Aluna membuka mata lebar-lebar saat merasakan dorongan dari dalam perutnya. Ia langsung beranjak turun dari ranjang kemudian berlari ke kamar mandi sambil menutup mulut dengan tangan. Ia memuntahkan semua isi perutnya di wastafel hingga menyisakan cairan kuning saja."Sayang, kamu kenapa?" Tiba-tiba saja Alvandra sudah ada di belakang Aluna dan memijat pelan tengkuk sang istri."Enggak tau, aku lagi tidur tiba-tiba mual aja," sahut Aluna membasuh mulut sekaligus wajahnya dengan air."Bentar aku ambilin minum dulu." Alvandra berbalik keluar kamar mandi."Mas!" panggil Aluna menahan langkah Alvandra, "bikinin minuman hangat," imbuhnya."Siap, Tuan Putri," seru Alvandra berjalan cepat.Aluna kembali ke kamar lalu duduk di ranjang. Ia lirik jam digital di atas nakas sudah menunjukkan angka enam pagi. Kemudian ia beralih melihat kalender kecil di sebelah jam.Mengerutkan kening saat melihat bulan berjalan bersih dari coretan padahal sudah mendekati akhir bulan. Ia ambil kalender tersebut,
Alvandra benar-benar dibuat pusing akan kondisi perusahaan Zayn. Sebagai langkah awal ia merombak semua manajemen yang sudah ada. Dan karena hal itu, dia banyak meminta saran pada Ghazi juga Abrisam.Di lain sisi, kehamilan Aluna semakin menambah semangatnya untuk terus berusaha demi masa depan mereka. Sejak awal mengetahui Aluna hamil, Alvandra sudah bersiap menjadi suami siaga bagi istri tercinta."Sayang, bentar lagi aku nyampe. Kamu siap-siap, ya, kita ke dokter kandungan," kata Alvandra dalam sambungan telepon dengan sang istri. Setelah mendapat jawaban dari Aluna, panggilan pun di putus.Aluna sudah menunggu di teras bersama Camilla saat Alvandra tiba. Kali ini ia meminta supir untuk mengantarkan sebab tubuhnya sudah terlalu lelah untuk menyetir."Mommy ikut, Van," kata Camilla ikut naik mobil dan duduk di depan samping pengemudi."Mau diantar ke mana, Tuan?" tanya supir melihat Alvandra dari spion atas."Ke rumah sakit aja," jawab Alvandra cepat.Mesin pun dinyalakan dan mobil
Aluna juga Alvandra keluar dari kamar lalu menuruni tangga berniat sarapan. Kedua tangan mereka saling bertaut seolah tak ingin lepas walau sedetik saja."Yang, kita pindah kamar, yuk! Mas ngeri liat kamu naik turun tangga dengan keadaan perut kamu udah mulai besar," ujar Alvandra khawatir masih tetap melangkah."Enggak usah, Mas. Aku ngerasa enggak apa-apa, kok," sahut Aluna."Takutnya kamu kepeleset, Sayang ...," ucap Alvandra gemas."Aku bakal hati-hati, Mas. Lagian sekarang aku gak pernah pake sepatu hak tinggi," kilah Aluna mencubit gemas pipi sang suami.Sejenak langkah keduanya terhenti kala melihat seseorang di ruang tamu. Keduanya bersitatap seolah saling bertanya siapa orang itu. Tak mau penasaran, mereka melangkah mendekati sang tamu.Alvandra berdehem, membuat pria yang sedang duduk dan menunduk itu terlonjak kaget. Pria itu pun mengangguk dan menyunggingkan senyuman."Maaf, Anda siapa?" tanya Alvandra dalam bahasa Arab setelah duduk di hadapan sang tamu diikuti Aluna. Ia
Aluna terbangun di tengah malam. Ia merasa kelaparan. Di usia enam bulan kehamilannya ia jadi mudah lapar."Kamu lapar, ya, Sayang?" gumam Aluna mengelus perutnya yang mulai membola. "Mommy ambil makanan dulu, ya, ke bawah. Nanti kita makan," lanjutnya sambil beranjak turun dari ranjang.Dilihat jam digital di atas nakas menunjukkan angka 11 malam dan sang suami tengah tertidur lelap. Aluna tak mau membangunkannya. Ia tahu betapa capeknya Alvandra setelah seharian bekerja.Menelusuri koridor lantai dua yang sedikit remang-remang, Aluna berjalan pelan menuju tangga. Ia tapaki satu persatu tangga berlapis kayu itu hingga tiba di lantai bawah yang juga remang-remang.Semua lampu utama sudah dimatikan, menyisakan lampu hias yang tertempel di dinding sebagai penerang langkahnya menuju dapur.Aluna memicingkan mata saat melihat sosok tinggi besar tengah berdiri di depan kulkas yang terbuka setengah pintunya. "Mirip Gibran," gumamnya.Merasa yakin jika itu Gibran, Aluna mendekat lalu berdehe
Sepanjang hari ini Alvandra tak bisa konsentrasi bekerja. Pikirannya terus tertuju pada Aluna. Membayangkan sang istri satu gedung dengan Gibran membuat hatinya kembali panas.Padahal orang yang sedang ia pikirkan tak melakukan apa-apa. Keduanya sibuk di ruangan masing-masing dengan setumpuk pekerjaan."Aargh ... sial!" Alvandra menjambak rambut frustasi. Ia singkirkan berkas-berkas yang berserakan di meja. Hingga ketukan di pintu menghentikan aksi marah-marah tak jelasnya."Masuk!" perintahnya berteriak.Pintu pun terbuka. Terlihat pria berusia sekitar 40 tahunan masuk sambil membawa satu buah map."Ada apa Pak Rian?" tanya Alvandra dingin."Ini laporan kerjasama dengan perusahaan konstruksi. Pengajuan kita disetujui mereka," jawab Rian menyerahkan map yang tadi dibawanya.Alvandra mengambil map itu lalu melihat isinya. Ia menganggukkan kepala pertanda puas dengan hasilnya."Bagus. Pertahankan terus kinerja kalian supaya perusahaan ini bangkit lagi dan kembali berjaya," ucap Alvandra
Tubuh Aluna berguncang hingga keningnya membentur dashboard mobil. Perutnya tiba-tiba menegang hingga ia merasa kesakitan."Aww ...!" teriak Aluna memegangi perut."Sayang!" pekik Alvandra panik. Ia buka sabuk pengaman lalu menarik tubuh sang istri yang membungkuk hingga duduk tegak lagi."Mana yang sakit, Yang?" Alvandra bertanya dengan raut wajah cemas.Aluna tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata sambil mengelus perutnya yang masih menegang. Rasanya seperti ditusuk-tusuk.Sementara di luar, pengendara motor yang menabrak Alvandra duduk di aspal tak jauh dari motornya yang terguling. Orang-orang berkerumun mencoba menolong pengendara itu. Motornya dipindahkan ke pinggir jalan supaya tidak mengganggu arus lalu lintas.Hati Alvandra dilanda kebimbangan. Apa dia harus turun atau tidak. Kalau turun, Aluna pasti lebih lama lagi menahan sakit dan ia khawatir itu bisa berakibat fatal pada calon anaknya.Jika tak turun, ia seperti orang tidak bertanggung jawab. Namun ia tak merasa bersalah
Ghazi makan malam hanya seorang diri. Alvandra tengah menemani Aluna di rumah sakit. Sedangkan Gibran belum terdengar pulang dari sore tadi padahal setahu dia kantor sudah tutup setelah semua karyawan pulang."Mungkin dia makan malam di luar," gumam Ghazi meneruskan makannya hingga habis.Dan seperti biasa, sesudah makan malam Ghazi pasti duduk dulu di taman belakang sekitar setengah jam menunggu waktu Isya.Semua pelayan sudah masuk kamarnya masing-masing di bagian belakang rumah. Jam kerja mereka paling lama sampai jam delapan malam.Mendekati waktu Isya, Ghazi beranjak dari duduk. Ia melangkah masuk ke dalam rumah kemudian mengunci pintunya. Semua lampu utama sudah dimatikan oleh pelayan. Namun Ghazi masih bisa melihat dengan bantuan cahaya dari lampu hias."Siapa itu?" teriak Ghazi saat tiba-tiba melihat sekelebat bayangan hitam melintas di area dapur.Tak ada jawaban. Melangkah pelan, ia mendekati tempat dimana melihat bayangan itu sambil menyalakan lampu dapur. Ia edarkan pandan
Alvandra shock begitu tahu jika sang kakek menjadi korban tabrakan beruntun. Lekas ia mengikuti ke mana perawat membawa brankar yang berisi Ghazi. Sejenak ia melupakan Aluna yang sedang menunggu di ruang rawat.Langkah Alvandra terhenti kala semua korban kecelakaan itu masuk ke IGD. Ia menelepon pelayan di rumah dan menanyakan dengan siapa kakeknya berangkat. Sebab Ghazi memang mengabari Alvandra akan menjenguk Aluna.Selesai menelpon, Alvandra baru teringat akan istrinya. Setengah berlari, ia kembali ke ruang rawat Aluna.Aluna baru saja selesai memasukkan pakaian kotor ke dalam tote bag saat Alvandra memasuki kamar dengan wajah pucat juga panik. Napasnya pun terlihat tersengal-sengal. Istri dari Alvandra itu mengerutkan kening melihat keadaan suaminya."Kamu kenapa, Mas? Pucat gitu. Sakit?" tanya Aluna beruntun akibat penasaran.Alvandra menggeleng sambil mengatur napas. Ia belum mampu mengeluarkan suara. Tenggorokan serasa ditumbuhi duri hingga terasa sakit saat menelan ludah.Alun
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma