Melihat senyum Zahira membuat hatiku yang sempat membara sedikit lebih tenang. Wajahnya yang sangat mirip dengan Zainab terlihat setelah alat bantu napasnya dilepas. Cantik. Sejak dua hari terakhir, jam menjenguk Zahira memang sudah ditambah oleh dokter untukku dan Zainab. Kami diperbolehkan menjenguk tiga kali sehari dengan durasi waktu satu jam. Apalagi, kondisinya yang sudah mulai membaik membuat pengorbanan tidak sia-sia. "Za, Mas mau bicara," ucapku setelah kami keluar dari kamar Zahira. "Bilang aja, Mas. Kok, serius banget, sih?" balasnya dengan senyum. "Sambil makan di kantin, ya. Mas laper.""Memangnya, Mas belum makan siang? Ini sudah hampir Asar, loh.""Tadi, setelah kamu telepon, Mas dipanggil Pak Syamsul. Jadi, belum sempet makan siang.""Ada masalah apa lagi sama Pak Syamsul, Mas?""Gak ada, beliau cuma menanyakan kondisi Zahira."Zainab mengangguk lalu menggamit lenganku. Kami berjalan menuju kantin rumah sakit. Untunglah kalau Zainab percaya dengan alasanku. Aku ma
Pandangan ini tak lepas memandang wajah Zainab yang sedang tertidur dengan pulas. Sekitar pukul satu malam dia baru bisa senyenyak itu setelah Zahira rewel dan tidak lepas dari gendongannya sejak selepas Isya. Berulang kali aku mau mengambil alih Zahira, tapi selalu ditolak. "Mas sudah capek seharian kerja, biar saja Zahira sama aku."Selalu itu yang diucapkannya setiap malam. "Zahira kenapa rewel, Nak? Kasihan Mama, Sayang. Mama kecapekan jagain kamu." Kutimang Zahira dalam gendongan. Hampir saja dia menangis jika aku tidak buru-buru menggendongnya. Alhamdulillah, Zahira anteng setelah diberikan susu dan terpaksa aku tidur dengan posisi duduk sambil menggendong karena Zahira enggan ditidurkan. Mungkin seperti ini kesusahan Zainab setiap hari. Aku terbangun saat mendengar kumandang azan. Sepertinya sudah Subuh. Namun, posisi tidurku tidak seperti semalam dan Zahira tidak ada di gendongan. Aku mengedarkan pandangan dalam kamar ini. Lega setelah melihat Zahira tidur dengan Zainab di
Aku mendapati Zainab sudah tertidur pulas saat keluar dari kamar mandi. Dia pasti lelah setelah hak kami sama-sama tertunaikan. Namun, dia sudah mandi terlebih dahulu sebelum akhirnya terlelap.Kutinggalkan kamar menuju lantai bawah. Bu Padma sudah hampir selesai menyiapkan makan siang untuk kami. Cukup banyak menu makanan yang dihidangkannya. Padahal, hanya aku dan Zainab saja yang akan makan. "Masaknya banyak sekali, Bu," ujarku seraya menghampiri Bu Padma di dapur. Aku mengambil air dingin dari kulkas. "Uang yang Mas Zaidan kasih, banyak. Saya sudah belanja sebanyak ini saja, uangnya masih," tuturnya. Aku tersenyum sekilas. "Kue ulang tahunnya sudah dipesan kan, Bu?""Sudah, Mas Zaidan. Tadi pihak toko kue sudah kasih kabar kalau sedang dalam perjalanan."Meskipun belum mengenal lama dengan Bu Padma, aku bisa nyaman membiarkannya bekerja dan menempati rumah ini. Dia memang rekomendasi dari Pak RT dan majikannya yang lama. Sudah sejak awal menikah mereka ikut dengan majikannya ya
Selepas makan siang, Zainab meminta untuk kembali ke rumah sakit. Meskipun ingin lebih lama punya waktu berdua, aku juga tidak bisa mengabaikan Ibu dan Zahira. Lagi pula, tadi Zainab hanya meninggalkan dua botol ASI untuk Zahira. Takutnya jika putri kecil kami sudah kelaparan lagi. Sesuai instruksi dokter, Zahira memang harus diberi susu khusus bayi prematur, tetapi harus diselingi dengan ASI. Dan setelah dipindahkan dari ruang NICU, Zainab diminta untuk memberikan ASI eksklusif. Zainab kembali tertidur saat perjalanan ke rumah sakit. Sepertinya dia sangat kelelahan. Sampai di tempat parkir rumah sakit, aku tidak langsung membangunkannya. Melihat wajah damai Zainab saat tidur juga membuat hatiku tenang. Namun, meskipun aku tidak membangunkannya, Zainab malah sudah membuka mata. Seperti ada alarm bawah sadar yang membuatnya terbangun. "Sudah sampai ya, Mas? Kenapa gak bangunin aku? Malah lihatin aku sampe segitunya." Aku kepergok memperhatikannya dari jarak sangat dekat. Namun, aku
PoV ZainabAku sangat bahagia hari ini. Untuk pertama kalinya hari lahirku dirayakan. Dan itu dilakukan oleh laki-laki yang mencintaiku setelah Ayah. Dia, Zaidan Alhakim. Sosok laki-laki yang menjadi imamku dan ayah dari putriku. Bahkan, sepasang gelang kembar untukku dan Zahira diberikannya sebagai hadiah ulang tahunku. Tak. hentinya aku mengulas senyum bersama rasa syukur di hati. Aku sungguh beruntung mendapatkan suami sepertinya meskipun pertemuan kami karena sebuah tragedi. Aku tahu jika Mas Zaidan tidak sengaja melakukannya. Memang aku harus kehilangan Ayah, tapi itu sudah ketetapan Allah yang sudah tertulis tapi di Lauhul Makfuz. Dan aku pun tidak mengira jika akan merasakan kebahagiaan seperti sekarang. Usai makan siang, aku dan Mas Zaidan kembali ke rumah sakit. Aku tidak bisa terlalu lama meninggalkan Zahira dengan Ibu. Beliau pasti kerepotan mengurus Zahira yang dari semalam sedang rewel. Tiba di rumah sakit, aku mendahului Mas Zaidan menuju kamar Zahira. Namun, aku ing
Setelah satu pekan Zahira dinyatakan sembuh dan sudah dibawa pulang, aku menjadi lebih tenang. Aku bisa selalu dekat dengan tiga bidadari yang Allah ciptakan untuk melengkapi hidup seorang Zaidan Alhakim.Dan untuk kesempatan kali ini, aku akan menuliskan perjuangan keluarga kecil kami untuk kesembuhan seorang bayi mungil yang kami beri nama Zahira Khairunnisa Alhakim. Sangat banyak hikmah yang bisa dipetik dari kisah kami ini. Bahkan, aku pun berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi sekarang. Ada tiga hal yang kudapat dari kejadian ini. Kesabaran, kepercayaan, kerja keras, pengorbanan, dan yang pasti mukjizat dari Allah. Semua tidak lepas dari sebuah doa. Semoga buku yang akan kubuat kali ini bisa membuat orang-orang yang membacanya mendapatkan manfaat. "Mas belum tidur?"Suara lembut istri kecilku menyentak. Aku yang sedang fokus menekuri laptop langsung menghentikan aktivitas. Menyimpan file yang baru beberapa halaman, lalu mematikan laptop dan bergegas menghampiri p
PoV ZainabSetelah pulang dari rumah sakit, Mas Zaidan jadi lebih fokus untuk mengajar dan Ibu juga lebih sering pergi untuk mengecek restoran barunya. Namun, ada Bu Padma dan Pak Rudi yang menemaniku di rumah. Mereka banyak membantu mengurus Zahira dan membuatku tidak kesepian. Pagi itu, aku menjemur Zahira di halaman depan. Ada beberapa tetangga perempuan seusia Ibu yang mendekat dan masuk ke halaman rumah ini sambil menyapa ramah. Memang belum sempat diadakan acara akikah atau sekadar syukuran setelah kepulangan Zahira. Kami sudah menyepakati menunggu tanggal kelipatan tujuh dari hari lahir Zahira agar bisa sekalian diadakan akikah. Dan itu jatuh empat hari lagi. "Alhamdulillah, cantik sekali anaknya Zaidan." Seorang ibu dengan jilbab hitam memuji sambil mengelus pipi Zahira. Aku pun hanya menyambut dengan senyuman. "Siapa namanya, Nak?" tanya seorang ibu dengan rambut tertera sebahu. "Zahira, Bu," jawabku tetap dengan senyum. "Alhamdulillah, ya, anaknya bisa sembuh. Padahal
Hingga tiba di tempat seminar, hatiku semakin merasa cemas. Aku memang sengaja cuek pada Zainab karena dia melupakan jadwal kontrol Zahira. Namun, melihatnya menangis sebelum berangkat tadi, membuat hati ini sakit. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu pada Zainab. Mungkin memang dia terlalu lelah mengurus Zahira. Semalam saja, dia demam meskipun paginya sudah kembali sehat. Kukirimkan pesan terlebih dahulu untuk Zainab sebelum acara seminar dimulai. Mungkin kecemasanku ini karena mama Zahira itu masih bersedih dan dia masih kepikiran dengan sikapku tadi. [Assalamualaikum, Sayang. Hati-hati di jalan, ya. Semoga hasil pemeriksaan Zahira baik-baik saja. Mas minta maaf soal tadi. Mas sayang sama kamu. Jangan bersedih lagi, ya.] Kutambahkan emoticon cium. Terkirim, tapi belum dibuka. Ya, paling tidak aku sudah memberikan pesan sebelum acara seminar dimulai karena pastinya aku tidak akan sempat memegang ponsel sampai siang nanti. Aku bertemu dengan satu penerbit mayor yang memang
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida