RESTIOh, iya. Ya, ampun pertanda apakah ini aku bertemu dengan pria itu lagi. Mau apa orang itu di sini? Masa iya belanja?"Saya sedang mengontrol butik milik almarhum istri. Kalau tidak keberatan, mari mampir!""Tapi, saya-!""Sebentar saja, tempatnya tak jauh dari sini!""Ba, baik!"Aku mengikuti langkah kaki pria yang mungkin usianya hampir dua kali lipat dari usiaku. Meski begitu, postur dan gaya jalannya masih terlihat gagah.Pikiranku jadi liar ketika membayangkan hal terlarang. Mungkin ini efek lalainya mas Andra atas nafkah batinku.Huh, jangan salahkan aku yang pada akhirnya kelaparan. Apalagi aku masih tergolong pengantin baru.Aku terperangah katika masuk ke butik milik tuan Bima. Ternyata bukan butik kaleng-kalengan. Argh, napsuku pada barang-barang mentereng itu jadi meronta-ronta.Setiap mata memandang, yang terlihat hanya pakaian indah nan memesona. Kalau bisa, aku ingin membawa sebagian besar pulang."Ini butik peninggalan almarhum istri saya. Sekarang yamg mengelola
ANDRAKeputusan sidang perceraian telah membuatku merasa jadi manusia paling sengsara di dunia. Biduk rumah tangga yang baru dijalani tiga tahun harus kandas akibat terjangan badai. Sebagai nahkoda, aku telah gagal mengarahkan bahtera ini menuju pelabuhan bahagia. Kapalku karam di setengah jalan. Meski Armila masih dalam masa iddah, untuk saat ini tetap tak punya jalan rujuk. Wanita itu kukuh dalam pendiriannya. Tak mau kembali. Maka dari itu harapan sepertinya harus kuempas jauh-jauh.Sakit, jelas terasa. Hatiku yang telah terpotong, kini diiris tipis-tipis. Tiap irisan itu mengalirkan darah hingga seluruh bagiannya memerahSatu minggu ini aku terus larut dalam lumpur kesedihan. Aku tak peduli dengan semua urusan termasuk tingkah Resti dan hal apapun juga.Aku hanya ingin menikmati kesendirian dalam gulita malam. Bahkan ketika mentari menyengat pun, aku tetap merasa ada dalam kepekatan malam.Sungguh, perpisahan adalah hukuman paling berat yang kurasakan sebab menyakiti Armila. Ribu
ANDRATiap hari Resti pergi pagi pulang malam. Entah ke mana dan melakukan apa. Awalnya aku tak peduli, tapi lama-lama gerah juga dengan tingkah tak patutnya itu.Sepertinya aku harus menyuruh orang untuk mengikuti ke mana Resti pergi. Aku punya firasat buruk terkait tingkahnya kali ini. Sebelum makin parah, baiknya dideteksi dari sekarang.Aku membayar seseorang untuk mengintai Resti. Dia wajib melaporkan kegiatanmya siang dan malam. Pergi ke mana dan dengan siapa musti didata.Terpaksa kulakukan ini sebab sudah paham tabiatnya. Ia pasti tengah asyik dengan sesuatu yang mungkin tak baik. Atau malah tengah membuat kejutan buruk lagi..Sebelum terlambat, aku harus segera bertindak. Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Aku tak mau terjebak terus menerus dalam permainannya.Di hari pertama belum ada kabar aneh dari orang bayaran. Dia hanya melaporkan kegiatan biasa saja. Belanja dan juga kumpul bareng temannya.Begitupun di hari ketiga. Masih sama laporannya hingga aku berpikir meman
RESTIPria ini menceraikanku tanpa basa-basi. Jelas aku tak terima perlakuannya. Aku tidak berhubungan jauh dengan om Bima hanya sekedar jalan, makan dan ke butiknya. Jangankan berzina, pegangan juga tidak."Kenapa dengan mudahnya mas menceraikan aku. Lelaki macam apa kau ini? Idiotkah? Harusnya kau tanya siapa lelaki itu dan bagaimana hubungan kami. Bukan malah menyimpulkan sendiri!" serangku dengan menatap mata itu dengan garang. Kemarahan telah menguasaiku hingga tak ada lagi takut atau gentar padanya. "Bukan hanya persoalan Bima yang membuatku hari ini memutuskan perpisahan. Tapi, kelakuanmu sebelumnya adalah pertimbangan matang untuk ini. Maaf, Resti, kata talak telah kuucap dengan sadar. Jadi kita resmi berpisah!"Pria itu menjelaskan denagn nada tenang. Tak ada kemarahan seperti biasa. Ia sepertu sudah menyiapkan ini dengan matang. "Mengapa baru sekarang kau ungkit kelakuan itu, hah! Aku juga sudah tidak berbuat seperti itu lagi'kan! Nomor Armila saja sudah kublokir. Lantas,
RESTIOm Bima mulai berani mengirim pesan padahal tahu aku bukan wanita single. Awalnya berisi sapaan biasa, lama-lama ngajak ketemuan.Aku takut sebenarnya main api di belakang mas Andra. Jujur, meskipun pria itu sekarang menyebalkan, perasaanku padanya masihlah dalam.Pada mas Andra aku bukan sekedar ingin harta atau hidup berkecukupan. Aku memiliki perasaan khusus yang tak pernah ada sebelumnya pada laki-laki lain. Cinta seperti itulah mungkin.Makanya ketika masa Andra memutuskan untuk menikahi, aku benar-benar bahagia saat itu. Cinta yang sekian lama terpendam tak bertepuk sebelah tangan lagi.Hanya saja aku tak puas ketika menjadi istri kedua. Apalagi saat tahu perasaan Mas Andra pada Armila itu sangat dalam. Kadang secara tak sengaja ia memanggil namaku dengan namanya. Dan itu menyebalkan. Jangan-jangan ketika memadu asmara pun yang terlintas itu bayangannya. Hal itu menyulut api kecemburuan. Makin lama api tersebut makin berkobar hingga Aku sanggup meluncurkan beragam fitnah
ANDRASetelah menceraikan Resti, aku keluar dari rumah itu. Sudah kubayar satu rumah kontrakan yang tak jauh dari tempat kerja. Aku tak mungkin tinggal dengan dua mantan, tak bisa juga beli rumah baru. Bisa terkuras seluruh keuangan. Untuk tinggal di rumah orang tua juga tak memungkinkan. Bukan ketenangan yang ada di sana, tapi tekanan batin lebih besar lagi.Agenda berikutnya adalah menyampaikan perceraian pada orang tua Armila dan Resti. Aku meminta putri mereka baik-baik, maka melepasnya pun harus baik.Meski tahu konsekuensi apa yang akan diterima, sebagai lelaki aku harus berani. Tak boleh lari dari kenyataan, apalagi bersembunyi.Kandasnya dua pernikahan adalah salahku. Tak becus memerankan diri sebagai pemimpin rumah tangga. Napsu yang berada dibawah logikalah penyebabnya.Sekarang, aku sendiri. Baik siang maupun malam hanya berteman kesunyian. Tak ada istri, maupun anak yang dulu kala menatapnya sanggup mengganti segala kelelahan.Affan, aku hanya bisa menjenguknya sesekali.
ANDRAAku, mang Dadang dan Armila membawa keduanya ke rumah sakit. Di sana pun kamilah yang mengurus administarsi dan menungguinya."Aku yang salah. Kalau ada apa-apa pada mereka aku takkan memaafkan diri sendiri. Aku memang brengsek sudah menyakiti banyak orang."Armila terus menangis di sisiku. Ia tak bicara atau menanggapi ocehan mantan suaminya ini. Sesekali tangannya menyeka air mata yang terus berjatuhan.Saat ini, aku hanya bisa merutuki diri atas masalah yang datang bertubi-tubi. Aku merasa telah jadi manusia paling bodoh di dunia ini."Maafkan, maafkan aku!"*Aku pulang meski kondisi orang tua Armila belum membaik. Pulang kali ini sama dengan diusir sebab keberadaanku hanya akan memperburuk kondisi orang tua. Aku pergi diiring tatapan kebencian seluruh anggota keluarga. Kakak dan adik Armila yang dulu teramat dekat, kini membuang muka..Pasti di dalam benak mereka, aku adalah mahluk paling durjana. Biar saja, aku tak akan menyanggahnya. Itu hak mereka. Bahkan ketika mencap
RESTI"Cukup, cukup! Jangan sampai dia mati, nanti kita berurusan dengan polisi!"Aku berteriak-teriak agar dua lelaki yang sedang menghajar mas Andra berhenti. Karena tak mau berhenti aku memukul abang dengan gagang sapu."Apa-apaan kamu, Resti?" bentaknya. Matanya nyalang dan wajah menyeramkan."Berhentilah, nanti dia mati. Masuk penjara lagi abang baru tau rasa!"Mendengar itu dia mau menuruti permintaanku. Lalu, memaksa ayah untuk tak memukul mas Andra lagi.Aku menyuruh abang memeriksa mas Andra apakah masih bernapas atau tidak. Untunglah masih hidup. Karena takut ada masalah, kami sepakat pria ini dirawat di sini saja."Abang saja yang obati dia. Aku gak mau!""Enak saja, abang tak sudilah!"Karena tak ada yang mau mengurus mas Andra, terpaksa aku melakukannya. Merepotkan saja.Aku membersihkan darah yang mengalir di beberapa bagian tubuh mas Andra. Lalu, membalurnya dengan minyak but-but andalan mama. Katanya bisa cepat mengeringkan luka.Omelanku tak berhenti sepanjang merawat
ANDRA. Sangat beruntung lelaki yang memiliki Istri baik. Mereka siap membersamai dalam suka dan duka. Tak menuntut di luar kemampuan suami. Akan selalu berusaha menciptakan kenyamanan di rumahnya. Siap mengingatkan saat lelaki tersesat.Pantaslah menikah disebut sebagai ibadah sepanjang masa. Banyak pengorbanan yang dibutuhkan demi kelanggengannya. Kadang air mata terkuras di dalamnya. Menikah adalah menitipkan hidup pada pasangan. Sekaligus dititipkan kehidupan lain. Harus saling menjaga hingga raga bercerai dari nyawa.Setelah bertukar pendapat, kami sepakat untuk liburan ke Yogyakarta dan beberapa kota lain sekitarnya. Dirasa seminggu cukup menghabiskan waktu di sana. Untuk perjalanan jauh pun tak khawatir sebab anak-anak sudah bisa diajak jauh.Ketika diinfokan akan liburan, mama dan papa antusias untuk ikut. Mereka mengatakan pasti ikut. Baguslah, makin rame, makin seru.Kasihan juga kalau tak diajak. Para orang tua juga butuh hiburan di tengah kesuntukan. Mereka pasti akan se
ANDRASebelum Resti menyabetkan pisau, satu tembakan menembus tangannya. Ia histeris hingga seperti orang kesurupan. Pastilah tembusan peluru itu sangat menyakitkan. Aku dan Armila mundur. Dan, polisi pun melaksanakan tugasnya. Jeritan Resti hilang sama sekali setelah kami berhasil keluar dari gudang ini. Mungkin pingsan akibat sakit dahsyat. "Kalian tak apa?" tanya Reiga. Ia bicara berlomba dengan napas tersengal-sengal. "Tidak, kami selamat. Ide dokter Reiga memang top!" pujiku.Kami saling menepukkan tangan, lalu tertawa bersama. Sepertinya kemenangan ini harus dirayakan. Juga disyukuri sebab ini semata-mata berkat pertolongan Allah. *Di tempat persembuyian Rafael dan Resti, ditemukan narkoba. Dari penelusuran polisi mereka diketahui bukan hanya pemakai, tapi pengedar.Lepas dari penjara keduanya tak punya apa-apa. Mereka melakukan apapun demi bertahan hidup hingga bertemu gembong narkoba. Darisanalah berlanjut kejahatannya. Hukuman Rafael dan Resti kali ini takkan sebentar.
ANDRASungguh aku berat melepas Armila sebagai umpan. Tapi, hanya dia yang saat ini bisa menjadi pemancing Resti dan Rafael keluar dari sarang. Kalau tak dihentikan segerq, dua penjahat itu akan terus berkeliaran. Meneror kami kapan dan di mana pun. Orang yang sudah biasa berbuat jahat, sulit diluruskan. Hanya hukuman badan yang bisa menghentikannyq. Kali ini mereka akan lama masuk penjaranya.Dengan sangat terpaksa kuizinkan Armila jadi umpan. Karena tahu keraguanku, Reiga terus meyakinkan bahwa Armila akan baik-baik saja. Ia pun terus bilang bahwa kami harus berani agar masalah selesai. Wanita itu memang pemberani. Tak takut meski nyawa taruhannya. "Resti dan Rafael sudah tak waras. Kalau tak dihentikan mereka bisa membunuh kita semua!" jelas Reiga. Ia pantang menyerah melemoar argumen agar izinku keluar. "Oke, penjagaan pada Armila harus berlapis. Aku tak mau ambik resiko." tekanku pada Reiga. Aku tak mau spekulasi pada keselamatan nyawanya. Bisa merasa bersalah seumur hidup kala
ARMILAAku setuju sebab kelakuan sejoli jahat itu sudah keterlaluan. Mereka memang niat balas dendam dengan cara menimpakan keburukan pada kami.Seminggu setelah mas Andra pulang, barulah Reiga mengajak kami diskusi. Katanya dia sudah punya ide untuk menjebak mereka.Reiga juga minta bantuan sepupunya yang memang bekerja sebagai polisi. Ternyata Rafael dan Resti memang sedang dalam incaran. Mereka terindikasi kuat sebagaipemakai sekaligus pengedar narkoba.Baguslah, kalau nanti dipenjara akan lebih lama lagi sebab deliknya bukan hanya penganiayaan pada manusia. Tapi ada juga delik pengedaran narkoba. Pasti hukumannya berlipat-lipat.Aksi akan dimulai. Yang jadi pancingan adalah aku. Awalnya mas Andra tak setuju, tapi Reiga akan menjamin keselamatan. Masalahnya kondisi mas Andra belum mungkin bepergian. Karena tangan dan kakinya masih belum pulih utuh.Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Tapi di radius tertentu sudah ada yang mengawal. Reiga bahkan membayar preman untuk jadi bodyg
ARMILAMendengar itu aku langsung menengok ke belakang. Ternyata benar ada mobil yng mencurigakan.Mobil itu ikut ngebut saat mang Dadang ngebut. Lambat kalau kami melambat. Bahkan ikut berhenti kala berhenti.Irna langsung menghubungi suaminya dan suami bu Erni untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Aku tak mungkin menelpon mas Andra sebab bisa syok berat.Kubilang pada Irna agar Reiga minta bantuan pada orang lain. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa kami.Karena takut kecelakaan seperti mas Andra, mang Dadang menghentikan mobil. Katanya mereka berusaha menghancurkan konsentrasi hingga nanti gagal fokus dan celaka di jalan.Kami menunggu apa yang akan dilakukan pengemudinya. Kami bertiga sudah siap dengan segala kemungkinan."Semprotannya siapin, kalau emang orang jahat nanti kita kasih cairan ini."Ini adalah cairan berisi merica dan cabe. Lumayan perih kalau disemprotkan pada mata. Mang Dadang juga sudah siap dengan pentungan kayu yang memang dipersiapkan dari rumah.Syukurl
ARMILAAku histeris mendengar mas Andra dan anak-anak kecelakaan. Kanaya yang ada di pangkuan jadi terbawa ibunya. Ia pun menjerit dan menangis.Untung bi Enah cepat tanggap. Wanita paruh baya ini mengambil Kanaya dan berusaha menenangkannya."Ibu jangan panik, ayo siap-siap ke rumah sakit!"Kata-kata bi Enah membuatku sadar bahwa harus segera pergi ke rumah sakit. Tak perlu dandan lama. Cukup baju sopan, tas, dompet plus HP.Aku pergi bersama Irna yang sama syoknya sebab Devan pun ikut dalam kendaraan itu. Di mobil, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan. Ketakutan benar-benar mencengkram jiwa.Mobil yang dikemudikan mang Dadang terasa lambat. Padahal katanya sudah ngebut. Mungkin ini karena perasaan tak sabar ingin segera sampai."Mang, cepetan, Mang!""Gak bisa lagi, Bu, Nanti ditilang polisi!"Terpaksa aku dan Irna harus menambah stok sabar. Untunglah Reiga sudah ada di sana. Jadi kami percayakan dulu padanya.Akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat mas Andra dan anak-anak
ANDRAUntunglah cepat sadar bahwa di sini sedang bersama dua jagoan. Langsung saja tinggalkan dulu mainan untuk dua putri.Mereka tak ada di tempat mencari mainan awal. Langsung kukitari seluruh sudut toko ini."Mba, lihat anak saya. Dua anak kecil, umur tujuh tahunan. Pakai baju baju kotak-kotak biru!""Oh, tadi lagi di tempat robot! Di sebelah kiri, Pak!"Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju tempat yang ditunjuk. Tak ada ternyata!Aku panik! Bayangan buruk mulai masuk ke otak. Dan itu sukses mengguncang perasaan. Jantung ini mulai bertabuhan kencang."Affan, Devan, kalian di mana?"Aku minta pada penjaga toko untuk bantu mencarikan anak-anak. Mereka bersedia dan mulai berpencarKupanggil berulang dua nama itu. Rasanya benar-benar seperti sedang olahraga jantung. Aku pun tak absen merutuki kecerobohan diri.Di dekat foodcourt aku melihat Devan dan Affan sedang bicara dengan seorang wanita. Dari gayanya aku yakin dia adalah mantan narapidana itu. Meski memyamar, mata tak bisa
ANDRA"Jagoan, Papa kangen!"Aku menggendong Affan yang seminggu ini tak bertemu. Rasanya seperti setahun saking rindu.Kebersamaan dengan ratu, pangeran dan putriku serupa candu. Canda tawa Armila, Affan dan Kanaya menjadi mood booster bagi kehidupan Umur Affan sekarang tujuh tahun, sudah masuk sekolah dasar. Adiknya baru dua tahun. Kami memang sepakat untuk memberinya adik di usia lima tahun. Dan alhamdulillah dikabulkan.Reiga pun demikian, seperti kompetisi. Mereka juga telah punya dua. Putri juga adik Devan itu. Namanya Kayyisa.Hidup kami enam tahun ini diliputi ketenangan. Hanya ada riak-riak kecil kalaupun konflik suami istri. Lepas itu kembali damai dengan kualitas hubungan makin rekat."Hmm, sama mama gak kangen, kah?"Armila, wanita sumber ketenangan hidup muncul dari balik pintu. Aku langsung menghampiri dan memasukkan tubuhnya dalam pelukan. Untunglah Affan dan Kanaya sudah lepas dari gendongan. Sekarang sedang sibuk dengan oleh-oleh. "Aku sekarat merinduimu," bisikku m
RESTIJujur, aku muak dengan rengekan pria tua ini. Harusnya aku tak bersedia menemuinya agar tak harus mendengar kebaperan lelaki tak berguna ini."Sudahlah, Mas. Kalau mau menceraikan, ceraikan saja. Dan, ingat jangan pernah menemuiku lagi. Aku muak!"Aku tak peduli dengan penderitaannya akibat dikhianati. Salah sendiri dia tua dan lemah. Wajarlah aku cari kesenangan lain sebab tak pernah dipuaskan."Apa kamu tak merasa bersalah sedikit pun, Resti? Sebusuk itukah hatimu?""Kalau tak ada yang ingin di katakan lagi aku mau pergi. Dengar, aku bosan mendengar celotehanmu, jadi aku beri kesempatan terakhir mau bicara apa lagi?"Mas Bima menghela napas berat, kemudian memandangku tajam. Lalu terucap dari mulutnya ucapan cerai, maka resmi sudah aku jadi janda untuk kedua kalinya.Tak masalah karena itu lebih baik. Untuk apa juga masih berstatus istrinya tapi tidak akan lagi diterima. Yang ada hanya akan menerima hinaan kalaupun keluar dari penjara dan kembali ke rumah itu. Lebih baik nanti