Arhand menggeser ponselnya ke ujung meja, menatap layar yang baru saja ia buka kembali setelah beberapa hari dia blokir. Nama Agna terpampang jelas di sana.Pesan itu masuk seketika."Arhand, ku di mana? Aku telah mencarimu dan menghubungimu berkali kali tapi kamu tak dapat dihubungi."Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu, cepat atau lambat, perbincangan ini harus terjadi. Ia tak bisa terus menghindar.Tangannya bergerak lambat, mengetik balasan. ",Kenapa?"Tak sampai lima detik, panggilan masuk. Arhand menatap layar sebentar sebelum akhirnya mengangkat.Suara Agna terdengar lemah, namun penuh desakan. “Kenapa kamu blokir aku? Kamu tahu betapa susahnya aku mencarimu?”Arhand mengusap wajah, mencoba meredam emosi. “Aku butuh waktu.”“Tapi aku nggak punya waktu, Arhand.”Hening.Agna menarik napas dalam. “Kita harus menikah.”Arhand menutup mata. Ia sudah menduga ini. “Karena tekanan keluarga atau karena kamu benar-benar ingin?”“Kalau aku bilang dua-duanya?” suara Agna merendah.Ar
Sandra melipat tangan, bersandar di meja makan. Mata beningnya menatap Arya yang tengah bersiap mengenakan jam tangan."Papi tahu itu Sendang Agung?" tanyanya.Arya menghentikan gerakannya sejenak, melirik ke arah istrinya. "Duluh sih pernah ke sana. Cuma sekarang sudah lupa-lupa ingat."Sandra menggeleng kecil. "Kalau nggak tahu, tanya Agna. Dia pasti tahu daerah itu. Itu daerah terbesar yang mendukung Agna saat pemilu.""Baiklah. Aku lebih baik tanya dia daripada tanya Geoglemap."Dari arah ruang tengah, Agna yang baru saja keluar dari kamarnya mendengar percakapan itu. Alisnya mengernyit."Siapa yang ada di Sendang Agung?"Arya menoleh. "Tamsir tonggal di sana. Dia mengajar di perguruan terbesar di desa itu."Agna terdiam. Nama itu tak familiar di telinganya. "Mengajar? Dia guru?"Arya melanjutkan, nada suaranya datar. "Iya. Aku mau bicara dengannya soal pernikahanmu."Jeda singkat.Agna melipat tangan di dada. "Papi yakin dengan anak itu?""Yang penting bisa menutup aib. Setelah an
Malam turun ketika Tamsir melangkah ke tepi jalan. Ransel digendong erat, tubuh sedikit lelah setelah seharian penuh aktivitas. Udara terasa lembap, aroma tanah setelah hujan masih terasa. Lampu jalan berpendar redup, sesekali bayangan kendaraan melintas cepat di depan matanya."Kak, mau ke mana?" Senja dan Azra yang mau pergi darusan ke mushola, menyapanya."Kakak mau pulang, Senja. Kan pembelajaran sudah selesai," ucap Tamsir sambil tengok berkali- kali barangkali ada angkot yang lewat."Tapi habis lebaran, kembali kan?"Azra menyikut sahabatnya itu."Ya, tentu. Kan belum libur sekolahnya.""Aku nanti sekolah pindah ke sini lho, Kak," ucap Senja sambil lebih dekat dengan Tamsir. Gadis yang akan genap sebelas tahun di hari lebaran dengan tinggi badan sudah 160cm itu, tak jauh tingginya dari Tamsir. Tamsir bahkan merasa kikuk didekati Senja."Kalau gitu selamat. Dan seharusnya mulai sekarang kamu latihan panggil aku, Pak.""Ntar deh. Kan belum juga resmi pindahnya. Nunggu tahun ajaran
Arhand keluar dari rumah dengan langkah cepat, kunci mobil sudah tergenggam erat. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Bayangan Agna terus berputar dalam kepalanya, seakan menghantuinya.Dia membuka pintu mobil dengan kasar, masuk, dan menyalakan mesin. Suara deru mesin seolah menyadarkannya sedikit, tapi tetap tak menghilangkan kekalutannya. Dengan satu tarikan napas dalam, dia menginjak pedal gas dan melaju ke jalanan Makassar yang semakin ramai menjelang berbuka puasa.Lalu lintas padat. Kendaraan melambat di beberapa titik, orang-orang mulai memenuhi trotoar, berburu takjil atau sekadar menunggu azan Maghrib. Aroma makanan bercampur dengan asap kendaraan, menciptakan suasana khas bulan Ramadan.Arhand menggertakkan gigi, tangannya mencengkeram kemudi. Dia harus menemukan tempat servis HP secepat mungkin. Dia harus bicara dengan Agna.Saat lampu merah menyala, dia memukul setir dengan frustasi."Sial!"Tak pernah sebelumnya dia merasa segelisah ini. Seandainya dia tak terbawa emosi, sea
Malam semakin larut ketika Tamsir selesai istikharah. Tak ada jawaban pasti. Hatinya tetap ragu, pikirannya tetap penuh pertanyaan."Aku tak mendapat petunjuk, Bu."Tami mengangguk pelan. "Ibu juga berdoa tadi malam. Tak ada jawaban.""Kita harus bagaimana?"Hening sejenak sebelum Tami menjawab, "Mungkin ini bukan soal mendapat jawaban, Nak. Tapi tentang memilih yang paling benar."Tamsir menatap ibunya, mencoba memahami maksudnya."Kalau kamu tak menikahi Agna, apa kamu sanggup melihatnya jatuh ke tangan orang lain yang mungkin tak bertanggung jawab?"Tamsir diam."Dan kalau kamu menikahinya, apa kamu siap dengan segala konsekuensinya?"Ia menggeleng. "Aku tak tahu, Bu."Tami tersenyum tipis. "Maka mungkin jawabannya ada di hatimu sendiri."Tamsir menghela napas panjang. "Kalau aku menerima ini, apakah itu artinya aku menikah karena kasihan, bukan karena cinta?""Kasihan bukan alasan buruk, Nak. Kadang, rasa sayang lahir setelah kita memilih bertanggung jawab."Tamsir menggenggam can
"Nak, kamu kenapa?" Lani masih berusaha membujuk."Jangan nangis terus, Nak. Kasihan Bunda, kelelahan." Alzam mengambil dan menciuminya.Namun Excel terus menangis. Suara rengekannya memenuhi seluruh rumah, menggema di dinding-dinding, membuat malam semakin panjang bagi Lani. Tubuhnya masih lelah setelah berkali-kali terbangun menyusui, sementara Alzam mondar-mandir dengan wajah tegang. dan berkali-kali menimangnya."Sayang,... kamu tidur aja duluh, biar aku yang jagain.""Gimana bisa tidur, Mas? dia menangis terus?" ucap Lani. Namun karena terlalu lelah, akhirnya dia terlelap juga saat anak itu diam sejenak di dekapan Alzam."Anak pinter. Tidur ya?"Baru juga ditidurkan, sudah kembali meraung. Dengan cekatan, Alzam yang sudah terbiasa mengganti pampers itu, menggantinya lagi."Pampersnya sudah diganti?" tanya Lani dengan mata yang masih setengah terpejam.Alzam mengangguk. "Sudah, berkali-kali malah."Lani melirik tempat sampah di sudut kamar. Plastik-plastik popok berserakan. "Kenap
Bis melaju di atas aspal yang berdebu. Tamsir menatap ke luar jendela, memperhatikan sawah-sawah yang mulai menguning. Udara hangat menampar wajahnya melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Di sampingnya, Tami duduk dengan tenang, sesekali menarik napas dalam."Bu, kenapa tadi ikut?" tanya Tamsir, akhirnya membuka suara.Tami menoleh. "Urusan besar seperti ini harus kita hadapi bersama."Tamsir mengangguk. Sejak tadi, ia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Istikharah yang dilakukan semalam tak memberi jawaban yang jelas. Tak ada mimpi aneh, tak ada petunjuk yang bisa ia tafsirkan sebagai 'ya' atau 'tidak'. Kosong."Mungkin ini sudah takdir," kata Tami pelan.Tamsir terdiam. Apakah benar ini takdirnya? Menikahi Agna bukan karena cinta, melainkan karena rasa terima kasih kepada Arya? Bagaimana jika mereka berdua tak bahagia?Perjalanan masih panjang. Bis terus berjalan, melewati perkampungan, deretan toko, dan pasar yang mulai ramai karena orang-orang bersiap menjelang buka puas
Pintu terbuka. Suasana dalam rumah mendadak tegang. Semua mata tertuju pada pria yang berdiri di ambang pintu.Arhand.Wajahnya dingin, matanya tajam, tetapi sorotnya penuh kegelisahan. Langkahnya mantap memasuki ruangan, seakan tidak peduli dengan tatapan penuh kemarahan yang menyambutnya.Hening.Suasana menegang. Tidak ada yang bergerak, seolah waktu membeku.Arya berdiri dari kursinya, tatapan tajam menusuk langsung ke arah Arhand. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sandra yang baru saja turun dari tangga menghentikan langkahnya. Matanya membesar melihat kedatangan orang yang dicintai putrinya itu.Di sudut ruangan, Tamsir menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Ibunya, Tami, duduk di sebelahnya, ekspresinya tenang, tetapi jelas mengamati segalanya dengan saksama.Agna berdiri di dekat meja, tubuhnya kaku. Napasnya tercekat ketika mata mereka bertemu."Aku datang untuk Agna," kata Arhand akhirnya, suaranya tegas.Arya tertawa sinis. "Setelah semua yang kau lakukan? Kau pi
Mira terbangun dengan perasaan hangat yang aneh. Ada sesuatu yang menempel erat di punggungnya, sesuatu yang membuat tubuhnya tak bisa leluasa bergerak. Perlahan ia membuka mata. Cahaya malam belum menyibak sempurna, tapi cukup untuk menunjukkan ada sosok yang memeluknya erat dari belakang.Tubuh Mira menegang. Tanpa menoleh, dengan sekali dorong, tubuh disampingnya yang tak siap segera terjatuh."Aduh! Mira, kamu kebangetan ya,.. aku memelukmu, kamu malah melemparkan aku sampai aku terjatuh."Detik berikutnya, Mira menoleh sedikit dan mendapati wajah itu. Wajah yang begitu dirindukannya, yang sempat hanya bisa ia bayangkan lewat layar ponsel dan doa di sepertiga malam. Tapi kini... wajah itu nyata."Rey?!"Sontak Mira terlongo. Ternyata yang dia kibaskan dengan kedua tangannya kuat-kuta adalah tubuh Rey. Rey, yang rupanya masih setengah sadar, jatuh dengan bunyi ‘bug’ kecil ke lantai."Sakit, tau!" erang Rey, mengaduh sambil memegangi sisi perutnya."Astaghfirullah! Maaf! Aku... aku
Sirene polisi dari sektor terdekat meraung menembus keheningan malam, membelah suara jangkrik dan desau angin yang sebelumnya begitu tenang. Beberapa warga mulai berkumpul di depan rumah Lani, heran dan khawatir. Beberapa dari mereka membawa senter, sebagian lain mengucek-ngucek mata karena baru saja terbangun. Seorang ibu-ibu bahkan masih memakai daster dan kerudung yang belum rapi."Pak Damar? Masa iya dia masuk rumah orang?" bisik salah satu warga dengan nada tak percaya. Dia adalah karyawan pabrik Lani yang pernah mengenal Damar."Katanya dia baik... dia sudah seperti teman bagi Mbak Lani," jawab yang lain."Tapi dia duluh sempat tunangan dengan Mbak Mira. Ngak tau, tiba-tiba putus. Mungkin karena Mbak Mira kecantol orang berpangkat itu hinggah mutusin Pak Damar.""Itu nggak mungkin, Mbak Mira begitu saja memutuskan pertunangannya kalau nggak ada sesuatu.""Sudahlah, kita semua nggak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Mas Alzam menjodohkan mereka. Pak Rey kan teman akrab Mas
"Mas Alzam sudah pulang," Mbok Sarem pamit ke kamarnya, "Mbok tidur duluan ya, Nduk. Dari tadi Excel rewel terus, Mbok belum sempat memejamkan mata."Lani tersenyum, matanya sedikit lelah. "Iya Bu, makasih ya. Istirahat yang cukup. Ibu juga sih, dari tadi dibilangin suruh bobok duluan masih bantuin Lani."Mbok Sarem terkekeh.Alzam menggeser sedikit posisi tubuhnya, meraih bahu Lani, memijatnya dan mengecupnya ringan. "Kamu cantik banget malam ini. Baju tidur bunga-bunga kecil itu... kayaknya baru, ya?"Lani tersenyum malu. Bajunya memang baru, ia sengaja membeli motif lembut dengan bahan halus karena tahu malam-malam seperti ini akan banyak dihabiskan di rumah dengan bayi mungil mereka."Ini biar gampang pas nyusuin. Excel kalau lapar suka tiba-tiba bangun terus nggak sabar," katanya sambil menunduk.Alzam meraih tangan istrinya dan menggenggam hangat. "Kamu hebat banget, Sayang. Ibu yang luar biasa. Istri yang luar biasa juga. Aku bangga banget punya kamu."Lani tertawa kecil, tapi
Excel sudah hampir semalaman rewel. Tangisannya menjadi, terbangun-tidur lagi, lalu terisak kembali. Lani duduk di tepi ranjang sambil memeluk anaknya yang terus saja gelisah. Satu tangan menopang kepala Excel, satu lagi mengelus punggung mungil itu perlahan. Bau asi dan peluh tercampur lembut dalam udara kamar."Ssst... Excel, iya, Nak, tenang ya... Ini Bunda..." bisiknya lirih sambil membenarkan selimut tipis yang setengah lepas. Mbok Sarem yang sejak awal ikut tidur di rumah Lani, bangun setengah mengantuk sambil merenggangkan bahu. Sudah beberapa kali ia ikut begadang semalaman sejak Excel rewel."Bu, tidurlah, biar saya saja yang jaga Excel," ucap Lani melihat tak tega pada perempuan yang sudah dianggapnya ibu itu."Aku ndak apa-apa. Kasihan kamu, Nduk. Bayi kalau sudah begini emang ngagetin. Gantian ya, aku yang gendong," kata Mbok Sarem sambil menyambar selendang dan meraih Excel dengan sigap.Lani mengangguk, menyerahkan bayinya dengan hati-hati. Ia duduk sebentar di kursi ro
Damar sudah berhari-hari menahan keinginannya. Rindu itu semakin menyesakkan, semakin tak tertahankan. Setiap malam ia melawan dorongan hatinya untuk kembali ke tempat Mira, memandangi wajahnya meski hanya dari kejauhan. Namun Vero, yang kini hamil besar, tak pernah lelah memata-matai gerak-geriknya. Kecurigaannya membuat Damar kian sulit mencari celah. Terakhir kali ia mencoba keluar malam-malam, Vero memergokinya dan memaksanya bersumpah tak akan macam-macam.Namun malam ini Damar tak sanggup lagi. Sore tadi ia bilang pada Vero bahwa ia hendak mencari ide baru untuk sovenir toko. Alasan itu cukup logis karena dia memang kerap memburu barang-barang unik untuk dijual di tokonya. Saat Vero mulai tertidur karena kelelahan, Damar segera bersiap. Namun putrinya yang tertidur, menggeliak."Papi, mau ke mana?" tanya Diandra."E, putri cantikku. Papi nggak mau ke mana-mana. Tidur lagi ya Sayang.""Tapi Dian pingin ditemani Papi."Damar mendesah. Untuk Diandra dia tak dapat menolak. Maka dia p
Hari itu, langit Mundingwangi cerah seperti senyum Mira yang kembali merekah. Beberapa hari terakhir begitu sunyi dari ancaman, dari teror dari Damar yang sempat membuatnya trauma. Kini, rumah Lani yang dia tumpangi bersama Mbok Sarem terasa tenang. Bahkan Lani dan Mira merasa cukup nyaman tanpa lagi ditemani para satpam yang dulu bergantian menjaga sekitar rumah. Mira juga mulai berani tidur sendiri lagi.Mira berdiri di depan cermin besar di kamar. Ia menatap wajahnya lama-lama, lalu tersenyum sendiri. Tangan kanannya memainkan ujung kerudung yang membingkai wajahnya, sementara tangan kiri mengusap pipi pelan. Wajahnya terlihat lebih segar. Ada rona harapan yang tumbuh kembali, terutama setelah Alzam berjanji akan membawa Rey pulang.“Kalau Rey datang… aku harus cantik,” bisiknya pelan, seperti berjanji pada bayangan dirinya sendiri di cermin. "Dia akan terkejut dengan hijab ini."Mbok Sarem yang baru keluar dari dapur sambil membawa segelas teh, terkekeh melihat Mira.“Udah cantik,
"Mas, telpon kamu bunyi itu," ucap Lani.Alzam segera mengambil ponsel itu, dan melihat sebuah nomor tak dikenal."Nomor nggak dikenal," gumam Alzam sebelum akhirnya menekan tombol jawab. "Halo?"Suara di seberang sana terdengar lirih tapi jelas. Suara yang membuat napas Alzam tercekat. "Alzam... ini aku, Rey."Alzam langsung berdiri tegak. "Rey? Kamu di mana?""Aku... nggak bisa lama. Aku cuma—aku hidup, Zam. Tolong jaga Mira. Tadi aku telpon dia nggak bisa."Suara Rey terdengar tergesa. Ada deru nafas berat. Seperti sedang berlari atau menyembunyikan diri."Kamu di mana sekarang? Lokasimu? Siapa yang bersamamu?" tanya Alzam cepat."Aku nggak bisa bilang. Mereka..."Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari seberang. Seperti suara pintu dibuka paksa, lalu Rey menutup telepon dengan cepat."Rey! Rey!!"Alzam menatap layar yang sudah gelap. Panggilan terputus."Mas, itu tadi Rey?" Lani berdiri di belakangnya, wajahnya tegang.Alzam mengangguk pelan. "Dia masih hidup.""Syukurlah. Kita pasti
"Jangan dipikirkan terus, Sekarang minum teh jahe sing anget, biar rileks," ujar Mbok Sarem lembut, menaruh cangkir ke meja kecil. Menatap Mira dengan penuh iba.Lani yang baru kembali dari mengatur jadwal patroli satpam ikut duduk di dekat mereka. Rambutnya dikuncir rapi terihat setelah jilbabnya terlepas. Excel sudah tertidur, dan Alzam masih di pabrik membantu mengganti baterai CCTV dengan teknisi."Mira, kamu harus jaga kesehatan. Jangan-jangan Rey juga sedang berjuang supaya kamu tetap kuat di sini," kata Lani sambil menggenggam tangan Mira.Mira mengangguk. "Aku tahu... tapi suara itu, Lani. Dia sesak napas. Seperti dikejar... lalu diam, lalu teleponnya ditutup paksa. Kamu tahu betapa galaunya aku sekarang?"Lani menarik napas. "Dan itu sebabnya Mas Alzam nggak tinggal diam."Di sisi lain, Alzam sedang berdiri di belakang ruang kendali keamanan pabrik. Bersamanya, ada seorang pria tinggi dengan tuuh proporsional. Dia Evind, sahabat lama Alzam semasa kuliah, yang kini bekerja di
Hari itu, rencana pengintaian mulai disusun dengan sangat serius. Lani berdiri di hadapan empat orang satpam yang ia percaya. Wajah-wajah mereka tampak tegang, tapi penuh semangat. Ini bukan sekadar tugas biasa. Ini tentang perlindungan. Tentang memastikan tidak ada lagi teror diam-diam yang mengusik ketenangan Mira."Pak Slamet dan Pak Darto, kamu ambil shift jam sembilan sampai jam satu malam. Pak Joko dan Pak Komar jaga jam satu sampai jam empat pagi gantian. Setelah itu ganti satpam pagi," ucap Lani tegas, namun tenang.Alzam berdiri di samping istrinya, memegang sketsa tata letak pabrik dan rumah Lani di sekitarnya. Ia menunjuk titik-titik strategis di peta."Kita pakai sistem sinyal. Senter dengan lampu merah, artinya ancaman, siap siaga. Lampu biru, hanya patroli biasa. Kalau kalian lihat sesuatu yang mencurigakan, langsung nyalakan lampu merah dan tiup peluit tiga kali. Yang lain langsung ke titik itu. Jangan ada yang bergerak sendiri, kita tim. Paham?"Semua menjawab kompak,