Rama masih sibuk dengan laptopnya, sementara sejak kemarin Ibunya berubah sikap menjadi lebih pendiam dan banyak melamun.Rama dapat mengerti perubahan sikap Ibunya itu, dia sudah membuat wanita yang sudah melahirkan itu kecewa.“Ibu, mau pesan apa? Rama mau keluar sebentar beli makanan,” tanya Rama.Ibu Tri dengan masih memunggungi Rama hanya mendesah pelan, “Ibu mau Elsa.”“Bu, kita sudah bahas semalam, “sahut Rama, “Elsa tidak akan datang kemari lagi, dan kami tidak punya hubungan apa-apa.”“Ibu cuman mau bantu kamu buat dapat jodoh,” kata Ibu Tri pelan, “Biar mereka tahu kamu itu ngak belok, masih normal.”Rama hanya mendesah pelan, “Jangan dengarkan apa kata mereka, Rama masih normal hanya saja memang belum ada wanita yang jadi jodoh Rama saja, Bu.”Hati Ibu Tri terasa nelangsa, “Semoga sebelum Ibu ini meninggal, kamu sudah dapat jodoh walaupun itu bukan Elsa.”“Iya Bu, semoga saja,” sahut Rama pelan.“Tapi Ibu tetap mau Elsa, Ibu sudah terlanjur jatuh cinta sama dia.”
“Elsa kecelakaan?” mendengar itu Ibu Tri langsung terkejut, “Kapan Pak kejadiannya?”“Siang tadi,” sahut suaminya, dan itu membuat Ibu Tri mengingat bagaimana putranya terlihat panik dan terburu-buru pergi.“Lalu bagaimana keadaannya?” Ibu Tri terlihat cemas.“Masih diruang operasi, Rasmi harus melakukan tindakan operasi untuk menghentikan pendarahan yang ada di kepalanya,” terang suaminya dan dia mendengar tangis istrinya.“Pak, bawa aku lihat Elsa sekarang,” Ibu Tri bergegas berdiri.“Bu tenang dulu, kita tunggu kabar dari Rama saja,” Suaminya berusaha menenangkan.“Tapi Pak..”“Jangan sekarang Bu, apalagi kita tidak tahu bagaimana keadaan kondisi Elsa sekarang.”“Justru itu Pak, kita harus segera ke sana buat cari tahu.”“Tapi Bu ...”“Bapak sama Rama ini keterlaluan, situasi gawat seperti ini tidak segera memberitahu Ibu,” Ibu Tri bangkit dan segera mengenakan kardigan miliknya.“Bu..”“Seharusnya aku sudah bisa melakukan sesuatu untuk menolong Elsa, bukan malah duduk
Rama berkali-kali menarik napasnya, seolah tak percaya dengan semua keterangan yang di berikan oleh Santoso.Pria dengan luka di wajah, berkulit gelap dan pandangan tajam itu terus menulis keterangan yang di berikan oleh Rama.“Jadi Anda yakin kalau itu memang di sengaja?” Rama kembali mengulang pertanyaannya dengan rasa penasaran yang besar.“Walaupun ini masih tahap dugaan dalam penyelidikan, tapi saya yakin ini memang seperti di sengaja,” sahut Santoso mengulurkan rokok dan di tolak Rama.“Saya sudah berhenti merokok sejak lama,” gumam Santoso.“Bagaimana kalau ini bukan di maksudkan untuk Elsa, tapi ini semacam sabotase atas proyek yang sedang dikerjakan?” tanya Rama.“Hem.. mungkin, apa mungkin perusahaan Anda punya musuh atau saingan?” Rama menarik napas panjang, “Tidak tahu dan setahuku kami tidak pernah berbuat curang dalam memperoleh proyek yang di awasi oleh Elsa kemarin.”“Bang!”Rama menoleh dan melihat Adit yang berjalan mendekat, “Ada apa Bang? Ini siapa?”Adi
Ini bukan pertama kalinya Santoso merasa sangat di buat kesal, dari sekian banyak rekan kerja, atasan ataupun mantan rekan kerja kenapa dia selalu berhadapan dengan orang satu ini.“Aku menunggu Santoso,”Terdengar ketukan di meja yang membuat Santoso mengeram.“Anak pintar, kamu tahu tidak baik melawan apalagi sampai membuat orang tua ini menunggu.”Santoso menarik napas kasar, “Saya sudah memberikan semua informasi yang saya dapatkan pada Pak Rama juga Adit.”“Ck.. itu tidak akan sama, saya lebih suka mendengar langsung pada sumbernya.”“Saya sudah memberi semua detail lengkap pada mereka.”“Dengar anak pintar yang manis...”“Saya bukan anak pintar yang manis.”“Tetap bagi saya dari dulu kamu itu anak pintar yang manis, dari orok sampai sebesar kingkong seperti ini.”Santoso mendengus kesal, “Dokter Tri..”“Bude Tri, panggil saya bude Tri, saya sudah pensiun jadi dokter kamu tahu itu kan.”“Tapi Anda tak pensiun untuk ikut campur dan mengganggu saya, Bude Tri!” Santoso
Ibu Tri baru saja kembali dari ruang kerja Rasmi, saat dia melihat Rama yang sedang terlibat pembicaraan dengan Ikbal.“Dengar ya Mas, kamu itu ngak punya hak buat melarang aku buat melihat keadaan Elsa!”“Aku tidak melarangmu untuk melihatnya, tapi Om Frans yang melarangmu untuk melakukannya!”“Itu pasti Mas yang mempengaruhi supaya Om Frans melarangku untuk menjenguk Elsa, Mas mau cari muka?”Rama hanya menggelengkan kepalanya, “Terserah kau saja mau berpikir apa.”“Minggir! Aku masuk ke dalam!” Ikbal mencoba mendorong Rama.Tapi Rama bergeming, “Tolong, aku tidak mau ada keributan di sini, kasihan...”“Buk! Buk!”Rama merasakan sakit di perutnya akibat pukulan tiba-tiba Ikbal tanpa mampu melawannya.Ikbal segera ingin melayangkan kembali pukulan, tapi kemudian dia terjengkang di tarik ke belakang.“Aduh! Aduh!” Ikbal merasakan telinganya sakit di tarik.Ketika Ikbal ingin marah dan melawan pada orang yang menarik telinganya, dia langsung berhenti berontak.“Dasar anak
Danu beberapa kali menarik napas, dia bisa melihat kalau sahabat baiknya ini terlihat lelah.“Seharusnya kamu serahkan saja pekerjaan ini padaku, kalau tidak pada yang lain saja, ”saran Danu saat dia menerima berkas yang di berikan oleh Rama. Rama mencopot kacamata dan memijit pangkal hidungnya, “Tidak apa-apa, ini sudah menjadi tanggung jawabku.”“Bagaimana keadaan Elsa?” “Masih koma dan kritis,” Rama mendesah pelan.“Lalu siapa yang sekarang menjaganya saat ini?”“Om Frans dan Ibu Sumi.”“Maaf, aku baru sempat menjenguknya.”“Tidak masalah Danu, kau juga sibuk Menggantikan aku saat Ibuku sakit dan sekarang Elsa.”“Lalu bude Tri, bagaimana keadaannya?”“Sehat.”“Sehat?”“Iya, sehat.”“Seberapa sehat?”“Sangat sehat,” Rama kembali menghirup kopi yang sudah mulai dingin.“Tidak mungkin sangat sehat, bude itu kan baru beberapa hari yang lalu terkena serangan jantung.”Dengan menopang dagu Rama menatap sahabatnya itu, “Katakan padaku, seberapa percaya kalau kukatakan sa
Ibu Tri memperhatikan seorang pria muda yang terlihat bolak-balik gelisah di depan pintu rawat Elsa.“Ganteng-ganteng mencurigakan,” batin Ibu Tri yang kemudian berjalan mendekat.“Cari siapa ya?” tanya Ibu Tri.Pria itu terkejut dengan kehadiran Ibu Tri, “ saya mau menjenguk pasien yang di rawat di ruang ini.”“Siapa namanya?” tanya Ibu Tri lagi.“Elsa, Bu.”“Ada hubungan apa dengan Elsa?”“Saya teman baiknya, Bu.”“Namanya siapa?”“Lukman, Bu.”“Teman kerjanya atau bukan?”“Bukan teman kerjanya Bu, saya sahabat baik Elsa.”“Sahabat baiknya ya?”“Iya Bu.”“Saya tidak pernah tahu, Elsa punya sahabat baik pria.”“Saya dan Elsa memang belum lama ini jadi sahabat baik.”“Oh begitu.”“Oh ya Bu, maaf kalau boleh saya tanya, Ibu ini siapanya Elsa?”“Saya ini calon mertuanya Elsa.”“Calon mertuanya Elsa?” Lukman berkerut heran.“Iya.”“Tapi setahu saya Elsa itu belum punya pacar, apalagi calon suami?”“Siapa yang bilang?”“Elsanya sendiri, Bu.”“Pasti Elsa belum berit
Santoso mengusap bekas luka yang ada di wajahnya, menyesap rokok sesekali dengan pandangan mendongak ke atas memperhatikan kaitan sling yang masih bergantung di ujung sisi.Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari petunjuk yang tersisa.Santoso sudah bertanya dengan beberapa pekerja yang ada di konstruksi bangunan gedung ini, sayang belum ada petunjuk karena kejadian itu bertepatan dengan jam istirahat dan makan siang para pekerja.Hanya satu lembar foto yang jadi petunjuk, tapi itu tidak cukup apalagi di gedung itu tidak ada kamera pengawas atau cctv.Tidak ada sidik jari juga jejak kaki tertentu yang mengarah pada pelaku, dia juga sudah bertanya kepada seluruh anggota keluarga yang mungkin mengetahui kalau gadis itu punya musuh tapi justru nihil.Elsa selain cantik, pintar juga baik dan gadis yang pemalu tidak sedang menjalani hubungan dengan siapa pun, begitu banyak tanggapan positif tentangnya baik itu keluarga dan rekan kerja.Santoso mengangkat sling besi itu, u
“Kita jalan-jalan yuk,” ajak Rama pada Elsa. “Mau jalan ke mana?” tanya Elsa. “Ngak tahu,” jawab Rama. “Ya sudah, kita pergi sekarang nanti kalau sudah di jalan baru kita putuskan mau ke mana,” ucap Elsa, “Abang tunggu di sini Elsa ganti baju dulu.” Elsa sangat senang akhirnya setelah berminggu-minggu tidak pergi ke mana pun, dia bisa menikmati untuk bisa pergi keluar. Rama mengajaknya pergi ke sebuah pameran yang ada di kota ini. “Kita jalan-jalan di sini,” ajak Rama sambil mengulurkan tangannya. Elsa menerima uluran tangan Rama dan pria itu menautkan jari-jari mereka seperti sepasang kekasih. Stand kuliner adalah yang banyak mereka datangi, apalagi Elsa sudah lama tidak memakan beberapa jajanan yang dia suka. “Coba ini Bang,” Elsa mengulurkan sendok yang berisi potongan kue ke dekat mulut Rama. Pria itu sedikit ragu untuk menerimanya, tapi akhirnya dia membuka mulut dan menerima suapan dari Elsa. Setelahnya Elsa pun menyuapkan potongan kue lain ke mulutnya dengan memakai
Rama melambaikan tangan ketika sudah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Bapaknya.“Kok kamu ngak bilang kalau mau pulang hari ini Ram?” tanya Ibu Tri melihat pada Rama yang duduk di kursi belakang.“Rencana sih dua hari lagi Bu, tapi begitu kerjanya selesai hari ini Rama langsung ke pikiran langsung mau pulang,” sahut Rama menjelaskan.“Mungkin feeling sama situasi di sini ya Ram?” tanya Ibu Tri lagi.“Ya,” sahut Rama singkat.“Untung tadi Elsa ngak marah, kamu itu hampir bikin ibu kehilangan calon mantu kesayangan,” sungut ibunya.“Ya kalau ngak Elsa ngak jadi, kan masih ada calon satunya,” ucap Bapaknya.“Calon yang mana maksud Bapak?” tanya Ibu Tri.“Itu cewek yang foto bareng Rama,” sahut Bapak Rama.“CK, cewek yang suka pakai baju seksi itu?” sahut Ibu Tri.Bapak Rama menganggukkan kepalanya,” Iya.”“Ngak mau, cewek ngak sopan begitu ngak pantes jadi calon mantuku,” sahut Ibu Tri ketus.“Ram, Ibu mau tanya...” perkataan Ibu Tri terhenti saat melihat Rama y
Rama berkali-kali melirik bergantian, pada Elsa yang duduk tak jauh darinya dan pada enam pasang mata yang ada di belakangnya.Rama tak berhenti mengusap wajah juga lehernya.Rasa kebas masih terasa di kaki juga badannya karena pekerjaan dan penerbangan yang dia lakukan dalam satu hari ini.Sementara Elsa yang duduk cukup jauh dari Rama hanya melirik pria itu dari sudut matanya sambil menundukkan wajah dengan jari yang terpilin di pangkuan.“kamu sudah sehat Sa?” Rama membuka pembicaraan.Elsa hanya menganggukkan kepalanya masih dengan menunduk.“Maaf tadi Abang ngak bermaksud...” ucapan Rama terhenti karena batuk yang coba di tahannya.Rama mengeluarkan sapu tangan dari arah kantong celananya.Elsa mengangkat wajahnya dan melihat kalau sapu tangan itu terlihat agak kotor.Gadis itu baru menyadari saat melihat wajah Rama secara dekat seperti ini.Wajahnya sangat terlihat kusam, lelah dan juga lingkar yang jelas tanda hitam di sekitar matanya.“Mau ke mana Sa?” tanya Rama s
Kemarahan Sumi dan juga Ibu Tri kepada Lukman juga Ikbal gara-gara membuat Elsa pingsan, membuat kedua pria itu diusir dan dilarang untuk datang.Elsa segera di bawa ke rumah sakit, takut sesuatu yang buruk terjadi karena gadis itu cukup lama pingsan.“Mas Ikbal lebih dulu yang memukul,” ucap Elsa lirih dengan wajah sedikit bengkak, saat dia sudah sadar.“Tapi tetap saja seharusnya mereka tidak berkelahi di dekatmu, keterlaluan!” omel Sumi, “Tuh Mba ajari keponakannya, kok bikin rusuh di rumah orang!”“Ck, tenang saja nanti Mbak bakal marahin dia nanti,” sahut Ibu Tri sambil mengambil telepon genggamnya dan tidak lama terdengar omelan panjang lebar darinya.“Bu, Elsa mau pulang saja ngak usah nginap di sini,” ujar Elsa pada Sumi.“Tapi Sa..”“Elsa takut tinggal di rumah sakit lagi,” sela Elsa.“Tunggu Daddymu dan Ayah datang ya, baru kita pulang,” sahut Sumi yang mengerti ketakutan Elsa.“Abang susah banget sih di hubungi,” Adit masuk dengan bersungut.“Mungkin Abang masih s
Ibu Tri merenggut saat mendengar tuduhan Sumi pada Rama. “Jangan asal bicara ya, cah gantengku itu tidak mungkin selingkuh,” bantah Ibu Tri sambil menatap Sumi tajam. “Lho Mbak ngak percaya, coba Adit mana foto Rama sama cewek seksi kemarin,” Sumi mengulurkan tangannya meminta agar Adit memberikan hape miliknya. Adit hanya mengaruk kepalanya, ini kalau sudah berurusan dengan Ibu-ibu yang suka ikut campur urusan anaknya. “Mana!” Sumi terlihat tak sabar. “Iya sebentar Bu,” ucap Adit sambil mengeluarkan hapenya dan memberikan pada ibunya. “Nah ini buktinya,” ujar Sumi sambil memperlihatkan hape adit pada Ibu Tri. Segera Ibu Tri melihat pada gambar yang ada di sana dan langsung mencebikan bibirnya. “Hanya gambar seperti itu tidak membuktikan kalau cah gantengku pacaran sama perempuan itu,” cibir Ibu Tri. “Lho ini kan jelas kalau Rama di sana sama perempuan lain, mereka pacaran,” tegas Sumi tak mau kalah. “Sumi coba perhatikan baik-baik,” Ibu Tri menunjuk gambar pada gawai itu, “
Elsa merenung, untuk apa dia begitu marah pada Rama tadi sampai harus menangis dan mengatakan pria itu jahat dan pembohong, sangat kekanak-kanakan.“Huf, Abang pasti marah sama aku,” pikir Elsa, “Aku marah-marah ngak jelas seperti tadi.”Dia memandang telepon genggamnya, melihat beberapa notifikasi pesan masuk.(“Sa, Abang minta maaf kalau ada salah sama kamu ya.”)(“Abang sibuk banget sampai sering lupa menghubungi kamu.”)(“Abang usahakan untuk segera menyelesaikan semua kerjaan di sini, biar bisa cepat pulang.”) (“Jangan marah ya Sa, Abang mohon sekali lagi minta maaf🙏🙏 kalau memang Abang ada salah.”)Elsa membaca pesan itu, sungguh hati gadis itu menjadi tidak nyaman dengan pesan yang di kirim Rama padanya.Permohonan maaf dari Rama untuk kesalahan yang sebenarnya tidak di lakukan pria itu.Padahal sah-sah saja kalau Rama berselfi atau swafoto dengan orang lain sekalipun itu dengan perempuan cantik seksi menggoda seperti Nindya.Untuk apa marah? Hak apa marah? Elsa
Baiklah! Baiklah! obrolan berlangsung panas, apalagi kalau para pria membicarakan soal wanita seksi.“Ck...ck...” terdengar decak kagum dari mulut Adit dan membuat Elsa kesal melihatnya.Adit yang baru datang ikut bergabung dengan Elsa, Alfa juga Steven.“Bodinya memang seksi abis,” Adit terus memandangi gambar dari ponsel Alfa, “Aku mau follow dia.”“Wuih, yang follow dia banyak sampai satu juta lebih,” Steven ikut membuka tautan media sosial.“Dia sudah follow back aku!” Adit terlihat kegirangan karena begitu cepat mendapat tanggapan.“Sama Dit!” seru Steven dan kembali tos para pria di lakukan.“Kerja di mana di Mas?” tanya Adit.“Oh itu, perusahaan besar,” sahut Alfa menyebutkan nama perusahaan itu.“Dia ini termasuk orang kepercayaan Pak Bram, waktu aku ikut rapat dengan bos waktu itu,” lanjut Alfa bercerita sambil mengunyah makanan.“Orangnya memegang asli cantik dan bodinya, beuh,” Alfa terus berceloteh mengacungkan dua jempol jarinya, “Semolohoy.”Tangan Alfa memben
Bunyi mesin EKG terdengar pelan, pria tua yang berbaring itu terlihat seperti tidur dengan tenang.Mesin bantu pernapasan terpasang dengan beberapa selang yang menempel di tubuhnya.“Bagaimana keadaan tuan Haris?” pria dengan berjas hitam itu memperhatikan Haris yang berbaring tanpa daya.“Kondisinya masih kritis, tapi sepertinya dia berusaha untuk bertahan,” ujar pria dengan menggunakan baju OK putih.“Aku rasa tuan Haris punya alasan untuk bertahan.”“Apa Anda tak menghubungi keluarganya, siapa tahu...”“Tidak, karena justru itu akan membuat nyawa tuan Haris dalam bahaya lagi.”“Tapi...”“Dia sudah memberi amanat, kecuali kalau dia sudah mati baru dia ingin ada keluarga yang berada di sampingnya.” “Itu aneh.”“Ya, tuan Haris memang aneh.”“Tapi saya akui, dia pria tua yang kuat walaupun nyaris saja suntikan itu mengenai jantung dan pembuluh darahnya.”“Itu benar.”“Apakah rekaman cctv yang saya berikan sudah ada titik terangnya?”“Belum, karena sepertinya orang ini p
Cafe itu masih sunyi, hanya beberapa pengunjung yang terlihat. Dua orang saling duduk berhadapan di pojok ruangan, sambil sesekali memperhatikan orang yang keluar masuk di cafe itu dan terlihat sedang terlibat pembicaraan serius. “Sebaiknya kau hentikan dulu rencanamu itu.” “Apa hentikan?” “Ya hentikan saja.” “Kau pikir aku akan hidup tenang selama keturunan Ratih masih hidup?” Terdengar helaan nafas panjang, “Kau bisa menundanya dulu.” “Aku sudah menyusun semuanya dan dalam waktu kami akan menjalankannya.” “Jangan sekarang, apa kau tahu polisi sudah melakukan penyelidikan dan beberapa orang sudah di curiga.” “Mungkin saja beberapa orang itu tidak termasuk aku.” “Jangan terlalu percaya diri, mungkin sekarang kau tidak termasuk yang di curiga tapi tidak mungkin semakin lama arahnya akan ke sana.” “Ha...ha...ha..! “Apa yang membuatmu tertawa? Apa kau pikir semua ini lucu?” terdengar nada tersinggung dari lawan bicaranya. “Lucu, sangat lucu.” “Bagian mana yang kau anggap lu