Elsa merasa suasana di ruangan itu terasa sepi, walaupun sesekali dia menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Ferry maupun Jasmine. “Daddy,” panggil Elsa. Frans berjalan masuk, mendekati Elsa dan langsung mencium pucuk kepala putrinya. “Daddy bawa makanan kesukaanmu,” Frans menunjukkan bungkus yang ada di tangannya. “Baunya harum.” “Sebentar Daddy siapkan,” Frans berlalu seolah tak melihat keberadaan Ferry atau Jasmine. “Frans.” Gerakan Frans terhenti saat namanya di sebut. “Terima kasih, kau mau menjaga dan merawat Elsa untukku.” Frans membalikkan badannya dan memandang pada Ferry dengan tatapan tajam. “Aku tak melakukan itu untukmu, tapi kulakukan untuk diriku sendiri,” Frans menarik napas berat, “Karena Elsa adalah putriku, peninggalan paling berharga yang di berikan padaku.” Ferry terpaku juga terdiam mendengar perkataan Frans, “Aku tahu, kau sudah menganggap Elsa seperti Putri sendiri...” “Elsa memang putriku, buka
Ivy memperhatikan Ikbal yang tergesa-gesa pergi, tanpa mempedulikan keberadaannya.“Bukankah ini terlalu pagi untuk pergi bekerja?” tanya Ivy.“Aku akan ke rumah sakit.”“Apa jalang itu sudah mati? Sampai kau harus pergi sepagi ini?” Ikbal memandang Ivy dengan tajam, “Elsa bukan jalang dan jangan pernah menyebut dia seperti.”“Lalu di sebut apa wanita yang menggoda suami orang lain selain jalang? Pelacur mungkin?”Tiba-tiba Ivy merasakan tenggorokannya tercekat, genggaman di lehernya terasa kuat.“Dengar, Elsa bukan jalang, juga bukan pelacur,yang pantas di sebut seperti itu adalah dirimu,” Ikbal berbisik di telinga Ivy dan tangannya mencengkeram erat leher istrinya.“Lepaskan Ikbal, lepaskan,” Ivy mencoba menarik tangan Ikbal agar lepas dari lehernya, “Kau mau membunuhku?”“Aku tak akan melakukan itu, karena aku tidak ingin membuat kehilangan kesempatan untuk kembali bersama Elsa, karena membunuhmu,” Ikbal melepaskan cengkeramannya dan berjalan menjauh.“Apa Kurangnya aku
Sumi terus memandang tajam dan juga sinis pada wanita cantik sebaya dengannya.“Elsa maafkan Tante baru bisa datang menjengukmu, tante baru saja pulang dari luar negeri karena ada pekerjaan,” Amara memasang wajah bersalah.“Tidak apa-apa tante Amara, Elsa tahu kalau Tante orang yang sangat sibuk,” Elsa tersenyum menanggapi permintaan maaf dari Amara “Cih.. sok penting, sok sibuk,” gumam Sumi.Amara memandang sinis sama seperti yang dilakukan Sumi, “Tentu saja aku sibuk karena aku punya perusahaan yang harus diurus, tidak sepertimu yang hanya bisa mengurus rumah tangga saja.”“Memang kenapa kalau aku ibu rumah tangga saja? Itu..” “Sumi sudah,” tegur Frans dan bisa terlihat wajahnya memperingatkan Sumi untuk tidak meneruskan.“Aku belum bicara apa-apa Mas, dianya itu sok pamer mentang-mentang punya perusahaan!” sahut Sumi kesal.“Bu,..” panggil Elsa pelan.Panggilan itu mengalihkan perhatian Sumi, terdengar nada khawatir dari Sumi, “Ada apa Sa? Mau apa?”“Elsa mau bubur ayam
Beberapa waktu sebelumnya..Frans cukup terkejut dengan kemunculan Amara begitu juga Sumi dan Elsa, apalagi dia datang sendiri tanpa di temani Ferry.Kalau Frans juga Elsa tampak berusaha tenang melihat kehadiran Amara, berbeda dengan Sumi yang dengan terang-terangan menujukan kebencian dan amarahnya.Sebenarnya Frans sangat heran, bagaimana mungkin Amara mau datang melihat keadaan Elsa, padahal selama ini yang dia ketahui wanita itu tak pernah peduli dengan keberadaan Elsa.“Daddy duduk di luar, tapi kalau kau perlu sesuatu tinggal panggil saja,” Frans melihat Elsa mengangguk pelan.Frans sempat melihat ke arah Amara, sebelum berlalu pergi.Entah kenapa Frans begitu membenci wanita ini, secantik dan semenarik apa pun bagi pria itu Amara terlihat seperti hantu yang mengerikan baginya.Duduk di luar membuat Frans mengingat banyak hal tentang masa lalu, ada hal-hal yang membuat dia sangat menyesal.Kotak rokok yang ada di tangannya hanya berpindah-pindah tangan tanpa ingin meng
“Ini semua gara-gara kamu Sa, coba kamu ngak suruh Ibu pergi beli bubur ayam tadi,” keluh Sumi.“Maaf Bu, aku cuman ngak mau Ibu marah-marah terus,” sahut Elsa pelan.“Aduh Mas Frans ini juga, kok ngak di angkat dari tadi?” Sumi terus melihat pada gawainya.“Semoga Kakek Haris baik-baik saja.”“Coba tadi Ibu datang lebih cepat, pasti ketemu sama Om Haris.”“Memang Ibu kenal sama Kakek Haris?” “Kenal, tapi ngak kenal dekat waktu masih pacaran sama Bandi,” kenang Sumi.“Terakhir bertemu waktu jadi saksi pernikahan Ratih dan Ferry,” lanjut Sumi.“Apa Kakek haris juga kenal lama dengan Tante Amara?”Sumi terdiam sesaat, “Kurang tahu, karena setelah pernikahan Ratih dan Ferry selesai, Om Haris langsung kembali ke luar negeri lagi dan tidak pernah datang lagi.”“Jadi bagaimana kakek Haris bisa mengenal Tante Amara?”“Ibu kurang tahu, karena waktu Ibu menikah kami langsung merantau,” terang Sumi, “Jadi banyak kejadian yang Ibu ngak tahu.”“Kakek Haris sangat membenci marah pada
Rapat sudah selesai, Rama ingin sekali pertemuan ini segera berakhir, tapi sayangnya dia harus sekedar berbasa-basi pada pemilik perusahaan.Dam sedikit jengkel di hatinya karena Nindya tak lepas dari sampingnya yang terlihat berusaha untuk bersikap manis dan sok imut di hadapannya.Imut, cantik, super cute, seksi atau apa pun itu istilah yang di berikan oleh Alfa yang terlihat kagum dan dia benar-benar tak mengerti apa yang di lihat karyawannya ini dari Nindya.“Mas Rama, ada waktu senggang kapan lagi ya? Kita janjian ketemu ya?”Suara itu terdengar merdu yang di buat-buat bagi Rama, “Saya tak punya waktu senggang, sibuk.”“Kalau janji kencan buta lagi kapan? Nanti hubungi Nindya kalau mau.”“Saya sibuk, tidak ada kencan buta lagi.”“Iya, Nindya tahu Mas Rama sibuk, mungkin nanti lain waktu kalau sudah ada.”“Tidak ada lain kali atau waktu, permisi,” Rama berlalu pergi menghampiri pemilik perusahaan dan berjalan masuk ke dalam kantor bersama.Setelah semua selesai Rama seger
“Hei! Hati-hati bung!” Seru Rama saat hampir bertabrakan dengan seseorang saat keluar dari dalam lift. Kopi yang ditangannya sebagian tumpah, Rama melotot pada orang yang tergesa-gesa masuk ke dalam lift, tapi sepertinya orang itu tidak peduli. Sedikit aneh pada pandangan Rama, pria itu berpakaian serba hitam dan jalannya terus menunduk. Lift hampir tertutup tapi pandangan Rama langsung berubah tegang saat melihat penampilan orang itu. Siapa di tengah malam begini, ada orang berjalan dengan menggunakan topi, kacamata gelap dan sarung tangan hitam? Pikiran Rama langsung tertuju pada Elsa dia langsung bergegas menuju kamar rawat Elsa. “Semoga tidak seperti yang ada di pikiranku,” batin Rama. “Cepat! Cepat! Pasien kritis! Siapkan ruang ICU!” Beberapa perawat terlihat hilir mudik, sementara dokter jaga terus memompa jantung seorang pasien. “Terdeteksi tapi sangat lemah, hubungi dokter yang biasa menangani pasien sekarang!” “Ruang ICU sudah siap dokter!” “Cepat! Kita pindahkan s
Rama terkejut saat bangun, karena mendengar beberapa orang sedang bicara, matanya yang sedikit kabur meraba beberapa sisi sofa dan juga meja untuk mencari kacamata.Begitu kacamata sudah terpasang, wajah yang pertama kali di lihat adalah Sumi.“Kaya kebo kamu tidurnya, Ram,” Sumi berjalan membawa piring.“Sampai ngak sadar kalau sudah ini sudah jam berapa,” tunjuk Sumi menunjuk pada dinding.Dengan mata masih mengantuk, Rama melihat pada jam di tangannya.“Astaga, aku bangun kesiangan.”“Tumben kamu bangun jam segini, Ram?” Rama terkejut mendengar suara yang beberapa hari ini tidak dia dengar.“Ibu kapan datang?”Ibu Tri berjalan menghampiri Sumi juga dengan membawa piring.“Tadi pagi.”“Memang sudah selesai?” “Sudahlah, itu masalah kecil,” Rama memandang pada Elsa, gadis itu terlihat lebih segar dan sedang menyuap makanan “Aku mau pulang dulu ya, Bu.”“Mau ngapain?”“Mau mandi sama ganti baju.”“Kalau begitu sarapan dulu, ini Ibu bawa nasi kebuli enak langganan k
“Kita jalan-jalan yuk,” ajak Rama pada Elsa. “Mau jalan ke mana?” tanya Elsa. “Ngak tahu,” jawab Rama. “Ya sudah, kita pergi sekarang nanti kalau sudah di jalan baru kita putuskan mau ke mana,” ucap Elsa, “Abang tunggu di sini Elsa ganti baju dulu.” Elsa sangat senang akhirnya setelah berminggu-minggu tidak pergi ke mana pun, dia bisa menikmati untuk bisa pergi keluar. Rama mengajaknya pergi ke sebuah pameran yang ada di kota ini. “Kita jalan-jalan di sini,” ajak Rama sambil mengulurkan tangannya. Elsa menerima uluran tangan Rama dan pria itu menautkan jari-jari mereka seperti sepasang kekasih. Stand kuliner adalah yang banyak mereka datangi, apalagi Elsa sudah lama tidak memakan beberapa jajanan yang dia suka. “Coba ini Bang,” Elsa mengulurkan sendok yang berisi potongan kue ke dekat mulut Rama. Pria itu sedikit ragu untuk menerimanya, tapi akhirnya dia membuka mulut dan menerima suapan dari Elsa. Setelahnya Elsa pun menyuapkan potongan kue lain ke mulutnya dengan memakai
Rama melambaikan tangan ketika sudah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Bapaknya.“Kok kamu ngak bilang kalau mau pulang hari ini Ram?” tanya Ibu Tri melihat pada Rama yang duduk di kursi belakang.“Rencana sih dua hari lagi Bu, tapi begitu kerjanya selesai hari ini Rama langsung ke pikiran langsung mau pulang,” sahut Rama menjelaskan.“Mungkin feeling sama situasi di sini ya Ram?” tanya Ibu Tri lagi.“Ya,” sahut Rama singkat.“Untung tadi Elsa ngak marah, kamu itu hampir bikin ibu kehilangan calon mantu kesayangan,” sungut ibunya.“Ya kalau ngak Elsa ngak jadi, kan masih ada calon satunya,” ucap Bapaknya.“Calon yang mana maksud Bapak?” tanya Ibu Tri.“Itu cewek yang foto bareng Rama,” sahut Bapak Rama.“CK, cewek yang suka pakai baju seksi itu?” sahut Ibu Tri.Bapak Rama menganggukkan kepalanya,” Iya.”“Ngak mau, cewek ngak sopan begitu ngak pantes jadi calon mantuku,” sahut Ibu Tri ketus.“Ram, Ibu mau tanya...” perkataan Ibu Tri terhenti saat melihat Rama y
Rama berkali-kali melirik bergantian, pada Elsa yang duduk tak jauh darinya dan pada enam pasang mata yang ada di belakangnya.Rama tak berhenti mengusap wajah juga lehernya.Rasa kebas masih terasa di kaki juga badannya karena pekerjaan dan penerbangan yang dia lakukan dalam satu hari ini.Sementara Elsa yang duduk cukup jauh dari Rama hanya melirik pria itu dari sudut matanya sambil menundukkan wajah dengan jari yang terpilin di pangkuan.“kamu sudah sehat Sa?” Rama membuka pembicaraan.Elsa hanya menganggukkan kepalanya masih dengan menunduk.“Maaf tadi Abang ngak bermaksud...” ucapan Rama terhenti karena batuk yang coba di tahannya.Rama mengeluarkan sapu tangan dari arah kantong celananya.Elsa mengangkat wajahnya dan melihat kalau sapu tangan itu terlihat agak kotor.Gadis itu baru menyadari saat melihat wajah Rama secara dekat seperti ini.Wajahnya sangat terlihat kusam, lelah dan juga lingkar yang jelas tanda hitam di sekitar matanya.“Mau ke mana Sa?” tanya Rama s
Kemarahan Sumi dan juga Ibu Tri kepada Lukman juga Ikbal gara-gara membuat Elsa pingsan, membuat kedua pria itu diusir dan dilarang untuk datang.Elsa segera di bawa ke rumah sakit, takut sesuatu yang buruk terjadi karena gadis itu cukup lama pingsan.“Mas Ikbal lebih dulu yang memukul,” ucap Elsa lirih dengan wajah sedikit bengkak, saat dia sudah sadar.“Tapi tetap saja seharusnya mereka tidak berkelahi di dekatmu, keterlaluan!” omel Sumi, “Tuh Mba ajari keponakannya, kok bikin rusuh di rumah orang!”“Ck, tenang saja nanti Mbak bakal marahin dia nanti,” sahut Ibu Tri sambil mengambil telepon genggamnya dan tidak lama terdengar omelan panjang lebar darinya.“Bu, Elsa mau pulang saja ngak usah nginap di sini,” ujar Elsa pada Sumi.“Tapi Sa..”“Elsa takut tinggal di rumah sakit lagi,” sela Elsa.“Tunggu Daddymu dan Ayah datang ya, baru kita pulang,” sahut Sumi yang mengerti ketakutan Elsa.“Abang susah banget sih di hubungi,” Adit masuk dengan bersungut.“Mungkin Abang masih s
Ibu Tri merenggut saat mendengar tuduhan Sumi pada Rama. “Jangan asal bicara ya, cah gantengku itu tidak mungkin selingkuh,” bantah Ibu Tri sambil menatap Sumi tajam. “Lho Mbak ngak percaya, coba Adit mana foto Rama sama cewek seksi kemarin,” Sumi mengulurkan tangannya meminta agar Adit memberikan hape miliknya. Adit hanya mengaruk kepalanya, ini kalau sudah berurusan dengan Ibu-ibu yang suka ikut campur urusan anaknya. “Mana!” Sumi terlihat tak sabar. “Iya sebentar Bu,” ucap Adit sambil mengeluarkan hapenya dan memberikan pada ibunya. “Nah ini buktinya,” ujar Sumi sambil memperlihatkan hape adit pada Ibu Tri. Segera Ibu Tri melihat pada gambar yang ada di sana dan langsung mencebikan bibirnya. “Hanya gambar seperti itu tidak membuktikan kalau cah gantengku pacaran sama perempuan itu,” cibir Ibu Tri. “Lho ini kan jelas kalau Rama di sana sama perempuan lain, mereka pacaran,” tegas Sumi tak mau kalah. “Sumi coba perhatikan baik-baik,” Ibu Tri menunjuk gambar pada gawai itu, “
Elsa merenung, untuk apa dia begitu marah pada Rama tadi sampai harus menangis dan mengatakan pria itu jahat dan pembohong, sangat kekanak-kanakan.“Huf, Abang pasti marah sama aku,” pikir Elsa, “Aku marah-marah ngak jelas seperti tadi.”Dia memandang telepon genggamnya, melihat beberapa notifikasi pesan masuk.(“Sa, Abang minta maaf kalau ada salah sama kamu ya.”)(“Abang sibuk banget sampai sering lupa menghubungi kamu.”)(“Abang usahakan untuk segera menyelesaikan semua kerjaan di sini, biar bisa cepat pulang.”) (“Jangan marah ya Sa, Abang mohon sekali lagi minta maaf🙏🙏 kalau memang Abang ada salah.”)Elsa membaca pesan itu, sungguh hati gadis itu menjadi tidak nyaman dengan pesan yang di kirim Rama padanya.Permohonan maaf dari Rama untuk kesalahan yang sebenarnya tidak di lakukan pria itu.Padahal sah-sah saja kalau Rama berselfi atau swafoto dengan orang lain sekalipun itu dengan perempuan cantik seksi menggoda seperti Nindya.Untuk apa marah? Hak apa marah? Elsa
Baiklah! Baiklah! obrolan berlangsung panas, apalagi kalau para pria membicarakan soal wanita seksi.“Ck...ck...” terdengar decak kagum dari mulut Adit dan membuat Elsa kesal melihatnya.Adit yang baru datang ikut bergabung dengan Elsa, Alfa juga Steven.“Bodinya memang seksi abis,” Adit terus memandangi gambar dari ponsel Alfa, “Aku mau follow dia.”“Wuih, yang follow dia banyak sampai satu juta lebih,” Steven ikut membuka tautan media sosial.“Dia sudah follow back aku!” Adit terlihat kegirangan karena begitu cepat mendapat tanggapan.“Sama Dit!” seru Steven dan kembali tos para pria di lakukan.“Kerja di mana di Mas?” tanya Adit.“Oh itu, perusahaan besar,” sahut Alfa menyebutkan nama perusahaan itu.“Dia ini termasuk orang kepercayaan Pak Bram, waktu aku ikut rapat dengan bos waktu itu,” lanjut Alfa bercerita sambil mengunyah makanan.“Orangnya memegang asli cantik dan bodinya, beuh,” Alfa terus berceloteh mengacungkan dua jempol jarinya, “Semolohoy.”Tangan Alfa memben
Bunyi mesin EKG terdengar pelan, pria tua yang berbaring itu terlihat seperti tidur dengan tenang.Mesin bantu pernapasan terpasang dengan beberapa selang yang menempel di tubuhnya.“Bagaimana keadaan tuan Haris?” pria dengan berjas hitam itu memperhatikan Haris yang berbaring tanpa daya.“Kondisinya masih kritis, tapi sepertinya dia berusaha untuk bertahan,” ujar pria dengan menggunakan baju OK putih.“Aku rasa tuan Haris punya alasan untuk bertahan.”“Apa Anda tak menghubungi keluarganya, siapa tahu...”“Tidak, karena justru itu akan membuat nyawa tuan Haris dalam bahaya lagi.”“Tapi...”“Dia sudah memberi amanat, kecuali kalau dia sudah mati baru dia ingin ada keluarga yang berada di sampingnya.” “Itu aneh.”“Ya, tuan Haris memang aneh.”“Tapi saya akui, dia pria tua yang kuat walaupun nyaris saja suntikan itu mengenai jantung dan pembuluh darahnya.”“Itu benar.”“Apakah rekaman cctv yang saya berikan sudah ada titik terangnya?”“Belum, karena sepertinya orang ini p
Cafe itu masih sunyi, hanya beberapa pengunjung yang terlihat. Dua orang saling duduk berhadapan di pojok ruangan, sambil sesekali memperhatikan orang yang keluar masuk di cafe itu dan terlihat sedang terlibat pembicaraan serius. “Sebaiknya kau hentikan dulu rencanamu itu.” “Apa hentikan?” “Ya hentikan saja.” “Kau pikir aku akan hidup tenang selama keturunan Ratih masih hidup?” Terdengar helaan nafas panjang, “Kau bisa menundanya dulu.” “Aku sudah menyusun semuanya dan dalam waktu kami akan menjalankannya.” “Jangan sekarang, apa kau tahu polisi sudah melakukan penyelidikan dan beberapa orang sudah di curiga.” “Mungkin saja beberapa orang itu tidak termasuk aku.” “Jangan terlalu percaya diri, mungkin sekarang kau tidak termasuk yang di curiga tapi tidak mungkin semakin lama arahnya akan ke sana.” “Ha...ha...ha..! “Apa yang membuatmu tertawa? Apa kau pikir semua ini lucu?” terdengar nada tersinggung dari lawan bicaranya. “Lucu, sangat lucu.” “Bagian mana yang kau anggap lu