RESTI"Cukup, cukup! Jangan sampai dia mati, nanti kita berurusan dengan polisi!"Aku berteriak-teriak agar dua lelaki yang sedang menghajar mas Andra berhenti. Karena tak mau berhenti aku memukul abang dengan gagang sapu."Apa-apaan kamu, Resti?" bentaknya. Matanya nyalang dan wajah menyeramkan."Berhentilah, nanti dia mati. Masuk penjara lagi abang baru tau rasa!"Mendengar itu dia mau menuruti permintaanku. Lalu, memaksa ayah untuk tak memukul mas Andra lagi.Aku menyuruh abang memeriksa mas Andra apakah masih bernapas atau tidak. Untunglah masih hidup. Karena takut ada masalah, kami sepakat pria ini dirawat di sini saja."Abang saja yang obati dia. Aku gak mau!""Enak saja, abang tak sudilah!"Karena tak ada yang mau mengurus mas Andra, terpaksa aku melakukannya. Merepotkan saja.Aku membersihkan darah yang mengalir di beberapa bagian tubuh mas Andra. Lalu, membalurnya dengan minyak but-but andalan mama. Katanya bisa cepat mengeringkan luka.Omelanku tak berhenti sepanjang merawat
RESTI"Mas akan buktikan bahwa mas bukan lelaki brengsek. Mas akan datang pada ayahmu. Kita tak usah menunda lagi pernikahan. Segerakan saja adakan pesta besar-besaran."Rasanya pengen jingkrak-jingkrak saking bahagia. Harapanku untuk menjadi Nyonya kaya raya tinggal satu langkah lagi. Emang sih aku tak tahu seperti apa anak-anaknya. Tapi tenang Resti itu ahli drama. Aku pasti bisa meluluhkan hati mereka."Gimana dengan putra-putri, Mas. Aku takut mereka tak bisa menerima ibu tirinya yang masih terlalu muda. Bagaimana kalau mereka menyangka aku hanya mau harta mas Bima saja."Mas Bima mengelus rambut dan punggungku. Terdengar helaan berat dari bibirnya."Yang agak keras hanya si sulung. Selebihnya penurut. Tapi, mas akan bantu yakinkan kalau kamu pendamping terbaik."Aku melukis senyuman sebab merasa senang. Takluknya mas Bima di bawah kaki Resti adalah keberuntunganku selanjutnya.Waktu, aku tak sabar menanti perguliranmu. Semoga kau tak berkhianat hingga melambatkan jalanku mencapai
ARMILAJahat sekali keluarga itu. Harusnya dilaporkan polisi, tapi mas Andra tak mau. Ia bilang tak ingin berurusan lagi dengan keluarga itu. Lebih baik putus hubungan selamanya."Iya, Mas, aku akan pulang dulu ke rumah papa. Aku juga suka tak tenang tinggal di rumah itu. Takut saja bawaannya.""Aku juga akan menerima tawaran pindah ke kantor cabang. Sebenarnya berat berpisah dari Affan, tapi demi kebaikan, aku akan lakukan.. Nanti kita VC aja, ya."Aku setuju mas Andra menghilang dulu dari sini. Resti itu jahat. Dia bisa melakukan apapun. Jadi lebih baik kami menghilang sementara waktu."Mil, jika suatu saat kita berjodoh lagi, aku pastikan kita akan bertemu dalam keadaan lebih baik. Bagaimanapun aku tak pernah bisa melepas perasaan ini. Maaf, ya, Mil kalau aku masih terus berharap."Mulutku terkunci ketika kata-kata ini terucap dari bibir mas Andra. Aku juga bingung dengan perasaan sendiri yang ternyata tak bisa lama membencinya. Meski belum sanggup untuk bersama lagi, tapi takut ju
ARMILAAlhamdulilah mama siuman, begitupun dengan papa. Mereka hanya syok sebab tak kuat mendengar berita berat. Tidak ada efek parah pada organ jantung.Tak terbayang kalau sampai mama dan papa mengalami syok berat. Aku pasti tak bisa memaafkan diri sendiri. Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat seluruh anggota keluarga memarahi Mas Andra. Lebih parahnya lagi lelaki itu diusir. Untunglah tidak ada kekerasan fisik. Bagaimanapun aku kasihan kalau dia babak belur dihajar saudara-saudara.Selepas kepergian Mas Andra, kakak-kakakku mengadakan sidang lanjutan. Mereka mencecar dengan berbagai pertanyaan mengapa aku bertahan hingga sejauh ini. Maksudnya menyembunyikan rahasia begitu rapat.Aku mengatakan alasan mengapa merahasiakan semua ini pada mereka. Yang pertama aku tidak mau membebani keluarga dengan permasalahan rumah tangga. Yang kedua Aku tidak ingin ada mediasi dari pihak keluarga kami."Resti itu sangat licik. Dia pandai bersandiwara hingga mungkin kalian pun bisa yakin kalau aku y
ARMILAAku mengisi hari-hari di rumah orang tua dengan membantu katering mama. Hanya saja tak banyak sebab sering dilarang. Katanya urus saja Affan. Perempuan jangan sampai lupa anak demi pekerjaan."Mama 'kan sudah gak punya anak kecil, jadi bebas aja mau konsen ngurus usaha. Affan masih bayi, urus saja dia!"Itu jawabannya jika aku protes. Mama memang ibu rumah tangga tulen sampai adik bungsu kuliah. Ia buka katering karena sepi sendirian waktu itu. Katanya daripada gak ada gak ada kesibukan.Mama selalu menasehati kami agar tak lalai pada anak. Bekerja boleh, tapi jangan pernah menomorduakan rumah tangga dan anak.Maka dari itu ketika menikah dengan mas Andra, aku tak keberatan mundur dari pekerjaan. Tak masalah di rumah saja. Kebersamaan dengan keluarga membuatku mampu melupakan kenangan pahit beberapa bulan ke belakang. Canda tawa dan kehangatan memberiku motivasi besar untuk selalu optimis menjalani kehidupan.Pilihan pulang ke rumah orangtua ternyata memang tepat. Di sini aku
ARMILA Kak Reiga langsung membalas dengan ucapan bahwa dirinya akan datang. Pria itu pun berjanji akan membawa hadiah yang banyak.Aku cuma senyum sebelum menutup chat ini. Lepas itu menyimpan ponsel di atas pangkuan "Hayo chating sama siapa?" tanya Irna yang kini sudah ada di sampingku. "Dokter Reiga, gantenglah mau gak?""Is, chat sama mba, masa dikasih ke aku!" "Mba memang punya rencana comblangin sama kamu. Baik banget. Temen mba dulu!""Teman apa mantan?"Temenlah!""Ogah!""Liat dulu, pasti terpesona!""Diih!"Aku bingung sama si bungsu, kenapa sampai saat ini belum punya rencana menikah. Padahal usianya sudah matang. Ketika kukorek, tetap saja tak keluar alasannya.Apa pernah patah hati sangat dalam hingga menimbulkan trauma? Atau, entahlah. Gadis ini memang tertutup.. Pada kakak sendiri saja bungkam.Tadinya aku memang berencana mencomblangkan kak Reiga dengan Irna. Menurutku cocok. Kalau mereka oke, aku bisa terhindar dari keagresifannya. Dengan begitu, satu masalah hilan
ANDRASudah berbulan-bukan aku dilarang menemui Affan oleh papa Armila. Kerinduan ini rasanya sudah membuatku hampir sekarat. Bukan rindu hanya pada bayi itu, tapi juga kepada mamanya. Meski suka VC, tetap saja ingin hadir secara nyata. Menyentuh dan bercanda seperti dulu kala. Aku paham ini adalah hukuman untuk seseorang yang pernah menyakiti teramat dalam. Papa Armila bukan seseorang yang mendahulukan emosi daripada logika. Ia melakukan ini bukan karena benci, tapi tengah mendidikku yang pernah dicintai dulu.Kurasa pria itu punya rencana menyatukan kami kembali, tapi tidak saat ini. Mungkin nanti ketika sudah memahami arti sebuah tanggung jawab sebagai lelaki. Hingga tak pernah berpikir mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Untunglah bulan depan Affan satu tahun. Momen ini akan kugunakan sebaik mungkin untuk meraih hati semua orang. Pastilah saat ini pandangan keluarga Armila buruk sekali padaku, perlu perjuangan besar untuk memulihkan nama ini.Tapi, aku takkan berhenti berju
ANDRAPapa tersenyum dan mengangguk dua kali. Pria itu kemudian mengajakku untuk menemui keluarganya.Aku berusaha bersikap biasa di hadapan keluarga. Begitu pun mereka, berusaha menyembunyikan sisa-sisa kekesalan masa lalu.Melihat kebaikan keluarga ini, aku makin merasa bersalah akan keburukan masa lalu. Bodohnya seorang Andra yang telah menukar berlian dengan kotoran.*Kedatangan Reiga membuat darahku mengalir lebih cepat. Dia merusak suasana yang sudah kubangun susah payah. Mengapa lelaki itu masih saja berharap. Kuat juga mentalnya.Saking ketakutan aku bertindak posesif pada Armila. Tak sejengkalpun kutinggalkan dirinya. Bahkan ketika ngobrol, aku turut mendampingi.Reiga mulai meradang. Nada bicaranya bahkan mulai tinggi padaku. Aku pun sama sudah terbawa emosi. Mungkin karena lelah juga dari pagi."Sudah, sudah kalian itu apa-apaan, sih. Aku masuk sajalah!"Armila meninggalkan aku dan Reiga berdua di beranda. Baguslah jadi bisa bicara sebagai sesama lelaki.Awalnya aku ingin
ANDRA. Sangat beruntung lelaki yang memiliki Istri baik. Mereka siap membersamai dalam suka dan duka. Tak menuntut di luar kemampuan suami. Akan selalu berusaha menciptakan kenyamanan di rumahnya. Siap mengingatkan saat lelaki tersesat.Pantaslah menikah disebut sebagai ibadah sepanjang masa. Banyak pengorbanan yang dibutuhkan demi kelanggengannya. Kadang air mata terkuras di dalamnya. Menikah adalah menitipkan hidup pada pasangan. Sekaligus dititipkan kehidupan lain. Harus saling menjaga hingga raga bercerai dari nyawa.Setelah bertukar pendapat, kami sepakat untuk liburan ke Yogyakarta dan beberapa kota lain sekitarnya. Dirasa seminggu cukup menghabiskan waktu di sana. Untuk perjalanan jauh pun tak khawatir sebab anak-anak sudah bisa diajak jauh.Ketika diinfokan akan liburan, mama dan papa antusias untuk ikut. Mereka mengatakan pasti ikut. Baguslah, makin rame, makin seru.Kasihan juga kalau tak diajak. Para orang tua juga butuh hiburan di tengah kesuntukan. Mereka pasti akan se
ANDRASebelum Resti menyabetkan pisau, satu tembakan menembus tangannya. Ia histeris hingga seperti orang kesurupan. Pastilah tembusan peluru itu sangat menyakitkan. Aku dan Armila mundur. Dan, polisi pun melaksanakan tugasnya. Jeritan Resti hilang sama sekali setelah kami berhasil keluar dari gudang ini. Mungkin pingsan akibat sakit dahsyat. "Kalian tak apa?" tanya Reiga. Ia bicara berlomba dengan napas tersengal-sengal. "Tidak, kami selamat. Ide dokter Reiga memang top!" pujiku.Kami saling menepukkan tangan, lalu tertawa bersama. Sepertinya kemenangan ini harus dirayakan. Juga disyukuri sebab ini semata-mata berkat pertolongan Allah. *Di tempat persembuyian Rafael dan Resti, ditemukan narkoba. Dari penelusuran polisi mereka diketahui bukan hanya pemakai, tapi pengedar.Lepas dari penjara keduanya tak punya apa-apa. Mereka melakukan apapun demi bertahan hidup hingga bertemu gembong narkoba. Darisanalah berlanjut kejahatannya. Hukuman Rafael dan Resti kali ini takkan sebentar.
ANDRASungguh aku berat melepas Armila sebagai umpan. Tapi, hanya dia yang saat ini bisa menjadi pemancing Resti dan Rafael keluar dari sarang. Kalau tak dihentikan segerq, dua penjahat itu akan terus berkeliaran. Meneror kami kapan dan di mana pun. Orang yang sudah biasa berbuat jahat, sulit diluruskan. Hanya hukuman badan yang bisa menghentikannyq. Kali ini mereka akan lama masuk penjaranya.Dengan sangat terpaksa kuizinkan Armila jadi umpan. Karena tahu keraguanku, Reiga terus meyakinkan bahwa Armila akan baik-baik saja. Ia pun terus bilang bahwa kami harus berani agar masalah selesai. Wanita itu memang pemberani. Tak takut meski nyawa taruhannya. "Resti dan Rafael sudah tak waras. Kalau tak dihentikan mereka bisa membunuh kita semua!" jelas Reiga. Ia pantang menyerah melemoar argumen agar izinku keluar. "Oke, penjagaan pada Armila harus berlapis. Aku tak mau ambik resiko." tekanku pada Reiga. Aku tak mau spekulasi pada keselamatan nyawanya. Bisa merasa bersalah seumur hidup kala
ARMILAAku setuju sebab kelakuan sejoli jahat itu sudah keterlaluan. Mereka memang niat balas dendam dengan cara menimpakan keburukan pada kami.Seminggu setelah mas Andra pulang, barulah Reiga mengajak kami diskusi. Katanya dia sudah punya ide untuk menjebak mereka.Reiga juga minta bantuan sepupunya yang memang bekerja sebagai polisi. Ternyata Rafael dan Resti memang sedang dalam incaran. Mereka terindikasi kuat sebagaipemakai sekaligus pengedar narkoba.Baguslah, kalau nanti dipenjara akan lebih lama lagi sebab deliknya bukan hanya penganiayaan pada manusia. Tapi ada juga delik pengedaran narkoba. Pasti hukumannya berlipat-lipat.Aksi akan dimulai. Yang jadi pancingan adalah aku. Awalnya mas Andra tak setuju, tapi Reiga akan menjamin keselamatan. Masalahnya kondisi mas Andra belum mungkin bepergian. Karena tangan dan kakinya masih belum pulih utuh.Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Tapi di radius tertentu sudah ada yang mengawal. Reiga bahkan membayar preman untuk jadi bodyg
ARMILAMendengar itu aku langsung menengok ke belakang. Ternyata benar ada mobil yng mencurigakan.Mobil itu ikut ngebut saat mang Dadang ngebut. Lambat kalau kami melambat. Bahkan ikut berhenti kala berhenti.Irna langsung menghubungi suaminya dan suami bu Erni untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Aku tak mungkin menelpon mas Andra sebab bisa syok berat.Kubilang pada Irna agar Reiga minta bantuan pada orang lain. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa kami.Karena takut kecelakaan seperti mas Andra, mang Dadang menghentikan mobil. Katanya mereka berusaha menghancurkan konsentrasi hingga nanti gagal fokus dan celaka di jalan.Kami menunggu apa yang akan dilakukan pengemudinya. Kami bertiga sudah siap dengan segala kemungkinan."Semprotannya siapin, kalau emang orang jahat nanti kita kasih cairan ini."Ini adalah cairan berisi merica dan cabe. Lumayan perih kalau disemprotkan pada mata. Mang Dadang juga sudah siap dengan pentungan kayu yang memang dipersiapkan dari rumah.Syukurl
ARMILAAku histeris mendengar mas Andra dan anak-anak kecelakaan. Kanaya yang ada di pangkuan jadi terbawa ibunya. Ia pun menjerit dan menangis.Untung bi Enah cepat tanggap. Wanita paruh baya ini mengambil Kanaya dan berusaha menenangkannya."Ibu jangan panik, ayo siap-siap ke rumah sakit!"Kata-kata bi Enah membuatku sadar bahwa harus segera pergi ke rumah sakit. Tak perlu dandan lama. Cukup baju sopan, tas, dompet plus HP.Aku pergi bersama Irna yang sama syoknya sebab Devan pun ikut dalam kendaraan itu. Di mobil, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan. Ketakutan benar-benar mencengkram jiwa.Mobil yang dikemudikan mang Dadang terasa lambat. Padahal katanya sudah ngebut. Mungkin ini karena perasaan tak sabar ingin segera sampai."Mang, cepetan, Mang!""Gak bisa lagi, Bu, Nanti ditilang polisi!"Terpaksa aku dan Irna harus menambah stok sabar. Untunglah Reiga sudah ada di sana. Jadi kami percayakan dulu padanya.Akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat mas Andra dan anak-anak
ANDRAUntunglah cepat sadar bahwa di sini sedang bersama dua jagoan. Langsung saja tinggalkan dulu mainan untuk dua putri.Mereka tak ada di tempat mencari mainan awal. Langsung kukitari seluruh sudut toko ini."Mba, lihat anak saya. Dua anak kecil, umur tujuh tahunan. Pakai baju baju kotak-kotak biru!""Oh, tadi lagi di tempat robot! Di sebelah kiri, Pak!"Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju tempat yang ditunjuk. Tak ada ternyata!Aku panik! Bayangan buruk mulai masuk ke otak. Dan itu sukses mengguncang perasaan. Jantung ini mulai bertabuhan kencang."Affan, Devan, kalian di mana?"Aku minta pada penjaga toko untuk bantu mencarikan anak-anak. Mereka bersedia dan mulai berpencarKupanggil berulang dua nama itu. Rasanya benar-benar seperti sedang olahraga jantung. Aku pun tak absen merutuki kecerobohan diri.Di dekat foodcourt aku melihat Devan dan Affan sedang bicara dengan seorang wanita. Dari gayanya aku yakin dia adalah mantan narapidana itu. Meski memyamar, mata tak bisa
ANDRA"Jagoan, Papa kangen!"Aku menggendong Affan yang seminggu ini tak bertemu. Rasanya seperti setahun saking rindu.Kebersamaan dengan ratu, pangeran dan putriku serupa candu. Canda tawa Armila, Affan dan Kanaya menjadi mood booster bagi kehidupan Umur Affan sekarang tujuh tahun, sudah masuk sekolah dasar. Adiknya baru dua tahun. Kami memang sepakat untuk memberinya adik di usia lima tahun. Dan alhamdulillah dikabulkan.Reiga pun demikian, seperti kompetisi. Mereka juga telah punya dua. Putri juga adik Devan itu. Namanya Kayyisa.Hidup kami enam tahun ini diliputi ketenangan. Hanya ada riak-riak kecil kalaupun konflik suami istri. Lepas itu kembali damai dengan kualitas hubungan makin rekat."Hmm, sama mama gak kangen, kah?"Armila, wanita sumber ketenangan hidup muncul dari balik pintu. Aku langsung menghampiri dan memasukkan tubuhnya dalam pelukan. Untunglah Affan dan Kanaya sudah lepas dari gendongan. Sekarang sedang sibuk dengan oleh-oleh. "Aku sekarat merinduimu," bisikku m
RESTIJujur, aku muak dengan rengekan pria tua ini. Harusnya aku tak bersedia menemuinya agar tak harus mendengar kebaperan lelaki tak berguna ini."Sudahlah, Mas. Kalau mau menceraikan, ceraikan saja. Dan, ingat jangan pernah menemuiku lagi. Aku muak!"Aku tak peduli dengan penderitaannya akibat dikhianati. Salah sendiri dia tua dan lemah. Wajarlah aku cari kesenangan lain sebab tak pernah dipuaskan."Apa kamu tak merasa bersalah sedikit pun, Resti? Sebusuk itukah hatimu?""Kalau tak ada yang ingin di katakan lagi aku mau pergi. Dengar, aku bosan mendengar celotehanmu, jadi aku beri kesempatan terakhir mau bicara apa lagi?"Mas Bima menghela napas berat, kemudian memandangku tajam. Lalu terucap dari mulutnya ucapan cerai, maka resmi sudah aku jadi janda untuk kedua kalinya.Tak masalah karena itu lebih baik. Untuk apa juga masih berstatus istrinya tapi tidak akan lagi diterima. Yang ada hanya akan menerima hinaan kalaupun keluar dari penjara dan kembali ke rumah itu. Lebih baik nanti