Sepanjang hari ini Alvandra tak bisa konsentrasi bekerja. Pikirannya terus tertuju pada Aluna. Membayangkan sang istri satu gedung dengan Gibran membuat hatinya kembali panas.Padahal orang yang sedang ia pikirkan tak melakukan apa-apa. Keduanya sibuk di ruangan masing-masing dengan setumpuk pekerjaan."Aargh ... sial!" Alvandra menjambak rambut frustasi. Ia singkirkan berkas-berkas yang berserakan di meja. Hingga ketukan di pintu menghentikan aksi marah-marah tak jelasnya."Masuk!" perintahnya berteriak.Pintu pun terbuka. Terlihat pria berusia sekitar 40 tahunan masuk sambil membawa satu buah map."Ada apa Pak Rian?" tanya Alvandra dingin."Ini laporan kerjasama dengan perusahaan konstruksi. Pengajuan kita disetujui mereka," jawab Rian menyerahkan map yang tadi dibawanya.Alvandra mengambil map itu lalu melihat isinya. Ia menganggukkan kepala pertanda puas dengan hasilnya."Bagus. Pertahankan terus kinerja kalian supaya perusahaan ini bangkit lagi dan kembali berjaya," ucap Alvandra
Tubuh Aluna berguncang hingga keningnya membentur dashboard mobil. Perutnya tiba-tiba menegang hingga ia merasa kesakitan."Aww ...!" teriak Aluna memegangi perut."Sayang!" pekik Alvandra panik. Ia buka sabuk pengaman lalu menarik tubuh sang istri yang membungkuk hingga duduk tegak lagi."Mana yang sakit, Yang?" Alvandra bertanya dengan raut wajah cemas.Aluna tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata sambil mengelus perutnya yang masih menegang. Rasanya seperti ditusuk-tusuk.Sementara di luar, pengendara motor yang menabrak Alvandra duduk di aspal tak jauh dari motornya yang terguling. Orang-orang berkerumun mencoba menolong pengendara itu. Motornya dipindahkan ke pinggir jalan supaya tidak mengganggu arus lalu lintas.Hati Alvandra dilanda kebimbangan. Apa dia harus turun atau tidak. Kalau turun, Aluna pasti lebih lama lagi menahan sakit dan ia khawatir itu bisa berakibat fatal pada calon anaknya.Jika tak turun, ia seperti orang tidak bertanggung jawab. Namun ia tak merasa bersalah
Ghazi makan malam hanya seorang diri. Alvandra tengah menemani Aluna di rumah sakit. Sedangkan Gibran belum terdengar pulang dari sore tadi padahal setahu dia kantor sudah tutup setelah semua karyawan pulang."Mungkin dia makan malam di luar," gumam Ghazi meneruskan makannya hingga habis.Dan seperti biasa, sesudah makan malam Ghazi pasti duduk dulu di taman belakang sekitar setengah jam menunggu waktu Isya.Semua pelayan sudah masuk kamarnya masing-masing di bagian belakang rumah. Jam kerja mereka paling lama sampai jam delapan malam.Mendekati waktu Isya, Ghazi beranjak dari duduk. Ia melangkah masuk ke dalam rumah kemudian mengunci pintunya. Semua lampu utama sudah dimatikan oleh pelayan. Namun Ghazi masih bisa melihat dengan bantuan cahaya dari lampu hias."Siapa itu?" teriak Ghazi saat tiba-tiba melihat sekelebat bayangan hitam melintas di area dapur.Tak ada jawaban. Melangkah pelan, ia mendekati tempat dimana melihat bayangan itu sambil menyalakan lampu dapur. Ia edarkan pandan
Alvandra shock begitu tahu jika sang kakek menjadi korban tabrakan beruntun. Lekas ia mengikuti ke mana perawat membawa brankar yang berisi Ghazi. Sejenak ia melupakan Aluna yang sedang menunggu di ruang rawat.Langkah Alvandra terhenti kala semua korban kecelakaan itu masuk ke IGD. Ia menelepon pelayan di rumah dan menanyakan dengan siapa kakeknya berangkat. Sebab Ghazi memang mengabari Alvandra akan menjenguk Aluna.Selesai menelpon, Alvandra baru teringat akan istrinya. Setengah berlari, ia kembali ke ruang rawat Aluna.Aluna baru saja selesai memasukkan pakaian kotor ke dalam tote bag saat Alvandra memasuki kamar dengan wajah pucat juga panik. Napasnya pun terlihat tersengal-sengal. Istri dari Alvandra itu mengerutkan kening melihat keadaan suaminya."Kamu kenapa, Mas? Pucat gitu. Sakit?" tanya Aluna beruntun akibat penasaran.Alvandra menggeleng sambil mengatur napas. Ia belum mampu mengeluarkan suara. Tenggorokan serasa ditumbuhi duri hingga terasa sakit saat menelan ludah.Alun
Gibran baru saja menginjakkan kaki di parkiran saat ia melihat Abrisam tengah berjalan masuk ke rumah sakit. Ia berniat memanggil ayah Aluna tersebut tapi diurungkan. Akhirnya ia melebarkan langkah berusaha menyusul Abrisam.Begitu sudah masuk gedung tersebut, Gibran melihat Abrisam sedang duduk bersama Aluna. Bermaksud ikut bergabung dengan dua orang itu tapi ditahan karena kini Alvandra ikut duduk bersama mereka.Gibran berdiri tak jauh di belakang ketiganya, di balik banner yang terpasang di ruang tunggu itu. Ia mendengar semua percakapan mereka. Hatinya memanas. Ada perasaan tak rela mendengar Aluna akan tinggal sementara di rumah orang tuanya."Dasar serakah!" gumam Gibran menahan geram dengan tangan terkepal.Gibran melangkah pelan mendekati ketiga orang itu. Ia berdehem hingga mereka bertiga menoleh padanya."Bagaimana kabar Tuan Ghazi?" tanya Gibran membuka percakapan. Ia berdiri di samping Abrisam karena tak mungkin juga duduk di belakang mereka.Alvandra menjawab pertanyaan
"Selamat siang!'Dua orang pria tegap berseragam polisi menghampiri Alvandra yang sedang duduk sendiri di depan ICU.Alvandra menoleh kemudian berdiri. "Selamat siang," balas Alvandra."Anda keluarga dari korban kecelakaan bernama Muhammad Ghazi Malik?" tanya salah seorang Polisi."Iya, Pak. Saya cucunya. Apa ada yang bisa dibantu?" jawab Alvandra sedikit penasaran."Jadi begini, berdasarkan informasi dari saksi korban yang sudah bisa dimintai keterangan juga dari hasil rekaman CCTV, mobil yang dikendarai Bapak Muhammad ini menjadi pemicu tabrakan beruntun itu," papar polisi."Apa? Jadi maksud Bapak, Kakek saya pelakunya?" tanya Alvandra terkejut. Ia memang belum tahu kronologi kecelakaan itu sebab hanya melihat sekilas berita di televisi."Kami belum bisa menetapkan sebagai pelaku sebab masih harus menyelidiki kecelakaan itu juga meminta keterangan dari Bapak Muhammad juga Bapak Fandi," jawab polisi."Keduanya masih kritis, Pak," ungkap Alvandra."Iya, kami sudah tahu. Pihak rumah sa
Aluna juga Alvandra duduk di sofa kamar mereka. Keduanya duduk berdampingan sambil menatap lembayung senja yang perlahan menghilang dari langit Jakarta.Alvandra pun menjelaskan tentang pertemuannya dengan Hanum. Ia tak mau masalah mereka semakin berlarut-larut hanya karena sebuah prasangka yang belum jelas."Itu kejadian sebenarnya. Kamu jangan mengambil kesimpulan hanya dari satu gambar. Apa kamu nggak berpikir kalo ini akal-akalan orang yang pengen liat kita ribut?" ujar Alvandra di akhir ceritanya.Sontak Aluna menoleh setelah sebelumnya tak memberi respon sama sekali. "Siapa?" tanyanya ingin tahu.Alvandra mengangkat bahu. "Coba kamu liat nomor pengirimnya. Apa kamu mengenalnya? Tapi, mau kamu mengenalnya atau nggak, harusnya kamu jangan langsung percaya. Itu hanya foto. Ada cerita di balik foto itu."Aluna diam. Ia memang salah, langsung menuduh Alvandra yang bukan-bukan hanya dari sebuah foto. Padahal kalau suaminya mau selingkuh, buat apa ketemuan di tempat terbuka seperti itu
Pagi hari di rumah Abrisam.Alvandra tengah berpakaian di ruang ganti, sementara Aluna berdandan di meja rias. Sambil memakai jam tangan, ia menghampiri Aluna. Hari ini ia hanya memakai kaos dibalut jas semi formal."Yang, kamu jangan ke kantor lagi, ya. Diem aja di rumah," cetus Alvandra memandang sang istri melalui cermin.Mengerutkan kening, Aluna bertanya, "Kenapa emang?""Mas khawatir terjadi apa-apa sama kamu juga calon anak kita. Nggak tau kenapa, sejak kakek kecelakaan kemaren, perasaan Mas nggak enak. Mas berpikir kalo mobil yang dipake Kakek ada yang jailin."Mata Aluna membulat. "Maksud kamu, itu bukan murni kecelakaan?"Alvandra mengangguk. "Mas lagi coba selidiki ini dibantu Bang Jaka. Semoga aja memang murni kecelakaan.""Kamu juga kalo mau kemana-mana Mas kasih pengawal. Ngeri banget kalo sampe kejadian kayak Abbas dulu," imbuh Alvandra."Baiklah. Nanti aku ngomong sama Daddy." Aluna tak mau membantah sang suami. Ia yakin, Alvandra sudah memikirkan hal itu matang-matang
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma