkan aku yang pada akhirnya kelaparan. Apalagi aku masih tergolong pengantin baru.Aku terperangah katika masuk ke butik milik tuan Bima. Ternyata bukan butik kaleng-kalengan. Argh, napsuku pada barang-barang mentereng itu jadi meronta-ronta.Setiap mata memandang, yang terlihat hanya pakaian indah nan memesona. Kalau bisa, aku ingin membawa sebagian besar pulang."Ini butik peninggalan almarhum istri saya. Sekarang yamg mengelola
ANDRAKeputusan sidang perceraian telah membuatku merasa jadi manusia paling sengsara di dunia. Biduk rumah tangga yang baru dijalani tiga tahun harus kandas akibat terjangan badai. Sebagai nahkoda, aku telah gagal mengarahkan bahtera ini menuju pelabuhan bahagia. Kapalku karam di setengah jalan. Meski Armila masih dalam masa iddah, untuk saat ini tetap tak punya jalan rujuk. Wanita itu kukuh dalam pendiriannya. Tak mau kembali. Maka dari itu harapan sepertinya harus kuempas jauh-jauh.Sakit, jelas terasa. Hatiku yang telah terpotong, kini diiris tipis-tipis. Tiap irisan itu mengalirkan darah hingga seluruh bagiannya memerahSatu minggu ini aku terus larut dalam lumpur kesedihan. Aku tak peduli dengan semua urusan termasuk tingkah Resti dan hal apapun juga.Aku hanya ingin menikmati kesendirian dalam gulita malam. Bahkan ketika mentari menyengat pun, aku tetap merasa ada dalam kepekatan malam.Sungguh, perpisahan adalah hukuman paling berat yang kurasakan sebab menyakiti Armila. Ribu
ANDRA. Sangat beruntung lelaki yang memiliki Istri baik. Mereka siap membersamai dalam suka dan duka. Tak menuntut di luar kemampuan suami. Akan selalu berusaha menciptakan kenyamanan di rumahnya. Siap mengingatkan saat lelaki tersesat.Pantaslah menikah disebut sebagai ibadah sepanjang masa. Banyak pengorbanan yang dibutuhkan demi kelanggengannya. Kadang air mata terkuras di dalamnya. Menikah adalah menitipkan hidup pada pasangan. Sekaligus dititipkan kehidupan lain. Harus saling menjaga hingga raga bercerai dari nyawa.Setelah bertukar pendapat, kami sepakat untuk liburan ke Yogyakarta dan beberapa kota lain sekitarnya. Dirasa seminggu cukup menghabiskan waktu di sana. Untuk perjalanan jauh pun tak khawatir sebab anak-anak sudah bisa diajak jauh.Ketika diinfokan akan liburan, mama dan papa antusias untuk ikut. Mereka mengatakan pasti ikut. Baguslah, makin rame, makin seru.Kasihan juga kalau tak diajak. Para orang tua juga butuh hiburan di tengah kesuntukan. Mereka pasti akan se
ANDRASebelum Resti menyabetkan pisau, satu tembakan menembus tangannya. Ia histeris hingga seperti orang kesurupan. Pastilah tembusan peluru itu sangat menyakitkan. Aku dan Armila mundur. Dan, polisi pun melaksanakan tugasnya. Jeritan Resti hilang sama sekali setelah kami berhasil keluar dari gudang ini. Mungkin pingsan akibat sakit dahsyat. "Kalian tak apa?" tanya Reiga. Ia bicara berlomba dengan napas tersengal-sengal. "Tidak, kami selamat. Ide dokter Reiga memang top!" pujiku.Kami saling menepukkan tangan, lalu tertawa bersama. Sepertinya kemenangan ini harus dirayakan. Juga disyukuri sebab ini semata-mata berkat pertolongan Allah. *Di tempat persembuyian Rafael dan Resti, ditemukan narkoba. Dari penelusuran polisi mereka diketahui bukan hanya pemakai, tapi pengedar.Lepas dari penjara keduanya tak punya apa-apa. Mereka melakukan apapun demi bertahan hidup hingga bertemu gembong narkoba. Darisanalah berlanjut kejahatannya. Hukuman Rafael dan Resti kali ini takkan sebentar.
ANDRASungguh aku berat melepas Armila sebagai umpan. Tapi, hanya dia yang saat ini bisa menjadi pemancing Resti dan Rafael keluar dari sarang. Kalau tak dihentikan segerq, dua penjahat itu akan terus berkeliaran. Meneror kami kapan dan di mana pun. Orang yang sudah biasa berbuat jahat, sulit diluruskan. Hanya hukuman badan yang bisa menghentikannyq. Kali ini mereka akan lama masuk penjaranya.Dengan sangat terpaksa kuizinkan Armila jadi umpan. Karena tahu keraguanku, Reiga terus meyakinkan bahwa Armila akan baik-baik saja. Ia pun terus bilang bahwa kami harus berani agar masalah selesai. Wanita itu memang pemberani. Tak takut meski nyawa taruhannya. "Resti dan Rafael sudah tak waras. Kalau tak dihentikan mereka bisa membunuh kita semua!" jelas Reiga. Ia pantang menyerah melemoar argumen agar izinku keluar. "Oke, penjagaan pada Armila harus berlapis. Aku tak mau ambik resiko." tekanku pada Reiga. Aku tak mau spekulasi pada keselamatan nyawanya. Bisa merasa bersalah seumur hidup kala
ARMILAAku setuju sebab kelakuan sejoli jahat itu sudah keterlaluan. Mereka memang niat balas dendam dengan cara menimpakan keburukan pada kami.Seminggu setelah mas Andra pulang, barulah Reiga mengajak kami diskusi. Katanya dia sudah punya ide untuk menjebak mereka.Reiga juga minta bantuan sepupunya yang memang bekerja sebagai polisi. Ternyata Rafael dan Resti memang sedang dalam incaran. Mereka terindikasi kuat sebagaipemakai sekaligus pengedar narkoba.Baguslah, kalau nanti dipenjara akan lebih lama lagi sebab deliknya bukan hanya penganiayaan pada manusia. Tapi ada juga delik pengedaran narkoba. Pasti hukumannya berlipat-lipat.Aksi akan dimulai. Yang jadi pancingan adalah aku. Awalnya mas Andra tak setuju, tapi Reiga akan menjamin keselamatan. Masalahnya kondisi mas Andra belum mungkin bepergian. Karena tangan dan kakinya masih belum pulih utuh.Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Tapi di radius tertentu sudah ada yang mengawal. Reiga bahkan membayar preman untuk jadi bodyg
ARMILAMendengar itu aku langsung menengok ke belakang. Ternyata benar ada mobil yng mencurigakan.Mobil itu ikut ngebut saat mang Dadang ngebut. Lambat kalau kami melambat. Bahkan ikut berhenti kala berhenti.Irna langsung menghubungi suaminya dan suami bu Erni untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Aku tak mungkin menelpon mas Andra sebab bisa syok berat.Kubilang pada Irna agar Reiga minta bantuan pada orang lain. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa kami.Karena takut kecelakaan seperti mas Andra, mang Dadang menghentikan mobil. Katanya mereka berusaha menghancurkan konsentrasi hingga nanti gagal fokus dan celaka di jalan.Kami menunggu apa yang akan dilakukan pengemudinya. Kami bertiga sudah siap dengan segala kemungkinan."Semprotannya siapin, kalau emang orang jahat nanti kita kasih cairan ini."Ini adalah cairan berisi merica dan cabe. Lumayan perih kalau disemprotkan pada mata. Mang Dadang juga sudah siap dengan pentungan kayu yang memang dipersiapkan dari rumah.Syukurl
ARMILAAku histeris mendengar mas Andra dan anak-anak kecelakaan. Kanaya yang ada di pangkuan jadi terbawa ibunya. Ia pun menjerit dan menangis.Untung bi Enah cepat tanggap. Wanita paruh baya ini mengambil Kanaya dan berusaha menenangkannya."Ibu jangan panik, ayo siap-siap ke rumah sakit!"Kata-kata bi Enah membuatku sadar bahwa harus segera pergi ke rumah sakit. Tak perlu dandan lama. Cukup baju sopan, tas, dompet plus HP.Aku pergi bersama Irna yang sama syoknya sebab Devan pun ikut dalam kendaraan itu. Di mobil, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan. Ketakutan benar-benar mencengkram jiwa.Mobil yang dikemudikan mang Dadang terasa lambat. Padahal katanya sudah ngebut. Mungkin ini karena perasaan tak sabar ingin segera sampai."Mang, cepetan, Mang!""Gak bisa lagi, Bu, Nanti ditilang polisi!"Terpaksa aku dan Irna harus menambah stok sabar. Untunglah Reiga sudah ada di sana. Jadi kami percayakan dulu padanya.Akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat mas Andra dan anak-anak
ANDRAUntunglah cepat sadar bahwa di sini sedang bersama dua jagoan. Langsung saja tinggalkan dulu mainan untuk dua putri.Mereka tak ada di tempat mencari mainan awal. Langsung kukitari seluruh sudut toko ini."Mba, lihat anak saya. Dua anak kecil, umur tujuh tahunan. Pakai baju baju kotak-kotak biru!""Oh, tadi lagi di tempat robot! Di sebelah kiri, Pak!"Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju tempat yang ditunjuk. Tak ada ternyata!Aku panik! Bayangan buruk mulai masuk ke otak. Dan itu sukses mengguncang perasaan. Jantung ini mulai bertabuhan kencang."Affan, Devan, kalian di mana?"Aku minta pada penjaga toko untuk bantu mencarikan anak-anak. Mereka bersedia dan mulai berpencarKupanggil berulang dua nama itu. Rasanya benar-benar seperti sedang olahraga jantung. Aku pun tak absen merutuki kecerobohan diri.Di dekat foodcourt aku melihat Devan dan Affan sedang bicara dengan seorang wanita. Dari gayanya aku yakin dia adalah mantan narapidana itu. Meski memyamar, mata tak bisa
ANDRA"Jagoan, Papa kangen!"Aku menggendong Affan yang seminggu ini tak bertemu. Rasanya seperti setahun saking rindu.Kebersamaan dengan ratu, pangeran dan putriku serupa candu. Canda tawa Armila, Affan dan Kanaya menjadi mood booster bagi kehidupan Umur Affan sekarang tujuh tahun, sudah masuk sekolah dasar. Adiknya baru dua tahun. Kami memang sepakat untuk memberinya adik di usia lima tahun. Dan alhamdulillah dikabulkan.Reiga pun demikian, seperti kompetisi. Mereka juga telah punya dua. Putri juga adik Devan itu. Namanya Kayyisa.Hidup kami enam tahun ini diliputi ketenangan. Hanya ada riak-riak kecil kalaupun konflik suami istri. Lepas itu kembali damai dengan kualitas hubungan makin rekat."Hmm, sama mama gak kangen, kah?"Armila, wanita sumber ketenangan hidup muncul dari balik pintu. Aku langsung menghampiri dan memasukkan tubuhnya dalam pelukan. Untunglah Affan dan Kanaya sudah lepas dari gendongan. Sekarang sedang sibuk dengan oleh-oleh. "Aku sekarat merinduimu," bisikku m
RESTIJujur, aku muak dengan rengekan pria tua ini. Harusnya aku tak bersedia menemuinya agar tak harus mendengar kebaperan lelaki tak berguna ini."Sudahlah, Mas. Kalau mau menceraikan, ceraikan saja. Dan, ingat jangan pernah menemuiku lagi. Aku muak!"Aku tak peduli dengan penderitaannya akibat dikhianati. Salah sendiri dia tua dan lemah. Wajarlah aku cari kesenangan lain sebab tak pernah dipuaskan."Apa kamu tak merasa bersalah sedikit pun, Resti? Sebusuk itukah hatimu?""Kalau tak ada yang ingin di katakan lagi aku mau pergi. Dengar, aku bosan mendengar celotehanmu, jadi aku beri kesempatan terakhir mau bicara apa lagi?"Mas Bima menghela napas berat, kemudian memandangku tajam. Lalu terucap dari mulutnya ucapan cerai, maka resmi sudah aku jadi janda untuk kedua kalinya.Tak masalah karena itu lebih baik. Untuk apa juga masih berstatus istrinya tapi tidak akan lagi diterima. Yang ada hanya akan menerima hinaan kalaupun keluar dari penjara dan kembali ke rumah itu. Lebih baik nanti