Ibu Tri memperhatikan seorang pria muda yang terlihat bolak-balik gelisah di depan pintu rawat Elsa.“Ganteng-ganteng mencurigakan,” batin Ibu Tri yang kemudian berjalan mendekat.“Cari siapa ya?” tanya Ibu Tri.Pria itu terkejut dengan kehadiran Ibu Tri, “ saya mau menjenguk pasien yang di rawat di ruang ini.”“Siapa namanya?” tanya Ibu Tri lagi.“Elsa, Bu.”“Ada hubungan apa dengan Elsa?”“Saya teman baiknya, Bu.”“Namanya siapa?”“Lukman, Bu.”“Teman kerjanya atau bukan?”“Bukan teman kerjanya Bu, saya sahabat baik Elsa.”“Sahabat baiknya ya?”“Iya Bu.”“Saya tidak pernah tahu, Elsa punya sahabat baik pria.”“Saya dan Elsa memang belum lama ini jadi sahabat baik.”“Oh begitu.”“Oh ya Bu, maaf kalau boleh saya tanya, Ibu ini siapanya Elsa?”“Saya ini calon mertuanya Elsa.”“Calon mertuanya Elsa?” Lukman berkerut heran.“Iya.”“Tapi setahu saya Elsa itu belum punya pacar, apalagi calon suami?”“Siapa yang bilang?”“Elsanya sendiri, Bu.”“Pasti Elsa belum berit
Santoso mengusap bekas luka yang ada di wajahnya, menyesap rokok sesekali dengan pandangan mendongak ke atas memperhatikan kaitan sling yang masih bergantung di ujung sisi.Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari petunjuk yang tersisa.Santoso sudah bertanya dengan beberapa pekerja yang ada di konstruksi bangunan gedung ini, sayang belum ada petunjuk karena kejadian itu bertepatan dengan jam istirahat dan makan siang para pekerja.Hanya satu lembar foto yang jadi petunjuk, tapi itu tidak cukup apalagi di gedung itu tidak ada kamera pengawas atau cctv.Tidak ada sidik jari juga jejak kaki tertentu yang mengarah pada pelaku, dia juga sudah bertanya kepada seluruh anggota keluarga yang mungkin mengetahui kalau gadis itu punya musuh tapi justru nihil.Elsa selain cantik, pintar juga baik dan gadis yang pemalu tidak sedang menjalani hubungan dengan siapa pun, begitu banyak tanggapan positif tentangnya baik itu keluarga dan rekan kerja.Santoso mengangkat sling besi itu, u
Ibu Tri masih belum pulang, dia akan berlama-lama apalagi kalau hanya ada Rama di sana.“Ibu sebaiknya pulang istirahat dulu,” saran Rama pada Ibunya.Ibu Tri melihat pada wajah Elsa yang terlihat seperti tidur tenang, “Ibu cuman mau bilang kalau waktu itu hanya sandiwara saja supaya Elsa jadi mantu kami.”Rama hanya diam saja mendengarkan perkataan Ibunya.“Tapi nanti kalau kamu sadar, Ibu ngak akan sandiwara lagi akan ibu usahkan biar kamu tetap jadi mantu Ibu, Sa,” lanjut Ibu Tri dan membuat pria itu melotot mendengar perkataan Ibunya.“Bu...,” sela Rama.“Ibu suka sama Elsa, Ram, sudah terlanjur jatuh hati sama dia cocok banget jadi mantu kesayangan Ibu,” lanjut Ibu Tri.Rama menarik napas berat,” Jangan suka memaksa, Bu.”“Ya harus, kasihan kamu nanti pasti patah hati berat kalau ngak jadi sama Elsa,” sahut Ibunya.“Ibu jangan sok tahu deh,” Rama mendengus kasar.“Ya tahulah, kamu lupa siapa Ibu,” kata Ibu Tri sambil melihat pada Rama.“Kamu ngak akan melakukan sem
Rama merasa seperti bermimpi, mendekati wajah yang ada di hadapannya memegang dengan kedua tangannya.Mendekatkan hidungnya dengan hidung Elsa menatap kedua mata gadis itu suaranya tercekat, “Sa.”“Bang, Elsa haus,” kata gadis itu pelan.Pria itu terpaku sesaat dan kemudian menyadari itu bukanlah mimpi dia segara berlari keluar berteriak memanggil dokter dan suster jaga, Adit yang sedang tertidur di sofa luar pun terkejut.Adit sempat panik karena takut terjadi sesuatu yang buruk, tapi kemudian dia lega begitu mendengar kalau Elsa sudah sadar.Setelah dokter memastikan keadaan Elsa sudah Benar-benar baik, Rama dan Adit mendekat.Kedua wajah pria itu cerah juga lega melihat kalau kondisi Elsa sudah sadar walaupun masih lemah.“Bang aku haus,” kata Elsa lagi dan itu membuat Rama langsung bergerak mengambil gelas dan sedotan serta membantu Elsa minum.Elsa dapat merasakan kalau keningnya dicium, dan pelukan erat dirasakan olehnya dia menyadarkan wajah ke dada pria itu dan air mata pun
Setelah selesai di periksa dan kondisinya dinyatakan sudah stabil, Elsa segera di pindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat biasa. “Biar saya yang angkat,” Rama mengangkat tubuh Elsa saat akan di dipindahkan dari brankar ke tempat tidur yang ada di ruangan itu.“Elsa berat, Bang,” bisik Elsa.“Beratmu 100kg pun Abang masih bisa angkat,” Rama menaruh Elsa ke tempat tidur dan meletakkannya perlahan seolah di takut Elsa akan merasa sakit.“Berat Elsa cuman 60kg, ngak 100kg,” protes Elsa.“Beda dikit.”“Banyak Bang,” Elsa memukul punggung Rama pelan.Rama hanya tersenyum mendengar protes Elsa, sambil membetulkan letak tidur dan bantal yang ada di belakang Elsa. Perawat yang mengantung infus dan memeriksa kembali tekanan darah Elisa sambil bertanya tentang apa yang di keluhkan Elsa tersenyum melihat semua perhatian Rama.“Begini sudah enak?”“Sudah, Bang.”“Kamu mau yang lain, Sa?”“Ngak, Elsa masih ngantuk.”“Ya sudah kalau begitu kamu tidur saja lagi.”Wajah Rama begitu dek
“Mungkin Anda salah kamar, di sini memang nama pasiennya Elsa tapi nama Daddynya Frans,” sahut Ibu Tri dengan memandang curiga.“Elsa itu putri kandung saya, kalau Frans itu cuman orang tua angkatnya saja,” terang Ferry.“Jangan bohong ya, saya kenal semua keluarga Elsa, tapi tidak pernah saya dengar tentang Anda,” Ibu Tri terdengar kekeuh dengan pendapatnya sendiri.“Saya tidak bohong, saya ini memang Papa kandungnya Elsa,” Ferry terdengar putus asa.“Kalau kamu memang Papa kandungnya Elsa, kenapa baru muncul sekarang?” “Saya baru tahu kabar soal Elsa itu kemarin.”“Memang Anda tinggal di mana? Kok baru tahu itu kemarin?”“Saya tinggal di kota ini juga, tapi ..”“Nah apalagi kalau tinggal satu kota begini, tidak mungkin Anda baru tahu soal Elsa kemarin, kan Elsa sudah satu Minggu di rawat di rumah sakit? Anda itu sangat mencurigakan.”Ibu Tri terus mengawasi gerak-gerik kedua orang yang ada di hadapannya, terutama gadis muda yang ada di samping pria itu.“Tante, apa yang d
Elsa merasa suasana di ruangan itu terasa sepi, walaupun sesekali dia menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Ferry maupun Jasmine. “Daddy,” panggil Elsa. Frans berjalan masuk, mendekati Elsa dan langsung mencium pucuk kepala putrinya. “Daddy bawa makanan kesukaanmu,” Frans menunjukkan bungkus yang ada di tangannya. “Baunya harum.” “Sebentar Daddy siapkan,” Frans berlalu seolah tak melihat keberadaan Ferry atau Jasmine. “Frans.” Gerakan Frans terhenti saat namanya di sebut. “Terima kasih, kau mau menjaga dan merawat Elsa untukku.” Frans membalikkan badannya dan memandang pada Ferry dengan tatapan tajam. “Aku tak melakukan itu untukmu, tapi kulakukan untuk diriku sendiri,” Frans menarik napas berat, “Karena Elsa adalah putriku, peninggalan paling berharga yang di berikan padaku.” Ferry terpaku juga terdiam mendengar perkataan Frans, “Aku tahu, kau sudah menganggap Elsa seperti Putri sendiri...” “Elsa memang putriku, buka
Ivy memperhatikan Ikbal yang tergesa-gesa pergi, tanpa mempedulikan keberadaannya.“Bukankah ini terlalu pagi untuk pergi bekerja?” tanya Ivy.“Aku akan ke rumah sakit.”“Apa jalang itu sudah mati? Sampai kau harus pergi sepagi ini?” Ikbal memandang Ivy dengan tajam, “Elsa bukan jalang dan jangan pernah menyebut dia seperti.”“Lalu di sebut apa wanita yang menggoda suami orang lain selain jalang? Pelacur mungkin?”Tiba-tiba Ivy merasakan tenggorokannya tercekat, genggaman di lehernya terasa kuat.“Dengar, Elsa bukan jalang, juga bukan pelacur,yang pantas di sebut seperti itu adalah dirimu,” Ikbal berbisik di telinga Ivy dan tangannya mencengkeram erat leher istrinya.“Lepaskan Ikbal, lepaskan,” Ivy mencoba menarik tangan Ikbal agar lepas dari lehernya, “Kau mau membunuhku?”“Aku tak akan melakukan itu, karena aku tidak ingin membuat kehilangan kesempatan untuk kembali bersama Elsa, karena membunuhmu,” Ikbal melepaskan cengkeramannya dan berjalan menjauh.“Apa Kurangnya aku
“Kita jalan-jalan yuk,” ajak Rama pada Elsa. “Mau jalan ke mana?” tanya Elsa. “Ngak tahu,” jawab Rama. “Ya sudah, kita pergi sekarang nanti kalau sudah di jalan baru kita putuskan mau ke mana,” ucap Elsa, “Abang tunggu di sini Elsa ganti baju dulu.” Elsa sangat senang akhirnya setelah berminggu-minggu tidak pergi ke mana pun, dia bisa menikmati untuk bisa pergi keluar. Rama mengajaknya pergi ke sebuah pameran yang ada di kota ini. “Kita jalan-jalan di sini,” ajak Rama sambil mengulurkan tangannya. Elsa menerima uluran tangan Rama dan pria itu menautkan jari-jari mereka seperti sepasang kekasih. Stand kuliner adalah yang banyak mereka datangi, apalagi Elsa sudah lama tidak memakan beberapa jajanan yang dia suka. “Coba ini Bang,” Elsa mengulurkan sendok yang berisi potongan kue ke dekat mulut Rama. Pria itu sedikit ragu untuk menerimanya, tapi akhirnya dia membuka mulut dan menerima suapan dari Elsa. Setelahnya Elsa pun menyuapkan potongan kue lain ke mulutnya dengan memakai
Rama melambaikan tangan ketika sudah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Bapaknya.“Kok kamu ngak bilang kalau mau pulang hari ini Ram?” tanya Ibu Tri melihat pada Rama yang duduk di kursi belakang.“Rencana sih dua hari lagi Bu, tapi begitu kerjanya selesai hari ini Rama langsung ke pikiran langsung mau pulang,” sahut Rama menjelaskan.“Mungkin feeling sama situasi di sini ya Ram?” tanya Ibu Tri lagi.“Ya,” sahut Rama singkat.“Untung tadi Elsa ngak marah, kamu itu hampir bikin ibu kehilangan calon mantu kesayangan,” sungut ibunya.“Ya kalau ngak Elsa ngak jadi, kan masih ada calon satunya,” ucap Bapaknya.“Calon yang mana maksud Bapak?” tanya Ibu Tri.“Itu cewek yang foto bareng Rama,” sahut Bapak Rama.“CK, cewek yang suka pakai baju seksi itu?” sahut Ibu Tri.Bapak Rama menganggukkan kepalanya,” Iya.”“Ngak mau, cewek ngak sopan begitu ngak pantes jadi calon mantuku,” sahut Ibu Tri ketus.“Ram, Ibu mau tanya...” perkataan Ibu Tri terhenti saat melihat Rama y
Rama berkali-kali melirik bergantian, pada Elsa yang duduk tak jauh darinya dan pada enam pasang mata yang ada di belakangnya.Rama tak berhenti mengusap wajah juga lehernya.Rasa kebas masih terasa di kaki juga badannya karena pekerjaan dan penerbangan yang dia lakukan dalam satu hari ini.Sementara Elsa yang duduk cukup jauh dari Rama hanya melirik pria itu dari sudut matanya sambil menundukkan wajah dengan jari yang terpilin di pangkuan.“kamu sudah sehat Sa?” Rama membuka pembicaraan.Elsa hanya menganggukkan kepalanya masih dengan menunduk.“Maaf tadi Abang ngak bermaksud...” ucapan Rama terhenti karena batuk yang coba di tahannya.Rama mengeluarkan sapu tangan dari arah kantong celananya.Elsa mengangkat wajahnya dan melihat kalau sapu tangan itu terlihat agak kotor.Gadis itu baru menyadari saat melihat wajah Rama secara dekat seperti ini.Wajahnya sangat terlihat kusam, lelah dan juga lingkar yang jelas tanda hitam di sekitar matanya.“Mau ke mana Sa?” tanya Rama s
Kemarahan Sumi dan juga Ibu Tri kepada Lukman juga Ikbal gara-gara membuat Elsa pingsan, membuat kedua pria itu diusir dan dilarang untuk datang.Elsa segera di bawa ke rumah sakit, takut sesuatu yang buruk terjadi karena gadis itu cukup lama pingsan.“Mas Ikbal lebih dulu yang memukul,” ucap Elsa lirih dengan wajah sedikit bengkak, saat dia sudah sadar.“Tapi tetap saja seharusnya mereka tidak berkelahi di dekatmu, keterlaluan!” omel Sumi, “Tuh Mba ajari keponakannya, kok bikin rusuh di rumah orang!”“Ck, tenang saja nanti Mbak bakal marahin dia nanti,” sahut Ibu Tri sambil mengambil telepon genggamnya dan tidak lama terdengar omelan panjang lebar darinya.“Bu, Elsa mau pulang saja ngak usah nginap di sini,” ujar Elsa pada Sumi.“Tapi Sa..”“Elsa takut tinggal di rumah sakit lagi,” sela Elsa.“Tunggu Daddymu dan Ayah datang ya, baru kita pulang,” sahut Sumi yang mengerti ketakutan Elsa.“Abang susah banget sih di hubungi,” Adit masuk dengan bersungut.“Mungkin Abang masih s
Ibu Tri merenggut saat mendengar tuduhan Sumi pada Rama. “Jangan asal bicara ya, cah gantengku itu tidak mungkin selingkuh,” bantah Ibu Tri sambil menatap Sumi tajam. “Lho Mbak ngak percaya, coba Adit mana foto Rama sama cewek seksi kemarin,” Sumi mengulurkan tangannya meminta agar Adit memberikan hape miliknya. Adit hanya mengaruk kepalanya, ini kalau sudah berurusan dengan Ibu-ibu yang suka ikut campur urusan anaknya. “Mana!” Sumi terlihat tak sabar. “Iya sebentar Bu,” ucap Adit sambil mengeluarkan hapenya dan memberikan pada ibunya. “Nah ini buktinya,” ujar Sumi sambil memperlihatkan hape adit pada Ibu Tri. Segera Ibu Tri melihat pada gambar yang ada di sana dan langsung mencebikan bibirnya. “Hanya gambar seperti itu tidak membuktikan kalau cah gantengku pacaran sama perempuan itu,” cibir Ibu Tri. “Lho ini kan jelas kalau Rama di sana sama perempuan lain, mereka pacaran,” tegas Sumi tak mau kalah. “Sumi coba perhatikan baik-baik,” Ibu Tri menunjuk gambar pada gawai itu, “
Elsa merenung, untuk apa dia begitu marah pada Rama tadi sampai harus menangis dan mengatakan pria itu jahat dan pembohong, sangat kekanak-kanakan.“Huf, Abang pasti marah sama aku,” pikir Elsa, “Aku marah-marah ngak jelas seperti tadi.”Dia memandang telepon genggamnya, melihat beberapa notifikasi pesan masuk.(“Sa, Abang minta maaf kalau ada salah sama kamu ya.”)(“Abang sibuk banget sampai sering lupa menghubungi kamu.”)(“Abang usahakan untuk segera menyelesaikan semua kerjaan di sini, biar bisa cepat pulang.”) (“Jangan marah ya Sa, Abang mohon sekali lagi minta maaf🙏🙏 kalau memang Abang ada salah.”)Elsa membaca pesan itu, sungguh hati gadis itu menjadi tidak nyaman dengan pesan yang di kirim Rama padanya.Permohonan maaf dari Rama untuk kesalahan yang sebenarnya tidak di lakukan pria itu.Padahal sah-sah saja kalau Rama berselfi atau swafoto dengan orang lain sekalipun itu dengan perempuan cantik seksi menggoda seperti Nindya.Untuk apa marah? Hak apa marah? Elsa
Baiklah! Baiklah! obrolan berlangsung panas, apalagi kalau para pria membicarakan soal wanita seksi.“Ck...ck...” terdengar decak kagum dari mulut Adit dan membuat Elsa kesal melihatnya.Adit yang baru datang ikut bergabung dengan Elsa, Alfa juga Steven.“Bodinya memang seksi abis,” Adit terus memandangi gambar dari ponsel Alfa, “Aku mau follow dia.”“Wuih, yang follow dia banyak sampai satu juta lebih,” Steven ikut membuka tautan media sosial.“Dia sudah follow back aku!” Adit terlihat kegirangan karena begitu cepat mendapat tanggapan.“Sama Dit!” seru Steven dan kembali tos para pria di lakukan.“Kerja di mana di Mas?” tanya Adit.“Oh itu, perusahaan besar,” sahut Alfa menyebutkan nama perusahaan itu.“Dia ini termasuk orang kepercayaan Pak Bram, waktu aku ikut rapat dengan bos waktu itu,” lanjut Alfa bercerita sambil mengunyah makanan.“Orangnya memegang asli cantik dan bodinya, beuh,” Alfa terus berceloteh mengacungkan dua jempol jarinya, “Semolohoy.”Tangan Alfa memben
Bunyi mesin EKG terdengar pelan, pria tua yang berbaring itu terlihat seperti tidur dengan tenang.Mesin bantu pernapasan terpasang dengan beberapa selang yang menempel di tubuhnya.“Bagaimana keadaan tuan Haris?” pria dengan berjas hitam itu memperhatikan Haris yang berbaring tanpa daya.“Kondisinya masih kritis, tapi sepertinya dia berusaha untuk bertahan,” ujar pria dengan menggunakan baju OK putih.“Aku rasa tuan Haris punya alasan untuk bertahan.”“Apa Anda tak menghubungi keluarganya, siapa tahu...”“Tidak, karena justru itu akan membuat nyawa tuan Haris dalam bahaya lagi.”“Tapi...”“Dia sudah memberi amanat, kecuali kalau dia sudah mati baru dia ingin ada keluarga yang berada di sampingnya.” “Itu aneh.”“Ya, tuan Haris memang aneh.”“Tapi saya akui, dia pria tua yang kuat walaupun nyaris saja suntikan itu mengenai jantung dan pembuluh darahnya.”“Itu benar.”“Apakah rekaman cctv yang saya berikan sudah ada titik terangnya?”“Belum, karena sepertinya orang ini p
Cafe itu masih sunyi, hanya beberapa pengunjung yang terlihat. Dua orang saling duduk berhadapan di pojok ruangan, sambil sesekali memperhatikan orang yang keluar masuk di cafe itu dan terlihat sedang terlibat pembicaraan serius. “Sebaiknya kau hentikan dulu rencanamu itu.” “Apa hentikan?” “Ya hentikan saja.” “Kau pikir aku akan hidup tenang selama keturunan Ratih masih hidup?” Terdengar helaan nafas panjang, “Kau bisa menundanya dulu.” “Aku sudah menyusun semuanya dan dalam waktu kami akan menjalankannya.” “Jangan sekarang, apa kau tahu polisi sudah melakukan penyelidikan dan beberapa orang sudah di curiga.” “Mungkin saja beberapa orang itu tidak termasuk aku.” “Jangan terlalu percaya diri, mungkin sekarang kau tidak termasuk yang di curiga tapi tidak mungkin semakin lama arahnya akan ke sana.” “Ha...ha...ha..! “Apa yang membuatmu tertawa? Apa kau pikir semua ini lucu?” terdengar nada tersinggung dari lawan bicaranya. “Lucu, sangat lucu.” “Bagian mana yang kau anggap lu