"Mbak Daulani, pemilik perusahaan yang mengangkat potensi desa ini?" Suara itu datang dari seorang pria berbadan tegap, dengan busana batik yang membuatnya tampak berwibawa.Lani menoleh . "Bagaimana Anda mengenal saya?" tanya Lani, mencoba terdengar santai."Kenalkan, saya Reynaldi, satu markas dengan Kapten Alzam, suami Mbak Agna, saat masih di Surabaya." Lelaki itu mengulurkan tangannya. Namun Lani mengatupkan kedua tangannya di dada dengan tersenyum. Seulas senyum disunggingkan lelaki berwajah manis itu. Kekagumannya mulai tercipta dengan melihat apa yang ditampakkan Lani. Bahkan dia tak henti menatap wajah cantik Lani, seolah terbuai.Sejenak Lani merasa tak enak dengan kata-kata suami Mbak Agna, terlebih saat Agna malah menandaskannya dengan,.."Iya, suami saya duluh memang teman satu markas dengan Anda Kapten Reynaldi. Apa kabar?" tanya Agna dengan mengulurkan tangannya. Sewaktu tunangannya dengan Alzam duluh, Reynaldi yang duluh dekat dengan Alzam, datang.Reynaldi menyambutny
Lani hanya menunduk. Kapten Reynaldi memperhatikan perubahan ekspresi Lani."Kamu nggak nyaman di sini, ya?" bisik Reynaldi.Lani mengangguk pelan. "Aku rasa aku harus pulang.""Ayo, aku antar," kata Reynaldi tegas.Tanpa banyak bicara lagi, Lani berdiri dan mengikuti Reynaldi keluar ruangan. Mereka berjalan menuju mobil pria itu yang diparkir di luar."Terima kasih, Kapten," ucap Lani pelan saat mereka sudah di dalam mobil."Sama-sama. Tapi, kalau aku boleh jujur, aku heran kenapa Agna seolah membencimu. Kamu tak pantas diperlakukan seperti itu, Lani."Lani menatap Reynaldi, terkejut dengan pernyataannya. Namun, sebelum sempat menjawab, Reynaldi menambahkan, "Aku nggak tahu banyak tentang masalahmu, tapi aku cuma mau bilang satu hal. Kalau kamu butuh teman bicara, aku ada."Lani tersenyum tipis, meski hatinya masih penuh keraguan. "Terima kasih, Mas." Lani memang tak dapat lagi membendung kekesalan hatinya saat melihat Alzam kemudian digandeng Agna dengan mesranya pergi dari hadapan
Alzam terdiam. Ia tahu Lani sedang terluka, tapi ia tak tahu bagaimana cara memperbaiki semuanya. Namun ia juga tak bisa pergi begitu saja. Dengan langkah perlahan, ia mendekat dan berdiri di belakang Lani."Aku nggak akan pergi," katanya lembut. "Aku akan tetap di sini, karena aku tahu aku bersalah. Aku tahu aku telah melukaimu. Tapi, Lani, tolong...jangan menyerah pada kita."Lani berbalik, matanya merah karena tangis. "Aku tidak pernah menyerah pada kita, Mas. Kamu yang menyerah pada kita sejak awal.""Lani,..""Pergi!" Lani mendorong Alzam keras lalu menutup pintu kamarnya. Bahkan menguncinya dari dalam.Alzam pergi dengan hati berat. Ia kembali ke rumahnya, tempat Agna sudah menunggunya dengan tatapan penuh kemenangan."Apa? Kamu baru saja diusir wanita itu?" "Apa yang kamu katakan pada Lani sampai Lani merasa terluka seperti itu? ""Apa menurutmu? Kapan aku mengatakannya?""Bukankah kamu tadi selalu berusaha mendekatinya? Aku bisa melihatnya, Agna!""Aku hanya mengatakan padan
Lani menatap layar ponselnya yang kembali bergetar. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkatnya."Maaf, Mas, aku tadi tidak pamitan saat pulang," suara Lani bergetar."Tidak apa-apa, Lani, kami bisa maklum. Sekarang, apa kamu baik-baik saja?" suara Dandi terdengar ragu. "Kami jadi merasa salah telah mengundangmu ke pertunangan kami setelah melihatmu merasa tak nyaman dengan berada di sini."Lani menarik napas panjang, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Aku baik, Mas Dandi. Terima kasih sudah menanyakan.""Tadi... kami jadi nggak enak, Lani. Aku lihat situasi antara kamu dan Mas Alzam seperti..." Dandi terdiam, mencari kata-kata yang tepat.Lani memejamkan mata, mencoba menghindari rasa perih di dadanya. "Nggak apa-apa, Mas. Nggak usah dipikirkan. Semua sudah biasa terjadi.""Kalau ada apa-apa, kamu tahu kamu bisa hubungi aku atau Hanum, kan? Kami nggak akan diam kalau kamu butuh bantuan," kata Dandi penuh perhatian."Iya, aku tahu. Terima kasih," jawab Lani pelan.Sebelum panggi
Maghrib bahkan sudah berkumandang. Setelah mandi dan berdandan, juga sholat, Lani keluar dari kamarnya dengan wajah dingin. Langkahnya menuju dapur terasa berat, tetapi ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memasak. Tangannya cekatan mengiris bawang dan memotong sayur, meski ada getaran samar di ujung jari. Pandangannya kosong, tapi gerakan tubuhnya tetap teratur, menunjukkan bahwa rutinitas ini sudah melekat.Alzam duduk di ruang keluarga sambil nonton TV, menatap Lani tanpa suara. Dia tahu Lani masih marah, dan keberaniannya untuk mendekat seolah terhenti oleh tembok tak kasatmata yang dibangun oleh wanita itu. Alzam hanya bisa memandangi punggung Lani. Punggung yang dulu selalu ia dekap dengan hangat kini terasa begitu jauh, seperti milik seseorang yang tak lagi bisa ia sentuh."Lani," panggilnya pelan.Lani tidak menoleh. Ia hanya membuka tutup panci, membiarkan aroma tumisan menyebar. Setelah memastikan semuanya matang, ia menyiapkan meja makan tanpa sepatah kata. Piring-pirin
Lantunan ayat suci sudah terdengar saat Alzam membuka matanya. Di sampingnya, Lani masih terlelap dengan wajah yang damai. Ia tersenyum tipis, mengenang malam yang penuh kehangatan. Jari-jarinya menyentuh rambut Lani yang terurai, tetapi gerakan kecil itu justru membangunkan istrinya. Lani mengerjap perlahan, lalu menatap Alzam dengan tatapan malas yang menggemaskan."Pagi, Mas," gumam Lani dengan suara masih serak."Pagi, Sayang." Alzam tersenyum menggoda. "Jadi, periksa kandungan nggak hari ini? Katanya kemarin nggak jadi?"Lani mendesah, menyembunyikan senyum di balik bantal. "Gimana aku ghak bilang gitu? Habisnya aku sebel banget sama kamu.""Kalau sekarang udah ghak sebel lagi? Sudah sayang lagi?" balas Alzam, pura-pura merajuk."Siapa bilang? Sebel aku masih ghak hilang, tau!" Dia segera bangkit dan duduk di tepi ranjang."Sebel sebel kok mau aja aku ajak itu,.." Alzam mengerling, menatap tubuhLani yang masih terbungkus selimut dengannya."Kamu yang maksa. Tatapan kamu itu yang
“Mas Alzam dulunya dinas di sini, jadi hafal jalur Surabaya. Kalau aku, mana ngerti.""Iya, tau kamu Lamongan saja, Num," timpal Dandi.Alzam terkekeh ringan sambil melirik Lani yang duduk di sampingnya. “Gimana ghak hafal, lawong aku arek Suroboyo.""Lho, iya ta? Aku piki cuma pendatang.""Abi yang Makasar. Ummi Surabaya tulen. Kami besar di Surabaya." Sejenak Alzam melirik Lani. "Kita mampir ya ke Ummi?""Tanya saja sama Dandi dan Hanum, apa mereka tidak keberatan diajak mampir.""Ghak apa, niatnya hari ini kan kita jalan-jalan. Iya kan, Mas?" tanya Hanum pada Dandk yang di sampingnya."Heem. Kapan lagi kalau ghak sekarang? Paing juga kalau bisa bulan depan saat kita ngantar lagi.""Emang kalian mau ngantar aku lagi?" tanya Lani dengan emnengok ke belakang.""Ya, iyalah, Mbak. Mudah-mudahan Mas Dandi ghak pas di kirim ke mana-mana.""Terimakasih," ucap Lani terharu. Demikian juga dengan yang diucapkan Alzam."Sekrang, kita makan duluh ya," ajak Alzam. "Nih, yang di sebelahku sudah k
Senja berdiri di ambang pintu, wajahnya terliha ceria dengan senyum yang mengembang. Di belakangnya, Bara dan Elma mengikuti, masing-masing membawa tas kecil hasil dari belanjaan mereka. Lani terkejut, bibirnya hampir bergetar, tetapi ia menahan diri."Mbak, kangen aku sama Mbak." Senja segera memeluk Lani yang juga memeluknya erat dengan mata yang mengaca."Bagaimana Senja bisa ada di sini, Mi?" tanya Lani menatap mertuanya."Yangti sama Yangkung yang ke rumah langsung ngajak Senja ke sini. Mumpung libur dari Jum'at katanya," jawab Senja sambil menatap Thoriq dan Salma yang nampak kebingungan menjawabb pertanyaan Lani.Bara menyalami Alzam dan Dandi. Lalu mengangguk pada Hanum."Tadi aku ajak jalan-jalan ke Mall, Mbak," ucap Elma yang segera menyalami Lani dan mencium pipinya. "Mbak makin cantik saja," pujinya. "Pantas Mas Alzam lengket terus sama Mbak."Alzam tersenyum menatap adiknya yang mengerling. Sementara Lani melirik Alzam, matanya penuh pertanyaan. Suasana di ruang tamu m
Alzam yang tidur kembali setelah menyelesaikan sholat Subuh, terbangun dengan terkejut kala sang surya sudah membuatnya terang di jendela kamarnya. Dengan tergesa dia kemudian mandi dan memakai seragamnya ayng telah diambil tadi malam dari kamar utama.Karena tergesa, baju loreng seragam angkatan darat itu pun masih tak terkancing hinggah menampakkan otot tubuhnya yang sempurna.Agna yang menunggunya di ruang tamu, terdiam sejenak. Ia menatap tubuh Alzam. Otot-ototnya yang terpahat sempurna membuat pikirannya berkelana. Ia membayangkan surga dunia yang bisa ia nikmati jika Alzam menjadi miliknya sepenuhnya. "Mas," panggilnya lirih. "Aku cuma butuh kamu satu kali saja... berpikir untuk aku.. Lihatlah aku," Dia mendekat. Demikian juga dengan Alzam yang makin terbius oleh ttubuh ramping Agna."Aku sudah berpikir, Agna," jawab Alzam dengan senyum dan tatapan lembutnya. Tatapannya seolah tak sabar dan penuh harap."Mas,..""Agna,.. ayo cepat berangkat," ucap Alzam sambil mengancingkan se
Lani membuka pintu rumah dengan sedikit ragu. Udara dingin Malang masih melekat pada kulitnya, tapi bukan itu yang membuat hatinya bergetar. Di balik pintu, sosok Mbok Sarem langsung menyambut dengan wajah cemas."Lani, kamu baik-baik saja, nduk?" tanya Mbok Sarem sambil mengambil tas dari tangan Lani."Iya, Mbok. Ada apa kok Mbok kelihatan panik?" tanya Lani, menaruh jaketnya di gantungan. "Kemarin pagi sekali, perempuan datang kemari, ngamuk-ngamuk di sini. Dia nyari Mas Alzam. Katanya dia nggak pulang-pulang."Lani terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Mbok Sarem. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Siapa, Mbok?""Siapa lagi kalau bukan Agna itu. Katanya sudash hari Minggu tapi Alzam masuh bersama kamu. Mbok cuma bisa bilang ke dia kalau kamu sama Mas Alzam lagi nggak di rumah. Dia pergi, tapi mukanya nggak enak, nduk."Lani menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dia takutkan terjadi. Untungnya tidak pas ada aku, bathin Lani. Dia tak ingin melihat wanita itu mengeluarkan taringny
Pagi itu udara dingin menyelimuti vila keluarga besar Alzam di Malang. Embun masih menempel di dedaunan, mencerminkan sinar matahari yang baru muncul. Vila ini berdiri di antara hamparan kebun apel yang luas, tempat yang ideal untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga. Pak Ahmad, sopir keluarga, baru saja memarkir mobil. Bu Murni, pembantu keluarga yang setia, sibuk mengeluarkan tas-tas mereka dari bagasi."Bu Murni, tolong bawa tas Lani ke kamar atas," perintah Salma lembut sambil memeriksa barang-barang yang mereka bawa.Sementara itu, Alzam melirik Lani yang tampak diam di pojok, wajahnya menyiratkan ketidaknyamanan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia menduga penyebabnya. Nama yang tak ingin disebut, Agna."Lani," panggil Alzam mendekat, nada suaranya rendah, tetapi penuh perhatian. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Alzam meski dia tau Lani dari tadi malam mendiamkannya, bahkan menyingkirkan tangannya saat dai peluk.Lani mendesah, mengalihkan pandangannya ke arah kebun apel. "Aku ba
"Saya tau," ujar Alzam lemah, seolah tak punya tenaga. Mengingat Agna baginya adaslah mengingat sesuatu yang ingin dia lupakan kalau dia ada."Lalu kenapa Mas hanya mengangguk?"Salma menatap Lani dengan alis terangkat, bingung dengan arah pembicaraan. “Kenapa kamu tanya begitu, Nak? Memangnya Alzam ada janji apa besok?”Lani tersenyum kaku, matanya sekilas melirik Alzam. “Besok waktunya Mas Alzam bersama Agna, Mi.”Kalimat itu jatuh seperti hujan di tengah siang yang cerah. Semua yang ada di ruang tamu mendadak terdiam. Salma menoleh ke Thoriq, mengatakan keprihatinan. Alzam menundukkan kepalanya, sementara Elma hanya menatap kakaknya dengan tatapan iba.“Alzam,” suara Thoriq berat, memecah keheningan, “Apa itu benar? Besok waktumu bersama Agna?”Alzam menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan nada lelah. “Iya, Bi. Itu sudah pengaturannya, Minggu sampai Selasa saya di Agna."Salma menyentuh pundak Lani, matanya penuh kasih. “Nak, kami tahu ini sulit. Tapi kamu kan sudah
Senja berdiri di ambang pintu, wajahnya terliha ceria dengan senyum yang mengembang. Di belakangnya, Bara dan Elma mengikuti, masing-masing membawa tas kecil hasil dari belanjaan mereka. Lani terkejut, bibirnya hampir bergetar, tetapi ia menahan diri."Mbak, kangen aku sama Mbak." Senja segera memeluk Lani yang juga memeluknya erat dengan mata yang mengaca."Bagaimana Senja bisa ada di sini, Mi?" tanya Lani menatap mertuanya."Yangti sama Yangkung yang ke rumah langsung ngajak Senja ke sini. Mumpung libur dari Jum'at katanya," jawab Senja sambil menatap Thoriq dan Salma yang nampak kebingungan menjawabb pertanyaan Lani.Bara menyalami Alzam dan Dandi. Lalu mengangguk pada Hanum."Tadi aku ajak jalan-jalan ke Mall, Mbak," ucap Elma yang segera menyalami Lani dan mencium pipinya. "Mbak makin cantik saja," pujinya. "Pantas Mas Alzam lengket terus sama Mbak."Alzam tersenyum menatap adiknya yang mengerling. Sementara Lani melirik Alzam, matanya penuh pertanyaan. Suasana di ruang tamu m
“Mas Alzam dulunya dinas di sini, jadi hafal jalur Surabaya. Kalau aku, mana ngerti.""Iya, tau kamu Lamongan saja, Num," timpal Dandi.Alzam terkekeh ringan sambil melirik Lani yang duduk di sampingnya. “Gimana ghak hafal, lawong aku arek Suroboyo.""Lho, iya ta? Aku piki cuma pendatang.""Abi yang Makasar. Ummi Surabaya tulen. Kami besar di Surabaya." Sejenak Alzam melirik Lani. "Kita mampir ya ke Ummi?""Tanya saja sama Dandi dan Hanum, apa mereka tidak keberatan diajak mampir.""Ghak apa, niatnya hari ini kan kita jalan-jalan. Iya kan, Mas?" tanya Hanum pada Dandk yang di sampingnya."Heem. Kapan lagi kalau ghak sekarang? Paing juga kalau bisa bulan depan saat kita ngantar lagi.""Emang kalian mau ngantar aku lagi?" tanya Lani dengan emnengok ke belakang.""Ya, iyalah, Mbak. Mudah-mudahan Mas Dandi ghak pas di kirim ke mana-mana.""Terimakasih," ucap Lani terharu. Demikian juga dengan yang diucapkan Alzam."Sekrang, kita makan duluh ya," ajak Alzam. "Nih, yang di sebelahku sudah k
Lantunan ayat suci sudah terdengar saat Alzam membuka matanya. Di sampingnya, Lani masih terlelap dengan wajah yang damai. Ia tersenyum tipis, mengenang malam yang penuh kehangatan. Jari-jarinya menyentuh rambut Lani yang terurai, tetapi gerakan kecil itu justru membangunkan istrinya. Lani mengerjap perlahan, lalu menatap Alzam dengan tatapan malas yang menggemaskan."Pagi, Mas," gumam Lani dengan suara masih serak."Pagi, Sayang." Alzam tersenyum menggoda. "Jadi, periksa kandungan nggak hari ini? Katanya kemarin nggak jadi?"Lani mendesah, menyembunyikan senyum di balik bantal. "Gimana aku ghak bilang gitu? Habisnya aku sebel banget sama kamu.""Kalau sekarang udah ghak sebel lagi? Sudah sayang lagi?" balas Alzam, pura-pura merajuk."Siapa bilang? Sebel aku masih ghak hilang, tau!" Dia segera bangkit dan duduk di tepi ranjang."Sebel sebel kok mau aja aku ajak itu,.." Alzam mengerling, menatap tubuhLani yang masih terbungkus selimut dengannya."Kamu yang maksa. Tatapan kamu itu yang
Maghrib bahkan sudah berkumandang. Setelah mandi dan berdandan, juga sholat, Lani keluar dari kamarnya dengan wajah dingin. Langkahnya menuju dapur terasa berat, tetapi ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memasak. Tangannya cekatan mengiris bawang dan memotong sayur, meski ada getaran samar di ujung jari. Pandangannya kosong, tapi gerakan tubuhnya tetap teratur, menunjukkan bahwa rutinitas ini sudah melekat.Alzam duduk di ruang keluarga sambil nonton TV, menatap Lani tanpa suara. Dia tahu Lani masih marah, dan keberaniannya untuk mendekat seolah terhenti oleh tembok tak kasatmata yang dibangun oleh wanita itu. Alzam hanya bisa memandangi punggung Lani. Punggung yang dulu selalu ia dekap dengan hangat kini terasa begitu jauh, seperti milik seseorang yang tak lagi bisa ia sentuh."Lani," panggilnya pelan.Lani tidak menoleh. Ia hanya membuka tutup panci, membiarkan aroma tumisan menyebar. Setelah memastikan semuanya matang, ia menyiapkan meja makan tanpa sepatah kata. Piring-pirin
Lani menatap layar ponselnya yang kembali bergetar. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkatnya."Maaf, Mas, aku tadi tidak pamitan saat pulang," suara Lani bergetar."Tidak apa-apa, Lani, kami bisa maklum. Sekarang, apa kamu baik-baik saja?" suara Dandi terdengar ragu. "Kami jadi merasa salah telah mengundangmu ke pertunangan kami setelah melihatmu merasa tak nyaman dengan berada di sini."Lani menarik napas panjang, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Aku baik, Mas Dandi. Terima kasih sudah menanyakan.""Tadi... kami jadi nggak enak, Lani. Aku lihat situasi antara kamu dan Mas Alzam seperti..." Dandi terdiam, mencari kata-kata yang tepat.Lani memejamkan mata, mencoba menghindari rasa perih di dadanya. "Nggak apa-apa, Mas. Nggak usah dipikirkan. Semua sudah biasa terjadi.""Kalau ada apa-apa, kamu tahu kamu bisa hubungi aku atau Hanum, kan? Kami nggak akan diam kalau kamu butuh bantuan," kata Dandi penuh perhatian."Iya, aku tahu. Terima kasih," jawab Lani pelan.Sebelum panggi