Setelah satu pekan Zahira dinyatakan sembuh dan sudah dibawa pulang, aku menjadi lebih tenang. Aku bisa selalu dekat dengan tiga bidadari yang Allah ciptakan untuk melengkapi hidup seorang Zaidan Alhakim.Dan untuk kesempatan kali ini, aku akan menuliskan perjuangan keluarga kecil kami untuk kesembuhan seorang bayi mungil yang kami beri nama Zahira Khairunnisa Alhakim. Sangat banyak hikmah yang bisa dipetik dari kisah kami ini. Bahkan, aku pun berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi sekarang. Ada tiga hal yang kudapat dari kejadian ini. Kesabaran, kepercayaan, kerja keras, pengorbanan, dan yang pasti mukjizat dari Allah. Semua tidak lepas dari sebuah doa. Semoga buku yang akan kubuat kali ini bisa membuat orang-orang yang membacanya mendapatkan manfaat. "Mas belum tidur?"Suara lembut istri kecilku menyentak. Aku yang sedang fokus menekuri laptop langsung menghentikan aktivitas. Menyimpan file yang baru beberapa halaman, lalu mematikan laptop dan bergegas menghampiri p
PoV ZainabSetelah pulang dari rumah sakit, Mas Zaidan jadi lebih fokus untuk mengajar dan Ibu juga lebih sering pergi untuk mengecek restoran barunya. Namun, ada Bu Padma dan Pak Rudi yang menemaniku di rumah. Mereka banyak membantu mengurus Zahira dan membuatku tidak kesepian. Pagi itu, aku menjemur Zahira di halaman depan. Ada beberapa tetangga perempuan seusia Ibu yang mendekat dan masuk ke halaman rumah ini sambil menyapa ramah. Memang belum sempat diadakan acara akikah atau sekadar syukuran setelah kepulangan Zahira. Kami sudah menyepakati menunggu tanggal kelipatan tujuh dari hari lahir Zahira agar bisa sekalian diadakan akikah. Dan itu jatuh empat hari lagi. "Alhamdulillah, cantik sekali anaknya Zaidan." Seorang ibu dengan jilbab hitam memuji sambil mengelus pipi Zahira. Aku pun hanya menyambut dengan senyuman. "Siapa namanya, Nak?" tanya seorang ibu dengan rambut tertera sebahu. "Zahira, Bu," jawabku tetap dengan senyum. "Alhamdulillah, ya, anaknya bisa sembuh. Padahal
Hingga tiba di tempat seminar, hatiku semakin merasa cemas. Aku memang sengaja cuek pada Zainab karena dia melupakan jadwal kontrol Zahira. Namun, melihatnya menangis sebelum berangkat tadi, membuat hati ini sakit. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu pada Zainab. Mungkin memang dia terlalu lelah mengurus Zahira. Semalam saja, dia demam meskipun paginya sudah kembali sehat. Kukirimkan pesan terlebih dahulu untuk Zainab sebelum acara seminar dimulai. Mungkin kecemasanku ini karena mama Zahira itu masih bersedih dan dia masih kepikiran dengan sikapku tadi. [Assalamualaikum, Sayang. Hati-hati di jalan, ya. Semoga hasil pemeriksaan Zahira baik-baik saja. Mas minta maaf soal tadi. Mas sayang sama kamu. Jangan bersedih lagi, ya.] Kutambahkan emoticon cium. Terkirim, tapi belum dibuka. Ya, paling tidak aku sudah memberikan pesan sebelum acara seminar dimulai karena pastinya aku tidak akan sempat memegang ponsel sampai siang nanti. Aku bertemu dengan satu penerbit mayor yang memang
PoV ZainabAku terbangun saat mendengar suara tangis Zahira. Kulirik jam di dinding, sudah menunjukkan angka lima. Aku tertidur cukup lama setelah salat Asar tadi. Namun, tak kudapati Mas Zaidan di kamar. Aku pun bergegas keluar dari kamar untuk menghampiri Zahira karena tangisnya tak kunjung reda. Ternyata, putri kecilku ada dalam gendongan Ibu. "Sini, Bu. Biar Zahira sama aku." Kuminta Zahira dari gendongan Ibu. Alhamdulillah, tangisnya berangsur reda saat kutimang perlahan. Kemudian, Mas Zaidan datang membawa satu botol susu. Masih hangat saat kupegang. Gegas kumasukkan ujung dot ke mulut mungil Zahira. Putriku meminumnya dengan cepat. "Anak mama haus, ya?" ucapku sambil memperhatikan wajah mungil yang berangsur memejamkan mata. Sungguh cantik dengan hidung dan bibir yang persis dengan papanya. "Kamu sudah sehat, Nak?" "Alhamdulillah, sudah, Bu. Sudah enakan setelah buat istirahat."Ibu tersenyum sembari mengelus kepalaku. "Aku bawa Zahira ke kamar, ya, Bu."Ibu mengangguk.
"Bagaimana bisa Ibu mengatakan kalau saya adalah anak kandung Ibu? Saya sama sekali tidak mengenal Ibu. Di akta kelahiran sangat jelas menyebutkan kalau saya adalah anak dari Ayah Harun dan Ibu Fatimah!"Zainab sedikit terpancing emosi, padahal kami masih di depan makam Ayah. Sepertinya, dia terlalu syok dengan apa yang baru saja didengarnya. "Mama bisa jelaskan, Nak," jawab perempuan yang mengaku sebagai mama Zainab. Zainab menggeleng kasar, lalu berdiri dan menarik tanganku. "Mama perlu bicara, Nak! Tolong beri waktu mama untuk menjelaskan semuanya!"Perempuan itu terus saja menyebut dirinya sebagai mama Zainab. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa ada perempuan yang mengaku sebagai ibu kandung Zainab? Zainab terus menarik tanganku hingga mobil tanpa mau menghiraukan perempuan yang mengejar kami. ***"Za!" panggilku saat Zainab melamun di taman belakang dan membiarkan Zahira mengoceh sendiri di stroller. Dia terlihat terkejut dengan kehadiranku. Sorot matanya koso
Secarik kertas atas nama Hervina Mayasari dan tercetak jelas di bagian bawah sebagai owner dari restoran yang baru saja kudatangi. Kartu nama yang sepertinya sengaja dijatuhkan agar aku bisa menghubunginya lagi. Huft! Kubuang napas kasar. Ternyata benar-benar orang kaya, tapi apa alasannya meninggalkan Zainab sejak lahir? Aku masih berdiri di tempat sambil melihat Ayah dan anak itu keluar. Kalau dilihat lebih seksama, memang wajah Bu Hervina dan Zainab ada kemiripan. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan aku harus segera pulang. Perjalanan sampai ke rumah memakan waktu hampir satu jam. Semoga Zahira tidak rewel dan tidak mengganggu istirahat Zainab. Aku sangat khawatir meninggalkan mereka berdua. Meskipun ada Ibu, Bu Padma, dan Pak Rudi, tetap saja aku cemas. Hanya pelukan dariku yang bisa menenangkan Zainab jika emosinya kembali tidak terkontrol. Pucuk dicinta, ulama pun tiba. Ponselku berdering saat masih dalam perjalanan. Kujawab panggilan telepon setelah melihat sek
"Mas berangkat dulu, ya. Jangan berpikir macam-macam. Nanti pulang mengajar, mas akan melanjutkan mencari informasi tentang Bu Hervina. Kamu fokus saja sama Zahira."Nasihat beruntun kuucapkan untuk Zainab sebelum berangkat ke kampus. Entah kenapa, aku merasa jika Zainab merencanakan sesuatu. Dia bukan orang yang gampang dinasihati jika keinginannya kuat. "Udah, berangkat sana! Nanti Mas kesiangan," jawabnya sambil mendorong lenganku. Ini benar ada yang aneh dengan Zainab. Semoga dia tidak bertindak gegabah. Aku khawatir dengan kondisinya. Baru beberapa ratus meter aku membawa mobil menjauh dari rumah dan perasaanku langsung tidak enak. Rasanya tidak ingin ke mana-mana sekarang. Hanya ingin selalu berada di samping Zainab, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan tanggung jawab sebagai dosen. Tiba di kampus, Bagas menghampiriku yang masih di tempat parkir. Napasnya sedikit terengah karena berlari. "Kamu kenapa, Gas? Kayak ABG saja lari-larian," kataku sambil menaikkan kedua alis. "
Sudah dua hari, Zainab menghilang tanpa jejak. Aku terus mencarinya, tapi tak kunjung ada titik terang. Rumah megah milik keluarga besar Herman Aditama pun hening. Kata mereka, Bu Hervina juga menghilang tanpa kabar. Bahkan, hilangnya Zainab sudah kulaporkan pada pihak berwajib. Entah apa yang terjadi pada istriku itu. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya. Ke mana kamu, Za? Kenapa setega itu meninggalkan aku dan Zahira? Aku berjalan menyusuri trotoar di tengah Kota Jakarta. Satu tumpuk lembaran kertas dengan foto Zainab masih cukup banyak di tanganku. Tak peduli lagi pada panas cuaca saat ini, aku tetap berjalan sembari menyebarkan poster pencarian Zainab. Hingga alunan azan Zuhur menyadarkanku dari ratapan kosong sepanjang perjalanan. Ya, aku kurang mendekatkan diri pada Allah. Aku terlalu sibuk dengan dunia hingga lupa dengan kewajiban utama sebagai manusia. Meskipun salat lima waktu tidak pernah terlewat, tapi aku menyadari jika hati ini terlalu jauh dengan Sang Pencip
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida