Tanpa bantahan ia mengangguk. Kami pun kembali berjalan pulang meninggalkan rumah terakhir Yassir.
Di tengah jalan langkah Lusi terhenti tatkala kami melewati sebuah warung bakso."Bang itu." Ia menunjuk ke arah bakso yang dijejerkan dalam gerobak."Bakso? Lusi mau bakso?"Lusi mengangguk. Kasihan, padahal tadi dia baru makan banyak tapi mungkin masih belum kenyang juga.Akhirnya kubawa ia masuk ke dalam kios bakso itu, kupesan dua mangkok bakso urat seperti kesukaannya."Nah makanlah," titahku ketika dua mangkok bakso ada di hadapannya.Dan hap hap hap. Tak ada sisa, semangkok bakso yang kuahnya masih panas itu berhasil ia habiskan dengan cepat, aku sampai harus meminjam satu mangkok kosong untuk memisahkan air dengan baksonya karena takut melukai mulut Lusi."Pelan aja Lus, masih banyak, nanti Abang beliin lagi.""Enak Bang, Lusi suka bakso."Hatiku kembali nyeri, jauh-jauh aku kerja ke luar negeri semua itu hanya untuk membuatnya bahagia dan mencukupi semua kebutuhannya agar ia tidak kekurangan apapun.Tapi untuk memakan semangkok bakso saja istriku harus menunggu sampai aku pulang dulu? Siapa yang tak sakit? Ini istriku, wanita yang kupilih sendiri dan kuambil baik-baik dari kedua orang tuanya untuk kujadikan teman hidupku, tapi kenapa keluargaku tak bisa menyayanginya seperti mereka menyayangi keluarga sendiri?Tatkala ia sedang melahap lagi semangkok baksonya kubelai kepalanya."Kasihan, emang kamu gak suka makan bakso kalau Abang lagi di Taiwan?"Ia menggeleng polos. "Ibu marah."Aku menarik napas berat.Entah mengapa saat di luar rumah inilah aku merasa Lusi terlihat lebih baik, emosinya juga tidak naik turun seperti saat di rumah, ia juga lebih nyambung saat kuajak bicara.Saat aku sedang menunggu Lusi menghabiskan baksonya, kulihat Kak Noni--kakak pertamaku bersama anaknya yang sudah gadis memarkirkan motornya di depan sebelah kios bakso ini.Aku tak cepat bangkit untuk menyapa, kubiarkan saja dulu, kasihan juga jika Lusi harus kutinggal walau hanya ke kios sebelah."Bu, ada lauk sisa kan? Seperti biasa." Terdengar suara Kak Noni mulai bicara.Saat itu kios bakso dan kios sebelah yang menjual nasi warteg sedang sepi, jadi obrolan kak Noni dengan sang pemilik warteg terdengar jelas di telingaku."Ada nih, 10 ribu aja," kata sang pemilik warteg."Mahal banget.""Isinya banyak itu, ada pepes usus sisa kemarin juga sama sayur kangkung.""Hilih besok-besok yang sederhana aja bisa kan, Bu? Jangan pepes, mahal, cuma buat dikasih ke orang gila ini," kata Kak Noni.Teg. Mendengar ucapannya, benakku langsung menduga, jangan-jangan orang gila yang dimaksud kak Noni adalah Lusi istriku? Kupasang telinga lebih tajam lagi."Ya sisanya cuma itu Mbak Non, kemarin warteg ludes, saya gak masak lagi.""Ah ya udahlah saya bayarin.""Buat orang gila yang mana sih Mbak Non? Rajin banget pake ngasih makan orang gila segala?" Si pemilik warteg bertanya lagi."Ada orang gila di rumah ibu saya."Tepat dugaanku, ucapan kak Noni memperjelas semuanya, ia memang membeli lauk sisa kemarin itu untuk diberikan pada Lusi istriku.Jadi memang seperti ini cara mereka memperlakukan istriku? Kejam memang kejam mereka itu.Padahal aku kurang baik apa? Saat aku di Taiwan kak Noni itu sering memelas meminjam uang untuk bayaran sekolah anaknya yang SMA itu, kuberi tanpa aku berharap ia mengembalikannya karena aku pikir apalah arti uang jika dibandingkan kebaikan yang mereka lakukan untukku.Kupikir kak Noni, kak Tuti serta ibu bisa menjaga dan menyayangi anak istriku dengan baik, tapi kenyataan yang kutahu hari ini sungguh membuatku kaget dan benar-benar di luar dugaanku."Ma, Dara mau makan dulu lah di sini, di rumah Nenek takut gak ada makanan enak," kata Dara.Setelah itu rupanya mereka duduk dan makan dulu di sana. Saat itulah aku segera membawa Lusi pulang karena sudah mau maghrib juga.Sekitar pukul setengah 7 ketika aku masih di atas sejadah, kudengar suara motor kak Noni terparkir di halaman rumah ibu.Tanpa menunggu atau mengucap salam mereka langsung masuk membuka pintu."Bu ... Bu ... makanan basi nya nih," teriak kak Noni sambil membanting bobot di atas sofa depan.Suaranya jelas kudengar karena aku menempati kamar Lula yang letaknya paling depan bersisian dengan ruang tamu."Pada kemana sih nih orang, Dara kamu kasih tuh kangkung ke tante mu, belom makan kali dia dari pagi, kita kan baru sempet ke sini," kata Kak Noni lagi.Kubiarkan saja, rupanya kak Noni belum mengetahui kedatanganku."Ih masa Dara sih, males banget kenapa gak Bibi Lula aja yang kasih?""Heh kamu nih ngeyel terus kenapa sih? Ya udah sana kamu panggil Nenek di kamarnya, pada kemana sih nih semua orang. Lula ... Ibu ... Kak Tuti!" Kak Noni berteriak.Tak lama kak Tuti datang ke sana."Heh jangan teriak-teriak kan bisa," ucapnya."Pada kemana sih kok sepi banget? Nih makanan buat si Lusi, sekalian aja buat besok biar Noni gak usah beli lagi itu juga mahal," ujar Kak Noni tanpa jeda.Kemudian kak Tuti terdengar berbisik dan memelankan suaranya. "Jangan ngomong sembarangan Noni, sekarang si Sandi udah balik.""Apa?"Aku mendengar keterkejutan pada suara kak Noni."Si S-andi udah balik? Kok bisa? Kapan? Di mana dia sekarang?" tanya Kak Noni lagi."Bisa gak pelan-pelan aja ngomongnya? Tadi mereka lagi keluar, gak tahu mereka ada di kamar atau enggak sekarang.""Kamu gak kabari Kakak si Sandi udah balik." "Salah siapa teleponnya gak aktif terus."Setelah itu mereka terdengar pergi dari ruangan depan.Setelah rumah kembali sepi karena mungkin mereka sedang mengobrol di belakang atau di kamar ibu, aku kembali menatap istriku yang tengah terlelap.Kasihan dia, tubuhnya kurus kering, mata hitam dan kulitnya kusam.Jika memang Lusi mulai mengalami gangguan jiwa sejak anakku meninggal tapi kenapa tubuhnya sampai terlihat mengenaskan begini? Makam Yassir bahkan masih terlihat baru itu artinya harusnya Lusi belum separah ini juga.Sungguh tak masuk di akal.Atau jangan-jangan sebetulnya Lusi gila itu bukan karena anakku meninggal tapi karena selama ini mereka memperlakukannya seperti binatang.Diberi nasi sisa, disuruh kerja terus menerus, dan--mungkin masih banyak hal lainnya yang belum kuketahui. Ya benar, karena itu aku harus mencari
Aku menyipitkan mata."Kenapa harus kakak saya yang bawa?Emang gak ada Pak RT atau siapa gitu, Bu?"Bu Lastri diam sebentar."Enggak tahu juga kenapa harus si Tuti yang bawa, padahal para tetangga laki-laki juga ada kok pada menawarkan diri tapi keluargamu malah menolak."Aku berpikir sebentar, aneh juga, kenapa keluargaku maksa membawa jenazah Yassir sendiri? Maksudnya kalau ada laki-laki kan lebih baik dibawa sama laki-laki saja."Kamu jadi kurus banget Lus, baru aja ditinggal seminggu lebih sama Yassir," ucap Bu Lastri lagi seraya duduk di dekat Lusi."Tapi istrimu ini kok jarang kelihatannya udah lama ya San?" imbuh beliau terheran-heran.Tepat dugaanku, Bu Lastri bilang beliau juga tak melihat Lusi sudah sejak lama, jelasnya dari sebelum Yassir meninggal itu artinya Lusi sudah dipasung sejak lama oleh keluargaku.Tapi kenapa ibuku bilang Lusi gila saat Yassir udah meninggal? Berarti mereka bohong dan aku yakin mereka sedang menutupi sesuatu."Ya udah Bu, kami pamit ya, mau sarapa
"Ambil aja istri gila mu itu bawa dia pergi dari rumah ini, itu akan jauh lebih baik," ucap Kak Tuti sama tegasnya denganku.Wanita yang usianya tak jauh beda dari aku dan Lusi itu lalu pergi dari hadapan kami."Kamu lihat 'kan Sandi? Karena ulahmu sodaramu itu jadi marah." Ibu menyahut lagi seraya meluruskan jari telunjuknya."Dasar anak gak tahu diuntung," dengus beliau kemudian seraya berpaling muka dariku.Tapi tak kupedulikan, kubiarkan saja walau ibu marah bahkan tak lagi menganggapku anak, aku sudah tak peduli."Hari ini Sandi dan Lusi mau pindah ke rumah sodara Bu Lastri, kami mau ngontrak di sana sampai kami punya rumah baru." Aku memecah hening yang menjeda beberapa detik.Ibu kembali menoleh dengan mulut menganga. "Kok kamu jadi seenaknya gini Sandi? Mau pindah rumah gak bilang-bilang dulu, terus nanti Ibu sama siapa?""Di sini kan ada Kak Tuti dan Kak Yogi, Lula juga udah dewasa, mereka bisa kok jagain Ibu," jawabku tanpa ragu.Ibu terkatup-katup sementara Kak Noni sama ke
"Di luar di mana?" Aku bangkit dan menengok kaca jendela, tak ada siapa-siapa kecuali kak Yogi yang sejak tadi memang sedang duduk di teras."Ya udah ya udah kita pindah sekarang ya Lus, kita bawa baju kita keluar."Lusi mengangguk lalu menempel di punggungku. Segera kubawa dia keluar.Bruk. Kakinya menabrak ujung kursi hingga Lusi jatuh di dekat kaki Kak Yogi."Awas hati-hati." Kak Yogi hendak meraih istriku tapi cepat ditepisnya oleh Lusi."Pergi! Pergi kamu!" Lusi berteriak sambil melotot ke arah Kak Yogi.Cepat kutenangkan dia. "Lusi Lusi tenang, tenang dulu."Lusi malah semakin ketakutan hingga keluar keringat dingin, napasnya juga mendadak tersengal-sengal sepeti habis lari maraton."Lusi kenapa? Dia Kak Yogi suaminya Kak Tuti," ucapku panik.Tetapi Lusi malah membuka pagar rumah dan berlari menjauhi kami. "Lusi mau kemana?" Aku setengah berteriak dari teras."Kenapa istrimu itu San?"Aku menggeleng kepala, tanpa sempat menjawab ucapan Kak Yogi aku segera mengejar Lusi."Lusi
"Memangnya kenapa, Pak?""Lula belum membayar SPP selama 6 bulan, Mas."Aku terperangah. "Enam bulan?""Iya, Mas."Kurang ajar, selama ini ibu dan Kak Tuti rutin meminta uang padaku katanya untuk bayaran sekolah Lula, mana jumlahnya pun tak sedikit tapi sekarang apa? Lula belum bayaran sekolah selama 6 bulan?"Berapa biaya perbulannya, Pak?" Aku bertanya lagi."350 ribu hanya SPP, Pak."Aku kembali diam.Selama ini ibu bilang uang SPP Lula 500 ribu per bulan, belum lagi uang buat beli buku paket dan lain-lain makanya setiap bulan kukirim mereka uang 4 juta rupiah, kuniatkan untuk biaya sekolah Lula dan untuk makan anak istri serta ibuku.Tapi kenapa ibu gak bayar SPP Lula selama 6 bulan? Lalu mereka kemanakan uangnya? Apakah cuma habis dimakan begitu saja? Gak beres, mereka semua emang gak beres."Ya sudah saya nanti biar saya bicarakan dulu sama keluarga yang lain ya, Pak.""Baik Mas, oh ya dan untuk Dara semua laporannya bagus hanya dia sekarang lebih sering izin tidak masuk," tutur
Blak. Kak Noni menginjak kaki Dara hingga sontak mulut anak itu tertutup rapat. Dari sanalah baru kusadari mungkin Dara sudah keceplosan omongan."Apa tadi katamu? Ayo ulangi lagi," tanyaku kemudian.Dara dan Kak Noni pias di tempatnya. Sementara ibu cepat mengalihkan isu."Udah jangan bertengkar terus kasihan Lusi."Aku melirik sebentar ke arah beliau. Wah hebat sekali, ibuku ini memang sangat hebat bersandiwara pantas saja anak-anaknya gak bener semua."Biarin Bu, si Sandi ini emang udah tergila-gila sama perempuan gila ini, jadi wajar kalau sekarang dia buta!" sembur Kak Noni kemudian.Aku menyeringai, "istriku gak gila, apa kalian denger? Istriku enggak gila! Perlu kutegaskan berapa kali lagi hah?""Dan kalian," lanjutku dengan tatapan tajam pada Dara."Siapapun kalian yang sudah menyiksa Lusi hingga begini, pasti akan kuseret kalian ke penjara!" tegasku.Wajah ibu dan Kak Noni kembali pias. Aku segera melangkah membawa Lusi pergi tapi suara ibu kembali menghentikanku."Sandi."Ak
"Apa?" Lusi ikut bangkit dan ketakutan mendengar suaraku yang menggelegar.Meski Lusi sedang sakit dan bahkan mereka bilang dia gila tetapi aku sangat percaya pada semua ucapannya, aku sangat percaya itu.Lusi tak mungkin berbohong apalagi mengarang cerita."Abang jangan marah." Lusi memelukku.Aku cepat mengusap wajah dan mengatur napas, ya Tuhan entah kenapa sekeras apapun aku mencoba bersikap tenang tetapi saat mendengar hal-hal yang membuatku syok aku tetap saja terpancing emosi, atau semua ini memang wajar? Mungkin karena aku sangat menyayangi anak dan istriku."Abang bukan marah sama Lusi, Abang marah sama mereka yang sudah memukul Lusi dan Yassir." Aku kembali memelankan nada bicaraku seraya mengelus rambutnya.Lusi lalu terisak-isak di dadaku. Akhirnya malam itu aku pun kembali terlelap dengan pertanyaan yang masih menggantung di kepala.Siapa yang sudah berani pukul Yassir? Apakah ucapan Lusi benar? Yassir dipukul hingga ia tak bernyawa? Tapi kenapa semua orang bilang Yassi
Akhirnya kuredam emosiku lagi. Kutarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan-lahan.Lagi pula aku tidak boleh membuat onar atau kegaduhan di dalam rumah karena Lusi bisa bangun dan kembali ketakutan lagi."Oke, sekarang katakan! Katakan semua yang kalian tahu tanpa kalian tutupi sedikitpun," ujarku ketika aku sudah merasa lebih baik.Lula menarik napas pelan sebelum akhirnya ia bicara. "Kak Sandi, sebetulnya Yassir tidak mati tenggelam, tapi karena dibunuh sama Kak Tuti," bisik Lula di dekat telingaku.Refleks tanganku mengepal hebat hingga kulihat dengan jelas buku-buku jari tanganku memutih pucat."Dibunuh? Jadi benar anakku dibunuh?" Mataku membulat ke arah Lula.Lula mengangguk ragu-ragu sambil sesekali menatap mataku yang sedang menyemburkan bara api."Dengan cara apa anakku dibunuh? Apa Yassir dipukul?" tanyaku lagi, masih dengan tatapan menyilet ke arah Lula."Iya bener Kak Sandi," jawabnya disertai anggukan kepala yang kesekian kalinya.Biadab! Kakakku yang selama ini k
"Lusi! Biarkan laki-laki tak berguna itu dibawa, kamu tidak perlu halang-halangi petugas melakukan tugasnya!" Mama mertua berteriak.Lusi menggeleng-gelengkan kepala."Gak Ma, jangan lakuin ini Ma, Lusi mohon, Lusi mohon, Ma."Peristiwa tarik menarik antara polisi dan Lusi pun terus terjadi. "Lus, biarkan Abang dibawa dulu, nanti kita akan jelaskan, takut kamu kenapa-napa," ucapku.Lusi tetap tak mau mengalah, ia terus saja menarikku."Lusi gak mau Abang, Lusi gak bisa hidup tanpa, Abang," katanya mulai terisak."Sudah cukup Lusi! Drama macam apa ini?!" Dengan paksa Mama mertua menarik tangan Lusi.Dan brak gedebughhh. Tangan Lusi terlepas hingga kepalanya terpental ke tembok, sementara tangannya menghantam kaca hingga retak, parahnya saat itu juga Lusi langsung jatuh tak sadarkan diri."Lusiii!" Aku dan Mama mertua teriak spontan."Tante Lusi, ya ampun bangun, Tan." Dara dengan sigap meraih kepala Lusi."Ya ampun Lusi? Lusii maafin Mama Nak, Lusi bangun Sayang, Lus ... Lusi? Lusii!
PoV SandiFaaz tertawa, "haha ya tentu saja aku kenal."Lanjut Faaz menceritakan tentang pertemuannya denganku saat itu, seminggu setelah aku kecelakaan, Lula mengantarku datang ke sekolah anaknya Faaz."Heiii keluar kau lelaki hidung belang!" teriak Lula saat itu.Buru-buru Faaz keluar dari mobilnya."Maaf ada apa ini?" tanya Faaz, ia terlihat kebingungan karena kami menghadang mobilnya setelah ia mengantarkan anaknya."Halah enggak usah banyak omong kau hidung belang, kemana Kakak iparku sekarang? Kau kemanakan dia, hah?!" sembur Lula berkacak pinggang.Kening Faaz mengerut, sementara aku yang tak sabar cepat mencecarnya juga."Hei apa kau tuli? Kau kemanakan istriku? Di mana dia sekarang?!""Tuggu dulu, kalian jangan emosi begini, istri? Kakak ipar? Siapa yang kalian maksud?""Wanita yang seminggu lalu mengantar anakmu ke sini, dia adalah istriku, kau dengar? Dia ISTRIKU," tegasku tepat di depan wajahnya."Siapa? Lusi maksud Anda?" "Ya tentu saja, siapa lagi, asal kau tahu dia adal
Aku menggeleng tak percaya. "Apa Mama setega itu sekarang?""Ya, Mama harus tega dan ini demi kebaikan kamu Lusi.""Lusi cuma mau tahu kabar Bang Sandi, Ma.""Enggak!"Aku bergeming menatap beliau sebelum akhirnya melengos pergi dengan rasa kecewa.Aku berusaha untuk sabar menghadapi Mama, berharap beberapa hari ke depan beliau akan terbuka hatinya dan membiarkan aku kembali pada Bang Sandi, tapi ternyata aku salah.Mama malah semakin mengurungku bagai tawanan. Aku tahu beliau sangat menyayangiku tapi caranya sangat salah. Aku tidak dibiarkan pergi kemana pun hanya karena takut komplotan Mas Yono datang menculikku lagi. Akhirnya, setiap hari selama aku tinggal bersama Mama, tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah, berharap ada seseorang yang bisa menolongku dan menyadarkan Mama bahwa tindakannya itu salah.Siang itu aku sedang bersender di jendela besar kamarku, sambil kuelus perut yang makin membesar ini aku menangis menumpahkan kesedihanku.Air mata luruh tak tertahan, bagaimana
"Lus ... Lusi ... bangun Sayang." Suara itu menarikku dalam kesadaran.Spontan aku bangkit saat ternyata Mama ada di sampingku."Ma?" Kutengok lagi di belakangnya Faaz sedang berdiri sambil menundukan kepalanya."Kamu baik-baik aja, Lus?" tanya Mama lagi. Aku mengangguk pelan lalu cepat memeluknya erat."Mama, tolongin Lusi Ma, Lusi takut, Lusi takut, Ma.""Iya Sayang, kamu tenang Nak, kamu sudah aman di sini."Faaz maju selangkah."Tolong maafkan mantan istri saya, dia memang wanita gila," ujarnya pelan.Aku mengangguk pelan, dan terus berlindung dalam dekapan Mama."Siapa yang bawa Lusi ke sini, Ma?""Faaz, dia menemukan kamu di toilet kamar Maisa."Aku melirik lelaki itu sekali lagi, hidupku jadi mengerikan begini gara-gara aku masuk dalam kehidupannya. Ya Tuhan, andai aku bisa secepatnya lepas dari Faaz."Mulai besok kau gak usah tinggal lagi di rumahku." Ucapan Faaz membuatku mengangkat wajah. Dan mendadak senyumku terbit tanpa aba-aba."Ya, pulanglah bersama ibumu, maaf saya sud
"Maisaa! Maisaa!" Mereka berdua berlomba memeluk Maisa, kemudian berusaha membuat anak itu sadar."Awas! Jangan sentuh anakku!" sentak Faaz sambil mendorong mantan istrinya."Mas, apa maksud kamu? Maisa sedang membutuhkanku sekarang.""Enggak!" teriak Faaz lagi, kali ini lebih kencang.Cio memaksa memeluk anaknya alih-alih pergi menuruti keinginan Faaz. Tak heran jika hal itu membuat Faaz naik darah hingga akhirnya lelaki itu membanting lampu meja yang ada di sisi ranjang Maisa."Biarkan dia, aku gak sudi anakku dipeluk oleh perempuan sepertimu! Pergii!! Atau kau akan ku-""Tapi aku Ibunya Mas, aku berhak memeluknya sampai kapanpun," potong Cio.Aku dan bibi saling menatap tak percaya. Bisa-bisanya mereka saling mempertahankan ego masing-masing di saat keadaan genting begini.Karena tak tahan, akhirnya mulut ini refleks berteriak, "sudah cukup! Kalian gak lihat gimana keadaan Maisa sekarang?!"Kedua orang yang sedang berselisih dan adu mulut pun diam."Bisa-bisanya kalian sibuk berten
Aku hanya tersenyum sekenanya.Sampai di rumah aku dan bibi langsung melakukan tugas masing-masing. Mendekor dan menyiapkan acara kecil-kecilan untuk Maisa. Sementara Faaz menjemput anaknya itu ke sekolah."Non Lusi, kok diem aja? Ada apa? Apa Non masih kepikiran suami, Non?" bisik Bibi.Aku menggeleng lesu, "gak Bi, bukan itu, saya hanya sedang mikirin tadi, saya 'kan makan dulu setelah belanja eeh terus ketemu mama saya, Bi.""Wah bagus dong Non, terus gimana?""Masalahnya kok mama saya kayak beda ya sekarang, masa saya tanya soal kondisi suami saya beliau bilang gak tahu apa-apa dan parahnya mama bilang saya harus lupain suami saya mulai sekarang karena beliau anggap suami saya sudah lalai, beliau anggap suami saya yang bertanggung jawab atas kondisi saya sekarang, terus masa iya mama saya malah dukung keberadaan saya di rumah ini, aneh 'kan? Saya jadi kepikiran sebetulnya ada apa di rumah, apa suami saya baik-baik aja?" jawabku panjang lebar.Bibi mendengarkan dengan baik semua ya
"Gak bisa ya, Non?" tanya Bibi lagi."Iya gak bisa Bi, gak diangkat.""Lusii!!" Kudengar suara Faaz berteriak di luar, cepat Bibi memasukan lagi ponselnya pada lipatan jarik di bagian perutnya."Tuan manggil Non, cepet ke sana."Aku mengangguk dan buru-buru turun."Iya, kenapa?""Hari ini bisa antar saya ke supermarket? Saya mau belanja kebutuhan ulang tahunnya Maisa, hari ini dia ulang tahun saya mau buatkan kejutan kecil-kecilan untuk dia," tanya Faaz."Oh ya, tentu boleh," jawabku pelan.Hari itu tanpa menunggu lagi Faaz membawaku ke sebuah supermarket terdekat dari rumahnya. Kami membeli banyak sekali perlengkapan pesta ulang tahun untuk kejutan untuk Maisa. "Nanti Maisa akan saya jemput dan akan saya bawa main dulu, kamu dan bibi tolong persiapkan untuk kejutannya ya," ucap Faaz saat kasir sedang menghitung belanjaan kami.Aku mengangguk saja."Tapi awas, kamu jangan capek-capek Lus, takutnya kandungan kamu malah kenapa-kenapa," ucapnya lagi.Aku tersenyum sekenanya dan mengangg
Pov Lusi"Aaaaa!"Bruk. Kutengok kaca spion, Bang Sandi terjatuh dari motornya."Mas, ada kecelakaan, berhenti sebentar," titahku cepat."Itu bahaya Lusi, sudah biarkan saja, itu bukan urusan kita juga," katanya sambil terus menyetir melajukan mobil dengan kencang.Hatiku makin gundah, Bang Sandi kecelakaan, sementara aku tak biaa berbuat apa-apa, aku tengah bersama seorang lelaki tempramental yang baru beberapa hari ini kukenal, dia bisa saja memukul dan menyiksaku jika aku membuat hatinya tersinggung atau tak suka.Yang kutahu namanya adalah Faaz, teman-temannya termasuk Mas Yono yang menjualku padanya kemarin memanggil pria ini dengan sebutan Mas Faaz, ia punya seorang anak perempuan seusia anakku Yassir.Yang kutahu sejauh ini Faaz sebetulnya orang baik, katanya dia sengaja membeliku dari Mas Yono untuk waktu yang agak lama karena dia butuh seorang perempuan di rumahnya untuk membantu menemani putrinya yang sering menangis karena merindukan mamanya.Sempat tak percaya, tapi nyatany
"Kak Sandi tolong di dalam ada Mas Yono ngamuk-ngamuk."Aku terperangah, cepat aku melangkah masuk menghentikan papanya Dara yang sedang kesetanan mengobrak-abrik isi rumahku.Sementara Dara kusuruh menunggu bersama Lula di luar."Mas Yono! Hentikan!" Aku berteriak kencang.Ia menoleh tajam dengan bola mata yang memerah."Oh baguslah kau sudah datang Sandi, ayo berikan, mana anakku?" katanya tanpa basa-basi.Mataku sontak menyipit."Ayo! Mana Dara? Di mana anakku itu, hah?!""Mas Yono insyaf! Dara itu anakmu, bapak macam apa kau ini? Tega-teganya menjual anak sendiri hanya untuk kesenangan sendiri!!" semburku kemudian.Mas Yono tersenyum miring, "tutup mulutmu Sandi! Kalau bukan karena ulahmu menjebloskan ibunya ke dalam penjara aku pun tak akan melakukan ini!!""Kak Noni memang pantas dipenjara Mas, dia sudah terlibat dalam kasus penganiayaaan! Dan Mas Yono pun akan mendekam dalam penjara kalau Mas Yono gak segera memberitahu di mana Lusi sekarang!" tegasku seraya bertelunjuk jari.Ma