Aku mendapati Zainab sudah tertidur pulas saat keluar dari kamar mandi. Dia pasti lelah setelah hak kami sama-sama tertunaikan. Namun, dia sudah mandi terlebih dahulu sebelum akhirnya terlelap.Kutinggalkan kamar menuju lantai bawah. Bu Padma sudah hampir selesai menyiapkan makan siang untuk kami. Cukup banyak menu makanan yang dihidangkannya. Padahal, hanya aku dan Zainab saja yang akan makan. "Masaknya banyak sekali, Bu," ujarku seraya menghampiri Bu Padma di dapur. Aku mengambil air dingin dari kulkas. "Uang yang Mas Zaidan kasih, banyak. Saya sudah belanja sebanyak ini saja, uangnya masih," tuturnya. Aku tersenyum sekilas. "Kue ulang tahunnya sudah dipesan kan, Bu?""Sudah, Mas Zaidan. Tadi pihak toko kue sudah kasih kabar kalau sedang dalam perjalanan."Meskipun belum mengenal lama dengan Bu Padma, aku bisa nyaman membiarkannya bekerja dan menempati rumah ini. Dia memang rekomendasi dari Pak RT dan majikannya yang lama. Sudah sejak awal menikah mereka ikut dengan majikannya ya
Selepas makan siang, Zainab meminta untuk kembali ke rumah sakit. Meskipun ingin lebih lama punya waktu berdua, aku juga tidak bisa mengabaikan Ibu dan Zahira. Lagi pula, tadi Zainab hanya meninggalkan dua botol ASI untuk Zahira. Takutnya jika putri kecil kami sudah kelaparan lagi. Sesuai instruksi dokter, Zahira memang harus diberi susu khusus bayi prematur, tetapi harus diselingi dengan ASI. Dan setelah dipindahkan dari ruang NICU, Zainab diminta untuk memberikan ASI eksklusif. Zainab kembali tertidur saat perjalanan ke rumah sakit. Sepertinya dia sangat kelelahan. Sampai di tempat parkir rumah sakit, aku tidak langsung membangunkannya. Melihat wajah damai Zainab saat tidur juga membuat hatiku tenang. Namun, meskipun aku tidak membangunkannya, Zainab malah sudah membuka mata. Seperti ada alarm bawah sadar yang membuatnya terbangun. "Sudah sampai ya, Mas? Kenapa gak bangunin aku? Malah lihatin aku sampe segitunya." Aku kepergok memperhatikannya dari jarak sangat dekat. Namun, aku
PoV ZainabAku sangat bahagia hari ini. Untuk pertama kalinya hari lahirku dirayakan. Dan itu dilakukan oleh laki-laki yang mencintaiku setelah Ayah. Dia, Zaidan Alhakim. Sosok laki-laki yang menjadi imamku dan ayah dari putriku. Bahkan, sepasang gelang kembar untukku dan Zahira diberikannya sebagai hadiah ulang tahunku. Tak. hentinya aku mengulas senyum bersama rasa syukur di hati. Aku sungguh beruntung mendapatkan suami sepertinya meskipun pertemuan kami karena sebuah tragedi. Aku tahu jika Mas Zaidan tidak sengaja melakukannya. Memang aku harus kehilangan Ayah, tapi itu sudah ketetapan Allah yang sudah tertulis tapi di Lauhul Makfuz. Dan aku pun tidak mengira jika akan merasakan kebahagiaan seperti sekarang. Usai makan siang, aku dan Mas Zaidan kembali ke rumah sakit. Aku tidak bisa terlalu lama meninggalkan Zahira dengan Ibu. Beliau pasti kerepotan mengurus Zahira yang dari semalam sedang rewel. Tiba di rumah sakit, aku mendahului Mas Zaidan menuju kamar Zahira. Namun, aku ing
Setelah satu pekan Zahira dinyatakan sembuh dan sudah dibawa pulang, aku menjadi lebih tenang. Aku bisa selalu dekat dengan tiga bidadari yang Allah ciptakan untuk melengkapi hidup seorang Zaidan Alhakim.Dan untuk kesempatan kali ini, aku akan menuliskan perjuangan keluarga kecil kami untuk kesembuhan seorang bayi mungil yang kami beri nama Zahira Khairunnisa Alhakim. Sangat banyak hikmah yang bisa dipetik dari kisah kami ini. Bahkan, aku pun berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi sekarang. Ada tiga hal yang kudapat dari kejadian ini. Kesabaran, kepercayaan, kerja keras, pengorbanan, dan yang pasti mukjizat dari Allah. Semua tidak lepas dari sebuah doa. Semoga buku yang akan kubuat kali ini bisa membuat orang-orang yang membacanya mendapatkan manfaat. "Mas belum tidur?"Suara lembut istri kecilku menyentak. Aku yang sedang fokus menekuri laptop langsung menghentikan aktivitas. Menyimpan file yang baru beberapa halaman, lalu mematikan laptop dan bergegas menghampiri p
PoV ZainabSetelah pulang dari rumah sakit, Mas Zaidan jadi lebih fokus untuk mengajar dan Ibu juga lebih sering pergi untuk mengecek restoran barunya. Namun, ada Bu Padma dan Pak Rudi yang menemaniku di rumah. Mereka banyak membantu mengurus Zahira dan membuatku tidak kesepian. Pagi itu, aku menjemur Zahira di halaman depan. Ada beberapa tetangga perempuan seusia Ibu yang mendekat dan masuk ke halaman rumah ini sambil menyapa ramah. Memang belum sempat diadakan acara akikah atau sekadar syukuran setelah kepulangan Zahira. Kami sudah menyepakati menunggu tanggal kelipatan tujuh dari hari lahir Zahira agar bisa sekalian diadakan akikah. Dan itu jatuh empat hari lagi. "Alhamdulillah, cantik sekali anaknya Zaidan." Seorang ibu dengan jilbab hitam memuji sambil mengelus pipi Zahira. Aku pun hanya menyambut dengan senyuman. "Siapa namanya, Nak?" tanya seorang ibu dengan rambut tertera sebahu. "Zahira, Bu," jawabku tetap dengan senyum. "Alhamdulillah, ya, anaknya bisa sembuh. Padahal
Hingga tiba di tempat seminar, hatiku semakin merasa cemas. Aku memang sengaja cuek pada Zainab karena dia melupakan jadwal kontrol Zahira. Namun, melihatnya menangis sebelum berangkat tadi, membuat hati ini sakit. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu pada Zainab. Mungkin memang dia terlalu lelah mengurus Zahira. Semalam saja, dia demam meskipun paginya sudah kembali sehat. Kukirimkan pesan terlebih dahulu untuk Zainab sebelum acara seminar dimulai. Mungkin kecemasanku ini karena mama Zahira itu masih bersedih dan dia masih kepikiran dengan sikapku tadi. [Assalamualaikum, Sayang. Hati-hati di jalan, ya. Semoga hasil pemeriksaan Zahira baik-baik saja. Mas minta maaf soal tadi. Mas sayang sama kamu. Jangan bersedih lagi, ya.] Kutambahkan emoticon cium. Terkirim, tapi belum dibuka. Ya, paling tidak aku sudah memberikan pesan sebelum acara seminar dimulai karena pastinya aku tidak akan sempat memegang ponsel sampai siang nanti. Aku bertemu dengan satu penerbit mayor yang memang
PoV ZainabAku terbangun saat mendengar suara tangis Zahira. Kulirik jam di dinding, sudah menunjukkan angka lima. Aku tertidur cukup lama setelah salat Asar tadi. Namun, tak kudapati Mas Zaidan di kamar. Aku pun bergegas keluar dari kamar untuk menghampiri Zahira karena tangisnya tak kunjung reda. Ternyata, putri kecilku ada dalam gendongan Ibu. "Sini, Bu. Biar Zahira sama aku." Kuminta Zahira dari gendongan Ibu. Alhamdulillah, tangisnya berangsur reda saat kutimang perlahan. Kemudian, Mas Zaidan datang membawa satu botol susu. Masih hangat saat kupegang. Gegas kumasukkan ujung dot ke mulut mungil Zahira. Putriku meminumnya dengan cepat. "Anak mama haus, ya?" ucapku sambil memperhatikan wajah mungil yang berangsur memejamkan mata. Sungguh cantik dengan hidung dan bibir yang persis dengan papanya. "Kamu sudah sehat, Nak?" "Alhamdulillah, sudah, Bu. Sudah enakan setelah buat istirahat."Ibu tersenyum sembari mengelus kepalaku. "Aku bawa Zahira ke kamar, ya, Bu."Ibu mengangguk.
"Bagaimana bisa Ibu mengatakan kalau saya adalah anak kandung Ibu? Saya sama sekali tidak mengenal Ibu. Di akta kelahiran sangat jelas menyebutkan kalau saya adalah anak dari Ayah Harun dan Ibu Fatimah!"Zainab sedikit terpancing emosi, padahal kami masih di depan makam Ayah. Sepertinya, dia terlalu syok dengan apa yang baru saja didengarnya. "Mama bisa jelaskan, Nak," jawab perempuan yang mengaku sebagai mama Zainab. Zainab menggeleng kasar, lalu berdiri dan menarik tanganku. "Mama perlu bicara, Nak! Tolong beri waktu mama untuk menjelaskan semuanya!"Perempuan itu terus saja menyebut dirinya sebagai mama Zainab. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa ada perempuan yang mengaku sebagai ibu kandung Zainab? Zainab terus menarik tanganku hingga mobil tanpa mau menghiraukan perempuan yang mengejar kami. ***"Za!" panggilku saat Zainab melamun di taman belakang dan membiarkan Zahira mengoceh sendiri di stroller. Dia terlihat terkejut dengan kehadiranku. Sorot matanya koso