Tapi Lusi hanya diam, ia tak menjawab atau pun bicara dan yang lebih membuatku tak tega itu kadang-kadang sorot matanya kosong, kadang-kadang ia juga menangis.
Padahal aku sudah ada di sini, apa sebegitu beratnya beban pikiran Lusi sampai ia tak fokus begini?"Lusi udah makan belum?" tanyaku.Ia menggeleng pelan. "Pagi udah makan belum?" Aku memastikan lagi.lagi-lagi ia menggelengkan kepala. "Belum dapat jatah," jawabnya pelan nyaris tak terdengar.Aku terhenyak, belum dapat jatah? Ya Allah kasihan istriku, sudah sore masa iya dia belum juga diberi makan sama ibu.Atau apa jangan-jangan selama ini keluargaku memang memperlakukan Lusi seperti ini? Pantas saja badannya sampai kurus kering begini."Kenapa gak minta sama ibu?"Lusi menggeleng lagi. "Takut, Bang," jawabnya lagi dengan air mata yang kembali mengaliri pipi."Takut kenapa? Selama ini Abang kirim uang buat kamu dan Yassir makan, kenapa kamu harus takut? Minta saja."Lusi diam, aku pun bangkit."Sebentar Abang ambilkan makan dulu, habis makan kita baru mandi ya."Lusi menggelengkan kepala lalu memegang tanganku agar aku tetap duduk di sampingnya. "Takut, Bang," katanya."Sebentar aja, cuma mau ambil makan ke dapur, Abang janji gak akan lama-lama," ucapku meyakinkan.Perlahan cengkraman tangan Lusi mengendur dan aku pun cepat-cepat pergi ke dapur. Di sana tak sengaja kudengar ibu dan kak Tuti sedang bicara."Iya kamu bener Tut, bahaya kalau sampe si Sandi tahu kebenarannya, bisa abis kita," kata Ibu yang sedang duduk di kursi makan."Terus gimana ini, Bu? Sialan emang si Sandi, kenapa juga harus pulang mendadak gitu sih? Bikin repot aja, bukannya kasih kabar dulu atau apa ke," balas Kak Tuti, kedua kakinya terus saja mondar-mandir di depan meja kompor sambil menggigit bibirnya sedikit.Kebenaran? Kebenaran apa yang mereka maksud? Kenapa aku gak boleh tahu? Dan kenapa kepulanganku justru masalah bagi mereka? Harunya mereka seneng kan? Apa jangan-jangan semua ini ada kaitannya sama Lusi dan Yassir?"Sandi? Ada apa? Ngapain berdiri di sana?" tanya Kak Tuti yang tak kusadari ternyata ia sudah menyadari keberadaanku di dekat partisi ruang makan.Aku pun melangkah mendekati mereka."Sandi mau minta makan buat Lusi," ucapku seraya mengambil piring dari rak.Setelah itu kubuka tutup saji, ada ayam goreng, ada sayur sop, tempe goreng dan dadar telur. Hatiku kembali nyeri, kata Lusi ia belum diberi jatah makan dari pagi, tapi di sini masih banyak sekali makanan, apa mereka gak kasihan sedikitpun sama istriku?Akhirnya sengaja kuambil semua jenis lauk sedikit-sedikit ke dalam piring Lusi.Sementara mereka berdua kulihat tampak tak rela makanannya kuambil."Sebanyak itu San?" tanya Kak Tuti."Iya, kasihan Lusi kalian belum kasih dia makan dari pagi kan?" jawabku di akhiri pertanyaan.Mereka bergeming, wajahnya kembali pias."Kenapa Lusi gak dikasih makan dari pagi? Ini udah sore, apa kalian gak kasihan sama istriku? Badannya jadi kurus kering begitu," cecarku sebelum aku pergi."Em--anu itu loh, istrimu bukannya gak dikasih makan, tapi kita tuh harus nyari waktu yang tepat San, karena gak jarang istrimu itu malah tumpahin nasi nya ke lantai, sayang kan? Lihat aja di kamar, banyak nasi berserakan gitu karena istrimu itu suka sekali marah-marah kalau kami suruh makan," jawab Ibu panjang lebar.Aku tak bicara lagi, meski mereka kasih alasan yang panjang dan lebar tapi entah mengapa rasanya aku tak percaya begitu saja.Selesai mengambil makanan di dalam tutup saji, aku membuka kulkas.Penuh sekali, kulkas ibu penuh dengan makanan ringan dan sayuran lengkap dengan buah-buahan juga. Tentu saja penuh, bagaimana tidak? Aku kirim sebagian gajiku untuk mereka hidup di kampung dengan harapan ibu dan keluargaku bisa mengurus dan menjaga istri serta anakku, tapi kenyataannya malah membuatku sesak.Tanpa berpikir panjang kuambil anggur, pisang, apel, susu UHT dan segelas air putih dingin. Kutaruh semua makanan yang sudah kuambil itu dalam nampan."Oh ya, tolong panasin air, Lusi mau mandi biar dakinya pada rontok harus mandi air anget 'kan?" ujarku sebelum akhirnya aku menghilang di ambang pintu.Tak ada penolakan atau apapun saat aku memberi mereka perintah mereka hanya diam melihatku membawa nampan berisi banyak makanan untuk Lusi."Nah kan, ribet kalau si Sandi udah di rumah ini, sial," dengus Kak Tuti.Langkahku kembali mati, akhirnya kuputuskan bersembunyi di balik tembok dekat partisi, aku ingin mendengar kira-kira apa yang akan mereka bicarakan lagi."Semoga aja si Sandi itu mau berangkat lagi ke Taiwan, alamat gak punya lagi transferan banyak nih Ibu kalau dia di kampung.""Iya bener, kita jadi gak bisa makan enak lagi," sahut Kak Tuti.Aku menggeleng tak percaya, ternyata begitu kelakuan ibu sama kakak-kakaku selama ini? Ternyata mereka hanya ingin uangku saja begitu? Keterlaluan.Sedang serius mendengarkan mereka, tak lama kudengar suara Lula marah-marah di kamar depan."Ngapain kamu di sini? Dasar orang gila, berani kamu ya masuk kamarku? Awas! Turun kamu gila!" sentaknya.Aku setengah berlari menghampiri mereka, aku yakin Lula marah-marah karena istriku sedang istirahat di kamarnya."Sini kamu gila! Jorok banget ih, kasurku jadi bau kan?" sentaknya lagi, anak berseragam SMA itu tanpa segan menarik tangan Lusi secara paksa.Bruk. Kulihat Lusi didorongnya hingga istriku itu terjerembab ke bawah."Astagfirullah Lula!" Refleks mulutku berteriak, sontak anak itu terkejut dengan mata yang membulat."Jadi gini cara kamu perlakukan kakak iparmu?" Aku menyentak sambil meraih istriku kembali."K-ka Sandi?" tanyanya dengan air muka yang mendadak pucat dan dingin."Iya ini Kakak, kenapa kamu? Kaget? Hah?"Lula menggelengkan kepala, wajahnya cemas karena perlakuannya yang kasar pada istriku sudah kupergoki."Dia ini Kakak iparmu, gimana bisa kamu bersikap begini? Atau apa jangan-jangan selama ini kamu memang bersikap begini?" ujarku lagi seraya menatapnya tajam."M--maaf Kak, tadi Lula kaget kenapa Kak Lusi ada di kamar Lula," katanya tergagap."Kaget katamu? Tapi apa perlu kamu bersikap begini? Sekolah kan kamu?"Aku terus menyentaknya, rasanya kesal sekali aku melihat anak SMA sudah berani main kasar sama orang yang lebih tua, mau jadi apa dia nantinya kalau lagi sekolah aja dia gak ada takutnya begini.Sementara itu ibu dan Kak Tuti datang menghampiri."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Ibu."Ajarin nih si Lula, anak sekolah sikapnya kasar begitu, mau jadi apa dia nanti?" ujarku kesal."Tap--pi Bu si gi--."Ibu menarik lengan Lula sebelum anak itu selesai bicara, akhirnya Lula diam."Mulai sekarang kamar ini akan jadi kamar kami, biar si Lula t
Tatapannya kembali kosong, seperti sedang menerawang sangat jauh."Semuanya? Jadi semua orang suka pukulin kamu?" Aku memastikan lagi.Lusi kembali menatapku, ia lalu mengangguk, air matanya kemudian jatuh mengaliri pipinya yang dekil.Aku paham bagaimana perasaanya jika memang benar semua orang melakukan kekerasan sama Lusi aku bersumpah akan membuat mereka semua bersujud di kaki Lusi.Tak kecuali ibu, entah kenapa ibuku sekejam itu pada Lusi? Apa karena Lusi bukanlah anak orang kaya seperti yang beliau harapkan begitu?Lusi menangis lagi kali ini semakin kencang, jujur saja semua itu membuatku semakin kesulitan saat aku mengintrogasinya.Tapi aku tak menyerah, kebenaran harus kuketahui dengan jelas. "Lusi Lusi tenanglah, sekarang katakan sama Abang, kenapa kamu dipukul?" Aku kembali mengguncang kedua bahunya.Untuk sesaat ia kembali diam dan kembali berpikir."Gak mau mandi," jawabnya seraya kembali menangis dan sibuk menyeka air matanya.Aku menyipitkan mata. "Gak mau mandi saja sa
"Lusi, Abang kirim uang buat kamu tiap bulan, kamu ambil tidak?" Aku kembali bertanya walau Lusi sedang menangis.Ia lalu menggelengkan kepalanya lagi, dipeluknya kedua lutut itu dengan tangannya."Jadi selama 5 tahun Abang kirim uang kamu gak pernah dikasih? Tapi kamu bilang ditelep--." Hampir saja aku ikut terbawa emosi andai aku tidak cepat melihat istriku yang semakin ketakutan di tempatnya."Eh enggak maaf maksud Abang, Abang bukan mau sentak Lusi, Abang cuma--kesel sama keluarga Abang."Keterlaluan! Bener-bener keterlaluan! Jadi bener selama ini aku kirim uang dan Lusi gak pernah dikasih, pantas saja jika sekarang istriku stres bisa jadi penyebabnya karena dari sana juga.Lusi kemudian mengangkat wajah dan menatapku pilu. "Lusi gak gila Bang, Lusi gak gila," katanya dengan suara serak dan pelan, digeleng-gelengkan kepalanya itu seperti sedang menolak sesuatu dengan cepat.Aku berusaha menenangkannya, kupeluk ia, kuciumi keningnya juga."Iya iya Abang percaya kok Lusi gak gila, L
Tanpa bantahan ia mengangguk. Kami pun kembali berjalan pulang meninggalkan rumah terakhir Yassir.Di tengah jalan langkah Lusi terhenti tatkala kami melewati sebuah warung bakso."Bang itu." Ia menunjuk ke arah bakso yang dijejerkan dalam gerobak."Bakso? Lusi mau bakso?" Lusi mengangguk. Kasihan, padahal tadi dia baru makan banyak tapi mungkin masih belum kenyang juga.Akhirnya kubawa ia masuk ke dalam kios bakso itu, kupesan dua mangkok bakso urat seperti kesukaannya."Nah makanlah," titahku ketika dua mangkok bakso ada di hadapannya.Dan hap hap hap. Tak ada sisa, semangkok bakso yang kuahnya masih panas itu berhasil ia habiskan dengan cepat, aku sampai harus meminjam satu mangkok kosong untuk memisahkan air dengan baksonya karena takut melukai mulut Lusi."Pelan aja Lus, masih banyak, nanti Abang beliin lagi.""Enak Bang, Lusi suka bakso."Hatiku kembali nyeri, jauh-jauh aku kerja ke luar negeri semua itu hanya untuk membuatnya bahagia dan mencukupi semua kebutuhannya agar ia ti
"Bisa gak pelan-pelan aja ngomongnya? Tadi mereka lagi keluar, gak tahu mereka ada di kamar atau enggak sekarang.""Kamu gak kabari Kakak si Sandi udah balik." "Salah siapa teleponnya gak aktif terus."Setelah itu mereka terdengar pergi dari ruangan depan.Setelah rumah kembali sepi karena mungkin mereka sedang mengobrol di belakang atau di kamar ibu, aku kembali menatap istriku yang tengah terlelap.Kasihan dia, tubuhnya kurus kering, mata hitam dan kulitnya kusam.Jika memang Lusi mulai mengalami gangguan jiwa sejak anakku meninggal tapi kenapa tubuhnya sampai terlihat mengenaskan begini? Makam Yassir bahkan masih terlihat baru itu artinya harusnya Lusi belum separah ini juga.Sungguh tak masuk di akal.Atau jangan-jangan sebetulnya Lusi gila itu bukan karena anakku meninggal tapi karena selama ini mereka memperlakukannya seperti binatang.Diberi nasi sisa, disuruh kerja terus menerus, dan--mungkin masih banyak hal lainnya yang belum kuketahui. Ya benar, karena itu aku harus mencari
Aku menyipitkan mata."Kenapa harus kakak saya yang bawa?Emang gak ada Pak RT atau siapa gitu, Bu?"Bu Lastri diam sebentar."Enggak tahu juga kenapa harus si Tuti yang bawa, padahal para tetangga laki-laki juga ada kok pada menawarkan diri tapi keluargamu malah menolak."Aku berpikir sebentar, aneh juga, kenapa keluargaku maksa membawa jenazah Yassir sendiri? Maksudnya kalau ada laki-laki kan lebih baik dibawa sama laki-laki saja."Kamu jadi kurus banget Lus, baru aja ditinggal seminggu lebih sama Yassir," ucap Bu Lastri lagi seraya duduk di dekat Lusi."Tapi istrimu ini kok jarang kelihatannya udah lama ya San?" imbuh beliau terheran-heran.Tepat dugaanku, Bu Lastri bilang beliau juga tak melihat Lusi sudah sejak lama, jelasnya dari sebelum Yassir meninggal itu artinya Lusi sudah dipasung sejak lama oleh keluargaku.Tapi kenapa ibuku bilang Lusi gila saat Yassir udah meninggal? Berarti mereka bohong dan aku yakin mereka sedang menutupi sesuatu."Ya udah Bu, kami pamit ya, mau sarapa
"Ambil aja istri gila mu itu bawa dia pergi dari rumah ini, itu akan jauh lebih baik," ucap Kak Tuti sama tegasnya denganku.Wanita yang usianya tak jauh beda dari aku dan Lusi itu lalu pergi dari hadapan kami."Kamu lihat 'kan Sandi? Karena ulahmu sodaramu itu jadi marah." Ibu menyahut lagi seraya meluruskan jari telunjuknya."Dasar anak gak tahu diuntung," dengus beliau kemudian seraya berpaling muka dariku.Tapi tak kupedulikan, kubiarkan saja walau ibu marah bahkan tak lagi menganggapku anak, aku sudah tak peduli."Hari ini Sandi dan Lusi mau pindah ke rumah sodara Bu Lastri, kami mau ngontrak di sana sampai kami punya rumah baru." Aku memecah hening yang menjeda beberapa detik.Ibu kembali menoleh dengan mulut menganga. "Kok kamu jadi seenaknya gini Sandi? Mau pindah rumah gak bilang-bilang dulu, terus nanti Ibu sama siapa?""Di sini kan ada Kak Tuti dan Kak Yogi, Lula juga udah dewasa, mereka bisa kok jagain Ibu," jawabku tanpa ragu.Ibu terkatup-katup sementara Kak Noni sama ke
"Di luar di mana?" Aku bangkit dan menengok kaca jendela, tak ada siapa-siapa kecuali kak Yogi yang sejak tadi memang sedang duduk di teras."Ya udah ya udah kita pindah sekarang ya Lus, kita bawa baju kita keluar."Lusi mengangguk lalu menempel di punggungku. Segera kubawa dia keluar.Bruk. Kakinya menabrak ujung kursi hingga Lusi jatuh di dekat kaki Kak Yogi."Awas hati-hati." Kak Yogi hendak meraih istriku tapi cepat ditepisnya oleh Lusi."Pergi! Pergi kamu!" Lusi berteriak sambil melotot ke arah Kak Yogi.Cepat kutenangkan dia. "Lusi Lusi tenang, tenang dulu."Lusi malah semakin ketakutan hingga keluar keringat dingin, napasnya juga mendadak tersengal-sengal sepeti habis lari maraton."Lusi kenapa? Dia Kak Yogi suaminya Kak Tuti," ucapku panik.Tetapi Lusi malah membuka pagar rumah dan berlari menjauhi kami. "Lusi mau kemana?" Aku setengah berteriak dari teras."Kenapa istrimu itu San?"Aku menggeleng kepala, tanpa sempat menjawab ucapan Kak Yogi aku segera mengejar Lusi."Lusi
"Lusi! Biarkan laki-laki tak berguna itu dibawa, kamu tidak perlu halang-halangi petugas melakukan tugasnya!" Mama mertua berteriak.Lusi menggeleng-gelengkan kepala."Gak Ma, jangan lakuin ini Ma, Lusi mohon, Lusi mohon, Ma."Peristiwa tarik menarik antara polisi dan Lusi pun terus terjadi. "Lus, biarkan Abang dibawa dulu, nanti kita akan jelaskan, takut kamu kenapa-napa," ucapku.Lusi tetap tak mau mengalah, ia terus saja menarikku."Lusi gak mau Abang, Lusi gak bisa hidup tanpa, Abang," katanya mulai terisak."Sudah cukup Lusi! Drama macam apa ini?!" Dengan paksa Mama mertua menarik tangan Lusi.Dan brak gedebughhh. Tangan Lusi terlepas hingga kepalanya terpental ke tembok, sementara tangannya menghantam kaca hingga retak, parahnya saat itu juga Lusi langsung jatuh tak sadarkan diri."Lusiii!" Aku dan Mama mertua teriak spontan."Tante Lusi, ya ampun bangun, Tan." Dara dengan sigap meraih kepala Lusi."Ya ampun Lusi? Lusii maafin Mama Nak, Lusi bangun Sayang, Lus ... Lusi? Lusii!
PoV SandiFaaz tertawa, "haha ya tentu saja aku kenal."Lanjut Faaz menceritakan tentang pertemuannya denganku saat itu, seminggu setelah aku kecelakaan, Lula mengantarku datang ke sekolah anaknya Faaz."Heiii keluar kau lelaki hidung belang!" teriak Lula saat itu.Buru-buru Faaz keluar dari mobilnya."Maaf ada apa ini?" tanya Faaz, ia terlihat kebingungan karena kami menghadang mobilnya setelah ia mengantarkan anaknya."Halah enggak usah banyak omong kau hidung belang, kemana Kakak iparku sekarang? Kau kemanakan dia, hah?!" sembur Lula berkacak pinggang.Kening Faaz mengerut, sementara aku yang tak sabar cepat mencecarnya juga."Hei apa kau tuli? Kau kemanakan istriku? Di mana dia sekarang?!""Tuggu dulu, kalian jangan emosi begini, istri? Kakak ipar? Siapa yang kalian maksud?""Wanita yang seminggu lalu mengantar anakmu ke sini, dia adalah istriku, kau dengar? Dia ISTRIKU," tegasku tepat di depan wajahnya."Siapa? Lusi maksud Anda?" "Ya tentu saja, siapa lagi, asal kau tahu dia adal
Aku menggeleng tak percaya. "Apa Mama setega itu sekarang?""Ya, Mama harus tega dan ini demi kebaikan kamu Lusi.""Lusi cuma mau tahu kabar Bang Sandi, Ma.""Enggak!"Aku bergeming menatap beliau sebelum akhirnya melengos pergi dengan rasa kecewa.Aku berusaha untuk sabar menghadapi Mama, berharap beberapa hari ke depan beliau akan terbuka hatinya dan membiarkan aku kembali pada Bang Sandi, tapi ternyata aku salah.Mama malah semakin mengurungku bagai tawanan. Aku tahu beliau sangat menyayangiku tapi caranya sangat salah. Aku tidak dibiarkan pergi kemana pun hanya karena takut komplotan Mas Yono datang menculikku lagi. Akhirnya, setiap hari selama aku tinggal bersama Mama, tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah, berharap ada seseorang yang bisa menolongku dan menyadarkan Mama bahwa tindakannya itu salah.Siang itu aku sedang bersender di jendela besar kamarku, sambil kuelus perut yang makin membesar ini aku menangis menumpahkan kesedihanku.Air mata luruh tak tertahan, bagaimana
"Lus ... Lusi ... bangun Sayang." Suara itu menarikku dalam kesadaran.Spontan aku bangkit saat ternyata Mama ada di sampingku."Ma?" Kutengok lagi di belakangnya Faaz sedang berdiri sambil menundukan kepalanya."Kamu baik-baik aja, Lus?" tanya Mama lagi. Aku mengangguk pelan lalu cepat memeluknya erat."Mama, tolongin Lusi Ma, Lusi takut, Lusi takut, Ma.""Iya Sayang, kamu tenang Nak, kamu sudah aman di sini."Faaz maju selangkah."Tolong maafkan mantan istri saya, dia memang wanita gila," ujarnya pelan.Aku mengangguk pelan, dan terus berlindung dalam dekapan Mama."Siapa yang bawa Lusi ke sini, Ma?""Faaz, dia menemukan kamu di toilet kamar Maisa."Aku melirik lelaki itu sekali lagi, hidupku jadi mengerikan begini gara-gara aku masuk dalam kehidupannya. Ya Tuhan, andai aku bisa secepatnya lepas dari Faaz."Mulai besok kau gak usah tinggal lagi di rumahku." Ucapan Faaz membuatku mengangkat wajah. Dan mendadak senyumku terbit tanpa aba-aba."Ya, pulanglah bersama ibumu, maaf saya sud
"Maisaa! Maisaa!" Mereka berdua berlomba memeluk Maisa, kemudian berusaha membuat anak itu sadar."Awas! Jangan sentuh anakku!" sentak Faaz sambil mendorong mantan istrinya."Mas, apa maksud kamu? Maisa sedang membutuhkanku sekarang.""Enggak!" teriak Faaz lagi, kali ini lebih kencang.Cio memaksa memeluk anaknya alih-alih pergi menuruti keinginan Faaz. Tak heran jika hal itu membuat Faaz naik darah hingga akhirnya lelaki itu membanting lampu meja yang ada di sisi ranjang Maisa."Biarkan dia, aku gak sudi anakku dipeluk oleh perempuan sepertimu! Pergii!! Atau kau akan ku-""Tapi aku Ibunya Mas, aku berhak memeluknya sampai kapanpun," potong Cio.Aku dan bibi saling menatap tak percaya. Bisa-bisanya mereka saling mempertahankan ego masing-masing di saat keadaan genting begini.Karena tak tahan, akhirnya mulut ini refleks berteriak, "sudah cukup! Kalian gak lihat gimana keadaan Maisa sekarang?!"Kedua orang yang sedang berselisih dan adu mulut pun diam."Bisa-bisanya kalian sibuk berten
Aku hanya tersenyum sekenanya.Sampai di rumah aku dan bibi langsung melakukan tugas masing-masing. Mendekor dan menyiapkan acara kecil-kecilan untuk Maisa. Sementara Faaz menjemput anaknya itu ke sekolah."Non Lusi, kok diem aja? Ada apa? Apa Non masih kepikiran suami, Non?" bisik Bibi.Aku menggeleng lesu, "gak Bi, bukan itu, saya hanya sedang mikirin tadi, saya 'kan makan dulu setelah belanja eeh terus ketemu mama saya, Bi.""Wah bagus dong Non, terus gimana?""Masalahnya kok mama saya kayak beda ya sekarang, masa saya tanya soal kondisi suami saya beliau bilang gak tahu apa-apa dan parahnya mama bilang saya harus lupain suami saya mulai sekarang karena beliau anggap suami saya sudah lalai, beliau anggap suami saya yang bertanggung jawab atas kondisi saya sekarang, terus masa iya mama saya malah dukung keberadaan saya di rumah ini, aneh 'kan? Saya jadi kepikiran sebetulnya ada apa di rumah, apa suami saya baik-baik aja?" jawabku panjang lebar.Bibi mendengarkan dengan baik semua ya
"Gak bisa ya, Non?" tanya Bibi lagi."Iya gak bisa Bi, gak diangkat.""Lusii!!" Kudengar suara Faaz berteriak di luar, cepat Bibi memasukan lagi ponselnya pada lipatan jarik di bagian perutnya."Tuan manggil Non, cepet ke sana."Aku mengangguk dan buru-buru turun."Iya, kenapa?""Hari ini bisa antar saya ke supermarket? Saya mau belanja kebutuhan ulang tahunnya Maisa, hari ini dia ulang tahun saya mau buatkan kejutan kecil-kecilan untuk dia," tanya Faaz."Oh ya, tentu boleh," jawabku pelan.Hari itu tanpa menunggu lagi Faaz membawaku ke sebuah supermarket terdekat dari rumahnya. Kami membeli banyak sekali perlengkapan pesta ulang tahun untuk kejutan untuk Maisa. "Nanti Maisa akan saya jemput dan akan saya bawa main dulu, kamu dan bibi tolong persiapkan untuk kejutannya ya," ucap Faaz saat kasir sedang menghitung belanjaan kami.Aku mengangguk saja."Tapi awas, kamu jangan capek-capek Lus, takutnya kandungan kamu malah kenapa-kenapa," ucapnya lagi.Aku tersenyum sekenanya dan mengangg
Pov Lusi"Aaaaa!"Bruk. Kutengok kaca spion, Bang Sandi terjatuh dari motornya."Mas, ada kecelakaan, berhenti sebentar," titahku cepat."Itu bahaya Lusi, sudah biarkan saja, itu bukan urusan kita juga," katanya sambil terus menyetir melajukan mobil dengan kencang.Hatiku makin gundah, Bang Sandi kecelakaan, sementara aku tak biaa berbuat apa-apa, aku tengah bersama seorang lelaki tempramental yang baru beberapa hari ini kukenal, dia bisa saja memukul dan menyiksaku jika aku membuat hatinya tersinggung atau tak suka.Yang kutahu namanya adalah Faaz, teman-temannya termasuk Mas Yono yang menjualku padanya kemarin memanggil pria ini dengan sebutan Mas Faaz, ia punya seorang anak perempuan seusia anakku Yassir.Yang kutahu sejauh ini Faaz sebetulnya orang baik, katanya dia sengaja membeliku dari Mas Yono untuk waktu yang agak lama karena dia butuh seorang perempuan di rumahnya untuk membantu menemani putrinya yang sering menangis karena merindukan mamanya.Sempat tak percaya, tapi nyatany
"Kak Sandi tolong di dalam ada Mas Yono ngamuk-ngamuk."Aku terperangah, cepat aku melangkah masuk menghentikan papanya Dara yang sedang kesetanan mengobrak-abrik isi rumahku.Sementara Dara kusuruh menunggu bersama Lula di luar."Mas Yono! Hentikan!" Aku berteriak kencang.Ia menoleh tajam dengan bola mata yang memerah."Oh baguslah kau sudah datang Sandi, ayo berikan, mana anakku?" katanya tanpa basa-basi.Mataku sontak menyipit."Ayo! Mana Dara? Di mana anakku itu, hah?!""Mas Yono insyaf! Dara itu anakmu, bapak macam apa kau ini? Tega-teganya menjual anak sendiri hanya untuk kesenangan sendiri!!" semburku kemudian.Mas Yono tersenyum miring, "tutup mulutmu Sandi! Kalau bukan karena ulahmu menjebloskan ibunya ke dalam penjara aku pun tak akan melakukan ini!!""Kak Noni memang pantas dipenjara Mas, dia sudah terlibat dalam kasus penganiayaaan! Dan Mas Yono pun akan mendekam dalam penjara kalau Mas Yono gak segera memberitahu di mana Lusi sekarang!" tegasku seraya bertelunjuk jari.Ma