Setelah menunggu beberapa menit wanita paruh baya itu kembali dengan sepiring nasi penuh."Ayo Pak, dibuka pagarnya." Satpam itu langsung melakukan titah sang bos tanpa menunggu lagi."Sini masuk dan duduk di pos," ajak wanita paruh baya itu lagi.Aku cepat-cepat masuk, tak akan kusia-sia kan kesempatan emas ini, tentunya karena perutku sudah meraung-raung juga sejak tadi."Makan ya, habiskan," ucapnya lagi dengan wajah penuh rasa iba.Hap hap hap. Secepat kilat kumakan nasi dan ikan mas goreng serta tumis sayuran yang sangat lezat di lidah itu."Pelan pelan aja Mbak, kalau masih lapar nanti saya kasih lagi," ucapnya lagi.Aku memelankan pekerjaanku. Sambil melahap sepiring nasi itu dengan pelan, otakku mulai bekerja."Tampaknya wanita ini baik sekali dan mudah tersentuh hatinya, kalau aku manfaatkan saja bagaimana? Aku akan terus berpura-pura jadi orang gila agar mendapatkan simpatinya, hmm mungkin itu akan sangat menguntungkanku."Aku manggut-manggut sendiri sambil terus memikirkan
"Ada orang gilaaa!."Anak-anak yang ada di dalam ruangan itu berhambur ricuh namun ada juga yang tampak senang melihatku ada di sana.Aku yang terkejut segera mengamankan diri ke pojok kelas belakang pintu. "Orang gila orang gila orang gila." Semua anak kemudian bernyanyi sambil bertepuk tangan dan tertawa.Beberapa di antara mereka bahkan tak segan sambil menjahiliku dengan lidi yang mereka ambil dari ikatannya."Heh kerjain yuk dia perusuh."Bugh bugh bugh. Kemudian spidol, penghapus dan buku-buku paket melayang ke arahku."Hentikan anak-anak nakal!" teriakku.Aku pun berlari ke dekat papan tulis, niat hati ingin mengamankan diri namun anak-anak itu makin menjadi.Wajahku malah dicoret-coretnya menggunakan spidol."Nih rasain kamu orang gila hahaha.""Argh hentika ... n!" Aku berteriak kencang.Namun percuma, karena teriakanku tak kunjung membuat mereka takut atau berhenti menjahiliku."Anak-anak nakal! Kumakan kalian hidup-hidup!""Orang gila orang gila orang gila hahaha." Tawa me
"Bangun! Ayo bangun." Suara seseorang menggema di telingaku. Aku terpaksa membuka mata.Rasa perih dan panas di kaki langsung menyerangku tanpa ampun."Bangun!" ucapnya lagi dengan suara lugas.Sontak aku duduk terkejut, "p-p-polisi?" Mulutku tergagap, ingin lari namun kakiku ternyata sudah ditembak."Sudah sehat?"Aku menggeleng cepat, "ampun Pak, saya masih jadi pasien rumah sakit umum, saya habis operasi pengangkatan bayi." Aku beralasan meski dengan suara yang tercekat di tenggorokan."Alasan saja kau, sudah ayo ikut bersama kami ke sel. "Aku terperangah. Keringat dingin tiba-tiba basah di tubuhku.Apa ini? Apa ini artinya aku akan benar-benar dipenjara sekarang juga?"Mohon kooperatif, jangan kabur lagi karena kami sudah melumpuhkan kaki Anda," tegas seorang polisi lagi."Enggak Pak, saya mohon jangan tangkap saya, Pak. Say-"Kedua orang polisi itu tak menghiraukan. Mereka dengan paksa memasangkan borgol di tanganku. Setelahnya aku digiring masuk ke dalam sel tahanan."Pak! Pa
Pov Sandi."Hahahaha ternyata mudah juga bohongi mereka. Mampus kau Sandi mampus." Aku mendengar suara Kak Tuti tengah tertawa di ruangan tempat ia dirawat. Tanpa berpikir lagi aku segera mengintip dari kaca pintu.Benar, ternyata Kak Tuti tengah dengan puas menertawakanku di dalam."Kurang ajar! Jadi rupanya dia tidak gila? Dan betina itu telah membohongiku begitu? Oke, kita lihat siapa yang lebih pintar."Dengan amarah meluap-luap, aku bergegas menemui Bu Wendah dan menceritakan semua yang kudengar barusan."Keterlaluan, kalau begitu kamu memang harus segera seret dia ke dalam penjara San," kata Bu Wendah sama kesalnya.Dari sana segera aku meluncur ke kantor polisi dan menyuruh para petugas melakukan penangkapan ke rumah sakit tempat Kak Tuti sedang dirawat.Kak Tuti yang tengah tidur pulas saat itu bahkan sampai melonjak kaget tatkala ia bangun.Aku hanya melihat dari luar, kubiarkan para petugas kepolisian melakukan tugasnya. Meskipun menangkap Kak Tuti ternyata benar-benar tida
"Tapi kalau boleh saya meminta ... tolong jangan larang Lusi untuk tetap menjadi anak saya Bu, saya sudah sangat menyayangi dan mencintai Lusi seperti anak sendiri," ucap Ibu mertua sambil meraih pipi Lusi.Bu Wendah tersenyum tipis."Ibu tenang saja, saya bukan tipe orang yang seperti itu. Lagipula ... Lusi sudah menikah, dia pasti paham bagaimana harus memperlakukan kedua ibunya."Lusi spontan memeluk Bu Wendah dan ibu mertua.***Esok hari.Ponselku berdering pagi-pagi."Hallo apa benar ini keluarganya Bu Lastuti?" tanya seorang wanita di jauh sana."Ya benar! Kenapa?""Pak, Bu Lastuti semalam dilarikan ke rumah sakit karena percobaan bunuh diri dan sekarang pasien sudah meninggal dunia akibat menenggak cairan pembersih di kamar mandi.""Apa?!" Pikiranku langsung bercabang saat seseorang yang kuyakini ia adalah seorang perawat mengabari soal keadaan Kak Tuti."Ya benar Pak, dimohon anggota keluarganya sekarang juga ada yang ke rumah sakit untuk pengurusan jenazah."Tanpa bicara lag
Seminggu setelah aku tahu Lusi hamil, aku jadi sering berangkat kerja lebih cepat agar aku juga bisa pulang lebih awal.Apalagi kasihan Lusi, dia mulai ngidam dan sering mual-mual. Meski ini bukan kehamilan pertamanya tapi aku tahu kehamilan itu sama beratnya.Lebih-lebih hamil yang sekarang ini Lusi jadi sering bertingkah yang membuatku geleng-geleng kepala.Misalnya saat akan tidur, dia harus membayangkan sapi-sapi berderet panjang dari ujung lapang bingga ujung lapang, setelah itu Lusi akan membayangkan dirinya jadi petani susu perah, dan akan memerah susu sapi itu sampai ia merasa lelah sendiri dalam bayangannya, setelah itu barulah Lusi akan tidur dengan sendirinya. Kalau tidak begitu, yaa dia akan kesulitan tidur. Agak-agak absurd memang, ingin ketawa juga tapi kubiarkan saja, namanya juga orang hamil, ya pasti aneh-aneh."Abaaang!" Aku spontan bangkit dari kasur saat kudengar suara teriakan Lusi di luar rumah."Lus, ada apa?" tanyaku cepat sambil setengah berlari ke arahnya."
"Setuju," sahut Lusi di belakang jok."Tumben, biasanya kamu males mampir-mampir, Dar," ucapku pada Dara."Kali-kali.""Ya udah bentar, Om harus telepon dulu mama mertuanya kali aja dia gak ada di rumah," balasku sambil mulai mengusap layar ponsel."Halo Ma, ada di rumah gak, Ma?""Ada San, ini 'kan hari libur, kenapa?""Sandi mau main sama Lusi, ada Dara juga.""Iya iya main sini San, Mama tunggu ya, hati-hati bawa Lusinya." Mama mertua mewanti-wanti."Siap!"Motor akhirnya berputar ke arah jalan menuju rumah mama mertua.Sampai di sana Dara cepat berhambur turun mengikuti kami."Ini si Dara tumben mau mampir, kami baru pulang dari rumah sakit, Ma," ucapku basa-basi."Gak apa-apa, eh ngomong-ngomong dari rumah sakit habis apa? Periksa kehamilan?" Aku melirik ke arah Lusi, ia berpaling kesal lalu membenamkan wajahnya pada bahu mama mertua."Masa Lusi habis dibawa ke psikiater lagi Ma, kesel, dikira Lusi ini masih gila apa," sahut Lusi.Mama mertua tersenyum lebar."Gak apa-apa, perik
Alih-alih menjawab, Dara hanya tersenyum sekenanya dan meneruskan langkah bersamaku.Sampai di rumah Pak RT kami langsung menceritakan semua kejadiannya."Baik, kami akan bantu cari istri Bapak, saya akan kerahkan semua warga."Aku mengangguk, lalu pamit kembali pulang. Di teras sudah ada ibu dan papa mertua."Sandi, gimana? Kok bisa Lusi hilang lagi? Kemarin hilang, sekarang masa hilang lagi?" cecar Ibu."Enggak tahu Bu, Sandi juga bingung ini, sejak Lusi sering lihat orang misterius itu dia jadi begini.""Apa mungkin istrimu itu depresi lagi San?" "Gak Bu, tadi siang Lusi sudah saya periksa ke dokter, tapi hasilnya baik dan normal kok."Ibu mertua makin terlihat panik, berkali-kali bapak mertua juga memeriksa sekitar rumah."Nanti ini pohon-pohon yang agak gede ditebang aja San, biar gak terlalu gelap di pekarangan," kata Bapak mertua, aku mengangguk paham."Udah Ibu tenang aja, Pak RT juga bentar lagi bakal ngerahin semua warga kok, semoga Lusi cuma lagi pergi sebentar." Aku beru
"Lusi! Biarkan laki-laki tak berguna itu dibawa, kamu tidak perlu halang-halangi petugas melakukan tugasnya!" Mama mertua berteriak.Lusi menggeleng-gelengkan kepala."Gak Ma, jangan lakuin ini Ma, Lusi mohon, Lusi mohon, Ma."Peristiwa tarik menarik antara polisi dan Lusi pun terus terjadi. "Lus, biarkan Abang dibawa dulu, nanti kita akan jelaskan, takut kamu kenapa-napa," ucapku.Lusi tetap tak mau mengalah, ia terus saja menarikku."Lusi gak mau Abang, Lusi gak bisa hidup tanpa, Abang," katanya mulai terisak."Sudah cukup Lusi! Drama macam apa ini?!" Dengan paksa Mama mertua menarik tangan Lusi.Dan brak gedebughhh. Tangan Lusi terlepas hingga kepalanya terpental ke tembok, sementara tangannya menghantam kaca hingga retak, parahnya saat itu juga Lusi langsung jatuh tak sadarkan diri."Lusiii!" Aku dan Mama mertua teriak spontan."Tante Lusi, ya ampun bangun, Tan." Dara dengan sigap meraih kepala Lusi."Ya ampun Lusi? Lusii maafin Mama Nak, Lusi bangun Sayang, Lus ... Lusi? Lusii!
PoV SandiFaaz tertawa, "haha ya tentu saja aku kenal."Lanjut Faaz menceritakan tentang pertemuannya denganku saat itu, seminggu setelah aku kecelakaan, Lula mengantarku datang ke sekolah anaknya Faaz."Heiii keluar kau lelaki hidung belang!" teriak Lula saat itu.Buru-buru Faaz keluar dari mobilnya."Maaf ada apa ini?" tanya Faaz, ia terlihat kebingungan karena kami menghadang mobilnya setelah ia mengantarkan anaknya."Halah enggak usah banyak omong kau hidung belang, kemana Kakak iparku sekarang? Kau kemanakan dia, hah?!" sembur Lula berkacak pinggang.Kening Faaz mengerut, sementara aku yang tak sabar cepat mencecarnya juga."Hei apa kau tuli? Kau kemanakan istriku? Di mana dia sekarang?!""Tuggu dulu, kalian jangan emosi begini, istri? Kakak ipar? Siapa yang kalian maksud?""Wanita yang seminggu lalu mengantar anakmu ke sini, dia adalah istriku, kau dengar? Dia ISTRIKU," tegasku tepat di depan wajahnya."Siapa? Lusi maksud Anda?" "Ya tentu saja, siapa lagi, asal kau tahu dia adal
Aku menggeleng tak percaya. "Apa Mama setega itu sekarang?""Ya, Mama harus tega dan ini demi kebaikan kamu Lusi.""Lusi cuma mau tahu kabar Bang Sandi, Ma.""Enggak!"Aku bergeming menatap beliau sebelum akhirnya melengos pergi dengan rasa kecewa.Aku berusaha untuk sabar menghadapi Mama, berharap beberapa hari ke depan beliau akan terbuka hatinya dan membiarkan aku kembali pada Bang Sandi, tapi ternyata aku salah.Mama malah semakin mengurungku bagai tawanan. Aku tahu beliau sangat menyayangiku tapi caranya sangat salah. Aku tidak dibiarkan pergi kemana pun hanya karena takut komplotan Mas Yono datang menculikku lagi. Akhirnya, setiap hari selama aku tinggal bersama Mama, tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah, berharap ada seseorang yang bisa menolongku dan menyadarkan Mama bahwa tindakannya itu salah.Siang itu aku sedang bersender di jendela besar kamarku, sambil kuelus perut yang makin membesar ini aku menangis menumpahkan kesedihanku.Air mata luruh tak tertahan, bagaimana
"Lus ... Lusi ... bangun Sayang." Suara itu menarikku dalam kesadaran.Spontan aku bangkit saat ternyata Mama ada di sampingku."Ma?" Kutengok lagi di belakangnya Faaz sedang berdiri sambil menundukan kepalanya."Kamu baik-baik aja, Lus?" tanya Mama lagi. Aku mengangguk pelan lalu cepat memeluknya erat."Mama, tolongin Lusi Ma, Lusi takut, Lusi takut, Ma.""Iya Sayang, kamu tenang Nak, kamu sudah aman di sini."Faaz maju selangkah."Tolong maafkan mantan istri saya, dia memang wanita gila," ujarnya pelan.Aku mengangguk pelan, dan terus berlindung dalam dekapan Mama."Siapa yang bawa Lusi ke sini, Ma?""Faaz, dia menemukan kamu di toilet kamar Maisa."Aku melirik lelaki itu sekali lagi, hidupku jadi mengerikan begini gara-gara aku masuk dalam kehidupannya. Ya Tuhan, andai aku bisa secepatnya lepas dari Faaz."Mulai besok kau gak usah tinggal lagi di rumahku." Ucapan Faaz membuatku mengangkat wajah. Dan mendadak senyumku terbit tanpa aba-aba."Ya, pulanglah bersama ibumu, maaf saya sud
"Maisaa! Maisaa!" Mereka berdua berlomba memeluk Maisa, kemudian berusaha membuat anak itu sadar."Awas! Jangan sentuh anakku!" sentak Faaz sambil mendorong mantan istrinya."Mas, apa maksud kamu? Maisa sedang membutuhkanku sekarang.""Enggak!" teriak Faaz lagi, kali ini lebih kencang.Cio memaksa memeluk anaknya alih-alih pergi menuruti keinginan Faaz. Tak heran jika hal itu membuat Faaz naik darah hingga akhirnya lelaki itu membanting lampu meja yang ada di sisi ranjang Maisa."Biarkan dia, aku gak sudi anakku dipeluk oleh perempuan sepertimu! Pergii!! Atau kau akan ku-""Tapi aku Ibunya Mas, aku berhak memeluknya sampai kapanpun," potong Cio.Aku dan bibi saling menatap tak percaya. Bisa-bisanya mereka saling mempertahankan ego masing-masing di saat keadaan genting begini.Karena tak tahan, akhirnya mulut ini refleks berteriak, "sudah cukup! Kalian gak lihat gimana keadaan Maisa sekarang?!"Kedua orang yang sedang berselisih dan adu mulut pun diam."Bisa-bisanya kalian sibuk berten
Aku hanya tersenyum sekenanya.Sampai di rumah aku dan bibi langsung melakukan tugas masing-masing. Mendekor dan menyiapkan acara kecil-kecilan untuk Maisa. Sementara Faaz menjemput anaknya itu ke sekolah."Non Lusi, kok diem aja? Ada apa? Apa Non masih kepikiran suami, Non?" bisik Bibi.Aku menggeleng lesu, "gak Bi, bukan itu, saya hanya sedang mikirin tadi, saya 'kan makan dulu setelah belanja eeh terus ketemu mama saya, Bi.""Wah bagus dong Non, terus gimana?""Masalahnya kok mama saya kayak beda ya sekarang, masa saya tanya soal kondisi suami saya beliau bilang gak tahu apa-apa dan parahnya mama bilang saya harus lupain suami saya mulai sekarang karena beliau anggap suami saya sudah lalai, beliau anggap suami saya yang bertanggung jawab atas kondisi saya sekarang, terus masa iya mama saya malah dukung keberadaan saya di rumah ini, aneh 'kan? Saya jadi kepikiran sebetulnya ada apa di rumah, apa suami saya baik-baik aja?" jawabku panjang lebar.Bibi mendengarkan dengan baik semua ya
"Gak bisa ya, Non?" tanya Bibi lagi."Iya gak bisa Bi, gak diangkat.""Lusii!!" Kudengar suara Faaz berteriak di luar, cepat Bibi memasukan lagi ponselnya pada lipatan jarik di bagian perutnya."Tuan manggil Non, cepet ke sana."Aku mengangguk dan buru-buru turun."Iya, kenapa?""Hari ini bisa antar saya ke supermarket? Saya mau belanja kebutuhan ulang tahunnya Maisa, hari ini dia ulang tahun saya mau buatkan kejutan kecil-kecilan untuk dia," tanya Faaz."Oh ya, tentu boleh," jawabku pelan.Hari itu tanpa menunggu lagi Faaz membawaku ke sebuah supermarket terdekat dari rumahnya. Kami membeli banyak sekali perlengkapan pesta ulang tahun untuk kejutan untuk Maisa. "Nanti Maisa akan saya jemput dan akan saya bawa main dulu, kamu dan bibi tolong persiapkan untuk kejutannya ya," ucap Faaz saat kasir sedang menghitung belanjaan kami.Aku mengangguk saja."Tapi awas, kamu jangan capek-capek Lus, takutnya kandungan kamu malah kenapa-kenapa," ucapnya lagi.Aku tersenyum sekenanya dan mengangg
Pov Lusi"Aaaaa!"Bruk. Kutengok kaca spion, Bang Sandi terjatuh dari motornya."Mas, ada kecelakaan, berhenti sebentar," titahku cepat."Itu bahaya Lusi, sudah biarkan saja, itu bukan urusan kita juga," katanya sambil terus menyetir melajukan mobil dengan kencang.Hatiku makin gundah, Bang Sandi kecelakaan, sementara aku tak biaa berbuat apa-apa, aku tengah bersama seorang lelaki tempramental yang baru beberapa hari ini kukenal, dia bisa saja memukul dan menyiksaku jika aku membuat hatinya tersinggung atau tak suka.Yang kutahu namanya adalah Faaz, teman-temannya termasuk Mas Yono yang menjualku padanya kemarin memanggil pria ini dengan sebutan Mas Faaz, ia punya seorang anak perempuan seusia anakku Yassir.Yang kutahu sejauh ini Faaz sebetulnya orang baik, katanya dia sengaja membeliku dari Mas Yono untuk waktu yang agak lama karena dia butuh seorang perempuan di rumahnya untuk membantu menemani putrinya yang sering menangis karena merindukan mamanya.Sempat tak percaya, tapi nyatany
"Kak Sandi tolong di dalam ada Mas Yono ngamuk-ngamuk."Aku terperangah, cepat aku melangkah masuk menghentikan papanya Dara yang sedang kesetanan mengobrak-abrik isi rumahku.Sementara Dara kusuruh menunggu bersama Lula di luar."Mas Yono! Hentikan!" Aku berteriak kencang.Ia menoleh tajam dengan bola mata yang memerah."Oh baguslah kau sudah datang Sandi, ayo berikan, mana anakku?" katanya tanpa basa-basi.Mataku sontak menyipit."Ayo! Mana Dara? Di mana anakku itu, hah?!""Mas Yono insyaf! Dara itu anakmu, bapak macam apa kau ini? Tega-teganya menjual anak sendiri hanya untuk kesenangan sendiri!!" semburku kemudian.Mas Yono tersenyum miring, "tutup mulutmu Sandi! Kalau bukan karena ulahmu menjebloskan ibunya ke dalam penjara aku pun tak akan melakukan ini!!""Kak Noni memang pantas dipenjara Mas, dia sudah terlibat dalam kasus penganiayaaan! Dan Mas Yono pun akan mendekam dalam penjara kalau Mas Yono gak segera memberitahu di mana Lusi sekarang!" tegasku seraya bertelunjuk jari.Ma